Studi Sastra Islam

Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar nabi Muhammad, salah satu sisi kemu’jizatannya yang paling besar adalah strukturnya jika ditilik dari ilmu sastra, isi dan kata yang membangkitkan perasaan dan semangat untuk mengeksplorasi arti dan pesan dibalik strukturnya, dan selalu mengundang para ilmuwan untuk mengkajinya.

Tak heran jikalau Al-qur’an ini diturunkan pada bangsa yang begitu mencintai sastra terutama dalam pentuk puisi. Sastra merupakan salah satu bentuk kehormatan mereka. Seorang pujangga sangat dihormati dan dikenal di masyarakat luas, mungkin seorang pujangga merupakan selebriti kala itu. Keadaan seperti ini tentulah sangat kondusif untuk perkembangan sastra, dan Islam tidak akan bisa memungkiri hal itu. Sastra sejak masa jahiliyah telah menjadi unsur pembangun kebudayaan, dan akan sangat merugikan jikalau hal telah mengakar seperti ini dihapuskan. Untuk itu sastra ini harus diberi haluan untuk perkembangan agama Islam, dengan kata lain sastra Islam harus dilahirkan.

Sastra Islampun muncul dan menjelma menjadi pembangun penting dalam kebudayaan. Untuk lebih mengkondisikannya, dan sebagai jembatan kepada para pembaca, kritik sastrapun terlahir. Tugasnya sangat berat, dan banyak orang menolaknya dalam lingkup ilmiah.

Bacaan ini mencoba menggambarkan bahwa betapa sastra merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang sangat mengakar dalam Islam hingga saat ini, keberadaan studi sastra sebagai disiplin ilmu yang begitu mengundang kontroversial dan sebagainya.


A. Adab dan Cabangnya-Cabangnya
1. Pengertian Adab (sastra)
Salah satu kesulitan dalam studi sastra adalah merumuskan dan mendefenisikan kata sastra itu sendiri. Para ahli sendiri mengakui ketidak jelasan defenisinya, batasan-batasannya. Karena hanya implisit tidak eksplisit, para ahli selalu mencoba memberi defenisi baru tapi selalu gagal untuk memberikan defenisi yang jela.

Kata adab sebagai ilmu yang kemudian diterjemahkan sebagai sastra menurut Ahmad Syayib belumlah ada pada masa jahiliyah bahkan pada masa Nabi dan Khalifah Rasyidah meskipun sastra dalam beberapa bentuk sudah sangat terkenal. Kata adab ini barulah dikenal pada masa Umayyah dan itupun merupakan kata umum yang dipakai untuk arti yang sangat luas termasuk ilmu Nujum, ilmu Hitung(jarak dan volum), Kimia, Kedokteran dan ilmu Lahn. Baru pada abad 3 dan 4 menyempit menjadi Bayan, Badi’ dan Ma’ani.

Goerge Makdisi memberikan penjelasan kata Arab sebelum menjelaskan kata dan arti kata Adab, Arab berasal dari bahasa Arab kuno sebelum Islam yaitu bahasa Semit, kata ini berarti leksikography dan grammar (tata bahasa). Arabiy (Arabian atau orang Arab) berarti orang yang fasih berbicara tanpa kesalahan.

Jadi kata Adab berasal dari bahasa Semit (Arab pra Islam) yang akhirnya diadopsi menjadi bahasa Arab setelah Islam. Adab merupakan kata yang sangat umum pada masa abad 1 H, mencakup :
  1. ilmu berbahasa dengan benar.
  2. puisi termasuk ilmu Urudh dan Qawafi
  3. retorika yang mencakup khitabah, fasahah, balaghah dan bayan.
  4. sejarah yang mencakup ilmu Ansab dan tabaqat.
  5. akhlak.
Adab sebagai ilmu dikenal pada abad 1H dan kemudian disempurnakan pada abad ke 2 yaitu pada masa Khalaf Al-Ahmar. Studi Adab pada masa ini berkisar pada tata bahasa (nahwu). Tata bahasa merupakan awal dan bagian penting dari studi adab. Para murid sebelum mempelajari syair dan lainnya terlebih dahulu harus menguasai ilmu nahwu. Kata Adab berasal dari kata أدب yang artinya perangai yang baik.

Adapun Adab secara terminologi adalah: nilai atau gagasan pemikiran yang berupa prosa dan syair yang merupakan rekaman natural, gambaran daya imajinasi dan ekspresi deskripsi untuk tujuan memperkaya jiwa dan akal. Adapun menurut A.Syayib adalah seni berkomunikasi yang mendeskripsikan pikiran dan emosi. Adab mempunyai beberapa unsur penting yaitu emosi atau perasaan (athifah), imajinasi (khayal), fikiran (fikrah dan aql) dan bentuk (shurah).

Jadi adab (sastra) adalah suatu bentuk komunikasi yang berisi buah fikiran penuh nilai (mampu menguraikan beragam pengalaman) yang dikemas dengan imajinatif (berdaya khayal mampu menjelaskan pengalaman), intuitif (dari perasaan),ekspresif (merupakan sarana bagi sastrawan untuk mengambarkan emosi dan pikirannya), inspiratif (mampu menambah wawasan bagi penikmat sastra) dalam suatu bentuk yang mempunyai daya gugah tinggi (dalam gaya bahasa, diksi, arti yang punya kekuatan untuk mendorong konsumen sastra untuk lebih merenungkan dan menghasilkan karya lain.

2. Adab dan Cabang-Cabangnya.
Secara garis besar adab ini terbagi kepada dua macam yaitu prosa (nastr) dan puisi (syi’r), ada yang menyebutnya prosa dan saja’(dalam arti aturan), adapula prosa dan nazhm, tapi apa yang mereka maksudkan adalah hal yang sama. Pembagian yang mungkin agak berbeda adalah amtsal (metafora) dan hikmah (pribahasa).

Amtsal adalah bentuk pernyataan yang mengambarkan suatu keadaan dengan bentuk metaforis. Amtsal ini terbagi kepada, haqiqah, apabila persamaan yang digunakan berdasarkan realita seperti. Dan fardhiyyah, apabila subjek metafora yang digunakan adalah selain manusia.

Sedangkan hikmah adalah pernyataan yang berisi pesan-pesan yang sudah diakui kebenarannya secara umum.

I. Puisi.
Puisi adalah salah satu bentuk sastra yang terikat dengan beberapa aturan diksi, rima dikemas dalam bait. Tapi tentu saja defenisi ini tidak bisa lagi mewakili segala bentuk puisi pada zaman ini, karena perkembangan bentuk puisi yang begitu variatif.

Dibawah ini kami sajikan genre-genre puisi yang paling sering menjadi model puisi-puisi para pujangga-pujangga terkenal, pembagian ini tidaklah mutlak hanya untuk puisi karena prosa juga bisa saja mengikuti beberapa pembagiannya .
  1. pembagian puisi bedasarkan diksi, wazan dan pemotongan akhir kata:
    1. puisi beraturan (puisi klasik: al-masju’) adalah puisi yang mementingkan diksi, wazan dan pemotongan akhir kata.
    2. Puisi bebas (puisi modern: Al-mursal) adalah yang tidak terlalu mementingkan unsur rima, diksi, wazan dan pemotongan kata akhir.
  2. puisi berdasarkan tujuan dan isinya.
    1. Puisi didaktik (ta’limi) adalah untuk memberikan nilai-nilai positif bagi para pembaca.
    2. Puisi satir (hija’i) yang berisi sindiran terhadap objek tertentu.
    3. Ode adalah puisi pujian terhadap sesuatu yang biasanya seorang yang berjasa.
  3. berdasarkan gaya bahasa
    1. puisi epik (qososi) adalah cerita atau pujian terhadap pahlawan atau orang lain.
    2. Puisi lirik (ghina’i), puisi yang mengutamakan keindahan lirik hingga menghasilkan irama yang indah.
    3. Puisi dramatik (tamtsili), puisi yang berusaha membawa pembaca untuk memasuki keadaan yang ingin ditunjukkan pujangga, baik dengan menghadirkan dialog atau yang lainnya, pengambaran suasana dan lainya.
  4. berdasarkan ruang yang dipakai(jumlah baris)
    1. quatren (ruba’i) puisi yang membagi-bagi baitnya kedalam empat baris, bentuk ini sangat terkenal dalam dunia sastra dan sangat diminati.
    2. Khamsah (kwintet) yaitu puisi yang terdiri dari lima baris dalam sebait.
    3. Ghazzal adalah puisi yang biasanya terdiri dari lima sampai tujuh baris dalam sebait. Dan biasanya bertema cinta.
  5. berdasarkan tema
    1. puisi mistis, puisi bertema pengalaman spritual, hal abstrak dan berbau mistik.
    2. Puisi realis, yang mengangkat menggambarkan sebuah kejadian realita.
II.Prosa
Prosa adalah perkataan yang mendeskripsikan ide, gagasan dengan bentuk bebas tanpa terikat seperti puisi dan tidak berbait. A.Syayib membagi prosa ini kepada Realis, yang menguraikan fakta . Dan fiksi narasi ( riwayah) uraian tentang hal-hal fiktif. Seperti Hayy ibn Yaqzhan, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Laila Majnun, Alf Lailah Wa Lailah. Kemudian ia juga membagi prosa kedalam beberapa bentuk seperti novel, sejarah, bioghrapi, essay dan cerita. Sedangkan A.Hasyimi membagi bentuk-bentuk prosa kepada Muhadatsah (percakapan), orasi (khithabah) dan bahasa penulisan (kitabah).


B. Ilmu Sastra dan Yang Berkaitan.
Secara garis besar ilmu sastra ini terbagi kepada tiga bagian
  1. teori sastra: seperangkat konsep yang paling berkaitan secara ilmiah yang disajikan secara sistematis dan berfungsi untuk menjelaskan sejumlah gejala sastra, ilmu ini menekankan pada konsep, prinsip dan kategori sastra.
  2. Sejarah sastra: ilmu yang membahas tentang keadaan sastra pada suatu bahasa baik dari segi prosa maupun puisi. Ilmu ini menekankan pada perkembangannya.
  3. Kritik Sastra: ilmu untuk menemukan kebenaran sastra secara ilmiah, nilai yang terkandung, rahasia kekuatan dan keindahannya dan juga rahasia keunikannya hingga tetap bisa bertahan hingga saat ini.
Tapi kajian ini meluas hingga pengaruh terhadap masyarakat, keadaan penulis dan sebagainya. Kritik sastra menekanakan pada penilaian, kritik sastra bertugas dalam pengelompokan, pengkelasan karya sastra, dan menjembatani para pembaca dengan karya sastra. Kritik sastra ini juga yang nantinya melahirkan beberapa interdisiplin ilmu seperti sosiologi sastra, antropologi sastra, psikologi sastra. Kritik sastra ini pada umumnya terbagi pada sejarah kritik sastra dan teori kritik sastra.

Pembagian ilmu sastra seperti ini adalah yang populer, dan sebagian tokoh lain menambahkan bagian lain seperti Sastra Perbandingan yaitu untuk membandingkan suatu model karya sastra dengan yang lainnya untuk diketahui kesamaannya atau perbedaanya, tapi mungkin oleh tokoh lain hal ini dikategorikan kepada kritik sastra.

1. Teori Sastra.
Ada beberapa ilmu yang berkaitan dengan teori sastra, baik merupakan murni untuk menjelaskan teori-teori sastra atau merupakan cabang ilmu lain yang juga berkaitan dengan sastra.

  1. Ilmu Bayan. Adalah ilmu metode pendeskripsian dengan berbagai cara, tujuannya adalah agar perkataan dapat dipahami secara jelas, karenanya disebut ilmu Bayan. Ilmu ini mempelajari tentang uslub (gaya bahasa), Gambaran Deskriptif (shurah bayaniyah) seperti alegoris (tasybih) majaz dan kinayah.
  2. Ilmu Ma’ani. Adalah dasar-dasar untuk mengetahui keadaan dan keindahan perkataan sesuai dengan bentuk dan konteks kalimat. Ilmu ini mempelajari kretria perkataan yang baligh dan fasih (Fashahah wa balahg Al-kalam), kalimat khabar dan insya’, qashr, fashl. Washl,ijaz,ithnab dan musawah.
  3. Ilmu Badi’. Adalah ilmu yang mempelajari keindahan internal dan eksternal sebuah kalimat dengan tetap menjaga kejelasan arti. Dalam ilmu ini diplejari tentang irama, gaya bahasa, keindahan struktur (keindahan eksternal) dan keindahan Arti (keindahan internal)
  4. Ilmu Sharf. Ilmu tentang perubahan kata-kata dalam bahasa Arab berdasarkan wazan dan shighah . Ilmu ini akan memperkaya perbendaharaan kosakata.
  5. Ilmu Nahwu. Ilmu tata bahasa Arab. Yaitu ilmu yang mempelajari bahasa Arab dari segi posisi kata dalam kalimat, dengan ilmu ini akan diperoleh susunan kalimat dengan benar.
  6. Kemudian ada Ilmu Urudh, Qafiyah dan Alhan yang tidak begitu populer lagi sekarang.
Ilmu-ilmu diatas adalah ilmu tentang bahasa Arab, tetapi dengan menganalogikannya kedalam bahasa-bahasa muslim lainnya akan mewakili term “ilmu-ilmu yang berkaitan dengan sastra Islam”.


C. Sastra Islam Dalam Bahasa-Bahasa Muslim.
1. Arab
Pada masa jahiliyah sastra terutama dengan bentuk puisi berkembang dengan subur meskipun orasi juga sangat dikenal. Bentuk utama puisi saat itu adalah ode dan qashidah. Para pujangga beradu kebolehan dalam menggubah puisi di pasar-pasar, seperti pasar Ukaz. Penyair wanita juga telah muncul pada saat itu seperti Al-Khansa yang terkenal dengan puisi eleginya.

Nabi menggunakan puisi untuk melawan pujangga yang mendeskritkan Islam dengan puisinya. Para sahabat seperti Hasan Bin Tsabit, Abdullah bin Rawahah dan Ka’ab Bin Malik adalah yang mendapat tugas seperti ini. Sastra dengan munculnya Islampun mempunyai haluan baru, dan temanya meluas hingga hal-hal mistis dan puji-pujian terhadap Nabi.

Dengan meluasnya wilayah-wilayah Arab-Islam pada masa khalifah menghasilkan khazanah sastra yang kaya. Banyak para tokoh setuju bahwa sastra mulai berkembang pesat pada masa Bani Umayyah, sebagiannya adalah reaksi atas ketidak puasan terhadap kebijakan-kebijakan para raja. Hal yang sama juga dikatakan oleh A.Syalabi, bahwa Hijaz berubah menjadi pusat seni dari pusat politik akibat kebijakan Mu’awiyah yang menjadikan sistim negara monarkhi.

Pada masa Awal Islam hingga akhir Bani Umayyah orasi mendapat tempat penting dalam sastra. Para Khalifah Rasyidah dianggap sebagai orator-orator ulung, terutama Ali Bin Abi Thalib, Nahjul Balaghah yang disusun oleh Syarif Al-Radhi adalah kumpulan perkataan-perkataan Ali. selain itu muncul juga orator-orator terkenal seperti Subhan Wail, Ziyad bin Abihi (w 53 H),Al-Hajjaj (l 41 H) dan Thariq Bin Ziyad (w 101 H). Sedangkan beberapa para penyair ternama adalah Ka’ab Bin Zuhayr, Hassan Bin Tsabit (w 54 H), Umar Bin Abi Rabiah, Al-Farazdaq (l 19 H) dan Jarir (w 110 H).

Pada masa Bani Abbas pemerintahanpun lebih bercorak Persia daripada Arab sebagai ganti kebijakan Bani Umayyah yang menekankan Arabisme. Sastrapun ikut mengadopsi banyak kata non Arab. Kecendrungan memakai tasybih, majaz, tamsil dan gelar-gelar raja meningkat dibandingkan pada masa Umayyah.

Karya-karya monumental sastra banyak muncul pada masa ini, seperti Kitab Al-Bukhala karya Al-Jahizh, Alf Lailah Wa Lailah, Al-Maqamah karya Badi’uzzaman Al-Hamadzani, Hayy Ibn Yaqzhan karya Ibn Thufayl. Al-Khalil Ibn Ahmad pun mulai mensistimatisasi pola-pola puisi Arab yang disebut dengan Bahr yang berjumlah 15, dan disempurnakan setelahnya menjadi 16.

Kritik sastrapun mulai dibukukan pada masa ini seperti: Al-Bayan Wa At-Tabyin karya Al-Jahizh. Tabaqot Fuhul Asy-Syuara’ karya Ibn Salam (w 231 H). Ar-Risalah Al-Udzara’ karya Ibrahim Bin Umar (w 270 H). Asy-Syi’ru Wa Asy-Syuara’ karya Ibn Quthaibah (w 276 H).

Sastrawan terkemuka lainnya adalah Ibn Al-Muqafa’, Abu Bakar Khawarizm (l 132 H), Al-Hariri (w 515 H), Bussyar Bin Burd (w 168 H), Abu Nuwas (141-199 H), Abu Attahiyyah (130-211 H), Abu Tammam (W 231 H), Al-Buhturi (206-283 H), Ibn Rumi (221-283 H), Al-Mutanabbi (303-354 H).

Pada abad 19-20 Karya sastra sangat kental dengan nuansa politik. Novel pertama Arabpun muncul yang berjudul Zainab di Mesir pada 1913 M yang sarat dengan kritik sosio-politik, karya Muhammad husain Haikal. Qashidah klasik berangsur-angsur lenyap kecuali dikalangan penyair lama, puisi bebas dari Mesir dan Baghdad mendominasi puisi-puisi Arab.

Thaha Husein (w 1973 M) adalah seorang sastrawan yang mendukung bahasa Arab murni dalam sastra, dia memakai bahasa Arab pada karyanya Al-Ayyam. Yang dianggap maestro sastra pada abad ini adalah Najib Mahfuzh yang mendapatkan nobel untuk karya-karyanya yang memotret kehidupan Mesir.

Masa modern ini juga melahirkan peran penting wanita dalam dunia sastra baik dalam karya sastrawan laki-laki maupun perempuan. Yusuf Idris (w 1991 M) juga dipandang salah satu sastrawan terbesar abad ini, seorang pakar cerita pendek yang mengangkat isu-isu feminis dalam karyanya. Tokoh feminis yang paling menonjol adalah Nawal As-Sa’dawi, seorang tokoh yang sangat lugas dalam mengeksplorasi eksploitas laki-laki terhadap perempuan. Mahmud Thahir yang juga mengangkat isu seperti ini dalam karyanya seperti Bait Tha’ah (1929 M) yang mengecam laki-laki yang memperalat Islam sebagai pengekang wanita.

Sedangkan Najib Mahfuzh yang menulis Aulad Haratina mengangkat kehidupan nabi-nabi dan hubungannya dengan wanita, novel ini dianggap menghujat Islam dan dilarang beredar. Begitu juga dengan Abdul Rahman As-Syarqawi yang menulis Muhammad Rasul Al-Hurriyah (1962 M) yang menyimpulkan Muhammad sebagai manusia biasa, seorang tokoh pembaharu dan kehidupan wanita dalam hidupnya adalah noda terhadap keagungannya.

Gerakan sastra yang lain juga populer adalah penolakan terhadap kultur Barat. Seperti Yahya Haqqi yang menulis Qindil Umm Hasyim (1945 M), gambaran kegagalan sains Barat dan kebutuhan terhadap keseimbangan spritual dan material. Aminah Shadra yang menulis Liqa Fi Al-Mustasyfa’ (1970 M) yang memberikan gambaran wanita idealis dalam Islam dan menolak kultur Barat.

Beberapa sastrawan penting lainnya adalah Muhiy Al-Din (l 620 H), Syihabuddin (l 700 H), Al-Bushiri, Shafi’ Al-Din Al-Hilly (677-750 H), Rifa’ah Bek At-Tahthawi, kepala delegasi Mesir ke Eropa pada abad 13 H (w 1290 H). Abdullah Fikri Basya (1250-1307 H),Al-Barudi (1255-1322 H), Muhammad Hafizh Bek Ibrahim (l 1288 H)

2. Persia.
Sastra Islam juga mendapat sumbangan besar dari sastrawan Persia. Ciri khas sastra Persia adalah adalah keberagaman corak, variasi bahasa, karena bahasa Persia adalah hasil campuran dari berbagai bahasa, termasuk bahasa Arab. Bahasa Persia sangat iri dengan bahasa Arab yang diabadikan oleh Al-qur’an, juga bahasa-bahasa lain yang dipakai dalam kitab-kitab suci. Sementara itu bahasa Persia adalah bahasa nonkanonis (tidak pernah dipakai sebagai bahasa kitab suci), hal inilah yang menjadi salah satu faktor munculnya gerakan syu’ubiyah, suatu gerakan yang ingin memurnikan budaya Persia dari budaya Arab, termasuk bahasanya. Sejak penyerbuan Arab ke Persia sudah muncul gerakan agama sinkretik yang mengklaim bahwa Persia juga memiliki Al-Qur’an dalam bahasa Persia, tapi tentu saja tidak bisa berkembang luas. Kerinduan ini terus berlanjut hingga munculnya Matsnawi karya Rumi yang dianggap sebagai Al-Qur’an Persia oleh tokoh-tokoh sastra.

Seperti di Arab, Persia pra-Islam juga telah mengenal sastra meskipun tidak ada bukti tekstual yang memadai. Beberapa tokoh berpendapat bahwa banyak sastra Persia pasca penyerbuan Arab adalah saduran atau terinspirasi dari karya sastra pra Islam seperti Yusuf-e-Zulaikha yang dianggap terinspirasi oleh Vis dan Ramin.

Bahasa Persia yang nonkanonis akhirnya menjelma menjadi bahasa sastra dan bahasa Arab menjadi bahasa teologi, fiqh, filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya. Bahasa sastra Persia melebar ke India, Turki, kebanyakan dipakai untuk alat pelegitimasi kekuasaan politik terutama di Turki.

Bentuk puisi pertama persia yang paling sukses adalah panegrika, ditangan Rudaki (w 940 M), Farrukhi ( w 1037 M) dan Manuchiri (w 1040 M). Puisi panegrika biasanya berkisar pada puji-pujian terhadap raja dan istana, keindahan pesta, taman anggur, dan sebagainya.

Masih dengan hubungannya dengan politik puisi epikpun muncul dan mencapai manifestasi tertinggi ditangan Firdausi dengan karyanya Shahnamah (book of kings), yang berisi kurang lebih 60.000 bait syair yang menceritakan pahlawan Rustam dan penghiantan Zhahhak. Karya ini menjadi inspirasi bagi karya-karya puisi epik lain sesudahnya seperti Taimurnamah oleh Hatifi (1521 M), Shahnamah oleh Shah Ismail, Shahnahmasp oleh Kazimi (1560 M), Shahnamah Naderi oleh Ishrati (1749 M), dan puisi mistis seperti Rushanai dan Namah oleh Nashiri Khusrou, pargristic oleh Ansori (1006-1089 M), Hadiqah Al-Haqaiq oleh Sanai (1130 M).

Dari segi aspek romantis cinta dan petualangan, sastra Persia pertamakalinya diwakili oleh Nizhami (w 1209 M) dengan karyanya Khamsah (kwintet), Laila Majnun, Khusraw Syirin. Vis dan Ramin karya Al-Gurghani. Para pujangga selanjutnya lebih memilih gaya Nizhami seperti Amir Khusraw (1325 M), Khawajh Kirmani ( 1352 M) dan Abdul Rahman Jami’ (1492)

Muncul juga satu genre yang begitu terkenal dalam bahasa persia yaitu ghazzal. Tokoh utama ghazzal adalah Sa’di (w 1209 M) dan Hafizh ( W 1390 H) meskipun genre ini sudah dikenal sejak masa Sanai (w 1130 M) dan Nizhami (w 1209 M).

Menurut John Esposito puisi Persia mencapai puncaknya pada masa Sa’di, salah satu keistimewaannya adalah kepawaianya dalam menyeimbangkan tema-tema sosial, moral, pendidikan dan mistis. Ia dianggap sebagai raja pujangga didaktik, karyanya Gulistan (rose garden) dan Bustan (fruit garden) dianggap sebagai karya terbesar pendidikan dalam sastra Persia bahkan dalam sastra Islam. Karyanya ini sebagaimana Shahnamah juga menjadi inspirsi bagi sastrawan lainnya. Bustan menginspirasi Dastur Namah oleh Nizhami, Dah Bab (ten chapters) oleh Katibi dan Gulzar (rose bower ) oleh Heirati. Sedangkan Gulistan menginspirasikan Negaristan karya Al-juwaini, dan Baharistan oleh Al-Jami’.

Sastra Persia mencapai puncaknya dengan puisi mistis, karya-karya seperti ini diterjemahkan keberbagai bahasa, dibaca oleh jutaan orang hingga sekarang. Pujangga-pujangga mistis terkemuka adalah Sanai (w 1130 M), Umar Khayyam ( w 1129 M) Farid Ad-Din Atthar (w 1220 M), dan Jalaluddin Rumi (w 1273M).

Pada masa Sanai terjadi perubahan signifikan dalam dunia sastra, kerajaan yang biasanya melindungi puisi Persia berangsur-angsur berubah, konsekuensinya adalah tema-tema pujian terhadap istana dan raja menghilang digantikan oleh agama. Seperti Sanai yang akhirnya hanya menggubah puisi religius. Karyanya adalah seperti Divan (kumpulan puisi ), Hadiqh Al-Haqaiq, yang merupakan adikaryanya, dan Al-madaih. Sedangkan Atthar, adalah pencipta Mantiq Thayr (bahasa burung) dan Asrar Namah, buku yg sangat berpengaruh pada Matsnawi.

Adapun Rumi yang menggubah Matsnawi adalah mistikus paling besar yang dikenal luas hingga saat ini. Dan setelah Rumi mistifikasi ini berkembang dengan pesat, kebanyakan sastrawan menggubah puisi-puisi mistis, kecuali Hafizh seorang sastrawan yang berhasil mengabungkan fisikitas Sa’di dan cinta mistis Rumi. Puisi Persia mencapai ketinggian baru ditangannya.

Pada masa dinasti Qajar, pada abad ke 18, puisi epik dianggap muncul lagi setelah kematiannya pada masa Shafawiyah, tapi kebangkitan puisi epik inipun hanya menggambarkan hal-hal bohong belaka. Memuji raja-raja lalim, dan menggambarkan keindahan pemerintahan yang sangat bertolak belakang dengan faktanya.

Pada abad ke 20, sastra Persia mempunyai peran penting dalam revolusi konstitusi, para sastrwan berusaha mencari jati diri dan kebudayaan bangsa, di tangan para sastrawan -seperti Iraj Mirza ( w 1925 M) yang terkenal dengan puisi satirnya yang lugas, Arif dengan lirismenya yang indah, Pavin (1907-1941 M), Farrukhi Yazdi ( W 1939 M) yang mengusung sosialisme radikal dan Nima Yusyif (1897-1960 M) yang dianggap bapak revolusi sastra-sasta Persia benar-benar berubah dengan imajinasi baru.

Revolusi sastra ini didukung oleh sastrwan-sastrawan semasanya dan sesudah mereka, seperti Ismail Khu’i (l 1938 M), Mah Akhavan Shalish (1928-1990 M), Ahmad Syamlu (l 1925 M), Ahmad Riza Ahmadi (l 1940 M). Hanya ada beberapa sastrawan yang memilih tidak bertisipasi seperti Faridun Masyiti (l 1926 M), Faridun Favalluli ( l 1919).

Seperti di Arab, feminismepun lahir di Persia, Furugh Farrukhzad (1935-1967 M) adalah wanita paling populer yang mengangkat isu-isu feminisme. Tokoh lainnya adalah Simin Daninsyvar (l 1921 M), Syahr Nusy ( l 1946 M), dan Muniru Ravanivur.

Dunia prosapun mulai menggeliat kembali, sama seperti puisi, prosa juga mengangkat tema-tema revolusi, seperti The Blind Owl karya Ali Jamalzadah (l 1892 M), Nun Wa Al-Qalam karya Ali Ahmad yang menggunakan narasi tradisional untuk menggambarkan revolusi modern. Partisipan lain adalah Hajj Aqqi (l 1945), Buzurq Alavi, dan Shadiq Chubak (l 1916 M).

Dunia fiksi dan drama juga berkembang pada masa ini meskipun drama-dramanya kebanyakan diangkat dari karya-karya tradisional. Adapun karya fiksi ternashur adalah Klidar karya Mahmud Daulatabadi (w 1970 M) yang menggambarkan pahlawan-pahlawan Khurasan dan perjuangannya.

3.Urdu.
Artikulasi dan tema-tema sastra pada abad 19-20 adalah tanggapan atas pengaruh Inggris kepada budaya nasional, dan usaha untuk mendapatkan jati dirinya kembali. Upaya penggagasan pembaruan sosial ini sudah muncul sejak Syah Wali Allah ( w 1762 M) yang pada masa selanjutnya diteruskan oleh sastrawan dan penulis seperti Ahmad Khan dan Iqbal.

Tokoh pembaru pada abad 19 adalah Ahmad Khan yang beranggap bahwa pengaruh Eropa pada budaya haruslah dikikis, dan lebih terbuka pada perkembangan ilmiah positif. Pemikiran ini banyak didukung oleh sastrawan-sastrawan terkemuka pada masanya seperti Altaf Husain Ali (w 1914 M) seorang pakar puisi dan prosa yang mengangkat tema-tema sosial budaya dalam karyanya, Madd va Ghazr Islam adalah contoh puisi yang mendukung gerakan Ali Garh yang dikepalai oleh Ahmad Khan. Yang selanjutnya disusul oleh Iqbal dengan Shikhva (keluhan ) dan Javab-i-Shikhva (jawaban keluhan).

Dalam bentuk novel kita mengenal Nazhir Ahmad (w 1912 M), pelopor perkembangan novel
Urdu, karyanya Mir’atu-l Arusy (cermin pengantin wanita ) yang menyatakan pentingnya pendidikan bagi kaun muda. Begitu juga dengan Mumtaz Ali dengan karyanya Huquq An-Nisvan (hak-hak perempuan).

Diantara perdebatan sengit antara kaum konservatif dan pro-pragmatik Eropa, muncullah seorang sastrawan produktif, Syibli Nu’mani (w 1914 M) ia berusaha menjembatani dua kelompok besar ini. Sastrawan dari golongan konsevatif adalah Akbar Allahabadi (w1921 M) seorang yang pintar memainkan kosa-kata Urdu, Zafar Ali dan Zamindar. Mereka menyerang kaum moderat habis-habisan, karya-karya mereka mencerminkan kebencian terhadap pengaruh Inggris. Adapun Abul Kalam Azad adalah seorang dengan latar belakang teologi konservatif tapi ia lebih moderat dibanding kawan-kawannya, karyanya terbesar adalah Tarjuman Al-Qur’an.

Mungkin sebagian besar pengkaji Sejarah Sastra akan mengatakan Iqbal (w 1938) adalah sastrawan terbesar Urdu. Ia sangat berpengaruh dalam komunitas muslim, dengan karya-karyanya ia menggagas negara Islam. Iqbal hidup dalam masa revolusi besar dunia, ia mewarisi gagasan Syah Wali Allah dan gaya puitis Halli. Karyanya Shihkva, javab i Shikhva, Asrar Khudi ( rahasia diri) dan Rumuz Bikhudi (misteri ketiadaan diri) adalah cermin kerinduan Islam terhadap jati dirinya. Ia juga menulis Bang-i-Dara (lonceng kafilah) yang membangunkan muslim India dari tidurnya. Iqbal adalah seorang moralis sosialis yang mengecam peniruan buta terhadap kebudayaan Barat.

Beberapa tokoh lain yang pantas disebut adalah seperti Abdullah Sindzi (w 1942 M) yang oleh pemerintah Inggris dianggap penghasut. Hasrat Muhani (w 1951 M) seorang pakar ghazzal Urdu, hingga ia dijuluki pangeran ghazzal. Ahmad Faiz Ahmad (w 1984 M), Hasan Nizhami (w 1955) yang mengusung gerakan tabligh anti gerakan misionaris Hindu. Semua tokoh diatas mengangkat tema-tema penjajahan budaya dan moral atas budaya bangsa. Sastra Urdu mengalami masa keemasannya pada abad akhir abad 19 dan awal 20. baik pusi dan prosa mayoritas membahas kejatidirian muslim dalam serangan politik-sosial Barat.

4. Turki.
Sastra turki pada masa pra-tanzimat (1839-1879 M) didominasi oleh puisi sebagai sarana yang paling disukai di seluruh lapisan masyarakat, baik bentuk puisi biasa atau puisi yang didendangkan (aruz) atau puisi sufi (tekke). Karya-karya sastra dipergunakan oleh daulah Utsmaniyah sebagai alat legitimasi politik, memuji para raja, perjamuan dan lainnya. Musthafa Ali (1541-1599 M) dengan Karyanya Kunh Al-Akhbar adalah catatan dari masa Adam-Yesus dan pendirian Daulah Utsmaniyah. Pujangga terkenal pada masa itu adalah Baki (1526-1600 M), Nef I (1582-1636 M), Yahya Efendi (1552-1644 M ) dan Yunus Emre.

Maka pada masa tanzimat dan sesudahnya sastra hidup untuk pendefenisian kembali tentang
diri dan negara. Mayoritas sastra mengangkat tema-tema sosial dan moral. Novel Turkipun berjudul Telemaque lahir pada masa ini, sebagai wahana pendeskripsian isu-isu kontemporer seperti perbudakan, konstitusional, patriotisme, hak wanita, persatuan Islam.

Para tokoh tanzimat mempergunakan sastra sebagai sarana untuk menyampaikan konsep dan pandangan politik, seperti Ibrahim Sinasi (1826-1871 M), Ziya Pasha (1825-1880 M), Namik Kemal (1840-1888 M) dan Ahmad Mithat Efendi (1844-1912 M). Dalam pergulatan ideologi inilah tema-tema Islam kembali muncul sebagai alternatif jalan keluar bersama yang diusung oleh Mehmet Akif (1873-1936 M), sedangkan aliran Usmanisme diusung oleh Namik Kemal, Westernisme oleh Tevik Fikret (1867-1915 M), dan Turkisme oleh Ziya Gokalp (1876-1924 M).

Tokoh feminis perempuan pertama adalah novelis Fatma Aliye Hanim (1864-1936 M), ia menolak pendapat tokoh-tokoh pro poligami dalam berbagai karyanya seperti Muhazarat (persisihan, 1892), Refet (kemurahan Hati,1897), Udi (pemetik kecapi, 1899). Ahmet Mithat meskipun banyak mengangkat isu-isu feminisme karena serangan bertubi-tubi dari Eropa yang menganggap bahwa Islam memperkosa hak-hak wanita, tidak bisa dikatakan sebagai tokoh feminisme, di sebagian karyanya seperti Felatun Beyle dan Rakim Efendi malah mengatakan bahwa Rakim sebagai tokoh teladan malah dijadikan Ayah Angkat Oleh seorang gundik setelah ia menikahi seorang budak yang patuh. Perbudakan juga merupakan sasaran kritik sastra, seperti Araba Sevdat (kereta kuda), Surguzest-i Felatun Beyle, Felatun Beyle dan Rakim Efendi.

Kesedihan atas kehilangan sesuatu dan kebingungan adalah ciri khas karya abad 19, kesedihan karena kehilangan jati diri diumpamakan sebagai kematian istri oleh Abdul Haq Hamid dalam karyanya Makber, kebingungan dilambangkan dengan Sis (kabut) oleh Taufik Fikret, yang menggambarkan Istanbul sebagai pelacur dan perzinahan di vila-vila Utsmaniyah.

Setelah priode konstitusional II (1918), tema-tema identitas budaya semakin melekat dalam sastra Turki, ditambah dengan munculnya gerakan-gerakan non Islam, pembunuhan Muslim di Balkan (1911-1912) mendorong munculnya tema-tema Islam yang mengugah untuk menuju Turki yang sejahtera. Sebuah novel narasi yang berjudul Masjid Sulayman muncul -yang mengajak para Muslim untuk melihat keindahan mesjid ini sebagai lambang kejayaan Islam, dan kemudian ikut mendengarkan ceramah Abdurresi Ibrahim yang dihadiri oleh 3000 muslim tentang pembantaian Muslim di negara-negara lain-merupakan karya besar saat itu. Taufik Fikret yang siap menanggalkan keIslamannya tentu saja menjadi sasaran tunggal Mehmet Akif, dalam karya-karyanya Tauvik dianggap seorang munafik yang hidup dibawah lonceng gereja.

Adapun pendukung Turkisme mencoba menengahi perdebatan ini, Ziya Gokalp dalam karyanya Turklasmak, Islamlasmak, Muasirlasmak (Turkifikasi, Islamisasi dan Modernisasi) menyuguhkan teori “ menuju Barat dan menuju rakyat”. Menurutnya penggunaan bahasa Turki harus digalakkan, kerinduan mendengarkan adzan, shalat dalam bahasa Turki ia gambarkan dalam puisinya Vathan (tanah air), menurutnya Islam adalah menekankan kecintaan kepada Allah
Pada abad 20, tema-tema sastra berubah menjadi anti-Islam dan menguat, tampaknya ini adalah pengaruh Yakup Kadri Karosmanogolu (1889-1974 M), yang menggambarkan bahwa pondok-pondok orang beriman adalah tempat maksiat yang sebenarnya, dalam novelnya Nur Baba (bapak Ilahi), begitu juga dengan Yaban (orang asing ) yang menggambarkan bahwa orang beragama adalah orang yang menjijikkan. kemal Attatturk (1880-1938 M) adalah seorang yang beride sama meskipun tidak seekstrim itu. Akibatnya adalah munculnya penolakan agama Islam sebagai agama negara, penekanan terhadap tarekat-tarekat agama dan lainnya.

5. Melayu.
Islam menurut catatan di China telah bertapak di Sumatera sejak 674 M, dengan bukti surat perjanjian negara Cina dengan negara Ta Shi yang diduga adalah perkampungan para saudagar Arab. Bahasa Melayu selalu dikaitkan dengan Islam sejak diperkenalkan di Asia Tenggara, hingga anggapan bahwa seorang berbahasa Melayu adalah Muslim bukan hal aneh lagi.

Pembicaraan tentang sastra Melayu klasik biasanya dimulai pada abad 17 M. Tokoh pertama masa ini adalah Nuruddin Ar-Raniri yang berasal dari Ranir, India, ia menetap di Aceh pada tahun 1637-1644. ia adalah seorang yang luas pengetahuannya tentang naskah Arab-Persia, ia menulis buku berbahasa Melayu yang terkesan aneh seperti Shirat Mustaqim dan Bustan As-Salathin. Ia berseberangan ide dengan Syamsuddin Sumatrani (w 1630) dan Hamzah Fansuri yang mengemukakan pendapatnya dalam syair-syairnya seperti Syair Dagang, Syair Burung Pingai.

Bentuk-bentuk prosa yang terkenal pada masa itu adalah cerita, baik cerita asli, saduran, tunggal maupun berbingkai, seperti Hikayat Anbiya, Hikayat Nabi Bercukur, Bayan Budiman.
Masa selanjutnya setelah 3 tokoh diatas dunia sastra melayu mencatat nama-nama seperti Abdul Samad Al-Palembani, penulis Hidayat As-Salikin. Juga Kemas Muhammad bin Ahmad Al-Palembani dan Daud bin Abdullah Al-Patani. Bentuk bentuk sastra pada abad 17-18 adalah berupa sastra kitab, sastra sastra hikayat, sastra tata negara dan sastra sufi yang kemudian tidak berkembang, dan bahkan mati.

Pada abad 19 dan 20 sastra Melayu berperan penting dalam dunia politik, tema-tema atas kecaman penjajahan sangatlah dikenal. Novel-novel seperti Setia Asyik kepada Masyuknya dan Shafik Afandi dan Faridah Hanom karya Syaikh Ahmad Al-Hadi, adalah kecaman terhadap moral anak-anak bangsa yang terpengaruh terhadap kultur penjajah. Juga novel karya Ahmad Rasyid Jalu, Iakah Salma (1928 M).

Di Malaysia, sastra menjadi alat penyusun kebudayaan nasional. Ahmad Shanon seorang pakar prosa mengatakan bahwa tugas sastrawan muslim adalah menemukan tatanan yang telah diciptakan Allah untuk menemukan kebenaran dan kedamaian, menulis sastra adalah ibadah bukan semata seni untuk seni.

Tema-tema Islam banyak diangkat dalam sastra Melayu seperti karya- karya Shanon antologi cerita pendek Tuhan Bagaimana KucariMu (1979 M), Sebuah Lampu Antik (1983 M), Tok Guru (1988 M). Puisi juga tak kalah dalam mengangkat tema-tema Islam, seperti Tuhan Kita Begitu Dekat, Ayn karya Kemala ( w 1983 M), Cahaya oleh Ansari. Karya-karya diatas bercerita tentang seorang yang bejat moralnya dan bertobat menjadi muslim yang taat.

Sementara itu di Indonesia tema-tema Islam kurang mendapat perhatian, menurut mereka pengalaman agama adalah hal pribadi, kecuali mungkin terhadap Amir Hamzah (1911-1956 M) dan Hamka (1908-1981). Amir Hamzah menggemakan puisi-puisi ala Hamzah Fansuri yang terjebak antara tradisi dan modernitas, karyanya seperti Njanji Soenyi (1937 M), Boeah Rindoe (1941). Sedangkan Hamka, selain terkenal sebagai sastrawan ia juga diakui sebagi ilmuwan, Hamka lebih menyuarakan agama, karyanya seperti Dibawah Lindungan Ka’bah (1938 M), Merantau Ke Deli (1939 M), Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk.

Pada masa kemerdekaan sastra Islam mendapat peluang untuk memperlihatkan perannya, tapi karena dituduh tidak mendukung usaha pembentukan budaya ala Sukarno sastra Islampun semakin dipinggirkan, puncaknya pada tuduhan terhadap Hamka yang dituduh menjiplak karya Manfaluthi yaitu Qissah Majdulin (kisah cinta Mahdalena) untuk karyanya Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Padahal sejak masa Raniri tradisi adaptasi karya telah dilakukan.

Pada masa orde baru sekali lagi sastra Islam diberi ruang untuk lebih bergerak, karena pemerintah mencoba mengambil simpati agama untuk melawan Komunis, tapi sastra tetap tidak berhasil menunjukkan dirinya. Bahkan ketika Langit Makin Mendung (1968 M) novel karya Ki Panji Kusmin yang menghebohkan diseret ke pengadilan-karena dituduh melecehkan agama Islam-lagi-lagi para sastrwan muslim tidak bisa menunjukkan buktinya, bahkan mereka menganggap hal seperti itu adalah kebebasan berkarya yang harus dihormati. Sungguh suatu sikap moderat yang terlalu berlebihan.

Meskipun kalah sastra Islam tetap memberikan sumbangan terhadap sastra nasional. Para sastrawan muslim selanjutnya selalu mencoba mengangkat tema-tema Islam seperti Zawawi Imron dengan karyanya Nenek Moyangku, Air Mata (1985 M), Emha Ainun Nadzib dengan Untuk Tuhanku (1983 M), Sutarzo Calzoum Bachri dengan O,Amuk Kapak (1981 M).

D.Sastra Islam (Analisa Sejarah Sastra Islam)
1. Pengaruh Islam, Politik , Tasawwuf, dan Feminisme Dalam Sastra.
Tak diragukan lagi bahwa Al-qur’an mempunyai keindahan luar biasa, baik dari segi strukturnya, isi pesan dan isi komunikasinya. Al-Qur’an menjadi salah satu sumber ilmu-ilmu Sastra seperti Bayan, Badi, maupun Ma’ani. Kemu’jizatan Al-qur’an dalam hal itu dijelaskan oleh Al-Baqilani secara terperinci. Tema-tema dalam Al-Qur’anpun banyak diangkat, gaya bahasanya langsung atau tidak langsung juga mempengaruhi Sastrawan. Al-qur’an telah menstimulus para Sastrawan untuk berkarya, banyak karya-karya besar lahir dari perenungan terhadap Al-Qur’an (Tuhan).

Begitu juga dengan Nabi sebagai teladan kaum muslimin. Beliau dianggap sebagai orang paling fasih dalam bahasa Arab. Perjalanan hidupnya menjadi tema karya sastra baik epik maupun didaktik. Ia juga seorang yang memaksimalkan kegunaan sastra untuk perkembangan Islam. Dengan kata lain Al-Qur’an dan Nabi (Islam) telah memberi haluan baru kepada sastra, dan sastra yang berhaluan Islamlah yang layak disebut sastra Islam.

Baik sastra terhadap politik maupun sebaliknya sangat berpengaruh besar. Sastra sering dijadikan alat pelegitimasi politik, dan hal ini bukan hal baru dalam dunia sastra. Keadaaan ini mulai menonjol pada masa Bani Umayyah yang memilih beberapa sastrawan istana dan menggajinya. Pada gilirannya sastrapun ikut arus politik, terkungkung apabila mayoritas sastrawan adalah politikus aktif, contoh pengaruh sastra pada politik dan sebaliknya adalah yang terjadi di Turki dan Malaysia.

Sastra dan tasawuf mempunyai beberapa kesamaan salah satunya adalah sifat intuitif. Para sastrwan menorehkan pengalaman mereka dalam karya dengan bahasa yang bisa menggugah perasaan untuk merenung dan berpikir inilah yang tidak semua kaum sufi miliki dan aspek inilah yang sering dipergunakan tasawuf.

Sifat intuitif yang ada pada sastra maupun tasawuf menjadikan banyak diantara sastrawan adalah sufi, seperti Fariduddin Atthar yang dianggap sebagai sastrawan sufi terkemuka dan Jalaluddin Rumi.

Salah satu fenomena yang sama-sama muncul pada kebanyakan sastra dalam bahasa-bahasa muslim adalah isu-isu feminisme, baik karena partisipasi perempuan ataupun diangkat sebagai tema oleh sastrawan laki-laki.

Arab diwakili oleh Nawal As-Sa’dawi, Persia oleh Furugf Farrukhzad., di Urdu meskipun tidak tercatat nama terkenal, tapi tema ini menjadi ciri khas karya pembaru-pambaru Indo-Muslim. Tampaknya Melayu adalah penyumbang termiskin, bahkan hampir tidak disinggung meskipun pada beberapa karya tokoh-tokoh terkemuka, isu ini sering diangkat dan dijadikan tema. Ada satu tokoh wanita yaitu Fatimah Hasan Delais (l 1915 M), tapi karyanya juga tidak mengangkat isu feminisme.

Salah satu faktor yang mendorong munculnya isu feminisme ini adalah serangan dari Eropa yang menyudutkan Islam dengan klaim Islam adalah pengungkung hak-hak wanita seperti yang terjadi di India, tapi pengangkatan wanita sebagai tokoh yang tidak punya pendirian moral oleh sastrawan muslim juga sangat berpengaruh.

2. Kritik Sastra.
Di zaman jahiliyah kritik sastra telah muncul meskipun terkonsentrasi pada beberapa hal seperti uslub, kejelasan arti, sifat-sifat artistik. Pada abad pertama kritik ini meluas pada tema, tujuan, bentuk, sifat sosial pengarang, nilai kejelasan dan kekuatan penyampaian.

Pada abad 2 dan 3 kritik sastra menjadi lebih sturuktural, hal ini mungkin karena pengaruh Yunani telah masuk ke dalam Islam. Kritik pada masa ini berkisar pada arti, bahasa, uslub, balaghah, tata bahasa, urudh dan moral. Pada masa ini pula usaha untuk mensistimatiskan kritik sastra mulai muncul dengan dibukukannya beberapa buku kritik sastra.

3. Sastra Sebagai Informasi Sejarah.
Salah satu ciri sastra yang paling dominan adalah imajinatif, artinya kekuatan daya imajinasi pencipta karya sastra menjadikan karya sastra itu menjadi buah karya penuh dengan imajinasi. Imajinasi ini merupakan hasil dari kretifitas seorang pencipta karya sastra. Semakin kuat dan variatif daya imajinasi seorang sastrawan maka akan semakin indah dan bervariasilah karya yang diciptakannya.

Meskipun demikian salah satu teori sastra adalah mimetic artinya karya sastra merupakan tiruan dari alam, stuasi dan kejadian yang terjadi atau yang dirasakan oleh penulis karya sastra. Sebagian ahli kritik sastra menolak teori ini karena sifat karya sastra adalah imajinatif. Tapi meskipun demikian tentulah seorang sastrawan tidak akan sampai kepada hal meskipun hanya sebuah imajinasi kecuali sedikit atau banyak ia pernah merasakan seperti apa yang ada dalam imajinasinya itu. Artinya daya imajinasi manusia tidak akan terlepas dari situasi yang mengkondisikannya dalam penciptaan karya sastra tersebut.

Sebagian karya sastra merupakan sumber kuat dan informasi tentang sejarah dan gambaran keadaan pada masanya. Banyak karya sastra menceritakan moment bersejarah dalam kehidupan. Dan hal ini tentu bisa dijadikan sebagai informasi dan sumber sejarah, meskipun suatu objek (kejadian atau keadaan) yang ia ceritakan tentulah sangat subjektif. Tapi jikalau karya sastra bercerita tentang nama manusia, tempat dan tanggal maka keobjektifan karya sastra itu patut diperhitungkan.

Goldziher mengakui bahwa karya sastra merupakan sumber kuat sejarah, seperti ketika terjadi pro dan kontra terhadap keshahihan hadist Ghadir khum, Goldziher yang meyakini keshahihan hadist itu memberikan bukti berupa puisi karya Hasan Bin Tsabit. Contoh lain juga seperti kesimpang siuran tempat terjadinya Tahkim, kebanyakan sejarawan berpendapat bahwa Tahkim terjadi di Adhruh, mereka menemukan banyak syair yang menyebutkan bahwa di Adhruhlah terjadi Tahkim. Juga seperti pidato Ali yang menceritakan tentang kejadian perebutan air di sungai Eufrat sebelum terjadi perang Shiffin.

4. Sastra Akademis.
Di Arab dan Persia, sastra sebagai materi akademis baru mulai sistematiskan pada abad ke 2 H, sastra telah menjadi salah satu materi kurikulum sekolah saat itu. Ilmu kesustraan pada saat itu digolongkan menjadi kelas ilmu agama bersama dengan Teologi, hal itu tentu mendorong kemajuan dan kecintaan para pelajar untuk mempelajari sastra.

Pelajaran sastra di Arab terpusat pada retorika dan kefasihan berbicara bahasa Arab. Hal inilah mungkin memang imbas dari kebudayaan orang Arab yang sangat mengutamakan kefasihan dalam berbicara. Hal ini menjadi lebih kental lagi pada masa munculnya mu’tazilah yang terkenal dengan rasionalitasnya.

Setelah itu meskipun kesustraan masih menempati kelas ilmu agama tetapi seiring munculnya pengesampingan terhadap terhadap ilmu-ilmu sains non agama ilmu sastra juga sedikit terkena imbasnya. Ilmu-ilmu sains pada saat itu terutama pada masa Al-Gahazali sangat kaku dan dipandang sebelah mata. Pada saat ini ilmu-ilmu sains dianggap tidak begitu berharga. Adapun sastra merupakan komentar atas karya-karya terdahulu, begitu juga dengan ilmu agama lainnya.

Fazlurrahman berpendapat bahwa terjadi pergeseran yang sangat besar dalam dunia keilmuwan Islam yang menyebabkan mundurnya keilmuwan Islam baik dalam agama maupun Sains. Yang ramai diperdebatkan dalam kalangan ilmuwan hanya berkisar diseputar masalah-masalah yang sudah dibahas oleh ilmuwan sebelumnya, praktis ilmu saat itu hanya komentar atas penemuan ilmuwan sebelumnya. Selanjutnya Fazlurrahman berpendapat bahwa yang dicapai pada masa abad 1 dan 2 H adalah murni, sedangkan masa selanjutnya hanyalah komentar, dan pada masa Al-Ghazali dan sesudahnya merupakan super komentar hingga muncullah keinginan untuk keluar dari stuasi tersebut oleh para pembaharu-pembaharu muslim.

Setelah sekularisme muncul dalam dunia keilmuwan, ilmu Sastra menjadi salah satu ilmu Sains. Para ulama terbagi kepada dua golongan besar yaitu pro sains dan anti sains. Hingga oleh para modernis Islam dimunculkanlah anggapan sains pragmatis termasuk sastra. Artinya ilmu Sastra mutlak diperlukan dalam membangun peradaban untuk mencapai kemajuan, ilmu sastra diberikan perhatian lebih besar jika sastra berguna bagi kehidupan sehari-hari.

Pro dan kontra antara ilmu-ilmu agama dan Sains tetap terjadi hingga zaman modern, seperti Iqbal dalam puisinya,
Tuhan aku mengadu pada-Mu tentang perkara guru itu:
Mereka mengajar anak-anak rajawali berkubang dalam Lumpur
Tapi jika engkau dibungkam dari mula oleh para guru
Maka dari mana lagi akan terdengar
Pekik” Tiada Tuhan selain Allah”?

Puncak usaha modernisasi ilmu pengatahuan dimulai pada masa Sayyid Ahmad khan di India, Muhammad Abduh di Mesir, Namik Kemal di Turki dan Jamaluddin Al-Afgani di Pakistan. Pada masa itu akhirnya sastra pragmatis mendominasi keilmuawan sastra hingga sekarang. Sastra mistis kalah jauh dibandingkan sastra realis salah satu bentuk sastra pragmatis.

5. Sastrwan dan Karyanya.
  1. Jalaluddin Rumi (6 rabi’ul awal 604-5 Jumadil Akhir 672 H )
    • Lahir di Balkh. Nama aslinya Muhammad, diberi gelar Jalaluddin atau Khuwandagar. Dalam syairnya ia bernama Khumusy (diam). Sejak abad 9 ia diberi gelar Mullayi-Rum (pelajar dari Anatolia). Di Eropa ia dikenal dengan nama Rumi, yang diambil dari nama daerahnya.
    • Ia lahir di pusat kebudayaan Persia kala itu. Ayahnya bernama Muhammad Bin Husein atau lebih dikenal dengan Baha’u Ad-Din Walad, seorang sufi terkemuka di Balkh. Kakeknya bernama Najm Ad-Din Al-Kubro, penulis Ma’arif yang begitu dikenal di dunia tasawuf. Buku ini sejak kecil telah dipelajari Rumi, dan nantinya sangat berpengaruh dalam Matsnawinya.
    • Pada usia 12 tahun, ia dan ayahnya pindah ke Anatolia yang kemungkinan besar adalah akibat invansi Mongol. Di Nishafur mereka bertemu dengan Atthar yang menghadiahinya buku Asrar Namah, yang juga mempengaruhi kehidupan spritual dan Matsnawinya. Setelah sampai di Anatolia mereka menetap di Konya.
    • Pada tahun 642 H kehidupannya berubah fantastis setelah pertemuannya dengan tokoh Syamsuddin Tabrizi, persahabatan ini sangat berperan membangkitan kekuatan Rumi. Karya Rumi pertama adalah surat untuk sahabatnya dan sejak itu ia tidak pernah berhenti menggubah syair hingga wafatnya.
    • Matsnawi adalah mahakarya Rumi, yang dianggap sebagai Al-Qur’an Persia oleh Jami’. Karya ini digubah atas permintaan muridnya Husam Al-Din Chulabi, yang meminta gurunya menuliskan rahasia makrifat dengan model Hadiqah Haqaiq karya Sanai atau Mantiq At-Thayr karya Atthar. Matsnawi ini tidak pernah sempurna, hanya ada 6 jilid dari seharusnya 7 jilid menurut kebanyakan sastrawan.
    • Dalam pembukaan Matsnawi ia mengatakan” this the Mathnawi which is the root of the root of religion”. Didalamnya ia menguraikan luasnya samudera semangat perjalanan manusia dalam mengarungi dunia untuk satu tujuan menuju hakikat yang abadi. Reynold. A.Nicholson-yang menerjemahkan karya-karya Rumi-adalah orang yang berjasa mengenalkan karya ini di Eropa, meskipun dia bukanlah orang pertama yang menerjemahkannya.
    • Karya Rumi yang lain adalah Diwan Syamsi Tabriz, Rubaiyat, Makatib, Majlis Sab’ah dan Fihi Ma Fihi, perkataan-perkataan Rumi yang dikumpulkan oleh murid dan Anaknya.
  2. Muhammad Iqbal. (1873-1938 M)
    • Lahir di Sialkot pada 1873 M (1291 H). Ia mendapat gelar Master di Lahore, setelah itu melanjutkan ke universitas Cambrigde, tapi dua tahun kemudian ia pindah ke Jerman dan mendapatkan gelar doktor filsafat di sana. Ia berprofesi sebagai pengacara dan dosen filsafat.
    • Baik dalam politk maupun sastranya, ia menjadi pembaharu di India. Menurutnya kemunduran ummat ini adalah karena kebekuan pemikiran, hal ini dikarenakan hancurnya Baghdad sebagai simbol kemajuan budaya ummat muslim. Manusia adalah makhluk dinamis, cinta dan iman adalah hal yang paling penting dalam dinamisnya manusia, keyakinan haruslah tepancar pada prilaku bukan hanya keyakinan pasif.
    • Manusia sebagai makhluk dinamis haruslah mengutamakan moral dalam hidupnya, maka tak heran sastrawan kita ini sangat mengecam manusia yang tidak tahu jati dirinya dan terpengaruh budaya negatif Eropa. Menurut Iqbal budaya Barat akan menjadikan manusia anti agama dan materialistis.
    • Karyanya yang terkenal adalah Shikhva (keluhan) sebuah gambaran yang menceritakan Tuhan seolah berulah meninggalkan ummat muslim. Karya selanjutnya adalah Javab-i Sihkhva (jawaban keluhan) yang menjelasakan bahwa ummat muslim harus memperbaiki keadaan sosialnya untuk bangkit kembali.
  3. Amir Hamzah (28 februari1911-maret 1946 M)
    • Lahir di Tanjung Pura berasal dari keluarga bangsawan Tengku Bendahara Raja. Ia masuk HIS pada tahun 1916. pada umur 18 tahun ia melanjutkan sekolahnya ke Jakarta (1928-1930), dan ke Solo (1930-1933) dan kembali lagi ke Jakarta untuk keperluan kuliah.
    • Ia meninggal pada revolusi sosial di Sumut pada tahun 1946. tidak ada catatan jelas tanggal kematiannya, ia dan keluarganya diculik pada 3 maret 1946 dan ditemukan tewas 16 hari kemudian di Kuala Bingai.
    • Menurut Khairil Anwar, puisinya sangat susah dipahami karena beberapa hal, termasuk karena ia menggunakan model zaman nabi yang sangat tidak populer pada masanya, karena menggunakan bahasa Melayu kuno yang sebagiannya sudah hilang, dan karena kemistisannya.
    • Dibanding teman-temannya Amir Hamzah bukanlah seorang tokoh pembaharu sosial karena ia tidak pernah mengangkat tema-tema politik. Tapi ia adalah pembaharu sastra, puisi-puisinya tidak lagi mengikuti gaya puisi sebelum-sebelumnya. Ia juga sering menggunakan pusi bercorak pantun baik bernada AA atau AB-AB.
    • Karya pertamanya adalah Mabuk yang digubah pada 1932, yang selanjutnya disusul karya-karya lain hingga 173 buah, termasuk puisi maupun prosa, asli maupun terjemahan. Sedangkan karyanya yang terakhir adalah Datanglah Engkau, Wahai Maut yang ia tulis pada saat ia ditawan. Oleh HB Jassin dan Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah dianggap sebagai raja pujangga baru.
E.Studi Sastra Sebagai Disiplin Ilmu.
1. Lesunya Kajian Sastra.
Upaya penempatan studi sastra Islam sebagai kajian ilmiah telah dimulai sejak abad 19 oleh sarjana-sarjana Eropa yang kemudian diikuti oleh Sarjana-sarjana muslim lainnya. Tapi hingga sekarang belum ada hasil yang memuaskan, hal ini dikarenakan beberapa hal termasuk tidak bisanya para ahli studi sastra untuk membuktikan dan mempertahankan keilmiahan studi sastra. Para kritikus sastra menginginkan studi sastra ini dianggap atau mendapat pengakuan ilmiah, berdiri sendiri, tapi oleh para pakar ilmu lain studi sastra tidak ilmiah oleh beberapa hal diantaranya:
  1. Studi tentang seni termasuk sastra cenderung subjektif dan jauh dari kebenaran, padahal kegiatan ilmiah adalah untuk mendapatkan kebenaran.
  2. Teori-teori studi sastra hanya mengadopsi dasar-dasar ilmiah dari ilmu lain.
  3. Pemahaman sastra identik dengan omongan bertele-tele tanpa konsep yang jelas.
  4. Sifat sastra yang yang imajinatif, intuitif, tentu akan menghasilkan kebenaran subjektif.
  5. Bahkan defenisi sastra dianggap tidak jelas, tidak memuaskan, tidak memadai.
  6. Kebenaran studi sastra tidak dapat diuji intersubjektif, padahal kebenaran ilmiah baru diakui setelah kebenaran itu mampu dipertahankan pada tahapan-tahapan tertentu secara objektif, dan keobjektifitasan itu diukur melalui intersubjektif.
  7. Objek studi sastra adalah karya sastra yang merupakan abstraksi-abstraksi kehidupan yang sulit dirumuskan, dengan demikian studi sastra akan sulit mendapatkan kebenaran objektif.
Memang mereka yang menolak studi sastra sebagai kajian ilmiah sangatlah beralasan. Penolakan ini berangkat dari anggapan bahwa studi sastra juga harus mengikuti tahapan hirarki, langkah dan metode-metode ilmiah seperti ilmu lainnya.

Hal seperti inilah yang menyebabkan krisis dan lesunya kajian sastra hingga sekarang. Tapi kritikus sastra selalu berusaha agar studi sastra ini bisa diakui keilmiahannya. Mereka mempertanyakan apakah seluruh langkah metodologis dalam ilmu-ilmu lain memang layak diterapkan dalam studi sastra, padahal karya sastra sebagai objek studi sastra adalah sebuah imajinasi dan kretivitas yang hakikatnya berbeda dengan objek ilmu-ilmu lainnya. Menurut mereka studi sastra hal seperti diatas adalah bukti keilmiahan yang khas studi sastra, juga ketidak samaan hasil uji intersubjektif merupakan keilmiahan tersendiri bagi studi sastra.

Studi sastra tetap memiliki teori, metode dan langkah-langkah ilmiah dalam penelitiannya, studi sastra memiliki data, fakta, kesimpulan, hipotesis, pendapat, inquiry, masalah, jawaban atas masalah, pembuktian hipotesis, meskipun tahapan-tahapan hirarkisnya berbeda tidak seperti
umumnya ilmu lain. Meskipun demikian, menurut Tirto Suwondo, perlu merumuskan kembali
teori, defenisi, hakikat ilmu sastra dan kritik sastra untuk lebih menguatkan keilmiahannya.

2. Objek Studi Sastra.
Ada tiga komponen utama pembangun studi sastra. Pertama adalah peneliti dengan kemampuan intelektualitasnya yang secara komprehensif mencoba memahami problem-problem sastra. Yang selanjutnya adalah perangkat sarana yang dipakai seperti metode, teori, metodologi dan lainnya. Yang ketiga adalah objek studi sastra yaitu karya sastra dengan ciri-cirinya yang imajinatif, kreatif, intuitif yang terdiri dari bentuk dan isi.

Karya sastra yang dijadikan objek adalah karya yang bernilai, yang mampu menguraikan beragam pengalaman, yang mampu menambah wawasan dan mempunyai daya gugah tinggi bagi trilogi pengarang-kritikus-pembaca. Tapi dengan munculnya kajian interdisiplin maka karya yang burukpun tetap menjadi objek. Menurut Tirto diantara karya sastra dan non sastra tidak pernah ada garis pemisah yang jelas, tapi selanjutnya unsur penilaian yang diberikan pembaca merupakan ciri utama karya sastra.

3. Pendekatan dan Teori Studi Sastra.
Menurut Abrams ada empat model pendekatan utama dalam studi sastra -yang nantinya akan menghasilkan metode dan teori- meskipun ada pendekatan-pendekatan lain seperti sosiologis, biografis, antropologis, historis dan sebagainya tapi semua pendekatan itu tidak keluar dari empat model pendekatan berikut:
  1. pendekatan terhadap pencipta karya sastra, menonjolkan kajian terhadap pengarang yang disebut pendekatan ekspresif.
  2. yang menitik-beratkan sorotan pada peranan pembaca sebagai penyambut, penikmat dan penghayat sastra disebut pendekatan pragmatif atau resepsi. Pendekatan ini akan mengkaji bagaimana karya sastra bekerja atau berpengaruh terhadap pembaca.
  3. pendekatan mimetik, yang berorientasi pada anggapan bahwa karya sastra adalah rekaman sosial, kejadian-kejadian sejarah, dan masyarakat sosial.
  4. yang memberi perhatian penuh pada karya sastra sebagai struktur yang otonom dengan mempelajari aspek intrinsik karya sastra disebut pendekatan objektif.
Empat model pendekatan diatas akan menghasilkan beberapa metode, dan metode itulah yang menghasilkan teori. Teori-teori ini akan kami sajikan terlebih dahulu.

Ada tiga teori besar (dasar) yang begitu terkenal dalam studi sastra, setiap teori yang berkembang biasanya adalah penyempurnaan terhadap teori-teori sebelumnya dan tentu saja tidak terlepas dari teori sebelumnya. Sturukturalisme adalah teori pertama yang muncul, yang menganggap bahwa karya sastra adalah struktur otonom yang terlepas dari pengaruh mimetik, fakta-fakta sosial.

Teori selanjutnya yang membantah teori strukturalisme adalah post-strukturalisme yang menganggap jika karya sastra adalah hal otonom maka karya sastra adalah jauh diluar realita sosial, padahal karya satra tidak akan terlepas dari unsur pengarang dan realita-realita sosial yang mengkondisikan sebuah karya sastra. Teori lain adalah yang mencoba menyeimbangkan kedua teori ini antara struktur yang otonom dan sebuah rekaman sosial.

Dengan menguraikan teori-teori dalam studi sastra ini kita akan lebih terbantu dalam memahami tiga teori besar diatas. Munculnya banyak teori-teori adalah karena karya sastra mencakup demensi-dimensi kebudayaan yang terus berkembang, maka untuk memahami karya sastra yang semakin komplek tentu dibutuhkan berbagai cara yang berbeda.
  1. formalisme(strukturalisme murni). Teori beranggapan bahwa karya sastra adalah hal yang otonom yang dapat difahami sebagai kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya yang saling berjalinan. Maka untuk memahaminya harus terlepas dari latar belakang sejarah, niat penulis, efek pembaca. Unsur yang dikaji adalah : tema, fakta cerita (alur, tokoh) dan sarana (sudut pandang, gaya bahasa, pemakaian simbol). Tujuan teori ini adalah untuk memadukan tiga unsur ini agar karya sastra dapat dipahami secara jelas. Kelemahan teori ini akan terlihat jelas ketika menganalisa sebuah karya yang begitu pendek.
  2. strukturalisme genetik. Adalah teori yang menambahkan unsur genetik (asal-usul sastra) pada teori formalisme untuk bisa memahami sastra. Genetik sastra adalah pengarang dan fakta sejarah. Maka analisa ini akan dilakukan pada tiga hal: dimensi intrinsik sastra (seperti pada formalisme). kajian latar belakang kondisi sosial pengarang dan Kajian latar sosial dan sejarah yang dianggap turut mempengaruhi karya sastra.
  3. strukturalisme dinamik. Adalah teori dengan anggapan bahwa karya sastra selalu dinamis. Dinamika ini pertama kali diakibatkan pembaca kreatif yang selalu dibekali oleh pengetahuan yang selalu berubah, maka pemahaman tanda dan pengkonsepan petanda akan selalu berubah, artinya arti karya sastra akan selalu berubah seiring dengan nilai-nilai kebudayaan mansyarakat. Dengan teori ini peneliti mencoba menjelaskan karya sastra sebagai sebuah struktur berdasarkan elemen yang membentuknya, dan menjelaskan kaitan antara pengarang, realitas, karya sastra dan pembaca. Pengarang melalui kata-katanya sebagai pembawa makna kedalam struktur tentu mempunyai maksud, tujuan dan harapan (horizon harapan) yang ingin diberikan kepada pembaca, tapi pembaca sebagai penafsir makna mempunyai peluang untuk menafsir (ruang terbuka) sesuai yang ia inginkan. Dan keduanya selalu terpengaruh oleh budaya yang ada.
  4. semiotika. Adalah teori yang menganggap bahwa karya sastra adalah tanda-tanda dan lambang yang dalam memahami artinya tidak bisa terlepas dari beberapa hal:
    • ekspresi tersembunyi pengarang karena beberapa hal seperti : pertama :Penggantian arti tanda karena teks hanyalah lambang dari arti yang diinginkan pengarang. Seperti pemakaian kiasan, alegoris, dan lainnya. Kedua :Penyimpangan arti, dikarenakan bahasa sastra sering mempunyai arti ganda. Ketiga :Nonsen, kata yang tidak mempunyai arti yang disebut kata mantra.
    • Penciptaan arti bagi kata atau kalimat yang tidak ada artinya seperti karena perulangan.
    • Intertekstual, bahwa arti yang diinginkan seorang pengarang pada teksnya sering merujuk kepada karya lain.
    • Pembacaan langsung (heuristik) dan pembacaan penafsiran (heurmenistik). Pembacaan langsung terhadap teks sastra dan bila perlu diberikan kata tambahan yang tidak melenceng dari arti yang dinginkan, yang dilanjutkan dengan pemberian penafsiran.
  5. teori resepsi. Teori pemahaman karya bertitik tolak pada pembaca yang memberikan reaksi.
  6. teori intertekstual. Adalah teori yang menganggap bahwa dalam memahami karya sastra harus merujuk kepada teks terdahulu yang diyakini mempengaruhi karya tersebut.
  7. teori mimetik. Yang menganggap bahwa karya sastra adalah tiruan alam dan fakta sosial, teori ini melihat kepada fakta karya sastra dan fakta sosial dan sejarah.
  8. teori dekonstruksi. Teori yang mempertanyakan hubungan relavansi antara tanda dan petanda untuk lebih memahami karya sastra lebih realis. Seperti tanda “ gagak” dengan petanda” musibah, kesialan”.
  9. teori Postkolonial. Adalah teori hubungan karya sastra dengan penjajahan dan gagasan atau ide. Dengan teori ini pengkaji akan mencoba memilah antara karya kebudayaan asli atau pengaruh penjajahan hingga ia dapat merujuk kepada kebudayaan pribumi atau penjajah dalam memahami karya sastra.
4. Metode Dalam Studi Sastra.
  1. metode intuitif. Adalah metode dalam memahami karya sastra melalui pemahaman subjektif peneliti, metode ini bersifat kontemplatif (merenungkan), mencoba mencari makna karya sastra terdalam. Metode ini sering diklaim sebagai kemampuan dasar dalam upaya meneliti karya sastra. Peneliti dengan metode ini mencoba memahami karya sasta dengan pikiran dan perasaannya.
  2. metode hermeneutika (menafsirkan). Karya sastra memiliki makna yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan, metode ini mencari makna yang teroptimal dalam tafsirannya. Penafsiran ini terbatas pada bahasa karena sastra sebagai tanda memakai bahasa sebagai medianya, dan dalam bahasa banyak makna yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan
  3. metode kualitatif. Pada hakikatnya sama dengan metode hermeneutika, sama-sama menafsirkan, akan tetapi metode ini membatasi pada data alamiah, fakta-fakta sosial, hubungan karya sastra dengan konteks keberadaanya, seperti pengarang dan lingkungan sosial pengarang. Ciri metode ini adalah: memberikan perhatian utama pada makna pesan sesuai hakikat studi kultural. Lebih mengutamakan proses penciptaan karya sastra daripada hasilnya. Penelitian bersifat alamiah terjadi pada konteks sosial dan budaya.
  4. analisa isi. Metode ini berangkat dari anggapan bahwa karya sastra berisi pesan yang ingin disampaikan, baik isi laten maupun yang terkandung dalam dokumen, isi yang ingin disampaikan oleh pengarang dan isi hasil komunikasi dengan pembaca. Bisa jadi isi laten tidak sama dengan isi komunikasi. Metode ini menekankan pada isi pesan, sedangkan metode hermeneutika menekankan pada penafsiran bahasa dan metode kualitatif pada fakta alamiah. Maka dengan metode ini fakta-fakta dalam karya sastra dan fakta alamiah akan dipelajari.
  5. metode formal. Adalah metode untuk yang meneliti unsur-unsur pembangun karya sastra, seperti bentuk, gaya bahasa, diksi, struktur kalimat, pola rima, dengan demikian akan ditemukan gaya intonasi, gaya bunyi, gaya kalimat dan gaya kata. Analisa ini melihat sifat-sifat yang dianggap artistik dan khas yang membedakannya dengan karya non sastra atau karya sastra lainnya.
5. Interdisiplin Studi Sastra.
Ada lima studi sastra yang terkenal melibatkan ilmu lain, tapi tentu saja tidak tertutup kemungkinan munculnya interdisiplin baru dalam studi sastra. Dari kelima interdisiplin ini yaitu Sejarah Sastra, Sosiologi Sastra, Psikologi Sastra, Antropologi Sastra, dan Filsafat Sastra, hanya tiga yang sering muncul dalam literatur-literatur studi sastra.
  1. Sosiologi Sastra. Kajian ini muncul dikarenakan anggapan bahwa karya sastra tidak akan terlepas dari konteks sosial, baik pengaruh sosial terhadap karya sastra ataupun pengaruh karya sastra terhadap kehidupan sosial. Sosiologi sastra ini bermula dari”
    • adanya masalah baru yang mengindikasikan adanya perubahan sosial.
    • Minat para ilmuwan untuk menemukan metode untuk pemecahan masalah.
    • Peran dan pengakuan institusional.
  2. Psikologi Sastra. Muncul dari analisa karya sastra dan hubungannya dengan aspek-aspek kejiwaan pengarang ataupun aspek kejiwaan yang terkandung dalam karya sastra. Ilmu ini bukan untuk membenarkan teori psikologi, karena hasil analisa ini bisa saja bertentangan dengan teori-teori psikologi. Psikolog sastra berusaha menunjukkan gejala-gejala psikologi yang ingin ditunjukkan pengarang maupun yang disembunyikannya.
  3. Antropologi Sastra adalah relevansi studi karya dengan manusia, manusia sebagai asal-usul bahasa, religi, mitos, sejarah, hukum, adat dan karya seni. Ilmu ini termasuk dalam kategori antropologi kultur

==========================
Daftar Pustaka
A.Iskandar, Al-Wasith Fi Adab Al-Arabiy Wa Tarikhihi I. Darussalam.Ponorogo, 1988.
_________, Al-Wasith Fi Adab Al-Arabiy Wa Tarikhihi II, Darussalam, Ponorogo, 1988.
A.Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam II, terj Mukhtar.Y, Pustaka Al-Husna, Jakarta.1982.
Ahmad Syayib, Ushul An-Naqdi Al-Arabiy, An-Nahdhah Al-Misriyah, Kairo
Al-Baqilani, I’jazu-l-Qur’an, Daar Maarif, Kairo,1977.
Atim Usnan, Majani As-Sharf, Darussalam .Ponorogo,1992.
A.Hasyimi, Jawahir Al-Adab, Daar Kutub, Beirut,1996.
Baharuddin Ahmad. Sastra Sufi, Sinaran Bross, Pulau Pinang, 1992.
Daud Saloom, Tarikh An-Naqd Al-Arabiy,Al-Ayman, Baghdad, 1964.
Fazlurrahman, Islam Dan Modernitas, terj Ahsin Muhammad, Pustaka, Bandung, 1985.
Goerge Makdisi, The Rise Of Humanism In Classical Islam And The Chiristian West, Edinburgh University Press, Edinburgh, 1990.
Haddam Banna, Al-Balaghah Fi Ilmi Al-Ma’ani, Darussalam, Ponorogo,1991.
Hamka, Dibawah Lindungan Ka’bah, Bulan Bintang Jakarta,2001.
______Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Bulan Bintang, Jakarta, 2002.
HB.Jassin, Pujangga Baru Prosa Dan Puisi, haji Masagung, Jakarta, 1987.
________, Amir Hamzah Raja Penyair Pujanga Baru, Gunung Agung, Jakarta, 1986.
Ira M Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam. terj Ghufron, Raja Grapindo, Jakarta, 1999.
Iqbal,Pesan Dari Timur,terj M.Hadi, Pustaka, Bandung, 1985.
Jabraham dkk, Metodologi Penelitian Sastra, Hanindita,Yogyakarta, 2001.
John.L.Esposito, Dunia Islam Modern I, terj Eva dkk. Mizan, Bandung, 2002.
_____________,Dunia Islam Modern jil 4.terj Eva, Mizan, Bandung, 2002.
_____________,Dunia Islam Modern jil 6 .terj Eva, Mizan, Bandung, 2002.
Louis Ma’luf, Al-Munjid Fi Al-Lughah Wa Al-A’lam, Daar Masyriq, Beirut, 1982.
Mehdi Nakosteen, Konstribusi Islam AtasDunia Intelektual Barat,terj Joko, Risalah Gusti, Surabaya, 1996.
M.Ghufron,Al-Balagahah Fi Ilm Badi’,Darussalam,Ponorogo, 1991.
_________, Al-Balaghah Fi Ilmi Al-Bayan, Darussalam, Ponorogo,1991.
M.Muhammad Isa, Sastra Melayu Klasik Bercorak Islam, Universitas Sains, Malaysia, 1999.
M.Ridho, Ali Bin Abi Thalib Rabiul khulafa, Daar Kutub, Beirut, 1982.
Nyoman Kutha,Teori, Metode dan Teknis Penelitian Sastra,Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
Reynold.A.Nicholson, Jalaluddin Rumi, terj Sutejo, Pustaka Firdausi. Jakarta, 1993.
__________________The Mathnawi Of Jalaluddin RumiI & II. Gibb Memorial Trust, Cambridge.1990.
Seyyed Hosssein Nasr,Spritualitas Dan Seni Islam,terj Sutejo, Mizan, Bandung, 1987.
__________________, Menjelajah Dunia Modern.terj Hesti, Mizan, Bandung, 1994.
S.H.M.Jafri, Dari Saqifah Sampai Imamah, terj Kiereha, Pustaka Hidayah, Jakarta, 1995.
Syarif Al-Radhi, Nahjul Balaghah, terj M.Hasyim, Lentera, Jakarta, 1997.
Tim Penulis, Ensiklopedi Islam Indonesia,Djambatan, Jakarta, 2002.
__________, Ensiklopedi Nasional Indonesia jil 6, Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1989.
__________, Ensiklopedi Nasional Indonesia jil 7. Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1989.
Tirto Suwondo, Studi Sastra, Hanindita, Yogyakarta, 2005.

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger