Alu Besi dan Gadis Berkepala Keledai

Libia

Ada seorang pemuda bernama Jamil dan putri pamannya, Jamila. Ayah mereka berdua saling memberi nama satu sama lain pada mereka saat mereka lahir dan menjodohkan mereka. Ketika tiba waktu bagi mereka untuk menikah, Jamil melakukan perjalanan tiga hari ke kota untuk membeli pakaian pengantin, sementara Jamila tetap tinggal di desa.

Suatu hari ketika gadis-gadis dari desa itu pergi untuk mengumpulkan kayu bakar dari hutan tak jauh dari desa, Jamila pergi bersama mereka. Saat dia membungkuk di atas tanah untuk mengangkat ranting-ranting kering, Jamila menemukan sebuah alu besi tergeletak di situ. Dia menyatukannya dengan barang-barang bawaannya yang lain, tapi ketika gadis-gadis itu siap untuk pulang dan Jamila mengangkat barang-barang tersebut untuk disangga di atas kepalanya, alu itu tidak bisa menyatu dengan kayu-kayunya. Berkali-kali dia mengangkat barang-barangnya, dan berkali-kali pula alu itu jatuh ke tanah. Sementara itu, teman-teman gadisnya terus menunggu. Dan akhirnya mereka berkata, “Ya Jamila, sekarang sudah hampir gelap. Jika kamu ingin pulang, ayo berangkat. Jika tidak, kamu dapat menyusul sendiri nanti.”

“Pergilah,” kata Jamila, “sebab aku tidak mau meninggalkan alu besi ini bahkan jika ia menahanku di sini sampai tengah malam.”

Maka, gadis-gadis yang lain pergi dan meninggalkannya.

Ketika malam semakin gelap dan pekat, tiba-tiba alu besi itu berubah menjadi seorang pria yang segera menggendong Jamila di atas bahunya dan bergegas pergi. Dia berjalan dan terus berjalan menuju gurun hingga mereka berada satu bulan jarak perjalanan dari rumahnya. Di sana dia menguncinya di dalam kastil, dan berpesan, “Tinggallah di sini di bawah perlindungan Allah sebab aku tidak akan mencelakaimu.”

Jamila meratap sedih, “Apa yang telah kulakukan? Apa yang telah kulakukan?”

Ketika gadis-gadis lain tiba di rumah, ibu Jamila melihat mereka, “Di mana putriku?” tanyanya.
“Kami meninggalkan putrimu di dalam hutan di luar desa,” kata mereka. “Kami memperingatkan dia, ‘Ayo pergi bersama kami sekarang atau kami tinggal!’ Dan dia berkata, ‘Pergilah! Aku menemukan alu besi dan aku tidak dapat meninggalkannya bahkan jika aku harus tinggal di sini sampai tengah malam.’” Meskipun malam telah turun, ibu Jamila berlari ke hutan, tersedu-sedu menangisi putrinya.

Kaum pria di desa itu mengikutinya sambil berkata, “Pulanglah ke rumahmu! Kami akan membawanya pulang kepadamu. Perempuan tidak boleh berkeliaran di malam hari! Biar kami para pria yang mencari Jamila.”

Namun, sang ibu berseru, “Aku akan ikut kalian. Bagaimana jika dia meninggal karena gigitan ular atau dimakan hewan buas?”

Akhirnya, pria-pria itu berangkat bersama ibu Jamila dan membawa serta seorang teman Jamila untuk menunjukkan kepada mereka tempat Jamila ditinggalkan.

Mereka menemukan kayu bakar di tempat gadis itu menjatuhkannya, tapi Jamila tidak ada di situ. Mereka berteriak dan memanggil-manggil namanya dan tak seorang pun menyahut. Mereka menyalakan api dan terus mencari sampai fajar menyingsing, dan selanjutnya mereka memberi tahu sang ibu, yang masih terus menangis, “Putrimu dicuri seorang putra Adam. Jika hewan buas memangsanya, dimanakan darahnya? Jika ular menggigitnya, di mana tubuhnya?” dan mereka semua kembali ke rumah masing-masing.

Pada hari keempat, ayah dan ibu Jamila berbicara satu sama lain, “Apa yang harus kita lakukan? Pemuda yang malang itu telah pergi untuk membeli baju pengantin. Apa yang harus kita katakan kepadanya kalau dia pulang?” Akhirnya mereka memutuskan. “Kita akan memotong kambing dan mengubur kepalanya, dan menempatkan batu di ataasnya sebagai pusara. Kalau dia datang kita akan tunjukkan kepadanya batu itu, dan mengatakan bahwa Jamila telah meninggal.”

Nah, saudara sepupu itu tiba dengan membawa berbagai hadiah indah yang telah dibelinya. Sesampainya di desa, ayah Jamila pergi menemuinya. “Semoga rahmat dan keberuntungan menjadi milikmu di masa mendatang. Jamila sudah meninggal.”

Pemuda itu mencucurkan air mata, menangis keras dalam kesedihannya. Dia tidak mau beranjak selangkah pun sampai mereka menunjukkan kepadanya kuburan gadis itu.

“Ayo, “ kata ayah si gadis dan si pemuda itu pun berjalan di belakangnya, mengempit paiaan pengantin. Setelah melemparkan segala perlengkapan pengantin ke atas kuburan, dia duduk sambil menangis dan memukuli batu pusara karena sedihnya, sepanjang hari bahkan hingga malam tiba. Dan keesokan harinya, dia kembali lai untuk duduk dan menangis dan memukuli pusara batu sementara pakaian pengantik tetap terhampar di atas kuburan. Selama enam bulan dia terus meratap dengan cara demikian.

Para waktu itu seorang pria melakukan perjalanan di gurun. Suatu hari dia mendapati dirinya berada di depan sebuah kastil tinggi menjulang tanpa ada rumah-rumah lain di dekatnya. “Aku akan beristirahat di bawah bayang-bayangnya,” katanya dan dia duduk di kaki tembok. Tidak lama kemudian seorang gadis melongok keluar dan bertanya, “Kamu ins atau jin?”
“Aku keturunan Adam,” katanya, “dan orang yang lebih baik dibanding ayahmu atau kakekmu!”

“Apa yang membawamu ke sini? Apa yang kamu cari di negeri Ghoul dan Ifrit ini?”tanyanya, dan dia memberi nasihat, “Jika kamu pintar, kawanku, kamu akan pergi sebelum monster itu menemukanmu di sini atau dia akan mengakhiri hidupmu dan membuatmu jadi santapan makan malamnya. Namun, sebelum kamu pergi katakan dulu padaku: ke arah mana kamu akan pergi?”
“Mengapa kamu peduli padaku?” katanya.
“Aku ingin minta tolong padamu. Jika kamu pergi sejauh desa asalku, bawalah pesan ini kepada pria yang mereka panggil Jamil:

Dari puncak kastil yang menjulang
Jamila mengirim salam
Dari dalam tembok penjara
Jamila mendengar suara
Dari kambing yang mereka kubur di atas pusaranya
Untuk menipu pemuda berani yang berduka cita
Sementara gadis itu meratap tanpa teman
Di tengah gurun yang tersapu angin kencang

“Kalau bukan karena gadis ini,” kata pria itu pada dirinya sendiri, “aku pasti telah mati sebelum pagi tiba. Jasa harus dibalas dengan jasa pula. Jadi, aku harus melakukan apa yang diminta olehnya.”

Satu hari, dua hari, pra malang itu berjalan selama sebulan penuh sebelum Allah menuntunnya ke pintu halaman rumah pemuda itu. Saat dia berdiri mencari tahu tentang pemuda itu, seorang pemuda melangkah keluar dengan rambut tak tersisir menutup matanya dan janggut tak tercukur menggantung di atas dadanya. “Damai, orang asing,” kata pemuda itu. “Dari mana asalmu?”

“Aku datang dari barat dan aku berjalan ke timur,” kata si musafir.
“Kalau begitu masuklah dan makan bersama kami,” kata pemuda itu. Tamunya mengikutinya masuk ke dalam rumah tempat makanan disajikan dan seluruh anggota keluarga di rumah itu duduk untuk makan bersama. Semua, kecuali pemuda itu, karena dia duduk sendirian di dekat pintu.

“Mengapa kamu tidak mana?” kata si musafir.
“Huss!” kata yang lain. “Kamu tidak tahu ceritanya, dia mau makan.”

Musafir itu tetap diam sampai mendengar seseorang berkata, “Ambilkan air untuk kami, Jamil!”
Orang asing itu pun berseru, “Kata Jamil” mengingatkan aku pada sesuatu, wahai sahabat-sahabtku! Ketika aku melewati gurun aku melihat sebuah benteng besar dan pada jendelanya seorang gadis...”

“Huss!” sela yang lain, “Jangan menyebut-nyebut gadis di depan Jamil.”
Pemuda itu terlanjur menangkap kata-kata si musafir dan dia berkata, “Teruslah bercerita, orang asing!”

“Jika dusta dapat menyelamatkan seorang manusia, bukankah kebenaran akan membuatnya lebih selamat?” kata musafir itu dan dia menyampaikan seluruh kisahnya dan menutupnya dengan pesan Jamila:

Dari puncak kastil yang menjulang
Jamila mengirim salam
Dari dalam tembok penjara
Jamila mendengar suara
Dari kambing yang mereka kubur di atas pusaranya
Untuk menipu pemuda berani yang berduka cita
Sementara gadis itu meratap tanpa teman
Di tengah gurun yang tersapu angin kencang

“Ha!” kata Jamil. “Jadi, dia lari dan kalian berdusta padaku mengatakan dia mati!”
Kebohongan itu tergantung pada seutas yang pendek. Maka, segera saja pemuda itu melesat membawa cangkul, lalu membongkar kuburan itu, dan menemukan tengkorak kambing. Penduduk desa Cuma bisa berkata, “Kejadiannya begini, begini, begini, dan sekarang terserah keputusanmu.”

“Persiapkan bekal dan pinjami aku senjata,” kata Jamil. “Aku akan berangkat sekarang bersama orang asing ini sebagai penunjuk jalanku!” Namun, musafir itu berkata, “Aku tidak mungkin kembali ke sana, terlalu jauh.”

“Allah akan membalas kebaikanmu dan aku akan memberimu upah, jika kamu mau menunjukkan jalan yang harus ditemput,” pemuda itu memohon. Lalu, keduanya berangkat dan ketika mereka telah berjalan selama dua hari, orang itu berkata, “Jalan ini akan membawamu langsung ke kastil. Semoga keselamatan menyertaimu!” Kemudian dia berbalik menempuh jalan yang dilalui sebelumnya.

Jamil melanjutkan perjalanannya sendiri, berhari-hari, berminggu-minggu, akhirnya sebelum sebulan berlalu, dia melihat kastil yang bersinar putih bagaikan burung merpati di kejauhan. Saking gembira, dia berlari dan terus berlari hingga sampai di kaki tembok kastil itu.
“Apa yang harus kulakukan kini, ya Tuhanku?” katanya. “Benteng ini tidak punya gerbang, tidak punya pintu. Tembok-temboknya yang lurus terlalu curam untuk didaki.” Dia sedang duduk sambil berpikir-pikir ketika saudara sepupunya melongok dari jendela dan memanggil “Ya Jamil!”.

Jamil mengangkat kepalanya, dan pandangannya bertemu mata Jamila, sedu-sedan pun meledak dari dadanya dan air mata mengalir dari matanya.

“Apa yang membawamu pergi sejauh ini, ya saudara sepupuku?” kata Jamila.

“Cintaku kepadamulah yang mendorongku datang kepadamu,” sahutnya.

“Jika benar kamu cinta padaku, larilah kembali sebelum Ghoul datang mengunyah dagingmu dan mencucup tulangmu,” seru Jamila.

“Demi Allah dan kepalamu sendiri, aku tidak dapat meninggalkanmu bahkan jika aku harus mati.”

“Oh, apa yang harus kulakukan untuk menyelamatkanmu, saudara sepupu?” kata Jamila.

“Maukah kau memanjat tali jika aku melemparkannya ke bawah?” Tidak lama setelah dia menjatuhkan tali, pemuda itu telah berada di sisinya. Betapa eratnya mereka berpelukan, dengan jantung masing-masing saling beradu! Dan betapa derasnya air mata mereka mengalir!

“Oh, di mana aku harus menyembunyikanmu, saudara sepupu?” kata Jamila. “Maukah kamu berbaring diam tanpa mengucapkan sepata kata pun jika aku menutupimu dengan panci pemasak?”

Baru saja Jamila membalik kuali besar di atas tubuh pemuda itu ketika Ghoul datang dengan daging manusia untuk dirinya sendiri di satu tangan dan domba mati untuk Jamila di tangan kiri. Dia mengendus-endus dan berkata:

Aku mencium bau
Manusia di dalam sarangku!

“Wahai ayah, siapa yang dapat mencapat benteng setinggi dan sejauh ini kecuali angin gurun?” kata Jamila dan dia mulai menangis. “Jangan menangis,” kata Ghoul. “Aku akan membakar kemenyan untuk melancarkan pernapasanku.” Dan dia membaringkan tubuhnya untuk beristirahat.

Akan tetapi, ketika gadis itu mulai memasak, daging manusia itu melompat di dalam panci dan berbicara:

Seorang pria! Seorang pria!
Di balik belanga!

Dan daging domba ikut berbicara:

Saudara sepupunya yang pertama
Mandullah dia dibuat-Nya!

“Apa yang mereka katakan, ya Jamila?” tanya Ghoul mengantuk. “Mereka mengatakan, ‘Kami membutuhkan garam! Bubuhkan lebih banyak garam!’ Dan aku telah menambahkannya.” Dan tidak lama kemudian, daging itu melompat untuk kedua kalinya dan berkata:

Seorang manusia! Seorang manusia!
Di balik belanga!

Dan daging domba itu mengulang perkataannya:

Saudara sepupunya yang pertama
Mandullah dia dibuat-Nya!

“Apakah itu, ya Jamila?” tanya ghoul. “Mereka mengatakan ‘Kami membutuhkan merica! Bubuhkan lebih banyak merica!’ yang sudah kulakukan kini.”
Untuk ketiga kalinya daging manusia itu berteriak:

Seorang manusia! Seorang manusia!
Di balik belanga!

Dan si daging domba:

Saudara sepupunya yang pertama
Mandullah dia dibuat-Nya!

Ketika Ghoul bertanya “Apa yang mereka katakan?” Jamila berkata, “Mereka mengatakan kepadaku, ‘Kami telah masak dan siap dihidangkan, turunkan kami dari tungku!’”

“Kalau begitu mari kita nikmati makan malam kita!” sahut ghoul. Setelah selesai makan dan mencuci tangannya, dia berkata, “Hamparkan kasur untukku, ya Jamila, aku ingin tidur.”

Gadis itu menghamparkan kasur dan menepuk-nepuk bantal supaya lembut dan untuk mengalihkan perhatian Ghoul. Dia duduk di dekat kepala monster itu sambil menyisir rambutnya dan berbicara. “Engkau bukan penjahit, Ayah, tapi punya jarum, katakan kepadaku mengapa.”

“Ini bukan jarum sembarang jarum,” kata Ghoul. “Jika aku melemparkannya ke atas tanah, ia akan menumbuhkan semak-semak berduri yang tajam sehingga jalan tidak dapat dilalui.”

“Engkau bukan tukang sepatu, Ayah, tapi punya pusut, katakan padaku mengapa.”

“Ini bukan pusut tukang sepatu biasa,” kata ghoul. “Jika aku melemparkannya ke atas tanah, ia akan berubah menjadi bukit besi yang sangat keras untuk digali.”

“Engkau bukan petani, Ayah, tapi punya cangkul. Katakan padaku mengapa,” kata gadis itu.

“Ini bukan cangkul petani biasa,” kata ghoul. “Jika aku melemparkannya ke atas tanah, ia akan menggali lautan yang terlalu luas untuk diseberangi manusia. tapi semua ini adalah rahasia yang tidak boleh kamu ungkapkan, anakku.”

Ghoul pun jatuh tertidur. Matanya bersinar begitu kuning sehingga seluruh ruangan itu bagaikan menyala. Dari balik kuali logam si pemuda berseru, “Ya Jamila, ayo kita lari!”

“Jangan dulu, saudara sepupu. Meskipun tertidur, dia masih dapat melihat,” kata gadis itu. Mereka menunggu sambil membisu hingga mata ghoul berubah merah, dan memenuhi ruangan itu dengan cahaya merah.

“Sekarang!” kata Jamila. Dia mengikatkan jarum, pusut, dan cangkul ajaib pada mantel saudara sepupunya dan mengambil tali. Mereka meluncur keluar dari jendela dan meniti tali serta berjalan menuju desa mereka secepat mungkin.

Sementara itu, Ghoul masih mendengkur di atas tempat tidurnya. Dan kini anjing pemburunya berusaha untuk membangunkannya:

Wahai tukang tidur, aku peringatkan kamu,
Jamila sudah pergi dan akan mencelakaimu!

Ghoul hanya mengangkat badannya sediri, memukul anjingnya, dan berbaring kembali, tidur terus sampai pagi. Kemudian dia bangun dan berseru, “Ya Jamila! Ya Jamila!” Tapi Jamila sudah lama pergi. Kini, Ghoul mulai bergegas. Dia mengambil senjatanya, menuntun anjingnya, dan berlari kencang mengejar gadis itu!


Jamila menengok ke belakang dan berseru, “Wahai saudara sepupuku, Ghoul mengejar kita!”
“Di mana dia? Aku tidak dapat melihatnya,” kata Jamil. “Dia masih begitu jauh sehingga dia tampak tidak lebih besar dari sebatang jarum,” katanya dan mereka mulai berlari, tapi ghoul bersama anjingnya berlari lebih cepat. Mereka nyaris menangkap pasangan itu ketika Jamila melemparkan jarum ajaib ke tanah, dan hutan berduri muncul untuk menghalangi jalan. Pada mulanya hutan itu dapat menghentikan ghoul, tapi dia dan anjingnya juga menebanginya hingga mereka berhasil membuka jalan dan meneruskan pengejaran.

Jamila melihat kebelakang dan berseru, “Wahai saudara sepupuku, Ghoul mengejar kita!”

“Tunjukkan padaku, aku tidak dapat melihatnya,” kata Jamil.
“Itu dia bersama anjingnya yang tidak lebih besar daripada sebuah pusut,” kata Jamila dan mereka berlari lebih kencang. Ghoul dan anjingnya berlari lebih kencang lagi dan tidak lama kemudian mereka hampir dapat menyentuh sepasang saudara sepupu itu. Jamila melemparkan pusut ajain itu ke atas tanah dan sebuah gunung besi muncul dan menghalangi jalan. Ghoul berhenti, tetapi kemudian dia dan anjingnya menggali hingga mereka berhasil membuat terowongan dan meneruskan pengejaran.

Jamila menengok ke belakangnya dan berseru, “Wahai saudara sepupuku, Gahoul dan anjingnya sudah di sini!” Dia melemparkan cangkul ajaib ke atas tanah dan lautan luas membentang di atara mereka. Ghoul mulai minum dan anjingnya mulai minum untuk membuat lautan kering sehingga dapat mereka lalui, tapi perut anjing itu terlalu penuh menampung air asin sehingga meledak dan dia mati. Lalu Ghoul duduk kelelahan, dan mengutuk Jamila, “Ya Jamila, semoga Allah membuat kepalamu menjadi kepala keledai dan rambutmu menjadi benang ikat kuning!”

Saat itu juga Jamila berubah. Kepalanya menjadi panjang seperti kepala keledai betina dan rambutnya tergantung kasar layaknya kain karung. Ketika Jamil melihat sekeliling dan memandang Jamila, dia berkata, “Apakah aku pergi selama ini demi mempelaiku atau seekor keledai?” Dan dia lari pulang dan meninggalkan Jamila. Tapi baru setengah jalan dia berhenti dan berkata, “Dia saudara sepupuku, bagaimana aku tega meninggalkannya untuk dimangsa hewan buas? Mungkin Allah, yang telah mengubahnya sekarang, akan mengembalikannya lagi pada keadaannya semula suatu hari nanti.” Dia mengundurkan langkahnya dan berkata, “Mari, Jamila! Tapi apa yang akan dikatakan orang-orang? Mereka akan menertawakan aku karena menikahi sesosok monster yang punya tangan dan kaki manusia—Oh, alangkah memalukan dan mengerikannya!—tapi berwajah keledai dan berambut benang ikat!”

“Bawalah aku ke rumah ibuku pada malam hari dan jangan mengatakan sepata kata pun. Tidak ada orang yang boleh tahu,” dia menangis.

Maka mereka menanti matahari terbenam, dan setelah itu barulah mereka mengetuk pintu rumah ibu Jamila. “Ini Jamil. Aku telah membawa pulang saudara sepupuku.” Perempuan malang itu berlari keluar dengan suka cita. “Di mana putriku, biar aku melihatnya!” Tapi ketika dia melihat Jamila, dia berkata, “Allah melindungi kita, apakah putriku kini menjadi keledai? Atau apakah kamu mempermainkan aku?”

“Jangan berbicara terlalu keras atau oarng-orang akan mendengarmu,” kata Jamil. Dan Jamila berkata, “Ya Ibuku, aku dapat membuktikan kepadamu bahwa aku benar-benar putrimu.”

Dia menyingkapkan pahanya dan berkata, “Di situlah aku pernah digit anjing.” Dia membuka dadanya dan berkata, “Di sinilah minyak-lampu membakar kulitku.” Lalu, ibunya memelukanya dan menangis, sementara Jamila menceritakan kepadanya apa yang telah terjadi. “Sembunyikan aku sekaran,” katanya, “Dan, saudara sepupuku, jika orang-orang bertanya kepadamu, katakan pada mereka bahwa kamu tidak berhasil menemukanku. Semoga Allah mengasihani kita!”

Jamila hidup bagaikan narapidana di rumah ibunya sendiri, dan hanya berani keluar pada malam hari. Dan ketika orang-orang bertanya pada Jamil, dia berkata, “Aku tidak menemukannya”.

“Kami mencarikanmu istri lain, yang lebih baik daripada Jamila,” kata orang-orang.

“Tidak, aku tidak akan menikah. Jamila telah membakar hatiku, dan aku tidak dapat tenang selama aku tahu dia belum mati,” kata Jamil.

“Bagaimana dengan hadiah-hadian perkawinan darimu?” tanya mereka. “Mengapa? Biar saja tersimpan di dalam peti sampai cacing-cacing memakannya habis!” katanya.

“Ya Jamil, kamu gila,” kata teman-temannya. “Aku tidak meminta siapa-siapa untuk menemaniku,” kata Jamil dan dia pindah tinggal di rumah ibu saudara sepupunya.
Tiga bulan berlalu. Di gurun seorang pedagang keliling berhenti di dekat kastil yang tinggi. Ghoul menangkapnya dan berkata, “Jika kamu mau menyampaikan pesanku, aku tidak akan mencelakaimu.”

“Aku siap,” kata pedagang keliling, yang nyaris mati ketakutan.
“Pergilah sepanjang jalan ini hingga kamu menemukan sebuah desa tempat tinggal pemuda bernama Jamil dan gadis bernama Jamila. Katakanlah, ‘Ini hadiah dari Ghoul, ayahmu, sekeping cermin untuk memandang wajahmu dan sebilah sisir untuk rambutmu.’” Kemudian Ghoul itu meletakkan kedua benda itu di antara barang-barang milik si pedagang.

Saat pedagang itu sampai di rumah Jamila, dia kelaparan dan kepanasan akibat perjalanan. Jamil menemukannya terbaring di bawah terik matahari dan berkata, “Kamu akan jatuh sakit jika kamu tetap di sini.”

Pedagang itu menyahut, “Aku kehabisan tenaga. Aku sudah berjalan selama satu bulan di gurun.”

“Apakah kamu melihat sebuah kastil?” tanya Jamil. “Ya, benar, wahai tuan,” kata si pedagang dan dia menyampaikan kata-kata Ghoul dan menyerahkan kepadanya hadiah-hadiah untuk gadis itu.

Ketika Jamila memandang ke dalam cermin Ghoul, wajahnya kembali seperti semula. Lalu dia menyisir benang ikat yang kasar di kepalanya dengan sisir pemberian ghoul, rambutnya yang dulu pun tumbuh lagi. ibunya menjerit kegirangan, dan orang-orang lari berdatangan dan berkerumun di dalam rumah. Ketika semua pertanyaan telah diajukan dan semua jawaban diberikan, persiapan-persiapan untuk perkawinan mulai dilakukan. Jamila menjadi istri Jamil dan bersama-sama mereka mengasuh banyak anak lelaki dan perempuan.

Dan akhirnya mereka hidup bahagia dan senang.
Hingga akhirnya sang istri meninggal
Dan sang suami berpulang.

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger