Oleh: Muhammad Afifuddin As-Sidawi
Pengertian Ittiba
' Ittiba' secara bahasa berarti iqtifa (menelusuri jejak), qudwah (bersuri teladan) dan uswah (berpanutan). Ittiba' terhadap Al-Qur'an berarti menjadikan Al-Qur'an sebagai imam dan mengamalkan isi kandungannya. Ittiba' kepada Rasul berarti menjadikannya sebagai panutan yang patut diteladani dan ditelusuri jejak langkahnya. (Mahabbatur Rasul, hal. 101-102)
Adapun secara istilah ittiba' berarti mengikuti seseorang atau suatu ucapan dengan hujah dan dalil. Ibnu Khuwaizi Mandad mengatakan: "Setiap orang yang kau ikuti dengan hujah dan dalil yang ada padanya, maka engkau adalah muttabi' (orang yang mengikuti)nya. (Dinukil oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitab Jami' Bayanil Ilmi, 2/143)
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya A'lamu Muwaqi'in, 2/139 menukil ucapan Abu Dawud, beliau berkata: "Aku mendengar Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan: 'Ittiba' adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan para shahabatnya radliallahu `anhum.'" Dari perkataan para imam di atas, dapat dipahami bahwa yang dinamakan ittiba' ialah mengikuti Al-Qur'an dan sunnah yang shahihah dengan pemahaman salaful ummah, karena dua perkara ini adalah hujah yang qath'iyyah sebagaimana telah disepakati oleh para ulama. Oleh karena itulah Imam Ahmad menyatakan: "Janganlah kalian taqlid kepadaku, kepada Malik, Sufyan Ats-Tsauri dan Al- Auza'i, tetapi ambillah dari mana mereka mengambil." (A'lamul Muwaqi'in, 2/139)
Sedangkan para imam yang disebutkan oleh Imam Ahmad di atas, tidak pernah mengambil pendapat rijal (orang- orang), tapi mereka semua mengambil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah lengkap dengan aqwal (perkataan) para shahabat. Jika ada orang yang mengikuti mereka (para imam) dengan dalil dan hujah yang mereka ambil, maka dia adalah seorang muttabi'. Demikian pula jika ada orang yang mengikuti Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz atau Syaikh Utsaimin atau yang lainnya karena berdasarkan hujjah dari Al-Qur'an dan Sunnah dengan pemahaman salaful ummah yang ada pada mereka, maka dia adalah seorang muttabi'.
Seseorang dikatakan muttabi' jika ia berpegang dengan dalil Al-Qur'an dan Sunnah dan meninggalkan ucapan para imam atau masyayikh yang dia ikuti tersebut apabila mereka tidak menyandarkan pada dalil Al-Qur'an dan Sunnah dengan pemahaman salaful ummah. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (Al-Ahzab: 21)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat ini dengan ucapannya: "Ayat ini merupakan asas pokok lagi agung dalam bersuri teladan kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dalam segala ucapan, perbuatan dan hal ihwalnya...." (Tafsir Ibnu Katsir, 3/475)
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam kitabnya Al- Hadits Hujjatun bi Nafsihi, hal. 35 menyatakan: "Ayat ini memberikan pengertian bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam adalah panutan kita dan suri teladan bagi kita dalam segala urusan agama...." Beruswah kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam ialah dengan mengerjakan sesuai dengan apa yang dikerjakan oleh beliau shallallahu `alaihi wa sallam, baik berupa amalan sunnah ataupun amalan wajib dan meninggalkan semua yang ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam baik itu perkara yang makruh, apalagi yang haram. Jika beliau shallallahu `alaihi wa sallam mengucapkan suatu ucapan, kita juga berucap seperti ucapan beliau shallallahu `alaihi wa sallam. Jika beliau shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakan sesuatu, maka kita juga mengerjakannya sesuai dengan perbuatan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dengan tidak ditambah dan dikurangi.
Begitu pula jika Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam meninggalkan sesuatu, maka kita juga tinggalkan selama perbuatan atau ucapan tersebut bukan suatu kekhususan bagi beliau shallallahu `alaihi wa sallam. Dan jika beliau mengagungkan sesuatu, maka kita juga mengagungkannya, demikianlah seterusnya. Jadi, ber-uswah kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam berarti kita mengesakannya dalam hal mutaba'ah (mengikuti) sebagaimana kita mengesakan Allah dalam peribadatan. Hal ini merupakan realisasi dari dua kalimat syahadat ( ....arab....). Jika hilang salah satu hal ini dari diri seseorang, maka dia belum dapat dikatakan sebagai seorang muslim. Perlu diperhatikan bahwa mustahil seseorang itu mampu ber- uswah dan ber-ittiba' kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, jika dia jahil (bodoh) terhadap sunnah dan petunjuk-petunjuk Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Oleh karena itu jalan satu-satunya untuk bisa ber-ittiba' kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam adalah dengan mengetahui sunah- sunnah beliau -dan ini menunnjukkan bahwa atba' (pengikut Rasul)- adalah ahlul bashirah (orang yang berilmu).
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dalam kitabnya Zaadul Ma'ad, 1/69-70 mengatakan: "Kalau kebahagiaan seorang hamba di dunia dan akhirat tergantung dengan petunjuk Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, maka wajib bagi setiap hamba yang ingin mendapatkannya untuk mengetahui dan memahami sunnah Rasulullah, petunjuk-petunjuk dan jalan hidupnya shallallahu `alaihi wa sallam, sehingga dia dapat digolongkan sebagai atba' (pengikut) beliau shallallahu `alaihi wa sallam...." Setelah mengilmui sunnah-sunnah beliau shallallahu `alaihi wa sallam, maka kewajiban kita selanjutnya adalah tathbiqu sunnah (mempraktekkan/mengamalkan sunnah), baik secara individu maupun masyarakat. Di dalam menjalankan sunnah ini tidak boleh hanya mengamalkan sebagian dan meninggalkan atau meremehkan sebagian yang lain.
Tidak boleh hanya mementingkan shalat saja tanpa yang lain, begitu pula tidak boleh mementingkan masalah akhlak saja sedangkan tauhidnya tidak. Akan tetapi harus mengamalkan semua sunnah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, baik yang berkaitan dengan masalah i'tiqad, ibadah, muamalah, akhlak, adab, hubungan sosial ataupun yang lainnya. Cara yang paling efisien di dalam tathbiqu sunnah adalah dengan menyebarkan ilmu syar'i yang telah diwariskan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam (ilmu kitab dan sunnah) kepada umat. Jadi, merupakan kewajiban bagi setiap orang yang mempunyai ilmu syar'i tersebut untuk menyampaikan dan mengajarkan kepada umat tentang sunnah-sunnah nabinya shallallahu `alaihi wa sallam.
Imam Baihaqi rahimahullah mengatakan: "Jika ittiba' kepada sunnah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam merupakan suatu kewajiban dan tidak ada cara lain untuk bisa ittiba' kepada sunnah beliau kecuali dengan mengilmuinya, maka tidak ada jalan lain untuk bisa mengilmuinya kecuali dengan menerima semua apa yang datang dari beliau. Kita wajib menerimanya tanpa ada rasa berat karena dengan itulah kita dapat ittiba' kepada sunnah- sunnah beliau. Oleh sebab itu beliau memerintahkan umatnya untuk mengajarkan dan mendakwahkan sunnah kepada umat." (Al-I'tiqad Wal Hidayah Ila Sabili Ar-Rasyad, hal. 154)
Kemudian yang perlu diperjelas adalah suatu perbuatan yang ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam atau yang lebih dikenal dengan sunnah matrukah atau sunnah tarkiyyah. Sunnah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dibagi menjadi dua: sunnah fi'liyyah dan sunnah tarkiyyah. Segala sesuatu yang dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam termasuk sunnah untuk kita kerjakan selama bukan merupakan kekhususan bagi beliau.
Sunnah ini yang dinamakan dengan sunnah fi'liyyah. Sedangkan segala sesuatu yang ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam adalah termasuk sunnah untuk kita tinggalkan dan ini dinamakan dengan sunnah tarkiyyah. Al-Hafizh Ibnu Rajab dalam kitabnya Fadllu 'Ilmi Salaf, hal. 31, mengatakan: "...Segala sesuatu yang disepakati oleh salafus shalih untuk ditinggalkan, maka tidak boleh diamalkan karena mereka tidak akan meninggalkan sesuatu amal melainkan karena mereka tahu bahwa amal itu tidak dikerjakan."
Dasar kaidah sunnah tarkiyyah ini diambil dari beberapa dalil. Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari (5063) dan Muslim (1401) dari Anas bin Malik radliallahu 'anhu, dia berkata: "Datang tiga orang ke rumah istri Nabi shallallahu `alaihi wa sallam untuk menanyakan tentang ibadah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Ketika mereka dikabari tentang ibadah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, mereka merasa bahwa ibadah mereka sangat sedikit.
Oleh karena itu mereka mengatakan: 'Ada apanya kita dibandingkan dengan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam? Padahal beliau telah diampuni oleh Allah dosa-dosanya yang lalu maupun yang akan datang.' Salah seorang dari mereka berkata: 'Saya akan shalat semalam suntuk selama- lamanya.' Yang lainnya berucap: 'Saya akan berpuasa sepanjang masa dan tidak berbuka.' Dan yang lain lagi bilang: 'Saya akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya.' (Mendengar hal ini), Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pun datang seraya bersabda: hadits 'Kalian yang mengucapkan begini dan begitu?! Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling taqwa kepada-Nya. Tetapi aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta aku pun menikahi wanita. Maka barangsiapa yang benci terhadap sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku.'" (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid dalam kitabnya Ilmu Ushulil Bida', hal. 108 menjelaskan hadits ini dengan ucapannya: "Hadits ini secara jelas mengisyaratkan tentang usaha tiga orang yang tersebut dalam hadits untuk mengerjakan ibadah-ibadah yang pada asalnya memang disyari'atkan, tetapi dengan kaifiyyah (tata cara) yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Puasa pada asalnya adalah ibadah yang dianjurkan. Qiyamul lail (shalat malam) pun pada asalnya adalah ibadah yang disukai. Demikian juga afaf (menjaga kehormatan) adalah suatu perbuatan yang terpuji dan dituntut. Akan tetapi karena kaifiyah dan sifat ibadah yang akan dilakukan oleh tiga orang tadi ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dalam praktek ibadahnya dan tidak pernah diajarkan oleh beliau, maka beliau pun mengingkari perbuatan mereka. Pengingkaran Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam ini sesuai dengan sabda beliau: hadits "Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan itu tertolak (tidak diterima)." (HR. Muslim, 1718)
Dalam hadits ini ada faedah yang sangat penting yaitu niat yang baik semata tidak dapat menjadikan suatu amalan menjadi baik dan diterima di sisi Allah subhanahu wa ta'ala, akan tetapi harus sesuai dengan cara yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Oleh karena itulah Nabi shallallahu `alaihi wa sallam menutup pengingkarannya dengan ucapan: "Siapa yang benci (meninggalkan) sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku." Oleh karena itu, untuk menyempurnakan ittiba' kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam adalah mengerjakan apa yang telah dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam (sunnah fi'liyyah) dan meninggalkan apa yang ditinggalkan oleh beliau shallallahu `alaihi wa sallam (sunnah tarkiyyah). Dengan demikian seseorang akan terjauh dari perbuatan bid'ah dan dapat menutup pintu bid'ah serapat-rapatnya.
Karena semakin ber ittiba' kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, maka semakin jauh pula seseorang dari kebid'ahan. Sebaliknya, kalau seseorang lemah dalam ber-ittiba' kepada beliau, maka pintu bid'ah akan terbuka lebar-lebar dan kemungkinan terjerumus sangat besar baginya. Meninggalkan apa yang ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam berarti telah mengerjakan sunnah tarkiyyah, tetapi sebaliknya meninggalkan apa yang dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam (sunnah fi'liyyah), maka akan terjerumus ke dalam bid'ah tarkiyyah. Wal 'Iyadzu billah. Bid'ah Tarkiyyah adalah seseorang mengharamkan atas dirinya apa yang dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya tanpa udzur syar'i dan menjadikannya sebagai agama yang harus dipeluk.
Orang yang meninggalkan sesuatu yang dihalalkan atau yang disyari'atkan oleh agama itu mempunyai dua alternatif:
BENTUK-BENTUK ITTIBA'
Ittiba' kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam mempunyai mazhahir (bentuk-bentuk) yang banyak. Kalau mazhahir itu direalisasikan, maka hal itu menunjukkan kejujuran seseorang di dalam ber-ittiba' kepada Rasul-Nya shallallahu `alaihi wa sallam. Di antara mazhahir itu adalah:
1. Mentaati perintahnya.
Allah subhanahu wa ta'ala dalam banyak ayat Al-Qur'an memerintahkan kaum mukminin untuk taat kepada Rasul-Nya. Hal ini merupakan suatu bukti kebenaran dalam ber-ittiba' kepadanya. Dan seringkali Allah menggabungkan perintah untuk taat kepada- Nya dengan perintah taat kepada Rasul-Nya untuk menunjukkan bahwa taat kepada Rasul-Nya dalam segala yang diperintahkannya itu mutlak adanya, tidak perlu lagi dicocokkan dengan Al- Qur'an. Di dalam Al-Qur'an juga disebutkan bahwa orang yang taat kepada Rasul shallallahu `alaihi wa sallam berarti dia telah taat kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kalian...." (An-Nisa': 59)
"Barangsiapa yang menta'ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah...." (An-Nisa': 80)
Taat kepada Allah dan Rasul-Nya merupakan sebab turunnya rahmat dari Allah subhanahu wa ta'ala, sebagaimana firman-Nya:
"Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat." (Ali Imran: 132)
Juga merupakan sebab seseorang itu mendapatkan hidayah dari Allah subhanahu wa ta'ala:
"Katakanlah: 'Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, kewajiban kamu adalah apa yang dibebankan kepadamu.Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk...." (An-Nuur: 54)
Allah menjanjikan bagi orang yang taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya dengan surga yang mengalir di bawahnya dalam firman- Nya:
"...Barangsiapa yang taat kepada Allah dan dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar." (An-Nisa': 13)
Sebaliknya Allah mengancam orang-orang yang tidak mau taat kepada Rasul-Nya dengan adzab yang pedih. Allah berfirman:
"...maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih." (An- Nuur: 63)2.
2. Menjauhi Larangannya.
Hal ini juga merupakan bukti nyata tentang kebenaran seseorang dalam ber-ittiba' kepada Rasul-Nya. Orang yang terkumpul pada dirinya dua hal ini yakni mengerjakan perintah Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi larangan-Nya, maka dia telah mencapai derajat orang yang bertaqwa.
Di dalam menjauhi larangan Allah dan Rasul-Nya, kita harus meninggalkan semuanya tanpa terkecuali sekalipun hawa nafsu kita berat untuk meninggalkannya. Merupakan rahmat Allah yang Maha Luas, di dalam kita mengerjakan perintah-Nya kita hanya dituntut untuk mengerjakan menurut kemampuan kita. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah haditsnya:
"Apa yang yang aku larang untuk kalian, maka jauhilah (semuanya). Dan apa yang aku perintahkan, maka kerjakanlah semampu kalian...." (HR. Bukhari, 13/251 dan Muslim, 1337)
3. Membenarkan khabar yang datang darinya.
Termasuk bukti kebenaran ittiba' seseorang kepada Nabinya adalah dia membenarkan seluruh berita yang memang benar darinya sekalipun berita itu tidak masuk akal atau tidak dapat dijangkau oleh panca indera. Karena dia yakin bahwa nabinya tidak akan berbicara dari hawa nafsunya, tetapi itu tidak lain adalah wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta`ala:
"Dan tidaklah dia mengucapkan dari hawa nafsunya melainkan wahyu yang diwahyukan (kepadanya)." (An-Najm: 4)
4. Beribadah kepada Allah dengan syari'at yang diajarkannya.
Empat point ini adalah sebagian dari sekian banyak mazhahir ittiba' kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan merupakan makna syahadat Muhammad Rasullah sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab dalam risalahnya. (Lihat Hasyiyah Ushulu Ats-Tsalatsah, hal. 57)
KEDUDUKAN ITTIBA' DALAM ISLAM
Ittiba' kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam, bahkan merupakan salah satu pintu seseorang dapat masuk Islam. Berikut ini akan disebutkan beberapa kedudukan penting yang ditempati oleh ittiba', di antaranya adalah:
1. Ittiba' kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam adalah salah satu syarat diterima amal.Ittiba' dijadikan oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai salah satu syarat diterimanya suatu amalan ibadah. Sedangkan syarat diterimanya ibadah sebagaimana yang disepakati oleh para ulama ada dua:
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." (Al-Mulk: 2)
Al-Fudlail bin 'Ayyadl menafsirkan firman Allah "yang paling baik" dengan ucapannya: "Yaitu yang paling ikhlas dan paling cocok dengan ajaran Rasul. Karena suatu amalan yang didasarkan dengan ikhlas, tapi tidak sesuai dengan ajaran Rasul, maka amalan itu tidak diterima. Begitu pula sebaliknya, kalau amalan itu benar tapi tidak ikhlas, maka amalan itu tidak diterima...." (Lihat Jami'ul Ulum wal Hikam, hal. 10 dan Ilmu Ushulil Bida', hal. 61)
Ibnu 'Ajlan rahimahullah mengatakan: "Tidak sah suatu amalan melainkan dengan tiga perkara: taqwa kepada Allah, niat yang baik (ikhlas) dan ishabah (sesuai dan mengikuti sunnah Rasul)." (Jami'ul Ulum wal Hikam, hal. 10)
Maka barangsiapa mengerjakan suatu amal dengan didasari ikhlas karena Allah semata dan cocok dengan sunnah Rasulullah, niscaya amal itu akan diterima oleh Allah 'Azza wa Jalla. Akan tetapi kalau hilang salah satu dari dua syarat tersebut, maka amal itu akan tertolak dan tidak diterima oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Hal inilah yang sering luput dari pengetahuan banyak orang. Mereka hanya memperhatikan satu sisi saja dan tidak memperdulikan yang lainnya. Oleh karena itu sering kita dengar mereka mengucapkan: "yang penting niatnya, kalau niatnya baik, maka amalnya baik."
2. Ittiba' merupakan bukti kebenaran cinta seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya.
Allah berfirman:
"Katakanlah: 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Ali Imran: 31)
Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat ini dengan ucapannya: "Ayat yang mulia ini sebagai hakim bagi setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah, akan tetapi tidak mengikuti sunnah Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam. Karena orang yang seperti ini berarti dusta dalam pengakuan cintanya kepada Allah sampai dia ittiba' kepada syari'at agama Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam dalam segala ucapan dan tidak tanduknya." (Ibnu Katsir, 1/358)
3. Ittiba' adalah sifat yang utama wali-wali Allah
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Furqan Baina Auliair Rahman wa Auliyai Syaithan hal. 28-47 menjelaskan panjang lebar perbedaan antara waliyullah dan wali syaithan, diantaranya beliau menjelaskan tentang wali Allah dengan ucapannya: "Tidak bisa dikatakan wali Allah kecuali orang yang beriman kepada Rasulullah dan syari'at yang dibawanya serta ittiba' kepadanya baik lahir maupun bathin. Barangsiapa mengaku cinta kepada Allah dan mengaku sebagai wali Allah, tetapi dia tidak ittiba' kepada Rasul-Nya, berarti dia berdusta. Bahkan kalau dia menentang Rasul-Nya, dia termasuk musuh Allah dan sebagai wali syaithan."
Kemudian beliau (dan juga Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam risalahnya Al-Ushulu as-Sittah) berdalil dengan firman Allah surat Ali Imran ayat 31 dalam perkara yang telah tersebut di atas. Imam Ibnu Abil 'Izzi Al-Hanafi dalam Syarah Aqidah Ath- Thahawiyyah, hal. 496 berkata: "Pada hakekatnya yang dinamakan karamah itu adalah kemampuan untuk senantiasa istiqamah di atas al-haq, karena Allah tidak memuliakan hamba-Nya dengan suatu karamah yang lebih besar dari taufiq-Nya yang diberikan kepada hamba itu untuk senantiasa mencocoki apa yang dicintai dan diridlai-Nya yaitu istiqamah di dalam mentaati Allah dan Rasul-Nya dan ber-wala kepada wali-wali Allah serta bara' dari musuh-musuh-Nya." Mereka itulah wali-wali Allah sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (Yunus: 62)
Demikianlah beberapa kedudukan ittiba' yang tinggi dalam syari'ah Islam dan masih banyak lagi kedudukan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa ittiba' kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam merupakan suatu amal yang teramat besar dan banyak mendapat rintangan. Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta'ala menjadikan kita termasuk orang-orang yang ittiba' kepada Nabi-Nya dalam segala aspek kehidupan kita, sehingga kita akan bertemu Allah dengan membawa husnul khatimah.
Pengertian Ittiba
' Ittiba' secara bahasa berarti iqtifa (menelusuri jejak), qudwah (bersuri teladan) dan uswah (berpanutan). Ittiba' terhadap Al-Qur'an berarti menjadikan Al-Qur'an sebagai imam dan mengamalkan isi kandungannya. Ittiba' kepada Rasul berarti menjadikannya sebagai panutan yang patut diteladani dan ditelusuri jejak langkahnya. (Mahabbatur Rasul, hal. 101-102)
Adapun secara istilah ittiba' berarti mengikuti seseorang atau suatu ucapan dengan hujah dan dalil. Ibnu Khuwaizi Mandad mengatakan: "Setiap orang yang kau ikuti dengan hujah dan dalil yang ada padanya, maka engkau adalah muttabi' (orang yang mengikuti)nya. (Dinukil oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitab Jami' Bayanil Ilmi, 2/143)
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya A'lamu Muwaqi'in, 2/139 menukil ucapan Abu Dawud, beliau berkata: "Aku mendengar Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan: 'Ittiba' adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan para shahabatnya radliallahu `anhum.'" Dari perkataan para imam di atas, dapat dipahami bahwa yang dinamakan ittiba' ialah mengikuti Al-Qur'an dan sunnah yang shahihah dengan pemahaman salaful ummah, karena dua perkara ini adalah hujah yang qath'iyyah sebagaimana telah disepakati oleh para ulama. Oleh karena itulah Imam Ahmad menyatakan: "Janganlah kalian taqlid kepadaku, kepada Malik, Sufyan Ats-Tsauri dan Al- Auza'i, tetapi ambillah dari mana mereka mengambil." (A'lamul Muwaqi'in, 2/139)
Sedangkan para imam yang disebutkan oleh Imam Ahmad di atas, tidak pernah mengambil pendapat rijal (orang- orang), tapi mereka semua mengambil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah lengkap dengan aqwal (perkataan) para shahabat. Jika ada orang yang mengikuti mereka (para imam) dengan dalil dan hujah yang mereka ambil, maka dia adalah seorang muttabi'. Demikian pula jika ada orang yang mengikuti Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz atau Syaikh Utsaimin atau yang lainnya karena berdasarkan hujjah dari Al-Qur'an dan Sunnah dengan pemahaman salaful ummah yang ada pada mereka, maka dia adalah seorang muttabi'.
Seseorang dikatakan muttabi' jika ia berpegang dengan dalil Al-Qur'an dan Sunnah dan meninggalkan ucapan para imam atau masyayikh yang dia ikuti tersebut apabila mereka tidak menyandarkan pada dalil Al-Qur'an dan Sunnah dengan pemahaman salaful ummah. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (Al-Ahzab: 21)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat ini dengan ucapannya: "Ayat ini merupakan asas pokok lagi agung dalam bersuri teladan kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dalam segala ucapan, perbuatan dan hal ihwalnya...." (Tafsir Ibnu Katsir, 3/475)
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam kitabnya Al- Hadits Hujjatun bi Nafsihi, hal. 35 menyatakan: "Ayat ini memberikan pengertian bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam adalah panutan kita dan suri teladan bagi kita dalam segala urusan agama...." Beruswah kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam ialah dengan mengerjakan sesuai dengan apa yang dikerjakan oleh beliau shallallahu `alaihi wa sallam, baik berupa amalan sunnah ataupun amalan wajib dan meninggalkan semua yang ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam baik itu perkara yang makruh, apalagi yang haram. Jika beliau shallallahu `alaihi wa sallam mengucapkan suatu ucapan, kita juga berucap seperti ucapan beliau shallallahu `alaihi wa sallam. Jika beliau shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakan sesuatu, maka kita juga mengerjakannya sesuai dengan perbuatan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dengan tidak ditambah dan dikurangi.
Begitu pula jika Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam meninggalkan sesuatu, maka kita juga tinggalkan selama perbuatan atau ucapan tersebut bukan suatu kekhususan bagi beliau shallallahu `alaihi wa sallam. Dan jika beliau mengagungkan sesuatu, maka kita juga mengagungkannya, demikianlah seterusnya. Jadi, ber-uswah kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam berarti kita mengesakannya dalam hal mutaba'ah (mengikuti) sebagaimana kita mengesakan Allah dalam peribadatan. Hal ini merupakan realisasi dari dua kalimat syahadat ( ....arab....). Jika hilang salah satu hal ini dari diri seseorang, maka dia belum dapat dikatakan sebagai seorang muslim. Perlu diperhatikan bahwa mustahil seseorang itu mampu ber- uswah dan ber-ittiba' kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, jika dia jahil (bodoh) terhadap sunnah dan petunjuk-petunjuk Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Oleh karena itu jalan satu-satunya untuk bisa ber-ittiba' kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam adalah dengan mengetahui sunah- sunnah beliau -dan ini menunnjukkan bahwa atba' (pengikut Rasul)- adalah ahlul bashirah (orang yang berilmu).
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dalam kitabnya Zaadul Ma'ad, 1/69-70 mengatakan: "Kalau kebahagiaan seorang hamba di dunia dan akhirat tergantung dengan petunjuk Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, maka wajib bagi setiap hamba yang ingin mendapatkannya untuk mengetahui dan memahami sunnah Rasulullah, petunjuk-petunjuk dan jalan hidupnya shallallahu `alaihi wa sallam, sehingga dia dapat digolongkan sebagai atba' (pengikut) beliau shallallahu `alaihi wa sallam...." Setelah mengilmui sunnah-sunnah beliau shallallahu `alaihi wa sallam, maka kewajiban kita selanjutnya adalah tathbiqu sunnah (mempraktekkan/mengamalkan sunnah), baik secara individu maupun masyarakat. Di dalam menjalankan sunnah ini tidak boleh hanya mengamalkan sebagian dan meninggalkan atau meremehkan sebagian yang lain.
Tidak boleh hanya mementingkan shalat saja tanpa yang lain, begitu pula tidak boleh mementingkan masalah akhlak saja sedangkan tauhidnya tidak. Akan tetapi harus mengamalkan semua sunnah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, baik yang berkaitan dengan masalah i'tiqad, ibadah, muamalah, akhlak, adab, hubungan sosial ataupun yang lainnya. Cara yang paling efisien di dalam tathbiqu sunnah adalah dengan menyebarkan ilmu syar'i yang telah diwariskan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam (ilmu kitab dan sunnah) kepada umat. Jadi, merupakan kewajiban bagi setiap orang yang mempunyai ilmu syar'i tersebut untuk menyampaikan dan mengajarkan kepada umat tentang sunnah-sunnah nabinya shallallahu `alaihi wa sallam.
Imam Baihaqi rahimahullah mengatakan: "Jika ittiba' kepada sunnah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam merupakan suatu kewajiban dan tidak ada cara lain untuk bisa ittiba' kepada sunnah beliau kecuali dengan mengilmuinya, maka tidak ada jalan lain untuk bisa mengilmuinya kecuali dengan menerima semua apa yang datang dari beliau. Kita wajib menerimanya tanpa ada rasa berat karena dengan itulah kita dapat ittiba' kepada sunnah- sunnah beliau. Oleh sebab itu beliau memerintahkan umatnya untuk mengajarkan dan mendakwahkan sunnah kepada umat." (Al-I'tiqad Wal Hidayah Ila Sabili Ar-Rasyad, hal. 154)
Kemudian yang perlu diperjelas adalah suatu perbuatan yang ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam atau yang lebih dikenal dengan sunnah matrukah atau sunnah tarkiyyah. Sunnah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dibagi menjadi dua: sunnah fi'liyyah dan sunnah tarkiyyah. Segala sesuatu yang dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam termasuk sunnah untuk kita kerjakan selama bukan merupakan kekhususan bagi beliau.
Sunnah ini yang dinamakan dengan sunnah fi'liyyah. Sedangkan segala sesuatu yang ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam adalah termasuk sunnah untuk kita tinggalkan dan ini dinamakan dengan sunnah tarkiyyah. Al-Hafizh Ibnu Rajab dalam kitabnya Fadllu 'Ilmi Salaf, hal. 31, mengatakan: "...Segala sesuatu yang disepakati oleh salafus shalih untuk ditinggalkan, maka tidak boleh diamalkan karena mereka tidak akan meninggalkan sesuatu amal melainkan karena mereka tahu bahwa amal itu tidak dikerjakan."
Dasar kaidah sunnah tarkiyyah ini diambil dari beberapa dalil. Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari (5063) dan Muslim (1401) dari Anas bin Malik radliallahu 'anhu, dia berkata: "Datang tiga orang ke rumah istri Nabi shallallahu `alaihi wa sallam untuk menanyakan tentang ibadah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Ketika mereka dikabari tentang ibadah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, mereka merasa bahwa ibadah mereka sangat sedikit.
Oleh karena itu mereka mengatakan: 'Ada apanya kita dibandingkan dengan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam? Padahal beliau telah diampuni oleh Allah dosa-dosanya yang lalu maupun yang akan datang.' Salah seorang dari mereka berkata: 'Saya akan shalat semalam suntuk selama- lamanya.' Yang lainnya berucap: 'Saya akan berpuasa sepanjang masa dan tidak berbuka.' Dan yang lain lagi bilang: 'Saya akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya.' (Mendengar hal ini), Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pun datang seraya bersabda: hadits 'Kalian yang mengucapkan begini dan begitu?! Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling taqwa kepada-Nya. Tetapi aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta aku pun menikahi wanita. Maka barangsiapa yang benci terhadap sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku.'" (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid dalam kitabnya Ilmu Ushulil Bida', hal. 108 menjelaskan hadits ini dengan ucapannya: "Hadits ini secara jelas mengisyaratkan tentang usaha tiga orang yang tersebut dalam hadits untuk mengerjakan ibadah-ibadah yang pada asalnya memang disyari'atkan, tetapi dengan kaifiyyah (tata cara) yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Puasa pada asalnya adalah ibadah yang dianjurkan. Qiyamul lail (shalat malam) pun pada asalnya adalah ibadah yang disukai. Demikian juga afaf (menjaga kehormatan) adalah suatu perbuatan yang terpuji dan dituntut. Akan tetapi karena kaifiyah dan sifat ibadah yang akan dilakukan oleh tiga orang tadi ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dalam praktek ibadahnya dan tidak pernah diajarkan oleh beliau, maka beliau pun mengingkari perbuatan mereka. Pengingkaran Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam ini sesuai dengan sabda beliau: hadits "Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan itu tertolak (tidak diterima)." (HR. Muslim, 1718)
Dalam hadits ini ada faedah yang sangat penting yaitu niat yang baik semata tidak dapat menjadikan suatu amalan menjadi baik dan diterima di sisi Allah subhanahu wa ta'ala, akan tetapi harus sesuai dengan cara yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Oleh karena itulah Nabi shallallahu `alaihi wa sallam menutup pengingkarannya dengan ucapan: "Siapa yang benci (meninggalkan) sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku." Oleh karena itu, untuk menyempurnakan ittiba' kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam adalah mengerjakan apa yang telah dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam (sunnah fi'liyyah) dan meninggalkan apa yang ditinggalkan oleh beliau shallallahu `alaihi wa sallam (sunnah tarkiyyah). Dengan demikian seseorang akan terjauh dari perbuatan bid'ah dan dapat menutup pintu bid'ah serapat-rapatnya.
Karena semakin ber ittiba' kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, maka semakin jauh pula seseorang dari kebid'ahan. Sebaliknya, kalau seseorang lemah dalam ber-ittiba' kepada beliau, maka pintu bid'ah akan terbuka lebar-lebar dan kemungkinan terjerumus sangat besar baginya. Meninggalkan apa yang ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam berarti telah mengerjakan sunnah tarkiyyah, tetapi sebaliknya meninggalkan apa yang dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam (sunnah fi'liyyah), maka akan terjerumus ke dalam bid'ah tarkiyyah. Wal 'Iyadzu billah. Bid'ah Tarkiyyah adalah seseorang mengharamkan atas dirinya apa yang dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya tanpa udzur syar'i dan menjadikannya sebagai agama yang harus dipeluk.
Orang yang meninggalkan sesuatu yang dihalalkan atau yang disyari'atkan oleh agama itu mempunyai dua alternatif:
- Dia meninggalkannya karena udzur syar'i. Kalau dia meninggalkan sesuatu yang halal dikarenakan ada udzur syari'at berarti dia meninggalkan sesuatu yang boleh ditinggalkan atau bahkan dituntut untuk ditinggalkan. Seperti orang yang meninggalkan suatu makanan tertentu karena dapat merusak kesehatan atau badannya.
- Dia meninggalkannya tanpa ada udzur syar'i. Orang yang meninggalkan sesuatu tanpa ada udzur syar'i juga mempunyai dua alternatif:
- Dia meninggalkannya tapi tidak dianggap sebagai agama. Orang seperti ini berarti telah mengerjakan suatu yang sia- sia, tetapi belum boleh dikatakan sebagai perbuatan bid'ah tarkiyyah, sekalipun dia telah berbuat maksiat karena telah mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
- Dia meninggalkannya dan menganggap sebagai agama. Orang yang meninggalkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan menganggap bahwa apa yang dia perbuat adalah agama yang harus dipeluk, maka dia telah terjatuh dalam bid'ah tarkiyyah. Karena orang yang mengharamkan dirinya untuk memakan apa yang dihalalkan oleh Allah tanpa udzur syar'i berarti dia telah keluar dari sunnah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, sedangkan orang yang meninggalkan sunnah karena tadayyun (dianggap sebagai agama) adalah seorang mubtadi'. (lihat Al-I'tisham, 1/42)
BENTUK-BENTUK ITTIBA'
Ittiba' kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam mempunyai mazhahir (bentuk-bentuk) yang banyak. Kalau mazhahir itu direalisasikan, maka hal itu menunjukkan kejujuran seseorang di dalam ber-ittiba' kepada Rasul-Nya shallallahu `alaihi wa sallam. Di antara mazhahir itu adalah:
1. Mentaati perintahnya.
Allah subhanahu wa ta'ala dalam banyak ayat Al-Qur'an memerintahkan kaum mukminin untuk taat kepada Rasul-Nya. Hal ini merupakan suatu bukti kebenaran dalam ber-ittiba' kepadanya. Dan seringkali Allah menggabungkan perintah untuk taat kepada- Nya dengan perintah taat kepada Rasul-Nya untuk menunjukkan bahwa taat kepada Rasul-Nya dalam segala yang diperintahkannya itu mutlak adanya, tidak perlu lagi dicocokkan dengan Al- Qur'an. Di dalam Al-Qur'an juga disebutkan bahwa orang yang taat kepada Rasul shallallahu `alaihi wa sallam berarti dia telah taat kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kalian...." (An-Nisa': 59)
"Barangsiapa yang menta'ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah...." (An-Nisa': 80)
Taat kepada Allah dan Rasul-Nya merupakan sebab turunnya rahmat dari Allah subhanahu wa ta'ala, sebagaimana firman-Nya:
"Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat." (Ali Imran: 132)
Juga merupakan sebab seseorang itu mendapatkan hidayah dari Allah subhanahu wa ta'ala:
"Katakanlah: 'Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, kewajiban kamu adalah apa yang dibebankan kepadamu.Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk...." (An-Nuur: 54)
Allah menjanjikan bagi orang yang taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya dengan surga yang mengalir di bawahnya dalam firman- Nya:
"...Barangsiapa yang taat kepada Allah dan dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar." (An-Nisa': 13)
Sebaliknya Allah mengancam orang-orang yang tidak mau taat kepada Rasul-Nya dengan adzab yang pedih. Allah berfirman:
"...maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih." (An- Nuur: 63)2.
2. Menjauhi Larangannya.
Hal ini juga merupakan bukti nyata tentang kebenaran seseorang dalam ber-ittiba' kepada Rasul-Nya. Orang yang terkumpul pada dirinya dua hal ini yakni mengerjakan perintah Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi larangan-Nya, maka dia telah mencapai derajat orang yang bertaqwa.
Di dalam menjauhi larangan Allah dan Rasul-Nya, kita harus meninggalkan semuanya tanpa terkecuali sekalipun hawa nafsu kita berat untuk meninggalkannya. Merupakan rahmat Allah yang Maha Luas, di dalam kita mengerjakan perintah-Nya kita hanya dituntut untuk mengerjakan menurut kemampuan kita. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah haditsnya:
"Apa yang yang aku larang untuk kalian, maka jauhilah (semuanya). Dan apa yang aku perintahkan, maka kerjakanlah semampu kalian...." (HR. Bukhari, 13/251 dan Muslim, 1337)
3. Membenarkan khabar yang datang darinya.
Termasuk bukti kebenaran ittiba' seseorang kepada Nabinya adalah dia membenarkan seluruh berita yang memang benar darinya sekalipun berita itu tidak masuk akal atau tidak dapat dijangkau oleh panca indera. Karena dia yakin bahwa nabinya tidak akan berbicara dari hawa nafsunya, tetapi itu tidak lain adalah wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta`ala:
"Dan tidaklah dia mengucapkan dari hawa nafsunya melainkan wahyu yang diwahyukan (kepadanya)." (An-Najm: 4)
4. Beribadah kepada Allah dengan syari'at yang diajarkannya.
Empat point ini adalah sebagian dari sekian banyak mazhahir ittiba' kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan merupakan makna syahadat Muhammad Rasullah sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab dalam risalahnya. (Lihat Hasyiyah Ushulu Ats-Tsalatsah, hal. 57)
KEDUDUKAN ITTIBA' DALAM ISLAM
Ittiba' kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam, bahkan merupakan salah satu pintu seseorang dapat masuk Islam. Berikut ini akan disebutkan beberapa kedudukan penting yang ditempati oleh ittiba', di antaranya adalah:
1. Ittiba' kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam adalah salah satu syarat diterima amal.Ittiba' dijadikan oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai salah satu syarat diterimanya suatu amalan ibadah. Sedangkan syarat diterimanya ibadah sebagaimana yang disepakati oleh para ulama ada dua:
- Mengikhlaskan niat ibadah hanya untuk Allah semata.
- Harus mengikuti dan cocok dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam.
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." (Al-Mulk: 2)
Al-Fudlail bin 'Ayyadl menafsirkan firman Allah "yang paling baik" dengan ucapannya: "Yaitu yang paling ikhlas dan paling cocok dengan ajaran Rasul. Karena suatu amalan yang didasarkan dengan ikhlas, tapi tidak sesuai dengan ajaran Rasul, maka amalan itu tidak diterima. Begitu pula sebaliknya, kalau amalan itu benar tapi tidak ikhlas, maka amalan itu tidak diterima...." (Lihat Jami'ul Ulum wal Hikam, hal. 10 dan Ilmu Ushulil Bida', hal. 61)
Ibnu 'Ajlan rahimahullah mengatakan: "Tidak sah suatu amalan melainkan dengan tiga perkara: taqwa kepada Allah, niat yang baik (ikhlas) dan ishabah (sesuai dan mengikuti sunnah Rasul)." (Jami'ul Ulum wal Hikam, hal. 10)
Maka barangsiapa mengerjakan suatu amal dengan didasari ikhlas karena Allah semata dan cocok dengan sunnah Rasulullah, niscaya amal itu akan diterima oleh Allah 'Azza wa Jalla. Akan tetapi kalau hilang salah satu dari dua syarat tersebut, maka amal itu akan tertolak dan tidak diterima oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Hal inilah yang sering luput dari pengetahuan banyak orang. Mereka hanya memperhatikan satu sisi saja dan tidak memperdulikan yang lainnya. Oleh karena itu sering kita dengar mereka mengucapkan: "yang penting niatnya, kalau niatnya baik, maka amalnya baik."
2. Ittiba' merupakan bukti kebenaran cinta seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya.
Allah berfirman:
"Katakanlah: 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Ali Imran: 31)
Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat ini dengan ucapannya: "Ayat yang mulia ini sebagai hakim bagi setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah, akan tetapi tidak mengikuti sunnah Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam. Karena orang yang seperti ini berarti dusta dalam pengakuan cintanya kepada Allah sampai dia ittiba' kepada syari'at agama Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam dalam segala ucapan dan tidak tanduknya." (Ibnu Katsir, 1/358)
3. Ittiba' adalah sifat yang utama wali-wali Allah
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Furqan Baina Auliair Rahman wa Auliyai Syaithan hal. 28-47 menjelaskan panjang lebar perbedaan antara waliyullah dan wali syaithan, diantaranya beliau menjelaskan tentang wali Allah dengan ucapannya: "Tidak bisa dikatakan wali Allah kecuali orang yang beriman kepada Rasulullah dan syari'at yang dibawanya serta ittiba' kepadanya baik lahir maupun bathin. Barangsiapa mengaku cinta kepada Allah dan mengaku sebagai wali Allah, tetapi dia tidak ittiba' kepada Rasul-Nya, berarti dia berdusta. Bahkan kalau dia menentang Rasul-Nya, dia termasuk musuh Allah dan sebagai wali syaithan."
Kemudian beliau (dan juga Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam risalahnya Al-Ushulu as-Sittah) berdalil dengan firman Allah surat Ali Imran ayat 31 dalam perkara yang telah tersebut di atas. Imam Ibnu Abil 'Izzi Al-Hanafi dalam Syarah Aqidah Ath- Thahawiyyah, hal. 496 berkata: "Pada hakekatnya yang dinamakan karamah itu adalah kemampuan untuk senantiasa istiqamah di atas al-haq, karena Allah tidak memuliakan hamba-Nya dengan suatu karamah yang lebih besar dari taufiq-Nya yang diberikan kepada hamba itu untuk senantiasa mencocoki apa yang dicintai dan diridlai-Nya yaitu istiqamah di dalam mentaati Allah dan Rasul-Nya dan ber-wala kepada wali-wali Allah serta bara' dari musuh-musuh-Nya." Mereka itulah wali-wali Allah sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (Yunus: 62)
Demikianlah beberapa kedudukan ittiba' yang tinggi dalam syari'ah Islam dan masih banyak lagi kedudukan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa ittiba' kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam merupakan suatu amal yang teramat besar dan banyak mendapat rintangan. Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta'ala menjadikan kita termasuk orang-orang yang ittiba' kepada Nabi-Nya dalam segala aspek kehidupan kita, sehingga kita akan bertemu Allah dengan membawa husnul khatimah.
0 comments:
Post a Comment