Al-Quran merupakan Mukjizat terbesar dalam Islam yang diberikan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw. Al-Quran adalah Kitab Allah Swt yang berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia di muka bumi. Dalam menjalankan fungsinya sebagai makhluk di muka bumi ini, maka al-Quran menjadi way of live dalam proses interaksi manusia baik dengan Allah Swt (hablum minallah), dengan manusia (hablum minannas), maupun dengan alam sekitarnya (hablum minal alam). Al-Quran adalah kalam Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dari awal surah al-Fatihah sampai akhir surah an-Nas.
Al-Quran merupakan sumber hukum yang menduduki puncak teratas yang seluruh ayatnya diyakini berstatus qath’iy al-wurud, yang diyakini eksistensinya sebagai wahyu Allah Swt. Dengan petunjuknya manusia dapat berjalan pada haluan yang benar dalam rangka menegakkan asas kehidupan yang didasarkan pada keimanan kepada Allah Swt dan kebenaran risalahnya.
Sebagai petunjuk, al-Quran berisi berbagai hukum Allah Swt yang harus dipatuhi oleh umat manusia tanpa adanya keraguan di dalamnya. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surah al-Baqarah ayat 2 :
Selain itu al-Quran juga memberitakan berbagai hal yang terjadi di masa lalu, kejadian-kejadian yang sekarang serta berita-berita tentang kejadian-kejadian pada masa yang akan datang. Dengan demikian al-Quran tidak terlepas dari sentuhan aspek socio-historic kehidupan manusia pada saat itu. Hal ini dapat kita lihat dari kehidupan para sahabat bersama Rasulullah Saw, dimana mereka telah menyaksikan berbagai macam peristiwa sejarah, kadang masih terjadi peristiwa yang masih kabur hukumnya. Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah Saw untuk mengetahui kepastian hukum mengenai hal tersebut. Ketika ayat al-Quran turun untuk menjawab berbagai peristiwa sejarah tersebut atau untuk menjawab pertanyaan yang akan datang kepada Nabi Muhammad Saw, maka hal itu dinamakan Asbab al-Nuzul.
A. Pengertian Asbab al-Nuzul
Secara etimologi Asbab al-Nuzul berarti: Sebab-sebab turunnya al-Quran. Al-Quran diturunkan oleh Allah Swt diantaranya untuk memperbaiki akidah, akhlak dan ibadah umat manusia yang telah menyimpang dari hukum Allah Swt. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa terjadinya penyimpangan dan kerusakan dalam tata susila kehidupan manusia merupakan sebab umum bagi turunnya ayat-ayat suci al-Quran al-Karim.
Sedangkan secara terminologi, Shubhi al-Shalih memberikan definisi Asbab al-Nuzul sebagai berikut :
“ Sesuatu hal yang menyebabkan turunnya ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebabnya, memberi jawaban terhadap sebabnya, dan menerangkan hukumnya pada saat terjadi peristiwa itu “.
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat kita ketahui bahwa turunnya ayat atau beberapa ayat yang disebabkan adanya suatu peristiwa atau adanya pertanyaan, disebut sebagai Asbab al-Nuzul. Dalam artian suatu ayat atau beberapa ayat turun dalam rangka menerangkan hal yang berhubungan dengan peristiwa atau memberikan jawaban atas pertanyaan tertentu.
Kondisi dimana al-Quran diturunkan untuk menceritakan sebab tersebut, baik ayat tersebut turun secara langsung mengiringi terjadinya sebab tersebut atau beberapa waktu kemudian karena ada hikmah tertentu. Kata tersebut juga merupakan “ bentuk pembatasan “ yang harus ada untuk membedakan antara ayat-ayat yang turun melalui sebab dengan ayat-ayat yang turun tanpa sebab.
Jika kemudian beberapa ayat berbicara tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu atau akan terjadi di masa yang akan datang, seperti kisah-kisah para Nabi dan bangsa-bangsa terdahulu serta kisah-kisah tentang hari Kiamat, maka hal tersebut bukan termasuk sebab turunnya ayat atau beberapa ayat. Karena ayat tersebut diturunkan untuk menjadi bahan pelajaran dan bukan menerangkan tentang suatu peristiwa yang sedang berlangsung atau menjawab pertanyaan yang dihadapi Nabi, ayat-ayat seperti ini banyak disebutkan di dalam al-Quran.
Dengan demikian, al-Quran yang diturunkan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw, secara berangsur-angsur dalam kurun waktu kurang lebih 23 tahun. Ayat-ayatnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu : pertama, ayat yang turun dengan sebab-sebab tertentu dan kedua, ayat yang turun tanpa sebab.
B. Klasifikasi Asbab al-Nuzul
Asbab al-Nuzul dalam pembagiannya dapat ditinjau dari berbagai aspek. Dalam pembahasan kali ini akan dikemukakan klasifikasi Asbab al-Nuzul dari segi bentuk dan jumlah sebabnya.
Dalam bentuk peristiwa, terdapat tiga macam bantuk Asbab al-Nuzul: Pertama, peristiwa yang berupa pertengkaran, seperti pertengkaran antara suku Aus dan Khazraj, karena adanya fitnah dan intrik-intrik yang dihembuskan oleh orang Yahudi. Peristiwa tersebut menyebabkan turunnya ayat :
Artinya : “ Bagaimana kamu kafir, padahal dibacakan kepadamu ayat-ayat Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya pun berada ditengah-tengah kamu. Barang siapa yang berpegang teguh kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang benar “. (QS. Ali Imran: 101).
Kedua, peristiwa yang berupa kesalahan yang serius, seperti kesalahan seorang imam yang membaca surah al-Kafirun, sedang ia dalam keadaan mabuk. Maka turunlah ayat seperti di bawah ini :
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jangan kamu menghampiri shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga mengerti apa yang kamu ucapkan”. (QS. an-Nisa’: 43).
Ketiga, peristiwa yang berupa cita-cita atau keinginan, seperti keinginan Umar untuk menjadikan makam Ibrahim sebagai tempat shalat. Maka turunlah ayat :
Artinya: “ Dan jadikanlah sebagai makam Ibrahim sebagai tempat shalat “. (QS. al-Ahzab: 53).
