Madrasah Nizhamiyah

Di zaman pemerintahan Islam, paling tidak semenjak 4 H telah banyak dibangun sekolah Islam. Tetapi sebelum sekolah semodel itu dikembangkan, pendidikan ketika itu dilakukan di dalam masjid, majelis-majelis taklim dan tempat-tempat pendidikan lainnya. Muhammad Athiyah Al Abrasi dalam buku Dasar-dasar Pendidikan Islam, memaparkan usaha-usaha para khalifah untuk membangun sekolah-sekolah itu. Dalam perkembangannya, setiap khalifah terus membangun sekolah tinggi Islam dan berusaha melengkapinya dengan sarana dan prasarananya.[1] Pada setiap sekolah tinggi itu dilengkapi dengan iwan (auditorium, gedung pertemuan), asrama penampungan mahasiswa, perumahan dosen dan ulama. Selain itu, sekolah tinggi tersebut juga dilengkapi dengan kamar mandi, dapur dan ruang makan, bahkan juga taman rekreasi.[2]

Di antara sekolah-sekolah tinggi yang terpenting adalah Madrasah Nizhamiyah dan Madrasah Al Mustanshiriyah di Baghdad, Madrasah Al Nuriyah di Damaskus, serta Madrasah An-Nashiriyah di Kairo. Di antara madrasah-madrasah tersebut yang terbaik adalah Madrasah Nizhamiyah. Sekolah ini akhirnya menjadi standar bagi daerah lainnya di Irak, Khurasan (Iran) dan lainnya.

Makalah ini akan menguraikan tentang madarasah Nizhamiyah terkait latarbelakang pendirian, profil kelembagaan, isi pendidikan, relasi dengan pemerintahan politik dan sebagainya.

A. Latarbelakang Pendirian Madrasah Nizhamiyah
Pembicaraan mengenai awal kebangkitan madrasah selalu dikaitkan dengan nama Nizham Al-Mulk (w. 485 H/1092 M), salah seorang wazir Dinasti Saljuq,-meskipun sebenarnya madrasah telah berkembang sebelum berdirinya madrasah Nizhamiyah[3] - Dialah yang membangun sejumlah madrasah yang kemudian disebut "madrasah Nizhamiyah" di berbagai tempat/ kota utama daerah kekuasaan Dinasti Saljuq. Peran pentingnya bukanlah sebagai orang pertama yang mendirikan madrasah, tetapi lebih pada semangatnya untuk membangun sejumlah lembaga tinggi tersebut secara besar-besaran.

Langkah perkembangan lembaga pendidikan tinggi Islam pada masa-masa sesudahnya, biasanya diilhami oleh madrasah ini, terutama di wilayah-wilayah yang berada di bawah patronase Nizham Al-Mulk sebagi wazir (tahun 1064). Bangunan baru yang disebut Madrasah Nizhamiyah ini mengambil Mesjid-khan[4] sebagi model. Madrasah (dalam bentuk klasiknya) dapat disebut college (akademi) sebagaimana dikenal sekarang. Pada masa itu, Turki Saljuq (Bani Saljuq) telah mengambil alih pemerintahan Timur Tengah dari Bani Buwaih yang mengangkangi kekhalifahan Abbasyiah.

Seperti diketahui, sebelum Dinasti Saljuk, kekuasaan atas bagian terbesar wilayah Islam dipegang oleh Dinasti Buwaihi (945-1055 M) dan Dinasti Fatimiyah (969-1171 M). Irak, Iran dan belahan timur lainnya dikuasai oleh Buwaihi. Sedang Mesir, Afrika Utara dan Syria berada di bawah kekuasaan Fathimiyah. Faham Syi'ah yang menjadi anutan kedua dinasti tersebut sempat, berkembang luas di tengah-tengah masyarakat. Peran penguasa Syiah terhadap ajarannya bersamaan dengan ekspansi kekuasaan atas daerah-daerah milik dinasti Abbasyiah. Dengan rontoknya dinasti Abbasyiah sejak abad ke-9, situasi politik memburuk drastis sampai ke Hijaz. Pada awal abad ke-10 kaum Syiah muncul ker panggung kekuasaan di hampir seluruh Timur-Tengah. Dinasti Fathimiyah berjaya di Mesir dan Afrika Utara. Sementara, dinasti Buwaihi bercokol di Irak, Iran dan bahkan juga sempat menguasi daerah Sunni di Baghdad.

Berbeda dengan Syiah Fatimiyah yang agak toleran di Mesir, Hijaz harus berhadapan dengan Syiah Qarmatiyah. Penyebaran Syiah Qarmatiyah ini terbukti mendatangkan bencana bagi Hijaz mulai dari Bahrain sampai Ke Arab barat. Dengan pimpinan Thahir al-Qarmati pada 317 H/929 M, kaum Syi'ah Qarmatiyah ini menyerbu Makkah dan membunuh 30.000 jamaah haji dan penduduk setempat. Setelah menjarah Makkah mereka mengambil Hajar Aswad ke al-Hijr, kubu mereka di Arabia Barat. Hajar Aswad itu baru dikembalikan 22 tahun kemudian, ketika Manshur al-Alawi, pemimpin Qartamiyah Afrika Utara, berhasil membujuk mereka agar mengembalikannya ke Makkah (Ka'bah).[5]

Selama kekacauan ini, suasana di kota Makkah nyaris lumpuh, pasar-pasar tak lagi tenang berdagang ketika musim haji, mereka lebih senang pergi ke tempat lain. Fungsi Haraymain sebagai pusat pendidikan mengalami kemerosostan, bahkan makin terbatas pada Masjid Al-Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Namun, menjelang abad ke-11 kaum Sunni meraih kembali kontrol politik atas hampir seluruh wilayah Timur. Penguasa-penguasa Sunni seperti Ghaznawi diTransoxiana dan Afghanistan (1052-1186 M), Saljuk di Anatolia, Syria dan Irak (1037-1300 M), dan Ayyubiyyah di Mesir,Yaman, Syria dan Irak (1169-1500 M), meski sering terlibat konflik sesama mereka, namun mampu membendung pasang naik kaum Syiah yang telah menancapkan kekuasaannya di Baghdad dan menemnpatkan khalifah Abbasyiah di bawah kontrolnya. Dinasti-dinasti Sunni tersebut berusaha sungguh-sungguh menjalankan kebijakan politik dan keagamaan sesuai dengan ajaran ortodoksi Sunni. Hasilnya, ulama Sunni yang mengembara ke mana-mana selama masa sulit tersebut terdorong untuk kembali ke daerahnya masing-masing.

Munculnya orang-orang Saljuk pada abad ke-11 M sebagai pendukung ahli Sunnah dan jatuhnya sebagian kerajaan Islam ke tangan mereka serta sikap mereka yang sangat setia kepada khilafah merupakan faktor utama yang dapat mengukuhkan mazhab Sunni dan melemahkan pengaruh dan kedudukan golongan Syiah. Dalam periode inilah madrasah muncul dalam rangka memperkuat mazhab sunni dengan cara memberikan Perhatian besar untuk mempelajari ilmu fiqh empat mazhab.

Bani Saljuq berasal dari Asia Tengah yang kemudian berpindah ke Barat, sambil melakukan Islamisasi sepanjang perjalanannya. Sebelum menyerang Baghdad, pemimpin Saljuq menyetujui untuk tidak menghapus otoritas keagamaan khalifah, sebagaimana yang dilakukan Bani Buwaih yang Syi'ah sebelumnya, tetapi hanya membentuk pemerintahan politik di bawah pimpinan salah seorang dari keluarga Saljuq yang bergelar sultan. Nizham al-Mulk adalah seorang wazir yang sangat berkuasa, atau perdana menteri dari sang sultan. Untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya, Nizham al-Mulk membantu pembangunan ratusan madrasah yang mengajarkan fiqih dalam mazhab Syafi'i.

Selain itu, Nizham al-Mulk yang lahir di daerah Thus, Persia, adalah seorang pecinta pengetahuan, terutama hadits. la pernah memimpin halaqah hadits di Baghdad dan di berbagai kota Khurasan yang dihadiri sejumlah besar orang. Di samping itu ia juga adalah politikus berbakat. Karirnya menanjak sejalan dengan menguatnya Dinasti Saljuq, tempat dia menjadi wazir (perdana menteri) bagi Sultan Alp Arslan (455-465/1063-1072) dan sultan Malik Syah (465-485/1072-1092). Pada masa keduanyalah puncakkejayaan Saljuq tercapai. Kecintaan Nizham al-Mulk terhadap pengetahuan dan kesuksesannya dalam karir politik menjadi faktor sangat menentukan bagi kemajuan pendidikan Islam. Nizham al-Mulk yang Sunni ini mempunyai komitmen berpegang teguh kepada doktrin Asy'ariyah[6] dalam "kalam" (teologi) dan ajaran Syafi'i dalam fiqh, yang kemudian ditanamkannya kepada madrasah yang dikembangkannya.

Dalam perjalanan hidupnya, ia pernah berperan dalam menentang pengusiran dan penganiayaan para sarjana Syafi'iyah dan para teolog Asy'ariyah dari daerah Khurasan, yang merupakan kebijakan wazir Dinasti Saljuk sebelumnya, Al-Khunduri (w.455 H/1063 M). Berkat pengaruhnya, sarjana seperti Al-Juwayni (w.478/1085) dan sufi-faqih Abu Al-Qasim Al-Qusyairy (w.465/1072) dapat kembali ke Naysapur dan melanjutkan karir ilmiahnya setelah sebelumnya terpaksa mengasingkan diri ke Hijaz. Nizham Al-Mulk membangun pertama kali madrasahnya di Naisapur[7] untuk Al-Juwayni.[8] Selanjutnya, diteruskan di setiap kota utama Khurasan dan Irak, seperti Baghdad, Basrah, Isfahan, Herat, Balkh, dan Mosul.

Madrasah-madrasah yang didirikan oleh Nizham al-Mulk dalam perkembangannya kemudian tidak hanya terdapat di kota-kota, tapi juga di beberapa tempat sampai ke daerah terpencil atau di desa-desa. Setiap kali ia menemukan seorang yang terkenal dan berpengetahuan luas maka ia mendirikan madrasah agar orang alim tersebut mengajar di situ dan diberi wakaf yang memadai. Semua madrasah yang dibangunnya dikenal dengan nama madrasah Nizhamiyah.
  • Tujuan Pembangunan Madrasah Nizhamiyah
Dalam perkembangan peradaban Islam, madrasah Nizhamiyah merupakan unsur penting yang tidak dapat diabaikan, khususnya pada wilayah kekuasaan Dinasti Saljuk. Hal ini antara lain adalah karena pembangunan jaringan madrasah Nizhamiyah menandai "kebangkitan kembali" paham Sunni. Selain itu, sejarah pendidikan Islam telah menunjukkan bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan Islam par excellence[9] sampai pada periode modern dengan diperkenalkannya lembaga-lembaga modern seperti universitas. Oleh karena itu, tujuan pembangunan madrasah ini adalah membangun kembali ilmu pengetahuan yang sempat hilang semasa dinasti Umayah dan kekuasaan Syiah, dan melengkapi sistem pendidikan Mesjid yang terlalu banyak kelemahannya.

Beberapa hal yang melatarbelakangi berdirinya Madrasah Nizhamiyah adalah sebagai berikut: Pertama, penyebaran ilmu pengetahuan oleh Nizham Al-Mulk karena ia adalah seorang sarjana. Pantas jika ia memiliki semangat untuk membangun lembaga pendidikan yang modern. Kedua, konflik keagamaan yang sangat panjang dalam sejarah Islam hingga abad 5/11 antara kelompok-kelompok yang mengembangkan pemikiran keagamaan dalam Islam, misalnya Mu'tazilah, Syi'ah, Asy'ariyah,

Hanafiyah, Hanbaliyah dan Syafl'iyah. Perdana Menteri (wazir) Saljuq sebelum Nizham Al-Mulk adalah Al-Kunduri seorang bermazhab Hanafi dan pendukung paham teologi Mu'tazilah. Salah satu kebijakannya sebagai wazir adalah mengusir dan menganiaya para penganut Asy'ariyah yang sering disebut sebagai penganut Syafi'i. Setelah digantikan Nizham al-Mulk, beberapa penulis sejarah pendidikan Islam menyebut bahwa tak ada indikasi pergantian pejabat yang berbeda paham teologi dan mazhab fiqih itu merubah kebijakan politik keagamaan sebelumnya, sehingga merupakan aksi balasan. Nizham al-Mulk sebagai penganut Syafl'iyah hanya membangun madrasah yang diperuntukkan secara khusus bagi perkembangan mazhab Syafi'iyah. Tidak ada bukti bahwa ia melakukan tindakan balasan, sehingga menghancurkan mazhab lainnya, seperti Mutazilah dan Syiah. Kelompok-kelompok itu pada akhirnya melemah dengan sendirinya. Jadi, sebenarnya ia ingin posisi Syafi'iyah-Asy'ariyah menguat melalui jalur pendidikan. Ketiga, Madrasah Nizhamiyyah juga dimaksudkan sebagai wadah penataran bagi pegawai pemerintahan terutama dalam mengurusi dan memperbaiki sistem administrasi Negara. Lulusan madrasah yang siap pakai akan ditempatkan di kepegawaian negara sesuai dengan keahliannya, misalnya sebagai katib (sekretaris), qadhi (hakim) dan sebagainya.Terbukti, sistem madrasah berhasil dalam bidang ini. Keempat, pengembangan kestabilan politik dalam negeri. Sebagai wazir, tindakan Nizham al-Mulk membangun madrasah adalah untuk menguatkan jaringan dan kerangka kerja ulama dan umara', yang berarti hubungan yang serasi antara pemerintah dan rakyat, terutama kelompok Syafi'iyah-Asy'ariyah. Madrasah pada masa Nizham al-Mulk dibangun dalam rangka memenuhi kebutuhan khusus yaitu penerapan kebijakan politik di seluruh negeri di bawah kekuasaannya. Lembaga terbaik untuk meyangga hubungannya dengan rakyat adalah lembaga tanpa ikatan resmi, misalnya di bawah otoritas khalifah, seperti mesjid. Lembaga independen tersebut adalah madrasah yang dibangunnya.

Empat faktor tersebut menunjukkan bahwa munculnya madrasah sebagai fenomena sejarah berkaitan dengan banyak faktor, tidak hanya sekedar faktor pendidikan dan agama. Dalam konteks Madrasah Nizhamiyah tadi, kasus-kasus seperti konflik faham keagamaan, konflik politik, dan kebutuhan rekruitmen tenaga kerja untuk mengisi jabatan-jabatan pemerintahan, telah ikut menjadi pendorong lahir dan berkembangnya pendidikan model madrasah.

B. Profil Kelembagaan
Lembaga pendidikan ini disebut Madrasah Nizhamiyah yang didirikan oleh Nizam al-Mulk di Nishapur. Tidak jelas kapan madrasah ini dibangun, Philip K. Hitti menyebutkan berkisar antara tahun 1065-1067.[10] Menurut Ibnu Khallikan[11] bahwa Nizam al-Mulk membangun madrasah ini untuk al-Juwaini.

Selanjutnya, Nizham al-Mulk membangun Madrasah Nizhamiyah yang lain, salah satu yang terkenal adalah Madrasah Nizhamiyah di Bagdad. Pembangunan madrasah ini dimulai pada tahun 457 H/1065 M. Madrasah ini didirikan di atas reruntuhan istanan tua di pinggir sungai Tigris.[12]

C. Pendidikan
  • 1. Kurikulum Pendidikan
Yang dimaksud dengan kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari oleh siswa dalam suatu periode tertentu. Dalam arti yang lebih luas, kurikulum sebenarnya bukan hanya sekadar rencana pelajaran, tapi semua yang[13] secara nyata terjadi dalam proses pendidikan di sekolah. Dengan kata lain, kurikulum mencakup baik kegiatan yang dilakukan pada jam belajar maupun di luar jam belajar, sepanjang hal itu berlangsung di lembaga pendidikan. Karena itu ada istilah ekstra-kurikuler, yaitu berbagai kegiatan yang dilakukan di luar jam tatap muka di ruangan kelas. Akan tetapi, tentu saja kurikulum dalam pengertian seperti itu baru dikenal pada sistem pendidikan modern, baik sekolah maupun madrasah. Pada masa sebelumnya, meskipun sudah dikenal, muatan kurikulum tidak seketat pengertian tersebut.

Kurikulum pendidikan madrasah merupakan pengembangan lebih lanjut dan lebih "standar" (dalam arti dapat digunakan secara seragam oleh siapa saja) dari kurikulum yang pernah dikenal pada masa Nabi Saw. Sementara itu pada masa Dinasti Abbasyiah, ketika lembaga pendidikan model madrasah sudah mulai dikenal, kurikulum dan metode pendidikan diurus oleh ulama, sedangkan khalifah tidak terlalu dominan dalam menentukan kebijakan-kebijakan pendidikan. Ini dilakukan dalam kerangka penghormatan mereka terhadap otorita lembaga pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang dilakukan para ulama., selain karena mereka disibukkan dengan urusan politik.

Cikal bakal pendidikan Islam dimulai pada masa Khalifah Umar Ibn Khattab. Pada saat pemerintahannya, secara khusus Umar mengirimkan petugas khusus ke berbagai wilayah Islam untuk menjadi guru di daerah tersebut. Para petugas khusus ini biasanya bermukim di masjid dan mengajarkan tentang Islam kepada masyarakat, melalui halakah-halakah majelis khusus untuk menpelajari agama. Majelis ini terbuka untuk umum.

Namun demikian, cikal bakal pendidikan Islam yang menerapkan sistem pendidikan modern seperti sekarang ini adalah madrasah-madrasah nizhamiyah. Kurikulumnya berpusat pada Alquran (membaca, menghafal, dan menulis), sastra Arab, sejarah Nabi SAW, dan berhitung. Sistem pengajarannya menitikberatkan pada mazhab Syafi’i dan paham Asy’ariyah (aliran teologi yang menerima argumen rasional, namun percaya penuh kepada dalil-dalil wahyu–Red) yang berkembang dan dianut saat itu.

Sistem belajar yang diterapkan di madrasah nizhamiyah adalah pengajar berdiri di depan ruang kelas menyajikan materi-materi kuliah, sementara para pelajar (mahasiswa) duduk dan mendengarkan penjelasan di atas meja-meja kecil (rendah) yang disediakan. Kemudian, proses belajar dilanjutkan dengan berdialog (tanya-jawab), antara dosen dan para mahasiswa mengenai materi yang disajikan dalam suasana semangat keilmuan yang tinggi.

Dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar, seorang tenaga pengajar di nizhamiyah selalu dibantu oleh dua orang mahasiswa (asistensi). Kedua orang mahasiswa inilah yang bertugas membaca dan menerangkan kembali kuliah yang telah diberikan kepada mahasiswa yang ketinggalan.

Status tenaga pengajar (dosen) di madrasah tersebut berdasarkan pengangkatan dari khalifah dan bertugas dengan masa tertentu. Di antara nama-nama besar yang mengabdikan dirinya sebagai tenaga pengajar di madrasah nizhamiyah adalah Syekh Abu Ishaq asy-Syirazi (seorang fakih Baghdad), Syekh Abu Nasr as-Sabbagh, Abu Abdullah at-Tabari, Abu Muhammad asy-Syirazi, Abu Qasim al-Alawi, at-Tibrizi, al-Qazwini, al-Fairuz Abadi, Imam al-Haramain Abdul Ma’ali al-Juwaini, dan Imam al-Ghazali.

Nizam al-Mulk terus berusaha mengembangkan lembaga pendidikan ini sesuai dengan tuntutan zaman. Ia mendirikan banyak madrasah nizhamiyah di berbagai tempat. Agar pengajar bisa berkonsentrasi secara penuh mengajar para siswa, Nizam al-Mulk menetapkan untuk memberi gaji setiap bulan bagi semua pengajar. Namun, kebijakan mengenai gaji ini belum bisa diterima oleh para pengajar di madrasah nizhamiyah.

Para pengajar ini lebih suka mengajar tanpa digaji, tetapi kesejahteraan hidup mereka terjamin. Bagi para dosen, gagasan untuk menggaji guru pada masa itu dipandang sebagai suatu gagasan yang terlalu maju.

Bahkan, menurut Charles Michael Stanton, madrasah nizhamiyah merupakan perguruan Islam modern yang pertama di dunia. Hal ini juga diakui oleh Nakosteen yang menyatakan, madrasah nizhamiyah sebagai Universitas Ilmu Pengetahuan Teologi Islam. Sebab, madrasah nizhamiyah mengajarkan pendidikan yang lebih khusus dengan spesifikasi bidang teologi dan hukum Islam.
Meski demikian, kurikulum yang digunakan di madrasah nizhamiyah ini terdapat pula perimbangan yang proporsional antara disiplin ilmu keagamaan (tafsir, hadis, fikih, kalam, dan lainnya) dan disiplin ilmu aqliyah (filsafat, logika, matematika, kedokteran, dan lainnya). Bahkan, saat itu, kurikulum nizhamiyah menjadi kurikulum rujukan bagi institusi pendidikan lainnya.

Kemudian, lembaga pendidikan Islam ini makin berkembang pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun. Pada 815 M, al-Ma’mun mendirikan Baitul Hikmah yang berfungsi sebagai perpustakaan, ruang kajian, dan observatorium (laboratorium).

Menurut M Khoirul Anam, seorang pengamat pendidikan dalam artikelnya yang berjudul Melacak Paradigma Pendidikan Islam (Sebuah Upaya Menuju Pendidikan yang Memberdayakan) menyebutkan, Baitul Hikmah belum dapat dikatakan sebagai sebuah institusi pendidikan yang sempurna. Sebab, sistem pendidikan masih sekadarnya dalam majelis-majelis kajian dan belum terdapat ‘kurikulum pendidikan’ yang diberlakukan di dalamnya. Institusi pendidikan Islam yang mulai menggunakan sistem pendidikan ‘modern’ baru muncul pada akhir abad X M dengan didirikannya Perguruan (Universitas) al-Azhar di Kairo oleh Jendral Jauhar as-Sigli–seorang panglima perang dari Daulat Bani Fatimiyyah–pada tahun 972 M.[14]

Secara umum bentuk kurikulum madrasah pada masa pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam klasik menggunakan tiga bentuk kurikulum yaitu Subject Curriculum, Correlated Curriculum dan Integrated Curriculum. Ketiganya disesuaikan dengan perkembangan madrasah pada periode-periode tertentu.

Subject Curriculum difokuskan pada materi pelajaran yang diberikan berdiri sendiri, tidak berhubungan dengan pelajaran yang lain. Dalam subject curriculum, mata pelajaran diajarkan secara mandiri, dikembangkan berdasarkan keluasan pelajaran tersebut terhadap ilmu pengetahuannya. Bentuk kurikulum ini biasanya terdapat pada pelajaran utama, seperti al-Qur'an,Tafsir, Fiqh dan lain-alin. Kemudian pelajaran non-agama seperti fisika, biologi, ilmu berhitung, kedokteran dsb. Subject Curriculum dikembangkan pada masa awal berdirinya madrasah dan pertumbuhan pendidikan Islam klasik.

Correlated Curricullum difokuskan pada satu materi pelajaran yang dihubungkan dengan materi pelajaran yang lain. Contohnya, materi tafsir dihubungkan dengan hadits, pelajaran fiqih dihubungkan dengan hadits dsb. Bentuk kurikulum seperti ini mendominasi pada masa akhir pendidikan Islam klasik, yaitu ketika ilmu pengetahuan sudah berkembang dan mengalami renaissance.

Integrated Curriculum yaitu perpaduan antara materi satu dengan yang lain dan saling berkaitan, sehingga penyajian bahan pelajaran itu dalam bentuk unit. Kurikulum ini dilaksanakan dalam pengajaran unit, yaitu satu unit mempunyai tujuan yang bermakna bagi mahasiswa madrasah. Kurikulum ini diberikan di dalam pelajaran retorika (dakwah) pada masa Madrasah Nizhamiyah sampai pada perkembangan madrasah selanjutnya.[15]
  • 2. Metode Pengajaran
Jenis metode pengajaran yang diberikan antara lain: hafalan, keteladanan, latihan dan praktek. Ini merupakan kelanjutan dari masa Rasulullah terutama ketika beliau memberikan pelajaran al-Qur'an. Pada perkembangan berikutnya, pendidikan Islam yang dilakukan di madrasah menggunakan metode talqin, di mana guru mendikte dan murid mencatat lalu menghafal. Setelah hafal, guru lalu menjelaskan maksudnya. Metode ini oleh Makdisi disebut sebagai metode tradisional; murid mencatat, menuliskan materi pelajaran, membaca, menghafal dan setelah itu berusaha memahami arti dan maksud pelajaran yang diberikan itu.

Hasan Langgulung, menyebut metode pengajaran di madrasah pada masa pendidikan Islam klasik rnasih belum runtut. Tetapi setidaknya, metode induktif, deduktif, analogi, bercerita dan metode kunjungan sudah dilakukan. Yang tidak dapat terlupakan dalam pengembangan metode pengajaran adalah diperkenalkannya metode tanya-jawab yang biasanya dilakukan dalam sebuah ta 'liqah (perdebatan). Metode ini dilakukan pada pelajaran yang menuntut penjabaran rinci seperti pada tingkat atas dalam berbagai pelajaran, sebagaimana dilakukan dalam pembaharuan pendidikan Islam di Mesir dan Syria (1220 H/1805 M).

Metode pengajaran yang diterapkan di madrasah-madrasah pada masa klasik Islam tidak bisa dilepaskan, bahkan sangat boleh jadi dipengaruhi langsung oleh tujuan pendidikan di madrasah itu sendiri.

D. Hubungan dengan Pemerintahan
Kehadiran Madrasah Nizhamiyah telah memberi pengaruh yang besar pada masyarakat baik bidang politik, ekonomi, maupun sosial keagamaan[16] Dalam bidang ekomomi, madrasah ini telah menghasilkan lulusan yang siap menjadi pegawai pemerintah dibidang hukum dan administrasi. Pada sosial keagamaan, madrasah yang memfokuskan pada ajaran fiqih, dianggap sesuai dengan kebutuhan masyarakat umumnya.


Madrasah pada zaman abasiyah tampak ditangani langsung dan serius oleh pemerintah. Melalui lembaga madrasah muncullah kecintaan dan gairah pada intelektual islam terhadap ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dibuktikan dari berbagai ilmu agama dan sains yang mereka hasilkan. Namun meski demikian, urusan internal pendidikan madrasah Nizhamiyah diserahkan sepenuhnya kepada pengurus madrasah, tanpa campur tangan pemerintah.

Madrasah Nizhamiyah, seperti dalam pandangan Maksum, tidak hanya didirikan untuk kepentingan pendidikan Islam, namun juga untuk kepentingan politik pemerintah dalam mempertahankan kekuasan san simpati masyarakat.[17] Lulusan madrasah Nizhamiyah dalam pemerintahan berperan sebagai hakim dan petugas administrasi, di sinilah terjadi hubungan antara madrasah dan pemerintahan.


=============
Endnote
[1] Pendidikan Gratis Ala Islam, artikel internet pada http://punyaferly.multiply.com/journal/item/22/PENDIDIKAN_GRATIS_ALA_ISLAM. ditampilkan pada tanggal 15 Mar 2009 08:40:53 GMT.
[2] Abdurrahman Muhammad Khalid, Soal Jawab Seputar Gerakan Islam (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah,1994), h. 27.
[3] Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam (Bandung: Mizan, 1994), h. 49.
[4] Ahmad Syalabi, History of Muslim Education (Beirut: Dar Kassyaf, 1954), h. 257.
[5] Pendirian Madrasah Nizhamiyah bertujuan untuk melawan gerakan Syi’ah, Maksum Mukhtar, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos, 1999), h. 53.
[6] Faujan Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam (Jakarta: Putra Grafik, 2005), h. 218.
[7] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 2002), h. viii.
[8] Ibnu Khallikan, Wafayat al-‘A’yan wa al-Anba’ al-Zaman (Beirut: Dar Shadir, t.t.), h. 341.
[9] Pramujaya, Kurikulum dan Pola Pengembangan Ilmu Pengetahuan Pada Masa Klasik Zaman Keemasan. (2007). h. 131.
[10] Dalam untuk http://www.republika.co.id/koran/153/31656. didownload pada 13 Maret 2009.
[11] Ibnu Khallikan, Wafayat, h. 341.
[12] Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan, h. 57.
[13] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persfuktif Islam (Bandung: Rosdakarya, 1992), h. 53.
[14] Suyadi Yusuf, Cikal Bakal Pendidikan Modern, artikel internet dalam untuk http://lasemnian.wordpress.com/2009/02/22/cikal-bakal-pendidikan-modern/. pada tanggal 14 Mar 2009 18:34:14 GMT
[15] Ibid.
[16] Ediwarman, Madrasah Nizhamiyah: Pengaruhnya terhadap Perkembangan Pendidikan Islam dan Aktivits Ortodoksi Sunni (Jakarta: Cita Pustaka, 2007), h. 167-168.
[17] Maksum Mukhtar, Madrasah, h. 61.


=============
Daftar Pustaka
Asari, Hasan, Menyingkap Zaman Keemasan Islam. Bandung: Mizan, 1994.

Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos, 2002.

Ediwarman, Madrasah Nizhamiyah: Pengaruhnya terhadap Perkembangan Pendidikan Islam dan Aktivits Ortodoksi Sunni. Jakarta: Cita Pustaka, 2007.

http://www.republika.co.id/koran/153/31656. didownload pada 13 Maret 2009.

Khalid, Abdurrahman Muhammad, Soal Jawab Seputar Gerakan Islam. Bogor : Pustaka Thariqul Izzah,1994.

Khallikan, Ibnu, Wafayat al-‘A’yan wa al-Anba’ al-Zaman. Beirut: Dar Shadir, t.t.

Mukhtar, Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Logos, 1999.

Pendidikan Gratis Ala Islam, artikel internet pada http://punyaferly.multiply.com/journal/item/22/PENDIDIKAN_GRATIS_ALA_ISLAM. ditampilkan pada tanggal 15 Mar 2009 08:40:53 GMT.

Pramujaya, Kurikulum dan Pola Pengembangan Ilmu Pengetahuan Pada Masa Klasik Zaman Keemasan. 2007.

Syalabi, Ahmad, History of Muslim Education. Beirut: Dar Kassyaf, 1954.

Suwito, Faujan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Putra Grafik, 2005.

Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Persfuktif Islam. Bandung: Rosdakarya, 1992.

Yusuf, Suyadi, Cikal Bakal Pendidikan Modern, artikel internet dalam untuk http://lasemnian.wordpress.com/2009/02/22/cikal-bakal-pendidikan-modern/. pada tanggal 14 Mar 2009 18:34:14 GMT

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger