Dalam waktu sepuluh tahun, sejak hijrah ke Madinah pada tahun 622 sampai wafatnya pada tahun 632, nabi Muhammad saw. Telah berhasil membangun Negara yang cukup kuat, hingga pada akhir tahun 630 beliau mengadakan ekspedisi menuju Syiria. Banyak suku-suku arab nomaden, bahkan sebagain besar, telah menjadi pengikut Muhammad saw. kecuali mereka yang masih berada dibawah pengaruh kekuasan Bizantium.
Periode berikutnya, dari tahun 632 – 661, dikenal dengan periode Khulafa ur- Rasyidin. Abu Bakar sebagai khalifah pertama (632-634) lebih disibukkan dalam penumpasan pemberontakan yang dilakukan oleh suku-suku tertentu terhadap system politik Madinah.
Fenomena ekspansi muncul pada masa Umar bin Khattab menjadi khalifah (634-644); Syiria dan Mesir direbut dari kekuasaaan Bizantium dan Irak dari kekuasaan Persia. Tetapi pada sekitar tahun 650 terjadi kemunduran, munculnya ketidakpuasan dikalangan pasukan (yang mirip badan rakyat), dan pada tahun 656 Usman dibunuh oleh kaum pemberontak. Kemudian Ali, sepupu dan menantu Nabi Muhammad diangkat sebagai Khalifah di Madinah, tetapi Muawiyah sebagai Gubernur di Damaskus dan beberapa kalangan lainnya menolak untuk mengakuinya.
Dalam pertikaian antara Ali dengan Muawiyah, secara perlahan-lahan Muawiyah menjadi lebih unggul, terutama ketika pada tahun 661 Ali terbunuh. Kemudian Muawiyah diakui sebagai Khalifah secara umum dan dengan demikian terbentuklah Dinasti Bani Umaiyah.
Pemaparan peristiwa-peristiwa sejarah ini bukannya tidak relevan dengan pembahasan teologi. Para ahli sosiologi ilmu pengetahuan berpendapat bahwa gagasan-gagasan teologi teologi dan filsafat mempunyai rujukan politik dan sosial. Khususnya di Timur-Tengah, kaiatan anatara teologi dan politik adalah begitu dekat serta jelas.
Persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir, dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Persoalan ini kemudian menjadi perbincangan aliran-aliran kalam dengan konotasi yang lebih umum, yakni status pelaku dosa besar. Berikut adalam pandangan mereka, antara lain.
Walaupun secara umum subsekte aliran khawarij sependapat bahwa pelaku dosa besar dianggap kafir, namun masing-masing mereka berbeda pendapat tentang pelaku dosa besar yang diberi predikat kafir. Menurut subsekte Al-Muhakimat, Ali , Muawiyah, kedua pengantarnya (Amr bin Ash dan Abu Musa Al-Asy’ari) dan semua orang yang menyetujui arbitrase adalah bersalah dan menjadi kafir. Hukum kafir pun menjadi luas dalam pemahaman mereka, hingga termasuk orang yang berbuat dosa besar. Berzina, membunuh sesame tanpa sebab, dan dosa-dosa besar lainnya, sehingga pelaku dinyatakan keluar dari Islam.
Lain halnya dengan Azariqah, mereka bahkan ikut mengkafirkan orang-orang yang tidak sefaham dengan mereka, dan tidak mau berhijrah kepada lingkungan mereka, bahkan dipandang musyrik.
Subsekte lain, yakni An-Najdat, orang yang melakukan dosa besar dihukum kafir hanya orang-orang yang tidak sefaham dengan mereka, dan akan kekal dalam neraka. Namun jika pelaku dosa besar itu dari kalangan mereka, tetap mendapat siksa neraka, akan tetapi pada akhirnya masuk syurga juga.
Diantara kalangan Murji’ah yang berpendapat serupa di atas adalah subsekte Al-Jamaliyah, As-Sulihiyah, dan Al-Yunusiah. Mereka berpandangan bahwa iman adalah tasdiq secara qalbu saja atau dengan kata lain, Ma’rifah (mengetahui) Allah dengan kalbu; bukan secara demonstratif, baik dalam ucapan maupun tindakan. Oleh karena itu, jika seseorang telah beriman dalam hatinya, ia dipandang tetap sebagai seorang mukmin sekalipun menampakkan tingkah laku seperti Yahudi atau Nasrani, menurut mereka, Ikrar dan amal bukanlah bagian dari iman. Kredo, kelompok Murji’ah ektrim yang terkenal adalah perbuatan maksiat tidak dapat menggugurkan keimanan sebagaimana ketaatan tidak dapat membawa kekufuran. Dapat disimpulkan bahwa Murji’ah ektrim memandang pelaku dosa besar tidak akan disiksa di neraka.
Adapun Murji’ah moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal di dalamnya, tergantung pada ukuran dosa yang dilakukannya. Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya sehingga ia bebas dari siksaan neraka. Diantara subsekte Murji’ah yang masuk dalam kategori ini adalah Abu Hanifah dan pengikutnya. Pertimbangannya, pendapat Abu Hanifah tentang pelaku dosa besar dan konsep iman tidak jauh berbeda dengan kelompok Murji’ah moderat lainnya. Ia berpendapat bahwa pelaku dosa besar masih tetap mukmin, tetapi dosa yang diperbuatnya bukan berarti berimplikasi, seandainya masuk neraka, karena Allah menghendakinya, ia tidak akan kekal di dalamnya.
Yang dimaksud dengan dosa besar menurut pandangan Mu’tazilah adalah segala perbuatan yang ancamannya disebutkan secara tegas dalan nas, sedangkan dosa kecil adalah sebaliknya, yaitu segala ketidakpatuhan yang ancamannya tidak tegas dalam nas. Tampaknya Mu’tazilah menjadikan ancaman sebagai kriteria dasar bagi dosa besar maupun kecil.
Mengenai balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar apabila ia meninggal dan tidak sempat bertobat, maka menurut Al-Asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha Berkehendak Mutlak Tuhan dapat saja mengampuninya dosanya atau pelaku dosa besar itu mendapat syafaaat Nabi SAW, sehingga terbebas dari siksaan neraka sesuai dengan ukuran dosa ukuran dosa yang dilakukannya. Meskipun begitu, ia tidak akan kekal seperti orang-orang kafir lainnya. Setelah penyiksaan terhadap dirinya selesai, ia akan dimasukkan ke dalam surga. Dari paparan singkat ini, jelaslah bahwa Asy’ariyah sesungguhnya mengambil posisi yang sama dengan Murji’ah khususnya dalam pernyataan yang tidak mengkafirkan para pelaku dosa.
Al-Maturidi sendiri sebagai peletak dasar aliran kalam Al-Maturidiyah, berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal didalam neraka adalah balasan bagi orang yang berbuat dosa syirik. Karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad. Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan Tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali hanya menambah atau mengurangi sifatnya saja.
PERBUATAN TUHAN DAN PERBUATAN MANUSIA
Permasalahan kalan lain yang menjadi bahan perdebatan adalah masalah perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Hal ini muncul sebagai buntut dari perdebatan masalah Iman dan kafir diantara pelaku Tahkim. Para ulama kalam kemudian mencari jawaban atas pertanyaan siapa sebenarnya yang mengeluarkan perbuatan manusi, apakah Allah sendiri ? Atau manusia sendiri ? Atau kerja sama antara keduanya. Masalah ini kemudian memunculkan aliran kalam fatalis yang diwakili oleh Jabariyah dan Free well yang diwakili oleh Qadariyah dan Mu’tazilah, sedangkan Asy’ariyah dan maturidiyah mengambil jalan tengah.
A. Perbuatan Tuhan
Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan melakukan perbuatan. Perbuatan disini dipandang sebagai konsekuensi logis dari dzat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya.
Qadi Abd Al-Jabar, seorang tokoh Mu’tazilah mengatakan bahwa ayat tersebut memberi petunjuk bahwa tuhan hanya berbuat yang baik dan Mahasuci dari perbuatan buruk. Dengan demikian, Tuhan tidak perlu ditanya. Ia menambahkan bahwa seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata berbuat baik, tidak perlu ditanya mengapa ia melakukan perbuatan baik itu ?. Adapun ayat yang kedua, menurut Al-Jabbar, mengandung petunjuk bahwa Tuhan tidak penah dan tidak akan melakukan perbautan-perbuatan buruk. Andaikata Tuhan melakukan perbuatan buruk, pernyataan bahwa ia menciptakan langit dan bumi serta segala isinya dengan hak, tentulah tidak benar atau merupakan berita bohong.
Karena percaya pada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa Tuhan tak mempunyai kewajiban apa-apa, aliran Asy’ariyah menerima faham pemberian beban di luar kemampuan manusia. Al-Asy’ariyah sendiri, dengan tegas mengatakan dalam Al-Luma, bahwa Tuhan dapat meletakkan beban yang tak dapat dipikul pada manusia. Al-Ghazali pun mengatakan hal ini dalam Al-Iqtisad.
Aliran Maturidiyah Samarkand memberi batasan pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan sehingga mereka menerima faham adanya kewajiban-kewajiban Tuhan, sekurang-kurangnya kewajiban menepati janji tentang pemberian upah dan pemberian hukuman.
B. Perbuatan Manusia
Masalah perbuatan manusia bermula dari pembahasan sederhana yang dilakukan oleh kelompok Jabariayah (pengikut Ja’d bin Dirham) dan Jahm bin Shatwan) dan kelompok Qadariyah (pengikut Ma’bad Al-Juhari dan Ghailan Ad-Dimsyaqi). Yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan yang lebih mendalam oleh aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah.
Akar dari masalah perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk di dalamnya manusia sendiri, Tuhan bersifat Mahakuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Disini timbullah pertanyaan, sampai dimanakah manusia sebagai ciptaaan Tuhan bergantung pada kehendak dan kekuasaan Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya? Apakah manusia diberi kemerdekaan dalam mengatur hidupnya oleh tuhan? Atau apakah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan?.
Adapun Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai peranan didalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisition). Menurut faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi ,manusia itu memperoleh perrbuatan yang diciptakan Tuhan.
Perbuatan manusia bukanlah diciptakan tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatannya. Lantas bagaimana dengan daya? Apakah diciptakan Tuhan untuk manusia, atau berasal dari manusia sendiri? Mu’tazilah dengan tegas menyatakan bahwa daya juga berasal dari manusia. Daya yang terdapat pada diri manusia adalah tempat terciptanya perbuatan. Jadi, tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia. Aliran Mu’tazilah mengecam keras faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan. Bagaimana mungkin, dalam satu perbuatan akan ada dua daya yang menentukan?
Dengan faham ini, aliran Mu’tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentuknya.
Pada prinsipnya, aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya. Allah menciptakan perbuatan untuk manusia dan menciptakan pula pada diri manusia daya untuk melahirkan perbuatan tersebut. Jadi, perbuatan disini adalah ciptaaan Allah dan merupakan kasb (perolehan) bagi manusia. Dengan demikian kasb mempunyai pengertian penyertaan perbuatan dengan daya manusia yang baru. Ini berimplikasi bahwa perbuatan manusia dibarengi oleh daya kehendaknya, dan bukan atas daya kehendaknya.
SIFAT-SIFAT TUHAN
Tarik-menarik antara aliran kalam dalam menyelesaikan persoalan sifat-sifat Tuhan, tampaknya dipicu oleh truth claim yang dibangun atas dasar kerangka berfikir masing-masing dan klaim menauhidkan Allah.
Kaum Mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Definisi mereka tentang Tuhan, sebagaimana telah dijelaskan oleh Asy’ari, bersifat negatif. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, kekuasaan, hajat, dan sebagainya. Ini tidak bearti bahwa Tuhan bagi mereka tidak mengetahui, berkuasa, dan sebagainya, tetapi bukan dengan sifat dalam arti kata sebenarnya. Artinya, “Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri”. Dengan demnikian, pengetahuan Tuhan, sebagaimana dijelaskan Abu Al-Huzail, adalah Tuahn sendiri, yaitu dzat atau esensi Tuhan.
Sementara itu, Al-Baghdadi melihat adanya consensus dikalangan kaum Asy’ari, bahwa daya, pengetahuan, hayat, kemauan, pendengaran, penglihatan dan sabda Tuhan adalah kekal. Sifat-sifat ini, kata al-Ghazali tidaklah sama dengan esensi Tuhan.
Faham al-Maturidi, dalam memaknai sifat Tuhan cenderung mendekati faham Mu’tazilah. Perbedaannya al-Maturidi mengakui adanya sifat-sifat Tuhan. Sedangkan Mu’tazilah menolah adanya sifat-sifat Tuhan.
KEHENDAK MUTLAK TUHAN DAN KEADILAN TUHAN
Faham keadilan Tuhan dalam pemikiran kalam, bergantung pada pandangan apakah manusia mempunyai kebebaasn dalam berkehendak dan berbuat ? Ataukah manusia itu hanya terpaksa saja ?Perbedaan pandangan terhadap bebas atau tidaknya manusia menyebabkan perbedaan penerapan makna keadilan, yang sama-sama disepakati mengandung arti meletakkan sesuatu pada tempatnya.
Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan sandaran dalam memperkuat pendapat Mu’tazilah adalah Al-Anbiya (21) : 47 , Yasin (36) :54 , Fusshilat (41) :46 An-Nisa (4) : 40 dan Kahfi (18) : 49.
Adapun Maturidiyah bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekauasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yanhg dikehendakinya dan menentukan segala-galanya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa Tuhan dan tidak aad larangan bagi Tuhan. Dengan demikian, keadilan tuhan terletak paad kehendak mutlaknya, tidak ada satu zat pun yang lebih kuasa dari pada-Nya dan tidak ada batasan bagi-Nya.
==============
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahan, Departemen Agama RI, Diroktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Dirertorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syari’ah, Jakarta, 2007
Abu Mansur Al-Maturidi, Kita At-Tauhid, Tahqiq oleh Fathullah Khalif, Maktabah Al-Islamiyah, Muhamma Ozdoneir, 1979
Al-Asy’ari, Al-Ibanah an Ushul Ad-Dinayah, Idarah At-Tiba’ah Al-Mishriyah, tt,
-------------------, Prinsip-prinsip Dasar Aliran Teologi Islam, Buku 2, terj. Rosihan Anwar dan Taufiq Rahman, Pustaka Setia, Bandung, 2000
Harun Nasution, Teologi Islam ; Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. UI Press, Jakarta, 1986
-------------------, Encyclopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992
Muhammad bin Abdul Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, Mustafa Al-Bab Al-Halabi wa Auladuh, Mesir 1987, Juz. I
M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam : Pemikiran Kalam, Perkasa Jakarta, 1990
W.Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam.terj.Umar Basilam, Penerbit P3M Jakarta, 1987
Periode berikutnya, dari tahun 632 – 661, dikenal dengan periode Khulafa ur- Rasyidin. Abu Bakar sebagai khalifah pertama (632-634) lebih disibukkan dalam penumpasan pemberontakan yang dilakukan oleh suku-suku tertentu terhadap system politik Madinah.
Fenomena ekspansi muncul pada masa Umar bin Khattab menjadi khalifah (634-644); Syiria dan Mesir direbut dari kekuasaaan Bizantium dan Irak dari kekuasaan Persia. Tetapi pada sekitar tahun 650 terjadi kemunduran, munculnya ketidakpuasan dikalangan pasukan (yang mirip badan rakyat), dan pada tahun 656 Usman dibunuh oleh kaum pemberontak. Kemudian Ali, sepupu dan menantu Nabi Muhammad diangkat sebagai Khalifah di Madinah, tetapi Muawiyah sebagai Gubernur di Damaskus dan beberapa kalangan lainnya menolak untuk mengakuinya.
Dalam pertikaian antara Ali dengan Muawiyah, secara perlahan-lahan Muawiyah menjadi lebih unggul, terutama ketika pada tahun 661 Ali terbunuh. Kemudian Muawiyah diakui sebagai Khalifah secara umum dan dengan demikian terbentuklah Dinasti Bani Umaiyah.
Pemaparan peristiwa-peristiwa sejarah ini bukannya tidak relevan dengan pembahasan teologi. Para ahli sosiologi ilmu pengetahuan berpendapat bahwa gagasan-gagasan teologi teologi dan filsafat mempunyai rujukan politik dan sosial. Khususnya di Timur-Tengah, kaiatan anatara teologi dan politik adalah begitu dekat serta jelas.
Persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir, dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Persoalan ini kemudian menjadi perbincangan aliran-aliran kalam dengan konotasi yang lebih umum, yakni status pelaku dosa besar. Berikut adalam pandangan mereka, antara lain.
- A. Aliran Khawarij
Walaupun secara umum subsekte aliran khawarij sependapat bahwa pelaku dosa besar dianggap kafir, namun masing-masing mereka berbeda pendapat tentang pelaku dosa besar yang diberi predikat kafir. Menurut subsekte Al-Muhakimat, Ali , Muawiyah, kedua pengantarnya (Amr bin Ash dan Abu Musa Al-Asy’ari) dan semua orang yang menyetujui arbitrase adalah bersalah dan menjadi kafir. Hukum kafir pun menjadi luas dalam pemahaman mereka, hingga termasuk orang yang berbuat dosa besar. Berzina, membunuh sesame tanpa sebab, dan dosa-dosa besar lainnya, sehingga pelaku dinyatakan keluar dari Islam.
Lain halnya dengan Azariqah, mereka bahkan ikut mengkafirkan orang-orang yang tidak sefaham dengan mereka, dan tidak mau berhijrah kepada lingkungan mereka, bahkan dipandang musyrik.
Subsekte lain, yakni An-Najdat, orang yang melakukan dosa besar dihukum kafir hanya orang-orang yang tidak sefaham dengan mereka, dan akan kekal dalam neraka. Namun jika pelaku dosa besar itu dari kalangan mereka, tetap mendapat siksa neraka, akan tetapi pada akhirnya masuk syurga juga.
- B. Aliran Murji’ah
Diantara kalangan Murji’ah yang berpendapat serupa di atas adalah subsekte Al-Jamaliyah, As-Sulihiyah, dan Al-Yunusiah. Mereka berpandangan bahwa iman adalah tasdiq secara qalbu saja atau dengan kata lain, Ma’rifah (mengetahui) Allah dengan kalbu; bukan secara demonstratif, baik dalam ucapan maupun tindakan. Oleh karena itu, jika seseorang telah beriman dalam hatinya, ia dipandang tetap sebagai seorang mukmin sekalipun menampakkan tingkah laku seperti Yahudi atau Nasrani, menurut mereka, Ikrar dan amal bukanlah bagian dari iman. Kredo, kelompok Murji’ah ektrim yang terkenal adalah perbuatan maksiat tidak dapat menggugurkan keimanan sebagaimana ketaatan tidak dapat membawa kekufuran. Dapat disimpulkan bahwa Murji’ah ektrim memandang pelaku dosa besar tidak akan disiksa di neraka.
Adapun Murji’ah moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal di dalamnya, tergantung pada ukuran dosa yang dilakukannya. Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya sehingga ia bebas dari siksaan neraka. Diantara subsekte Murji’ah yang masuk dalam kategori ini adalah Abu Hanifah dan pengikutnya. Pertimbangannya, pendapat Abu Hanifah tentang pelaku dosa besar dan konsep iman tidak jauh berbeda dengan kelompok Murji’ah moderat lainnya. Ia berpendapat bahwa pelaku dosa besar masih tetap mukmin, tetapi dosa yang diperbuatnya bukan berarti berimplikasi, seandainya masuk neraka, karena Allah menghendakinya, ia tidak akan kekal di dalamnya.
- C. Aliran Mu’tazilah
Yang dimaksud dengan dosa besar menurut pandangan Mu’tazilah adalah segala perbuatan yang ancamannya disebutkan secara tegas dalan nas, sedangkan dosa kecil adalah sebaliknya, yaitu segala ketidakpatuhan yang ancamannya tidak tegas dalam nas. Tampaknya Mu’tazilah menjadikan ancaman sebagai kriteria dasar bagi dosa besar maupun kecil.
- D. Aliran Asy’ariyah
Mengenai balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar apabila ia meninggal dan tidak sempat bertobat, maka menurut Al-Asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha Berkehendak Mutlak Tuhan dapat saja mengampuninya dosanya atau pelaku dosa besar itu mendapat syafaaat Nabi SAW, sehingga terbebas dari siksaan neraka sesuai dengan ukuran dosa ukuran dosa yang dilakukannya. Meskipun begitu, ia tidak akan kekal seperti orang-orang kafir lainnya. Setelah penyiksaan terhadap dirinya selesai, ia akan dimasukkan ke dalam surga. Dari paparan singkat ini, jelaslah bahwa Asy’ariyah sesungguhnya mengambil posisi yang sama dengan Murji’ah khususnya dalam pernyataan yang tidak mengkafirkan para pelaku dosa.
- E. Aliran Muturidiyah
Al-Maturidi sendiri sebagai peletak dasar aliran kalam Al-Maturidiyah, berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal didalam neraka adalah balasan bagi orang yang berbuat dosa syirik. Karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad. Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan Tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali hanya menambah atau mengurangi sifatnya saja.
- F. Aliran Syi’ah Zaidiyah
Permasalahan kalan lain yang menjadi bahan perdebatan adalah masalah perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Hal ini muncul sebagai buntut dari perdebatan masalah Iman dan kafir diantara pelaku Tahkim. Para ulama kalam kemudian mencari jawaban atas pertanyaan siapa sebenarnya yang mengeluarkan perbuatan manusi, apakah Allah sendiri ? Atau manusia sendiri ? Atau kerja sama antara keduanya. Masalah ini kemudian memunculkan aliran kalam fatalis yang diwakili oleh Jabariyah dan Free well yang diwakili oleh Qadariyah dan Mu’tazilah, sedangkan Asy’ariyah dan maturidiyah mengambil jalan tengah.
Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan melakukan perbuatan. Perbuatan disini dipandang sebagai konsekuensi logis dari dzat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya.
- 1. Aliran Mu’tazilah
Qadi Abd Al-Jabar, seorang tokoh Mu’tazilah mengatakan bahwa ayat tersebut memberi petunjuk bahwa tuhan hanya berbuat yang baik dan Mahasuci dari perbuatan buruk. Dengan demikian, Tuhan tidak perlu ditanya. Ia menambahkan bahwa seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata berbuat baik, tidak perlu ditanya mengapa ia melakukan perbuatan baik itu ?. Adapun ayat yang kedua, menurut Al-Jabbar, mengandung petunjuk bahwa Tuhan tidak penah dan tidak akan melakukan perbautan-perbuatan buruk. Andaikata Tuhan melakukan perbuatan buruk, pernyataan bahwa ia menciptakan langit dan bumi serta segala isinya dengan hak, tentulah tidak benar atau merupakan berita bohong.
- 2. Aliran Asy’ariyah
Karena percaya pada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa Tuhan tak mempunyai kewajiban apa-apa, aliran Asy’ariyah menerima faham pemberian beban di luar kemampuan manusia. Al-Asy’ariyah sendiri, dengan tegas mengatakan dalam Al-Luma, bahwa Tuhan dapat meletakkan beban yang tak dapat dipikul pada manusia. Al-Ghazali pun mengatakan hal ini dalam Al-Iqtisad.
- 3. Aliran Maturidiyah
Aliran Maturidiyah Samarkand memberi batasan pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan sehingga mereka menerima faham adanya kewajiban-kewajiban Tuhan, sekurang-kurangnya kewajiban menepati janji tentang pemberian upah dan pemberian hukuman.
Masalah perbuatan manusia bermula dari pembahasan sederhana yang dilakukan oleh kelompok Jabariayah (pengikut Ja’d bin Dirham) dan Jahm bin Shatwan) dan kelompok Qadariyah (pengikut Ma’bad Al-Juhari dan Ghailan Ad-Dimsyaqi). Yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan yang lebih mendalam oleh aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah.
Akar dari masalah perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk di dalamnya manusia sendiri, Tuhan bersifat Mahakuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Disini timbullah pertanyaan, sampai dimanakah manusia sebagai ciptaaan Tuhan bergantung pada kehendak dan kekuasaan Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya? Apakah manusia diberi kemerdekaan dalam mengatur hidupnya oleh tuhan? Atau apakah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan?.
- 1. Aliran Jabariyah
Adapun Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai peranan didalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisition). Menurut faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi ,manusia itu memperoleh perrbuatan yang diciptakan Tuhan.
- 2. Aliran Qadariyah
- 3. Aliran Mu’tazilah
Perbuatan manusia bukanlah diciptakan tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatannya. Lantas bagaimana dengan daya? Apakah diciptakan Tuhan untuk manusia, atau berasal dari manusia sendiri? Mu’tazilah dengan tegas menyatakan bahwa daya juga berasal dari manusia. Daya yang terdapat pada diri manusia adalah tempat terciptanya perbuatan. Jadi, tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia. Aliran Mu’tazilah mengecam keras faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan. Bagaimana mungkin, dalam satu perbuatan akan ada dua daya yang menentukan?
Dengan faham ini, aliran Mu’tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentuknya.
- 4. Aliran Asy’ariyah
Pada prinsipnya, aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya. Allah menciptakan perbuatan untuk manusia dan menciptakan pula pada diri manusia daya untuk melahirkan perbuatan tersebut. Jadi, perbuatan disini adalah ciptaaan Allah dan merupakan kasb (perolehan) bagi manusia. Dengan demikian kasb mempunyai pengertian penyertaan perbuatan dengan daya manusia yang baru. Ini berimplikasi bahwa perbuatan manusia dibarengi oleh daya kehendaknya, dan bukan atas daya kehendaknya.
Tarik-menarik antara aliran kalam dalam menyelesaikan persoalan sifat-sifat Tuhan, tampaknya dipicu oleh truth claim yang dibangun atas dasar kerangka berfikir masing-masing dan klaim menauhidkan Allah.
- 1. Aliran Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Definisi mereka tentang Tuhan, sebagaimana telah dijelaskan oleh Asy’ari, bersifat negatif. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, kekuasaan, hajat, dan sebagainya. Ini tidak bearti bahwa Tuhan bagi mereka tidak mengetahui, berkuasa, dan sebagainya, tetapi bukan dengan sifat dalam arti kata sebenarnya. Artinya, “Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri”. Dengan demnikian, pengetahuan Tuhan, sebagaimana dijelaskan Abu Al-Huzail, adalah Tuahn sendiri, yaitu dzat atau esensi Tuhan.
- 2. Aliran Asy’ariyah
Sementara itu, Al-Baghdadi melihat adanya consensus dikalangan kaum Asy’ari, bahwa daya, pengetahuan, hayat, kemauan, pendengaran, penglihatan dan sabda Tuhan adalah kekal. Sifat-sifat ini, kata al-Ghazali tidaklah sama dengan esensi Tuhan.
- 3. Aliran Mazturidiyah
Faham al-Maturidi, dalam memaknai sifat Tuhan cenderung mendekati faham Mu’tazilah. Perbedaannya al-Maturidi mengakui adanya sifat-sifat Tuhan. Sedangkan Mu’tazilah menolah adanya sifat-sifat Tuhan.
Faham keadilan Tuhan dalam pemikiran kalam, bergantung pada pandangan apakah manusia mempunyai kebebaasn dalam berkehendak dan berbuat ? Ataukah manusia itu hanya terpaksa saja ?Perbedaan pandangan terhadap bebas atau tidaknya manusia menyebabkan perbedaan penerapan makna keadilan, yang sama-sama disepakati mengandung arti meletakkan sesuatu pada tempatnya.
- 1. Aliran Mu’tazilah
Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan sandaran dalam memperkuat pendapat Mu’tazilah adalah Al-Anbiya (21) : 47 , Yasin (36) :54 , Fusshilat (41) :46 An-Nisa (4) : 40 dan Kahfi (18) : 49.
- 2. Aliran Asy’ariyah
- 3. Aliran Maturidiyah
Adapun Maturidiyah bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekauasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yanhg dikehendakinya dan menentukan segala-galanya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa Tuhan dan tidak aad larangan bagi Tuhan. Dengan demikian, keadilan tuhan terletak paad kehendak mutlaknya, tidak ada satu zat pun yang lebih kuasa dari pada-Nya dan tidak ada batasan bagi-Nya.
==============
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahan, Departemen Agama RI, Diroktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Dirertorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syari’ah, Jakarta, 2007
Abu Mansur Al-Maturidi, Kita At-Tauhid, Tahqiq oleh Fathullah Khalif, Maktabah Al-Islamiyah, Muhamma Ozdoneir, 1979
Al-Asy’ari, Al-Ibanah an Ushul Ad-Dinayah, Idarah At-Tiba’ah Al-Mishriyah, tt,
-------------------, Prinsip-prinsip Dasar Aliran Teologi Islam, Buku 2, terj. Rosihan Anwar dan Taufiq Rahman, Pustaka Setia, Bandung, 2000
Harun Nasution, Teologi Islam ; Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. UI Press, Jakarta, 1986
-------------------, Encyclopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992
Muhammad bin Abdul Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, Mustafa Al-Bab Al-Halabi wa Auladuh, Mesir 1987, Juz. I
M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam : Pemikiran Kalam, Perkasa Jakarta, 1990
W.Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam.terj.Umar Basilam, Penerbit P3M Jakarta, 1987
0 comments:
Post a Comment