Adapun Asbab al-Nuzul yang berbentuk pertanyaan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam.
Pertama, pertanyaan yang berhubungan dengan peristiwa yang sudah terjadi, misalnya tentang kisah Dzul Qarnain.
Kedua, pertanyaan yang berhubungan dengan peristiwa yang sedang terjadi, misalnya tentang masalah ruh yang ditanyakan oleh orang-orang Yahudi kepada Nabi Muhammad Saw pada saat itu.
Ketiga, pertanyaan tentang kejadian yang akan terjadi pada masa yang akan datang, seperti pertanyaan tentang hari Kiamat.
Contoh Asbab al-Nuzul yang berupa pertanyaan adalah Hadis yang diriwayatkan oleh Mu’adz ibnu Jabal, bahwasanya ia berkata: “ Wahai Rasulullah, orang-orang Yahudi telah menggerumuni kami dan mereka mengajukan pertanyaan kepada kami tentang bulan , kenapa bulan permulaannya tampak kecil, lalu bertambah besar sehingga bentuknya menjadi rata dan bulat lalu berkurang lagi sehingga bentuknya kembali seperti semula “. Setelah adanya pertanyaan seperti itu kepada Nabi turunlah ayat :
Artinya:“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit, katakanlah bulan sabit itu tanda-tanda waktu bagi manusia dan bagi ibadah haji”. (QS.al-Baqarah: 189).
Tidak termasuk dalam pengertian Asbab al-Nuzul, bahwa turunnya surah al-Fiil berkenaan dengan kisah datangnya orang-orang Habsyah, Sebab Asbab al-Nuzul adalah peristiwa pada masa Nabi atau pertanyaan yang diajukan kepada Nabi. Peristiwa atau turunnya surah al-Fiil ataupun an-Nisa’ 125 tersebut lebih dapat digolongkan berita pada masa lalu atau konteks tertentu dari suatu ayat.
Pertama, ta’addud al-asbab wa al-nazil wahid ( sebab-sebab turunnya ayat lebih dari satu sedangkan ayat yang turun tentang isi persoalan hanya satu ).
Kedua, ta’addud al-nazil wa al-asbab wahid ( ayat/beberapa ayat turun lebih dari satu sedangkan sebabnya hanya satu ).
a. Ta’addud al-Asbab wa al-Nazil Wahid
Kategori pertama, jika ada dua atau lebih tentang sebab-sebab turunnya ayat dan masing-masing menyebutkan satu sebab yang jelas dan berbeda, kedua riwayat ini harus diteliti dan dianalisis. Dalam hal ini ada empat macam permasalahan.
1. Salah satu dari keduanya shahih sedangkan lain tidak. Bentuk ini diselesaikan dengan jalan manggunakan riwayat yang shahih dan menolak yang tidak. Misalnya, perbedaan antara riwayat Bukhari-Muslim dan di lain pihak riwayat al-Thabrani dan Ibnu Syaibah di pihak lain. Ayat yang dibahas adalah surah al-Dukhan ayat 1-5. Menurut riwayat Bukhari, Muslim dan lainnya dari Jundab, katanya : “ Nabi Saw kesakitan sehingga beliau tidak shalat malam semalam atau dua malam “. Maka seorang wanita datang kepadanya, lalu barkata: “ Hai Muhammad, aku tidak melihat setan engkau, kecuali telah meninggalkan engkau “. Maka turunlah ayat tersebut.
Sedangkan menurut riwayat al-Thabrani dan Ibnu Abi Syaibah, dari Hafsah bin Maisarah, dari ibunya, dari neneknya dan dia adalah pelayan Nabi Saw, dia berkata : Bahwasanya seekor anak anjing masuk ke rumah Nabi dan masuk ke tempat tidur, lalu ia mati. Maka selama 40 hari Nabi tidak menerima wahyu, Maka Nabi Saw berkata : Hai Khaulah, apakah yang terjadi di rumah Rasulullah? Jibril tidak datng kepadaku. Dalam persoalan ini menurut al-Zarqani kita harus mendahulukan riwayat yang pertama dan memeganginya sebagai pedoman karena riwayatnya.
2. Kedua riwayat Shahih sedangkan salah satunya memiliki penguat (Murajjih). Misalnya, Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Ibnu Mas’ud. Ia (Ibnu Mas’ud) berkata: Saya berjalan bersama Nabi Saw di Madinah sedangkan Nabi Saw bertongkatkan pelepah korma. Mereka berkata kepada yang lain: Coba kamu tanyakan kepada dia. Maka mereka berkata: Ceritakanlah kepada kami tentang ruh. Nabi Saw terhenti sejenak kemudian mengangkatkan kepalanya. Saya mengerti bahwa ia sedang menerima wahyu tentang ruh dari Allah Swt.
Dalam riwayat yang lain, al-Tirmidzi meriwayatkan Hadis dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata: Orang-orang Quraisy berkata kepada orang-orang Yahudi, berikan kami pertanyaan untuk kami tanyakan kepada orang ini (Nabi). Mereka berkata: Kamu tanyakan kepadanya tentang ruh. Dalam hal ini al-Suyuthi dan al-Zarqani mengatakan bahwa riwayat yang pertama lebih kuat dari yang kedua, sebab diriwayatkan oleh Bukhari, kemudian dikuatkan oleh Ibnu Mas’ud yang menyaksikan turunnya kisah tersebut sebagaimana yang diriwayatkan periwayat pertama. Oleh karena itu yang dipegangi adalah yang pertama sedangkan yang kedua ditinggalkan.
3. Jika keduanya sama-sama shahih, tetapi tidak memiliki penguat (murajjih), sedang keduanya dapat dikompromikan karena peristiwanya terjadi berdekatan. Jika keduanya shahih sedang kita tidak bisa mentarjihkan salah satu dari padanya, maka harus kita kompromikan dengan cara menganggap bahwa ayat itu turun setelah terjadi dua sebab itu. Misalnya, ayat tentang li’an. Riwayat pertama oleh Bukhari dari jalan Ikrimah dari Ibnu Abbas yaitu surah an-Nur ayat 6, yang berkaitan dengan peristiwa Hilal ibnu Umaiyah yang menuduh istrinya berbuat mesum dengan Syarik ibnu Samha. Sedangkan riwayat kedua, oleh Bukhari dan Muslim menyebutkan bahwa ayat tersebut turun berkaitan dengan Uwamir yang datang kepada Rasulullah Saw menanyakan tentang bagaimana sikap seseorang yang melihat istrinya bersama dengan laki-laki lain. Dalam hal ini turunnya ayat itu dipandang sebagai jawaban atas dua pertanyaan yang datang dalam waktu yang berdekatan.
4. Kedua riwayat shahih dan tidak ada memiliki penguat (murajjih) dan tidak pula dapat dikompromikan, karena peristiwanya terjadi dalam waktu yang berjauhan. Maka penyelesaian masalah ini adalah dengan menganggap berulang-ulang ayat itu turun sebanyak Asbab Nuzulnya. Misalnya Hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan al-Bazzar dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad Saw dekat dengan Hamzah ketika gugur di medan perang Uhud seraya berkata: “Sungguh saya akan cincang 70 orang dari mereka sebagai penggantimu”. Maka turunlah surah an-Nahl ayat 126:
Sementara menurut at-Tirmidzi dan al-Hakim dari Ubay bin Ka’ab bahwa menurut ia pada perang Uhud terjadi korban 64 dari kaum Anshar dan 6 orang dari kaum Muhajirin termasuk Hamzah, kemudian kaum Anshar berkata: Jika kita dapat mengalahkan mereka suatu hari seperti ini, kita akan melebihkan (jumlah korban) mereka nanti. Dalam hal ini, dianggap dua kali yaitu perang Uhud (riwayat pertama) dan pada penaklukan kota Mekah (riwayat kedua).
Secara lebih ringkas dalam masalah ini, Manna Khalil al-Qatthani menjelaskan sebagai berikut:
b. Ta’addud al-Nazil wa al-Asbab Wahid
Dalam kategori kedua ini, tidak menjadi persoalan mengingat banyak ayat al-Quran yang turun dengan sebab yang sama. Hal ini tidak bertentangan pula dengan hikmah agar manusia yakin dengan apa yang datang kepada mereka. Misalnya, peristiwa Ummu Salamah yang menanyakan kepada Rasulullah Saw tetang kedudukan seorang wanita dibanding dengan seorang laki-laki. Dalam hal ini terdapat banyak sekali riwayat seperti:
Pertama, riwayat al-Hakim dan al-Tirmidzi dari Ummu Salamah yang meriwayatkan turunnya surah Ali Imran ayat 19.
Kedua, diriwayatkan oleh al-Hakim pula peristiwa yang sama tentang turunnya surah al-Ahzab ayat 35.
Ketiga, masih menurut riwayat al-Hakim mengenai peristiwa yang sama dari Ummu Salamah tentang turunnya surah an-Nisa’ ayat 31.
C. Shighat shighat ( redaksi/lafal ) Asbab al-Nuzul
Ungkapan atau shighat yang diungkapkan para sahabat untuk menunjukkan sebab turunnya al-Quran tidak selamanya sama, sehingga berpengaruh pada status riwayat tersebut. Apakah sebagai Asbab al-Nuzul atau hanya sebagai berita tentang suatu peristiwa masa lalu. Adapun berbagai redaksi sahabat dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Sabab al-Nuzul disebutkan dengan ungkapan yang jelas :
Seperti : ( sebab turunnya ayat ini demikian ).Ungkapan ini secara defintitif menunjukkan sababun nuzul dan tidak mengandung makna lain.
2. Sabab al-Nuzul tidak ditunjukkan dengan lafal sabab, tetapi dengan menambahkan lafal (fa) yang masuk pada ayat dimaksud setelah pemaparan suatu peristiwa. Shighat (ungkapan) semacam ini dipandang sebagai sebab nudzul suatu ayat. Misalnya kasus tentang statemen orang Yahudi bahwa apabila menggauli istrinya dari belakang, maka anaknya akan lahir dalam keadaan buta. Maka Allah Swt menurunkan surah al-Baqarah ayat 233:
3. Sabab al-Nuzul dipahami dari konteksnya. Dalam hal ini Rasulullah Saw ditanya tentang sesuatu, kemudian turun wahyu untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dalam hal ini penafsiran dilihat dari konteks dan jalan ceritanya. Misalnya, pertanyaan tentang hakikat ruh yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud.
4. Sabab al-Nuzul tidak disebutkan dengan ungkapan yang jelas, tidak ditunjukkan dengan (fa’) dan tidak pula berupa jawaban atas pertanyaan, tetepi dengan ungkapan: ( ayat ini turun seperti ini ), ibarat ini mengandung dua kemungkinan, mungkin itu merupakan sebab turunnya ayat tersebut dan mungkin pula mengandung suatu hukum dalam ayat itu.
D. Keumuman Lafal dan Kekhususan Sebab
Apabila terdapat sesuatu antara ayat yang turun dengan sebab turunnya dalam hal keumuman dan kekhususan, maka keduanya diberlakukan sesuai dengan posisinya. Permasalahannya adalah bagaimana jika ayat al-Quran lebih umum dari sebab turunnya atau sebabnya lebih khusus dari ayatnya?
Manakah yang dijadikan pedoman keumuman lafal atau kekhususan sebabnya? Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi persoalan ini. Mayoritas dari mereka berpegang pada kaidah ini :
Sedangkan sebagian yang lain berpegang pada pemahaman sebaliknya, yaitu :
Kaidah pertama, dibangun dengan sebuah pemahaman, bahwa hukum yang dibawa dari lafal yang umum akan mencakup semua persoalan, baik yang ada sebab atau tidak. Artinya siapapun yang melakukan peritiwa seperti yang dsebutkan pada lafal tersebut, maka berlaku padanya hukum atau peristiwa yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut. Oleh karena itu, dalam hal ini hukum diambil langsung dari teks (nash) tesebut.
Kaidah kedua, ada pertanyaan yang mendasar mengenai peran dan posisi setiap individu yang sangat situsional, artinya mereka dibatasi oleh ruang dan waktu, sedangkan peristiwa yang dialaminya sama. Kaum yang menggunakan pendapat ini untuk menyelesaikan persoalan ini bisa menggunakan metode qias. Oleh karena itu hukum tidak dapat diputusi langsung dari teks (nash).
Dalam hal ini, kita harus menganalisis lebih teliti. Karena kedua kaidah di atas tidak bisa digunakan atau digeneralisirkan pada semua ayat-ayat al-Quran. Karena ada ayat-ayat yang perlu penafsiran lebih mendalam melalui penafsiran berdasarkan Asbab al-Nuzul. Demikian juga tidak semua ayat ada Asbab al-Nuzulnya, dengan demikian pemakaian kaidah pertama di atas bisa dilakukan sebagai salah satu cara penafsiran terhadap teks al-Quran.
E. Urgensi Asbab al-Nuzul
Para ulama menekankan pada pentingnya memahami Asbab al-Nuzul agar bisa memahami ayat secara shahih, karena sebagian ayat tidak dapat dipahami maknanya dengan benar kecuali dengan memahami Asbab al-Nuzulnya.
Beberapa ayat yang sulit dipahami maknanya tanpa mengetahui sebab turunnya ayat :
Secara harfiyah ayat tersebut dapat dipahami bahwa seolah-olah kita boleh melakukan shalat menghadap ke arah selain kiblat. Karena kemanapun kita menghadap akan berjumpa dengan wajah Allah. Dengan ilmu Asbab al-Nuzul dapat dipahami dengan jelas bahwa ayat ini turun berkaitan dengan seseorang yang tengah berada dalam perjalanan (safar), sehingga tidak dapat menentukan arah yang jelas. Oleh karena itu, Orang yang dalam perjalanan boleh melakukan “ijtihad” guna menentukan arah kiblat.
Bila seandainya setelah shalat ternyata arah yang dituju salah, berdasarkan ayat di atas maka ia tidak perlu shalat lagi. Ayat di atas hanya khusus bagi orang yang tidak mengetahui arah kiblat. Ia tidak berlaku secara umum.
Karena urgensitas Asbab al-Nuzul, ada beberapa kitab yang secara khusus dan populer membahas ilmu ini dalam kitab :
“ Tidak mungkin mengetahui tafsir suatu ayat, tanpa mengetahui kisah dan penjelasan Asbab al-Nuzulnya “.
Ibnu Taimiyah juga berpendapat :
“Mengetahui sebab turunnya ayat dapat menolong untuk memahami ayat, karena sesungguhnya mengerti sebabnya dapat menghasilkan pengetahuan tentang akibatnya “.
Ibnu Daqiqil menegaskan pula :
“ Mengetahui sebab turunnya ayat adalah jalan kuat dalam memahami maksud-maksud al-Quran “.
Kemudian lebih lanjut al-Shabuni dan al-Hasan, menjelaskan manfaat Asbab al-Nuzul yaitu :
Dalam sejarah dikemukakan bahwa para sahabat pernah mengalami kesulitan dalam menafsirkan beberapa ayat al-Quran. Namun setelah mendapat Asbab al-Nuzul, maka mereka tidak mengalami kesulitan dalam menafsirkannya.
==============
DAFTAR PUSTAKA
Al-Zarqani, Muhammad ‘Abd al-‘Adhim, 1988, Manahil al-‘Irfani fi ‘Ulum al-Quran, Dar al-Fikr, Beirut.
Al-Shalih, Shubhi, 1977, Mabahits fi ‘Ulum al-Quran, Dar al-‘Ilm li al-Malayin, Beirut.
Al-Suyuthi, Jalal al-Din, 1986, Lubanun Naqul fi Asbab al-Nuzul, Dar al-Ihya, Beirut.
Al-Qattan, Manna’ Khalil, 1996, Studi Ilmu-ilmu Quran, Litera Antar Nusantara, Jakarta.
Abdul Wahid, Ramli, 1993, Ulumul Quran, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Ismail, Muhammad, 2002, Prinsip-prinsip Pemahaman Al-Quran dan Hadis, Khairul Bayan, Jakarta.
Khallaf, ‘Abd al-Wahhab, 1972, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, al-Majlis al-A’la al-Indonesiy li al-Da’wah al-Islamiyyah, Jakarta.
Zuhdi, Masjfuk, Cetakan Kelima, 1997, Pengantar Ulumul Quran, Karya Abdi Tama, Surabaya.
Al-Quran merupakan sumber hukum yang menduduki puncak teratas yang seluruh ayatnya diyakini berstatus qath’iy al-wurud, yang diyakini eksistensinya sebagai wahyu Allah Swt. Dengan petunjuknya manusia dapat berjalan pada haluan yang benar dalam rangka menegakkan asas kehidupan yang didasarkan pada keimanan kepada Allah Swt dan kebenaran risalahnya.
Sebagai petunjuk, al-Quran berisi berbagai hukum Allah Swt yang harus dipatuhi oleh umat manusia tanpa adanya keraguan di dalamnya. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surah al-Baqarah ayat 2 :
ذلك الكتب لا ريب فيه هدي للمتقين
Artinya: “ Kitab al-Quran ini tidak ada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa “. (QS. al-Baqarah : 2).Selain itu al-Quran juga memberitakan berbagai hal yang terjadi di masa lalu, kejadian-kejadian yang sekarang serta berita-berita tentang kejadian-kejadian pada masa yang akan datang. Dengan demikian al-Quran tidak terlepas dari sentuhan aspek socio-historic kehidupan manusia pada saat itu. Hal ini dapat kita lihat dari kehidupan para sahabat bersama Rasulullah Saw, dimana mereka telah menyaksikan berbagai macam peristiwa sejarah, kadang masih terjadi peristiwa yang masih kabur hukumnya. Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah Saw untuk mengetahui kepastian hukum mengenai hal tersebut. Ketika ayat al-Quran turun untuk menjawab berbagai peristiwa sejarah tersebut atau untuk menjawab pertanyaan yang akan datang kepada Nabi Muhammad Saw, maka hal itu dinamakan Asbab al-Nuzul.
A. Pengertian Asbab al-Nuzul
Secara etimologi Asbab al-Nuzul berarti: Sebab-sebab turunnya al-Quran. Al-Quran diturunkan oleh Allah Swt diantaranya untuk memperbaiki akidah, akhlak dan ibadah umat manusia yang telah menyimpang dari hukum Allah Swt. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa terjadinya penyimpangan dan kerusakan dalam tata susila kehidupan manusia merupakan sebab umum bagi turunnya ayat-ayat suci al-Quran al-Karim.
Sedangkan secara terminologi, Shubhi al-Shalih memberikan definisi Asbab al-Nuzul sebagai berikut :
“ Sesuatu hal yang menyebabkan turunnya ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebabnya, memberi jawaban terhadap sebabnya, dan menerangkan hukumnya pada saat terjadi peristiwa itu “.
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat kita ketahui bahwa turunnya ayat atau beberapa ayat yang disebabkan adanya suatu peristiwa atau adanya pertanyaan, disebut sebagai Asbab al-Nuzul. Dalam artian suatu ayat atau beberapa ayat turun dalam rangka menerangkan hal yang berhubungan dengan peristiwa atau memberikan jawaban atas pertanyaan tertentu.
Kondisi dimana al-Quran diturunkan untuk menceritakan sebab tersebut, baik ayat tersebut turun secara langsung mengiringi terjadinya sebab tersebut atau beberapa waktu kemudian karena ada hikmah tertentu. Kata tersebut juga merupakan “ bentuk pembatasan “ yang harus ada untuk membedakan antara ayat-ayat yang turun melalui sebab dengan ayat-ayat yang turun tanpa sebab.
Jika kemudian beberapa ayat berbicara tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu atau akan terjadi di masa yang akan datang, seperti kisah-kisah para Nabi dan bangsa-bangsa terdahulu serta kisah-kisah tentang hari Kiamat, maka hal tersebut bukan termasuk sebab turunnya ayat atau beberapa ayat. Karena ayat tersebut diturunkan untuk menjadi bahan pelajaran dan bukan menerangkan tentang suatu peristiwa yang sedang berlangsung atau menjawab pertanyaan yang dihadapi Nabi, ayat-ayat seperti ini banyak disebutkan di dalam al-Quran.
Dengan demikian, al-Quran yang diturunkan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw, secara berangsur-angsur dalam kurun waktu kurang lebih 23 tahun. Ayat-ayatnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu : pertama, ayat yang turun dengan sebab-sebab tertentu dan kedua, ayat yang turun tanpa sebab.
B. Klasifikasi Asbab al-Nuzul
Asbab al-Nuzul dalam pembagiannya dapat ditinjau dari berbagai aspek. Dalam pembahasan kali ini akan dikemukakan klasifikasi Asbab al-Nuzul dari segi bentuk dan jumlah sebabnya.
- 1. Asbab al-Nuzul Berdasarkan Bentuk
Dalam bentuk peristiwa, terdapat tiga macam bantuk Asbab al-Nuzul: Pertama, peristiwa yang berupa pertengkaran, seperti pertengkaran antara suku Aus dan Khazraj, karena adanya fitnah dan intrik-intrik yang dihembuskan oleh orang Yahudi. Peristiwa tersebut menyebabkan turunnya ayat :
وكيف تكفرون وانتم تتلي عليكم ءايت الله وفيكم رسوله ومن يعتصم بالله فقد هدي الي صرط مستقيم
Artinya : “ Bagaimana kamu kafir, padahal dibacakan kepadamu ayat-ayat Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya pun berada ditengah-tengah kamu. Barang siapa yang berpegang teguh kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang benar “. (QS. Ali Imran: 101).
Kedua, peristiwa yang berupa kesalahan yang serius, seperti kesalahan seorang imam yang membaca surah al-Kafirun, sedang ia dalam keadaan mabuk. Maka turunlah ayat seperti di bawah ini :
يايها الذين ءامنوا لا تقربوا الصلوه وانتم سكري حتي تعلموا ما تقولون
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jangan kamu menghampiri shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga mengerti apa yang kamu ucapkan”. (QS. an-Nisa’: 43).
Ketiga, peristiwa yang berupa cita-cita atau keinginan, seperti keinginan Umar untuk menjadikan makam Ibrahim sebagai tempat shalat. Maka turunlah ayat :
Artinya: “ Dan jadikanlah sebagai makam Ibrahim sebagai tempat shalat “. (QS. al-Ahzab: 53).
Adapun Asbab al-Nuzul yang berbentuk pertanyaan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam.
Pertama, pertanyaan yang berhubungan dengan peristiwa yang sudah terjadi, misalnya tentang kisah Dzul Qarnain.
Kedua, pertanyaan yang berhubungan dengan peristiwa yang sedang terjadi, misalnya tentang masalah ruh yang ditanyakan oleh orang-orang Yahudi kepada Nabi Muhammad Saw pada saat itu.
Ketiga, pertanyaan tentang kejadian yang akan terjadi pada masa yang akan datang, seperti pertanyaan tentang hari Kiamat.
Contoh Asbab al-Nuzul yang berupa pertanyaan adalah Hadis yang diriwayatkan oleh Mu’adz ibnu Jabal, bahwasanya ia berkata: “ Wahai Rasulullah, orang-orang Yahudi telah menggerumuni kami dan mereka mengajukan pertanyaan kepada kami tentang bulan , kenapa bulan permulaannya tampak kecil, lalu bertambah besar sehingga bentuknya menjadi rata dan bulat lalu berkurang lagi sehingga bentuknya kembali seperti semula “. Setelah adanya pertanyaan seperti itu kepada Nabi turunlah ayat :
يسءلونك عن الاهله قل هي موقيت للناس والحج
Artinya:“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit, katakanlah bulan sabit itu tanda-tanda waktu bagi manusia dan bagi ibadah haji”. (QS.al-Baqarah: 189).
Tidak termasuk dalam pengertian Asbab al-Nuzul, bahwa turunnya surah al-Fiil berkenaan dengan kisah datangnya orang-orang Habsyah, Sebab Asbab al-Nuzul adalah peristiwa pada masa Nabi atau pertanyaan yang diajukan kepada Nabi. Peristiwa atau turunnya surah al-Fiil ataupun an-Nisa’ 125 tersebut lebih dapat digolongkan berita pada masa lalu atau konteks tertentu dari suatu ayat.
- 2. Asbab al-Nuzul Berdasarkan Jumlah
Pertama, ta’addud al-asbab wa al-nazil wahid ( sebab-sebab turunnya ayat lebih dari satu sedangkan ayat yang turun tentang isi persoalan hanya satu ).
Kedua, ta’addud al-nazil wa al-asbab wahid ( ayat/beberapa ayat turun lebih dari satu sedangkan sebabnya hanya satu ).
a. Ta’addud al-Asbab wa al-Nazil Wahid
Kategori pertama, jika ada dua atau lebih tentang sebab-sebab turunnya ayat dan masing-masing menyebutkan satu sebab yang jelas dan berbeda, kedua riwayat ini harus diteliti dan dianalisis. Dalam hal ini ada empat macam permasalahan.
1. Salah satu dari keduanya shahih sedangkan lain tidak. Bentuk ini diselesaikan dengan jalan manggunakan riwayat yang shahih dan menolak yang tidak. Misalnya, perbedaan antara riwayat Bukhari-Muslim dan di lain pihak riwayat al-Thabrani dan Ibnu Syaibah di pihak lain. Ayat yang dibahas adalah surah al-Dukhan ayat 1-5. Menurut riwayat Bukhari, Muslim dan lainnya dari Jundab, katanya : “ Nabi Saw kesakitan sehingga beliau tidak shalat malam semalam atau dua malam “. Maka seorang wanita datang kepadanya, lalu barkata: “ Hai Muhammad, aku tidak melihat setan engkau, kecuali telah meninggalkan engkau “. Maka turunlah ayat tersebut.
Sedangkan menurut riwayat al-Thabrani dan Ibnu Abi Syaibah, dari Hafsah bin Maisarah, dari ibunya, dari neneknya dan dia adalah pelayan Nabi Saw, dia berkata : Bahwasanya seekor anak anjing masuk ke rumah Nabi dan masuk ke tempat tidur, lalu ia mati. Maka selama 40 hari Nabi tidak menerima wahyu, Maka Nabi Saw berkata : Hai Khaulah, apakah yang terjadi di rumah Rasulullah? Jibril tidak datng kepadaku. Dalam persoalan ini menurut al-Zarqani kita harus mendahulukan riwayat yang pertama dan memeganginya sebagai pedoman karena riwayatnya.
2. Kedua riwayat Shahih sedangkan salah satunya memiliki penguat (Murajjih). Misalnya, Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Ibnu Mas’ud. Ia (Ibnu Mas’ud) berkata: Saya berjalan bersama Nabi Saw di Madinah sedangkan Nabi Saw bertongkatkan pelepah korma. Mereka berkata kepada yang lain: Coba kamu tanyakan kepada dia. Maka mereka berkata: Ceritakanlah kepada kami tentang ruh. Nabi Saw terhenti sejenak kemudian mengangkatkan kepalanya. Saya mengerti bahwa ia sedang menerima wahyu tentang ruh dari Allah Swt.
Dalam riwayat yang lain, al-Tirmidzi meriwayatkan Hadis dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata: Orang-orang Quraisy berkata kepada orang-orang Yahudi, berikan kami pertanyaan untuk kami tanyakan kepada orang ini (Nabi). Mereka berkata: Kamu tanyakan kepadanya tentang ruh. Dalam hal ini al-Suyuthi dan al-Zarqani mengatakan bahwa riwayat yang pertama lebih kuat dari yang kedua, sebab diriwayatkan oleh Bukhari, kemudian dikuatkan oleh Ibnu Mas’ud yang menyaksikan turunnya kisah tersebut sebagaimana yang diriwayatkan periwayat pertama. Oleh karena itu yang dipegangi adalah yang pertama sedangkan yang kedua ditinggalkan.
3. Jika keduanya sama-sama shahih, tetapi tidak memiliki penguat (murajjih), sedang keduanya dapat dikompromikan karena peristiwanya terjadi berdekatan. Jika keduanya shahih sedang kita tidak bisa mentarjihkan salah satu dari padanya, maka harus kita kompromikan dengan cara menganggap bahwa ayat itu turun setelah terjadi dua sebab itu. Misalnya, ayat tentang li’an. Riwayat pertama oleh Bukhari dari jalan Ikrimah dari Ibnu Abbas yaitu surah an-Nur ayat 6, yang berkaitan dengan peristiwa Hilal ibnu Umaiyah yang menuduh istrinya berbuat mesum dengan Syarik ibnu Samha. Sedangkan riwayat kedua, oleh Bukhari dan Muslim menyebutkan bahwa ayat tersebut turun berkaitan dengan Uwamir yang datang kepada Rasulullah Saw menanyakan tentang bagaimana sikap seseorang yang melihat istrinya bersama dengan laki-laki lain. Dalam hal ini turunnya ayat itu dipandang sebagai jawaban atas dua pertanyaan yang datang dalam waktu yang berdekatan.
4. Kedua riwayat shahih dan tidak ada memiliki penguat (murajjih) dan tidak pula dapat dikompromikan, karena peristiwanya terjadi dalam waktu yang berjauhan. Maka penyelesaian masalah ini adalah dengan menganggap berulang-ulang ayat itu turun sebanyak Asbab Nuzulnya. Misalnya Hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan al-Bazzar dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad Saw dekat dengan Hamzah ketika gugur di medan perang Uhud seraya berkata: “Sungguh saya akan cincang 70 orang dari mereka sebagai penggantimu”. Maka turunlah surah an-Nahl ayat 126:
وان عاقبتم فعاقبوا بمثل ما عوقبتم به
Artinya: “ Apabilah kamu ingin membalas, maka balaslah dengan apa yang telah ditimpakan kepadamu “. (QS.an-Nahl: 126).Sementara menurut at-Tirmidzi dan al-Hakim dari Ubay bin Ka’ab bahwa menurut ia pada perang Uhud terjadi korban 64 dari kaum Anshar dan 6 orang dari kaum Muhajirin termasuk Hamzah, kemudian kaum Anshar berkata: Jika kita dapat mengalahkan mereka suatu hari seperti ini, kita akan melebihkan (jumlah korban) mereka nanti. Dalam hal ini, dianggap dua kali yaitu perang Uhud (riwayat pertama) dan pada penaklukan kota Mekah (riwayat kedua).
Secara lebih ringkas dalam masalah ini, Manna Khalil al-Qatthani menjelaskan sebagai berikut:
- Apabila semua riwayat tidak tegas menunjukkan sebab, maka tidak ada salahnya untuk dipandang sebagai tafsir dan kandungan ayat.
- Apabilah sebagian tegas sedang yang lain tidak, maka yang menjadi pedoman adalah yang tegas.
- Apabila semua tegas, tetapi salah satunya shahih sedang yang lain tidak, maka yang dijadikan pedoman adalah yang shahih.
- Apabila semua shahih, maka dilakukan pentarjihan bila mungkin.
- Apabika tidak mungkin dilakukan pentarjihan, maka dipadukan.
- Apabila tidak mungkin untuk dipadukan, maka dipandang bahwa ayat itu diturunkan beberapa kali dan berulang.
b. Ta’addud al-Nazil wa al-Asbab Wahid
Dalam kategori kedua ini, tidak menjadi persoalan mengingat banyak ayat al-Quran yang turun dengan sebab yang sama. Hal ini tidak bertentangan pula dengan hikmah agar manusia yakin dengan apa yang datang kepada mereka. Misalnya, peristiwa Ummu Salamah yang menanyakan kepada Rasulullah Saw tetang kedudukan seorang wanita dibanding dengan seorang laki-laki. Dalam hal ini terdapat banyak sekali riwayat seperti:
Pertama, riwayat al-Hakim dan al-Tirmidzi dari Ummu Salamah yang meriwayatkan turunnya surah Ali Imran ayat 19.
Kedua, diriwayatkan oleh al-Hakim pula peristiwa yang sama tentang turunnya surah al-Ahzab ayat 35.
Ketiga, masih menurut riwayat al-Hakim mengenai peristiwa yang sama dari Ummu Salamah tentang turunnya surah an-Nisa’ ayat 31.
C. Shighat shighat ( redaksi/lafal ) Asbab al-Nuzul
Ungkapan atau shighat yang diungkapkan para sahabat untuk menunjukkan sebab turunnya al-Quran tidak selamanya sama, sehingga berpengaruh pada status riwayat tersebut. Apakah sebagai Asbab al-Nuzul atau hanya sebagai berita tentang suatu peristiwa masa lalu. Adapun berbagai redaksi sahabat dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Sabab al-Nuzul disebutkan dengan ungkapan yang jelas :
Seperti : ( sebab turunnya ayat ini demikian ).Ungkapan ini secara defintitif menunjukkan sababun nuzul dan tidak mengandung makna lain.
2. Sabab al-Nuzul tidak ditunjukkan dengan lafal sabab, tetapi dengan menambahkan lafal (fa) yang masuk pada ayat dimaksud setelah pemaparan suatu peristiwa. Shighat (ungkapan) semacam ini dipandang sebagai sebab nudzul suatu ayat. Misalnya kasus tentang statemen orang Yahudi bahwa apabila menggauli istrinya dari belakang, maka anaknya akan lahir dalam keadaan buta. Maka Allah Swt menurunkan surah al-Baqarah ayat 233:
نساوكم حرث لكم فاتوا حرثكم اني شيتم وقدموا لانفسكم واتقوا الله واعلموا انكم ملقوه وبشر المومنين
Artinya: “ Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanamanmu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira pada orang-orang yang beriman “. (QS. al-Baqarah: 223). 3. Sabab al-Nuzul dipahami dari konteksnya. Dalam hal ini Rasulullah Saw ditanya tentang sesuatu, kemudian turun wahyu untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dalam hal ini penafsiran dilihat dari konteks dan jalan ceritanya. Misalnya, pertanyaan tentang hakikat ruh yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud.
4. Sabab al-Nuzul tidak disebutkan dengan ungkapan yang jelas, tidak ditunjukkan dengan (fa’) dan tidak pula berupa jawaban atas pertanyaan, tetepi dengan ungkapan: ( ayat ini turun seperti ini ), ibarat ini mengandung dua kemungkinan, mungkin itu merupakan sebab turunnya ayat tersebut dan mungkin pula mengandung suatu hukum dalam ayat itu.
D. Keumuman Lafal dan Kekhususan Sebab
Apabila terdapat sesuatu antara ayat yang turun dengan sebab turunnya dalam hal keumuman dan kekhususan, maka keduanya diberlakukan sesuai dengan posisinya. Permasalahannya adalah bagaimana jika ayat al-Quran lebih umum dari sebab turunnya atau sebabnya lebih khusus dari ayatnya?
Manakah yang dijadikan pedoman keumuman lafal atau kekhususan sebabnya? Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi persoalan ini. Mayoritas dari mereka berpegang pada kaidah ini :
Sedangkan sebagian yang lain berpegang pada pemahaman sebaliknya, yaitu :
Kaidah pertama, dibangun dengan sebuah pemahaman, bahwa hukum yang dibawa dari lafal yang umum akan mencakup semua persoalan, baik yang ada sebab atau tidak. Artinya siapapun yang melakukan peritiwa seperti yang dsebutkan pada lafal tersebut, maka berlaku padanya hukum atau peristiwa yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut. Oleh karena itu, dalam hal ini hukum diambil langsung dari teks (nash) tesebut.
Kaidah kedua, ada pertanyaan yang mendasar mengenai peran dan posisi setiap individu yang sangat situsional, artinya mereka dibatasi oleh ruang dan waktu, sedangkan peristiwa yang dialaminya sama. Kaum yang menggunakan pendapat ini untuk menyelesaikan persoalan ini bisa menggunakan metode qias. Oleh karena itu hukum tidak dapat diputusi langsung dari teks (nash).
Dalam hal ini, kita harus menganalisis lebih teliti. Karena kedua kaidah di atas tidak bisa digunakan atau digeneralisirkan pada semua ayat-ayat al-Quran. Karena ada ayat-ayat yang perlu penafsiran lebih mendalam melalui penafsiran berdasarkan Asbab al-Nuzul. Demikian juga tidak semua ayat ada Asbab al-Nuzulnya, dengan demikian pemakaian kaidah pertama di atas bisa dilakukan sebagai salah satu cara penafsiran terhadap teks al-Quran.
E. Urgensi Asbab al-Nuzul
Para ulama menekankan pada pentingnya memahami Asbab al-Nuzul agar bisa memahami ayat secara shahih, karena sebagian ayat tidak dapat dipahami maknanya dengan benar kecuali dengan memahami Asbab al-Nuzulnya.
Beberapa ayat yang sulit dipahami maknanya tanpa mengetahui sebab turunnya ayat :
ولله المشرق والمغرب فاينما تولوا فثم وجه الله ان الله وسع عليم
Artinya : “ Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas Rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui “. (QS. al-Baqarah: 115). Secara harfiyah ayat tersebut dapat dipahami bahwa seolah-olah kita boleh melakukan shalat menghadap ke arah selain kiblat. Karena kemanapun kita menghadap akan berjumpa dengan wajah Allah. Dengan ilmu Asbab al-Nuzul dapat dipahami dengan jelas bahwa ayat ini turun berkaitan dengan seseorang yang tengah berada dalam perjalanan (safar), sehingga tidak dapat menentukan arah yang jelas. Oleh karena itu, Orang yang dalam perjalanan boleh melakukan “ijtihad” guna menentukan arah kiblat.
Bila seandainya setelah shalat ternyata arah yang dituju salah, berdasarkan ayat di atas maka ia tidak perlu shalat lagi. Ayat di atas hanya khusus bagi orang yang tidak mengetahui arah kiblat. Ia tidak berlaku secara umum.
Karena urgensitas Asbab al-Nuzul, ada beberapa kitab yang secara khusus dan populer membahas ilmu ini dalam kitab :
- Asbab al-Nuzul karangan al-Wahidi (wafat 427 H).
- Asbab al-Nuzul karangan Ibnu Taimiyah (wafat 726 H).
- Lubad al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul karangan Imam Jalal al-Din al-Suyuthi (wafat 991 H).
“ Tidak mungkin mengetahui tafsir suatu ayat, tanpa mengetahui kisah dan penjelasan Asbab al-Nuzulnya “.
Ibnu Taimiyah juga berpendapat :
“Mengetahui sebab turunnya ayat dapat menolong untuk memahami ayat, karena sesungguhnya mengerti sebabnya dapat menghasilkan pengetahuan tentang akibatnya “.
Ibnu Daqiqil menegaskan pula :
“ Mengetahui sebab turunnya ayat adalah jalan kuat dalam memahami maksud-maksud al-Quran “.
Kemudian lebih lanjut al-Shabuni dan al-Hasan, menjelaskan manfaat Asbab al-Nuzul yaitu :
- Mengetahui segi illat yang melatar belakangi pensyariatan suatu hukum.
- Mengkhususkan hukum berdasarkan Asbab al-Nuzul, menurut orang yang berpendapat bahwa; al-‘ibratu bi khusus al-sabab. Namun menurut al-Qatthan pendapat yang kuat adalah; al-‘ibratu bi umum al-lafdzi la bi khusus al-sabab.
- Menghindarkan prasangka bagi orang yang mengatakan ada pembatasan topik (hasr) dalam suatu ayat yang topiknya menurut lahirnya hasr.
- Mengetahui nama orang yang menjadi sebab turunnya ayat, serta memberikan ketegasan jika mengalami keraguan.
- Memahami ayat dengan benar.
- Suatu lafadz yang kadang-kadang bersifat umum, namun terdapat dalil yang mengkhususkannya. Maka dengan mengetahui Asbab al-Nuzulnya dapat diartikan secara khusus.
Dalam sejarah dikemukakan bahwa para sahabat pernah mengalami kesulitan dalam menafsirkan beberapa ayat al-Quran. Namun setelah mendapat Asbab al-Nuzul, maka mereka tidak mengalami kesulitan dalam menafsirkannya.
==============
DAFTAR PUSTAKA
Al-Zarqani, Muhammad ‘Abd al-‘Adhim, 1988, Manahil al-‘Irfani fi ‘Ulum al-Quran, Dar al-Fikr, Beirut.
Al-Shalih, Shubhi, 1977, Mabahits fi ‘Ulum al-Quran, Dar al-‘Ilm li al-Malayin, Beirut.
Al-Suyuthi, Jalal al-Din, 1986, Lubanun Naqul fi Asbab al-Nuzul, Dar al-Ihya, Beirut.
Al-Qattan, Manna’ Khalil, 1996, Studi Ilmu-ilmu Quran, Litera Antar Nusantara, Jakarta.
Abdul Wahid, Ramli, 1993, Ulumul Quran, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Ismail, Muhammad, 2002, Prinsip-prinsip Pemahaman Al-Quran dan Hadis, Khairul Bayan, Jakarta.
Khallaf, ‘Abd al-Wahhab, 1972, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, al-Majlis al-A’la al-Indonesiy li al-Da’wah al-Islamiyyah, Jakarta.
Zuhdi, Masjfuk, Cetakan Kelima, 1997, Pengantar Ulumul Quran, Karya Abdi Tama, Surabaya.
0 comments:
Post a Comment