Dalam pembahasan mengenai seputar hukum Islam, ada beberapa disiplin pengetahuan yang menyokong kita untuk memahami genealogi dan latar belakang kemunculan sebuah ketentuan hukum dalam Islam sehingga kita mampu mengaplikasikannya secara langsung di keseharian.
Salah satu disiplin pengetahuan yang kami anggap begitu signifikan dan memiliki peranan dalam kerangka metodologi hukum adalah ‘urf/adat dalam Ushul Fiqh (Ushûl al-Fiqh) sebagai acuan hukum yang diambil dari tradisi-tradisi sebuah masyarakat tertentu. Maka dalam makalah ini akan dibahas pengertian adat dan ‘urf, macam-macam adat, penyerapan ‘urf dalam hukum, dan kedudukan ‘urf dalam menetapkan hukum.
Pengertian adat dan ‘urf
Dalam disiplin/literatur ilmu Ushul Fiqh, pengertian adat (al-‘âdah) dan ‘urf mempunyai peranan yang cukup signifikan. Kedua kata tersebut berasal dari bahasa Arab yang diadopsi ke dalam bahasa Indonesia yang baku. Kata ‘urf berasal dari kata ‘araf yang mempunyai derivasi kata al-ma‘rûf yang berarti sesuatu yang dikenal/diketahui.(1) Sedangkan kata adat berasal dari kata ‘âd yang mempunyai derivasi kata al-‘âdah yang berarti sesuatu yang diulang-ulang (kebiasaan). Dalam pengertian lain ‘urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan atau kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu, sekaligus disebut adat. Sedangkan menurut ahli Syara` ‘urf itu sendiri bermakna adat dengan kata lain ‘urf dan adat itu tidak ada perbedaan.
‘Urf tentang perbuatan manusia misalnya, seperti jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dengan tidak mengucapkan sighat. Untuk ‘urf yang bersifat ucapan atau perkataan, misalnya saling pengertian terhadap pengertian al-walad, yang lafaz tersebut mutlak berarti anak laki-laki dan bukan anak wanita.(2)
Macam-macam adat
Secara garis besar ‘urf terbagi ke dalam dua bagian. Pertama, ‘urf shahîh yaitu sebuah kebiasaan yang dikenal oleh semua umat manusia dan tidak berlawanan dengan hukum syara‘ dan tidak menghalalkan sesuatu yang haram serta tidak menegasikan kewajiban. Contoh, saling mengerti manusia terhadap kontrak pemborongan atau saling mengerti tentang pembagian mas kawin (al-mahar) kepada mas kawin yang didahulukan dan diakhirkan.(3)
Kedua, ‘urf fâsid yaitu sebuah kebiasaan yang dikenal oleh manusia dan berlawanan dengan hukum syara‘ serta menghalalkan sesuatu yang haram dan menegasikan kewajiban. Contoh, saling mengerti manusia terhadap sesuatu yang bertentangan dengan hukum syara’ seperti kontrak manusia dalam perjudian dan lain-lain.(4)
Penyerapan ‘urf dalam hukum
Adapun mengenai kedudukan hukum ‘urf dalam Islam tergantung kepada jenisnya. Untuk ‘urf shahîh dia mempunyai kedudukan hukum yang patut dilestarikan karena itu merupakan sebuah kebiasaan yang bersifat positif dan tidak bertentangan dengan hukum syara’ untuk dilakukan dan dipertahankan. Maka para ulama berpandangan bahwa hukum adat bersifat tetap (al-’âdat muhakkamah).
Mengenai ‘urf fâsid, dia mempunyai kedudukan hukum yang tidak patut dilestarikan karena itu merupakan sebuah kebiasaan yang bersifat negatif dan dan bertentangan dengan hukum syara’ untuk dilakukan dan dipertahankan. Pada dasarnya, hukum adat/’urf adalah hukum yang tidak tertulis. Ia tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan suatu masyarakat.(5)
Kedudukan ‘urf dalam menetapkan hukum
Dalam proses pengambilan hukum ‘urf/adat hampir selalu dibicarakan secara umum. Namun telah dijelaskan di atas bahwa ‘urf dan adat yang sudah diterima dan diambil oleh syara` atau yang secara tegas telah ditolak oleh syara` tidak perlu diperbincangkan lagi tentang alasannya.(6)
Secara umum ‘urf/adat diamalkan oleh semua ulama fiqh terutama di kalangan madzhab Hanafiyyah dan Malikiyyah. Ulama Hanafiyyah menggunakan istihsân (salah satu metode ijtihad yang mengambil sesuatu yang lebih baik yang tidak diatur dalam syara`) dalam berijtihad, dan salah satu bentuk istihsân itu adalah istihsân al-‘urf (istihsân yang menyandarkan pada ‘urf). Oleh ulama Hanafiyyah, ‘urf itu didahulukan atas qiyâs khafî (qiyâs yang ringan) dan juga didahulukan atas nash yang umum, dalam arti ‘urf itu men-takhshîs nash yang umum. Ulama Malikiyyah menjadikan ‘urf yang hidup di kalangan penduduk Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum.
Ulama Syâfi`iyyah banyak menggunakan ‘urf dalam hal-hal yang tidak menemukan ketentuan batasan dalam syara` maupun dalam penggunaan bahasa.(7) Dalam menanggapi adanya penggunaan ‘urf dalam fiqh, al-Suyûthî mengulasnya dengan mengembalikannya kepada kaidah al-‘âdat muhakkamah (adat itu menjadi pertimbangan hukum).(8)
============
1. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu 2001), hlm. 363.
2. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, ter. Masdar Helmy (Bandung: Gema Risalah Press 1997), hlm.149.
3. Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh, terj. Noer Iskandar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada), hlm.131.
4. Ibid.
5. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Edisi Keenam (Jakarta: RajaGrafindo Persada 2002), hlm. 190.
6. Amir Syarifuddin, Op. Cit., hlm. 374.
7. Ibid., hlm. 375.
8. Ibid.
=============
Daftar pustaka:
1. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, ter. Masdar Helmy, Bandung: Gema Risalah Press 1997.
2. -----------------------------, Kaidah-kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh, terj. Noer Iskandar, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
3. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, Jakarta: Logos Wacana Ilmu 2001.
4. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Edisi Keenam, Jakarta: RajaGrafindo Persada 2002.
Makalah ini ditulis oleh Dida Darul Ulum (205000239) & Morhani (205000148)
Salah satu disiplin pengetahuan yang kami anggap begitu signifikan dan memiliki peranan dalam kerangka metodologi hukum adalah ‘urf/adat dalam Ushul Fiqh (Ushûl al-Fiqh) sebagai acuan hukum yang diambil dari tradisi-tradisi sebuah masyarakat tertentu. Maka dalam makalah ini akan dibahas pengertian adat dan ‘urf, macam-macam adat, penyerapan ‘urf dalam hukum, dan kedudukan ‘urf dalam menetapkan hukum.
Pengertian adat dan ‘urf
Dalam disiplin/literatur ilmu Ushul Fiqh, pengertian adat (al-‘âdah) dan ‘urf mempunyai peranan yang cukup signifikan. Kedua kata tersebut berasal dari bahasa Arab yang diadopsi ke dalam bahasa Indonesia yang baku. Kata ‘urf berasal dari kata ‘araf yang mempunyai derivasi kata al-ma‘rûf yang berarti sesuatu yang dikenal/diketahui.(1) Sedangkan kata adat berasal dari kata ‘âd yang mempunyai derivasi kata al-‘âdah yang berarti sesuatu yang diulang-ulang (kebiasaan). Dalam pengertian lain ‘urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan atau kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu, sekaligus disebut adat. Sedangkan menurut ahli Syara` ‘urf itu sendiri bermakna adat dengan kata lain ‘urf dan adat itu tidak ada perbedaan.
‘Urf tentang perbuatan manusia misalnya, seperti jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dengan tidak mengucapkan sighat. Untuk ‘urf yang bersifat ucapan atau perkataan, misalnya saling pengertian terhadap pengertian al-walad, yang lafaz tersebut mutlak berarti anak laki-laki dan bukan anak wanita.(2)
Macam-macam adat
Secara garis besar ‘urf terbagi ke dalam dua bagian. Pertama, ‘urf shahîh yaitu sebuah kebiasaan yang dikenal oleh semua umat manusia dan tidak berlawanan dengan hukum syara‘ dan tidak menghalalkan sesuatu yang haram serta tidak menegasikan kewajiban. Contoh, saling mengerti manusia terhadap kontrak pemborongan atau saling mengerti tentang pembagian mas kawin (al-mahar) kepada mas kawin yang didahulukan dan diakhirkan.(3)
Kedua, ‘urf fâsid yaitu sebuah kebiasaan yang dikenal oleh manusia dan berlawanan dengan hukum syara‘ serta menghalalkan sesuatu yang haram dan menegasikan kewajiban. Contoh, saling mengerti manusia terhadap sesuatu yang bertentangan dengan hukum syara’ seperti kontrak manusia dalam perjudian dan lain-lain.(4)
Penyerapan ‘urf dalam hukum
Adapun mengenai kedudukan hukum ‘urf dalam Islam tergantung kepada jenisnya. Untuk ‘urf shahîh dia mempunyai kedudukan hukum yang patut dilestarikan karena itu merupakan sebuah kebiasaan yang bersifat positif dan tidak bertentangan dengan hukum syara’ untuk dilakukan dan dipertahankan. Maka para ulama berpandangan bahwa hukum adat bersifat tetap (al-’âdat muhakkamah).
Mengenai ‘urf fâsid, dia mempunyai kedudukan hukum yang tidak patut dilestarikan karena itu merupakan sebuah kebiasaan yang bersifat negatif dan dan bertentangan dengan hukum syara’ untuk dilakukan dan dipertahankan. Pada dasarnya, hukum adat/’urf adalah hukum yang tidak tertulis. Ia tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan suatu masyarakat.(5)
Kedudukan ‘urf dalam menetapkan hukum
Dalam proses pengambilan hukum ‘urf/adat hampir selalu dibicarakan secara umum. Namun telah dijelaskan di atas bahwa ‘urf dan adat yang sudah diterima dan diambil oleh syara` atau yang secara tegas telah ditolak oleh syara` tidak perlu diperbincangkan lagi tentang alasannya.(6)
Secara umum ‘urf/adat diamalkan oleh semua ulama fiqh terutama di kalangan madzhab Hanafiyyah dan Malikiyyah. Ulama Hanafiyyah menggunakan istihsân (salah satu metode ijtihad yang mengambil sesuatu yang lebih baik yang tidak diatur dalam syara`) dalam berijtihad, dan salah satu bentuk istihsân itu adalah istihsân al-‘urf (istihsân yang menyandarkan pada ‘urf). Oleh ulama Hanafiyyah, ‘urf itu didahulukan atas qiyâs khafî (qiyâs yang ringan) dan juga didahulukan atas nash yang umum, dalam arti ‘urf itu men-takhshîs nash yang umum. Ulama Malikiyyah menjadikan ‘urf yang hidup di kalangan penduduk Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum.
Ulama Syâfi`iyyah banyak menggunakan ‘urf dalam hal-hal yang tidak menemukan ketentuan batasan dalam syara` maupun dalam penggunaan bahasa.(7) Dalam menanggapi adanya penggunaan ‘urf dalam fiqh, al-Suyûthî mengulasnya dengan mengembalikannya kepada kaidah al-‘âdat muhakkamah (adat itu menjadi pertimbangan hukum).(8)
============
1. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu 2001), hlm. 363.
2. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, ter. Masdar Helmy (Bandung: Gema Risalah Press 1997), hlm.149.
3. Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh, terj. Noer Iskandar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada), hlm.131.
4. Ibid.
5. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Edisi Keenam (Jakarta: RajaGrafindo Persada 2002), hlm. 190.
6. Amir Syarifuddin, Op. Cit., hlm. 374.
7. Ibid., hlm. 375.
8. Ibid.
=============
Daftar pustaka:
1. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, ter. Masdar Helmy, Bandung: Gema Risalah Press 1997.
2. -----------------------------, Kaidah-kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh, terj. Noer Iskandar, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
3. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, Jakarta: Logos Wacana Ilmu 2001.
4. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Edisi Keenam, Jakarta: RajaGrafindo Persada 2002.
Makalah ini ditulis oleh Dida Darul Ulum (205000239) & Morhani (205000148)
0 comments:
Post a Comment