A. MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA
Berbagai teori dan pembahasan yang berusaha menjawab ketiga masalah pokok ini jelas belum tuntas, yaitu tentang tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Tidak hanya kurangnya data yang dapat mendukung suatu teori tertentu, tetapi juga karena sifat sepihak dari berbagai teori yang ada. Terdapat kecenderungan kuat, suatu teori tertentu menekankan hanya aspek-aspek khusus dari ketiga masalah pokok, sementara mengabaikan aspek-aspek lainnya. Dan juga disebabkan oleh subjektivitas penulis.
Islam menyebar di India dan semenanjug Arab hingga ke Malaya dan masuk ke Indonesia. Pada beberapa daerah, Islam disebarkan melalui penaklukkan, akan tetapi di Asia Tenggara Islam disebarkan oleh para pedagang dan aktivitas sufi.
Seorang penulis berkebangsaan Barat, Thomas W. Arnold menjelaskan bahwa telah dibawa ke Nusantara oleh pedagang-pedagang Arab sejak abad pertama hijriah, lama sebelum adanya catatan sejarah. Pernyataan ini diperkuat dengan adanya perdagangan yang luas oleh orang-orang Arab dengan dunia timur sejak masa awal Islam.
Di dalam Tarikh China, pada tahun 674 M, terdapat catatan tentang seorang pemimpin Arab yang mengepalai rombongan orang-orang Arab dan menetap di pantai barat Sumatera. Kemudian berdasarkan kesamaan mazhab yang dianut oleh mereka (pedagang dan muballigh) anut, yaitu mazhab Syafi’i. Pada masa itu mazhab Syafi’I merupakan mazhab yang dominan di pantai Corromandel dan Malabor ketika Ibnu Batutah mengunjungi wilayah tersebut pada abad ke-14.
Versi lain yang dipaparkan oleh Azra yang mengutip beberapa pendapat dan teori sarjana, kebanyakan sarjana Belanda yang berpegang pada teori yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara berasal dari anak Benua India bukan Persia atau Arab. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah Pijnappel, seorang pakar dari Leiden. Dia mengaitkan asal muasal Islam di Nusantara dengan dengan wilayah Gujarat dan Malabar. Menurut dia, adalah orang-orang yang bermazhab Syafi’I yang bermigrasi dan menetap di wilayah India tersebut yang kemudian membawa Islam ke Nusantara. Teori ini dikembangkan oleh Snoujk Hurgronje.
Moquetta, seorang sarjana belanda lainnya, berdasarkan hasil penelitiannya menyimpulkan bawha tempat asal Islam di Nusantara adalah Cambay, Gujarat. Dia berargument bahwa tipe nisan yang terdapat baik di Pasai maupun Gresik memperlihatkan tipe yang sama dengan yang terdapat di Cambay, India.
Selain dari itu, seminar yang dilaksanakan di Medan pada tahun 1963, tahun 1978 di Banda Aceh, dan tanggal 30 september 1980 di Rantau Kuala Simpang tentang sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia menyimpulkan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad I H langsung dari tanah Arab melalui Aceh.
Kemudian daerah yang pertama kali didatangi Islam ialah pesisir Sumatera. Para muballigh itu selain sebagai penyiar agama juga merupakan pedagang. Dan penyiaran Islam di Indonesia dilakukan secara damai.
Beberapa teori lain, sebgaimana yang dihimpun oleh Muhammad Hasan al-Idrus menjelaskan dua teori yang berbeda yang bertolak belakang. Teori pertama diwakili oleh sarjanawan Eropa yang menjelaskan bahwa Islam pertama kali masuk ke Indonesia pada sekitar abad ke-13 M, ketika Marcopolo singgah di Utara pulau Sumatera pada tahun 1292 M.
Teori kedua, adalah teori yang dikemukakan oleh beberapa sarjana Arab dan Muslim, antara lain Muhammad Dhiya’ Syahab dan Abdullah bin Nuh yang menulis kitab al-Islam fi Indonesia, serta Syarif Alwi bin Thahir al-Haddad seorang mufti kesultanan Johor Malaysia dalam kitabnya yang berjudul al-Madkhal ila Tarikh al-Islam fis Syarqi al-Aqsha, keduanya menolak teori yang dikemukakan oleh para sarjanawan Barat yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Asia Tenggara khusunya ke Malaysia dan Indonesia pada abad ke-13 M. mereka meyakini bahwa Islam masuk pada abad ke-7 H, karena kerajaan Islam baru ada di Sumatera pada sekitar akhir abad ke-5 dan ke-6 H. Hal ini mereka pertegas dengan mengemukakan beberapa bukti, antara lain tentang sejarah kehidupan seorang penyebar agama Islam di Jawa yakni Seikh Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri) bin Maulana Uluwwul Islam Makhdum lahir pada tahun 1355 tahun Jawa. Sedangkan ayahnya masuk ke Jawa setelah masuknya Sayrif al-Husein raja Carmen pada tahun 1316 tahun Jawa. Setelah itu masuk Raden Rahmat, seorang penyebar agama Islam di Jawa Timur pada tahun 1316 tahun Jawa.
Satu lagi teori yang dikutip oleh Azra adalah bahwa Islam telah masuik ke Indonesia sejak abad ke-13 H melalui kegigihan para kaum sufi yang mengembara dan melakukan penyiaran Islam secara ataraktiv, khusunya dengan menekankan kesesuaian Islam dan komunitas daripada perubahan dalam praktek kepercayaan lokal. Mereka juga mengawini putri para penguasa pada masa itu untuk mempermudah pengembangan Islam. Faktor pendukung lainnya adalah tasawwuf yang memang telaha da sebagai sebuah kategori dalam literatur sejarah Melayu khususnya di Nusantara pada waktu itu.
Teori versi Indonesia menjelaskan bahwa Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh para pedangan dari Persia, Arab dan India melalui pelabuhan penting seperti pelabuhan Lamuri di Aceh, Barus dan Palembang di Sumatera sekitar abad I H/7 M.
Dari beberapa teori diatas, tak lepas dari Sumatera, khusunya Aceh. Sudah sangat diyakini dikalangan awam dan masyarakat-masyarakat Indonesia bahwasanya Islam pertama kali berpijak, yaitu di Aceh, di sebuah kota yang bernama Peureulak (perlak). Dari teori-teori diatas juga dapat diketahui bahwa, sesungguhnya ada perbedaan dikalangan sejarawan dalam melihat kapan dan dari mana Islam masuk ke Nusantara untuk pertama kalinya. Namun perbedaan-perbedaan tersebut tidak sampai mengkaburkan tentang ada dan berkembangnya agama Islam di Nusantara ini, sebagai salah satu wilayah yang mayoritas penduduknya adalah muslim.
B. KERAJAAN SAMUDRA PASAI
Berdasarkan berita Marcopolo (th 1292) dan Ibnu Batutah (abad 13). Pada tahun 1267 telah berdiri kerajaan Islam pertama di Indonesia, yaitu kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga dibuktikan dengan adanya Batu nisan makam Sultan Malik Al Saleh (th 1297) Raja pertama Samudra Pasai. Kesultanan Samudera Pasai, juga dikenal dengan Samudera, Pasai, atau Samudera Darussalam, adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe, Aceh Utara sekarang.
Kerajaan Samudra Pasai berdiri sekitar abad 13 oleh Nazimuddin Al Kamil, seorang laksamana laut Mesir. Pada Tahun 1283 Pasai dapat ditaklukannnya, kemudian mengangkat Marah Silu menjadi Raja Pasai pertama dengan gelar Sultan Malik Al Saleh (1285 - 1297). Makam Nahrasyiah Tri Ibnu Battutah, musafir Islam terkenal asal Maroko, mencatat hal yang sangat berkesan bagi dirinya saat mengunjungi sebuah kerajaan di pesisir pantai timur Sumatera sekitar tahun 1345 Masehi. Setelah berlayar selama 25 hari dari Barhnakar (sekarang masuk wilayah Myanmar), Battutah mendarat di sebuah tempat yang sangat subur. Perdagangan di daerah itu sangat maju, ditandai dengan penggunaan mata uang emas. Ia semakin takjub karena ketika turun ke kota ia mendapati sebuah kota besar yang sangat indah dengan dikelilingi dinding dan menara kayu.
Kota perdagangan di pesisir itu adalah ibu kota Kerajaan Samudera Pasai. Samudera Pasai (atau Pase jika mengikuti sebutan masyarakat setempat) bukan hanya tercatat sebagai kerajaan yang sangat berpengaruh dalam pengembangan Islam di Nusantara. Pada masa pemerintahan Sultan Malikul Dhahir, Samudera Pasai berkembang menjadi pusat perdagangan internasional. Pelabuhannya diramaikan oleh pedagang-pedagang dari Asia, Afrika, Cina, dan Eropa.
Kejayaan Samudera Pasai yang berada di daerah Samudera Geudong, Aceh Utara, diawali dengan penyatuan sejumlah kerajaan kecil di daerah Peurelak, seperti Rimba Jreum dan Seumerlang. Sultan Malikussaleh adalah salah seorang keturunan kerajaan itu yang menaklukkan beberapa kerajaan kecil dan mendirikan Kerajaan Samudera pada tahun 1270 Masehi.Makam Abdullah ibnu Muhammad ibnu Abdul Kadir Ia menikah dengan Ganggang Sari, seorang putri dari kerajaan Islam Peureulak. Dari pernikahan itu, lahirlah dua putranya yang bernama Malikul Dhahir dan Malikul Mansyur. Setelah keduanya beranjak dewasa, Malikussaleh menyerahkan takhta kepada anak sulungnya Malikul Dhahir. Ia mendirikan kerajaan baru bernama Pasai.
Ketika Malikussaleh mangkat, Malikul Dhahir menggabungkan kedua kerajaan itu menjadi Samudera Pasai. Dalam kisah perjalanannya ke Pasai, Ibnu Battutah menggambarkan Sultan Malikul Dhahir sebagai raja yang sangat saleh, pemurah, rendah hati, dan mempunyai perhatian kepada fakir miskin. Meskipun ia telah menaklukkan banyak kerajaan, Malikul Dhahir tidak pernah bersikap jemawa. Kerendahan hatinya itu ditunjukkan sang raja saat menyambut rombongan Ibnu Battutah. Para tamunya dipersilakan duduk di atas hamparan kain, sedangkan ia langsung duduk di tanah tanpa beralas apa-apa.
Dengan cermin pribadinya yang begitu rendah hati, raja yang memerintah Samudera Pasai dalam kurun waktu 1297- 1326 M ini, pada batu nisannya dipahat sebuah syair dalam bahasa Arab,
Saat itu Pasai diperkirakan mengekspor lada sekitar 8.000- 10.000 bahara setiap tahunnya, selain komoditas lain seperti sutra, kapur barus, dan emas yang didatangkan dari daerah pedalaman. Bukan hanya perdagangan ekspor impor yang maju. Sebagai bandar dagang yang maju, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang sebagai alat pembayaran. Salah satunya yang terbuat dari emas dikenal sebagai uang dirham.
Hubungan dagang dengan pedagang-pedagang Pulau Jawa juga terjalin. Produksi beras dari Jawa ditukar dengan lada. Pedagang-pedagang Jawa mendapat kedudukan yang istimewa di pelabuhan Samudera Pasai. Mereka dibebaskan dari pembayaran cukai.
Selain sebagai pusat perdagangan, Pasai juga menjadi pusat perkembangan Islam di Nusantara. Kebanyakan mubalig Islam yang datang ke Jawa dan daerah lain berasal dari Pasai.
Eratnya pengaruh Kerajaan Samudera Pasai dengan perkembangan Islam di Jawa juga terlihat dari sejarah dan latar belakang para Wali Songo. Sunan Kalijaga memperistri anak Maulana Ishak, Sultan Pasai. Sunan Gunung Jati alias Fatahillah yang gigih melawan penjajahan Portugis lahir dan besar di Pasai. Laksamana Cheng Ho tercatat juga pernah berkunjung ke Pasai.
Situs Kerajaan Islam Samudera Pasai ini sempat sangat terkenal di tahun 1980-an, sebelum konflik di Aceh semakin memanas dan menyurutkan para peziarah. Menurut Yakub, juru kunci makam Sultan Malikussaleh, nama besar sang sultan turut mengundang rasa keingintahuan para peziarah dari Malaysia, India, sampai Pakistan. "Negara-negara itu dulunya menjalin hubungan dagang dengan Pasai," tutur Yakub.
Sejarah Pasai yang begitu panjang masih bisa ditelusuri lewat sejumlah situs makam para pendiri kerajaan dan keturunannya di makam raja-raja itu. Makam itu menjadi saksi satu-satunya karena peninggalan lain seperti istana sudah tidak ada. Makam Sultan Malikussaleh dan cucunya, Ratu Nahrisyah, adalah dua kompleks situs yang tergolong masih terawat.
Menurut Snouck Hurgronje, hubungan langsung Arab dengan Indonesia baru berlangsung abad 17 pada masa kerajaan Samudra Pasai, Banten, Demak dan Mataram Baru. Samudra Pasai sebelum menjadi kerajaan Islam merupakan kota pelabuhan yang berada dalam kekuasaan Majapahit, yang pada masa itu sedang mengalami kemunduran. Setelah dikuasai oleh pembesar Islam, para pedagang dari Tuban, Palembang, malaka, India, Cina dan lain-lain datang berdagang di Samudra Pasai. Menurut Ibnu Batutah: Samudera Pasai merupakan pelabuhan terpenting dan Istana Raja telah disusun dan diatur secara indah berdasarkan pola budaya Indonesia dan Islam.
Kehidupan masyarakat Samudera Pasai diwarnai oleh agama dan kebudayaan Islam. Pemerintahnya bersifat Theokrasi (berdasarkan ajaran Islam) rakyatnya sebagiab besar memeluk agama Islam. Raja raja Pasai membina persahabatan dengan Campa, India, Tiongkok, Majapahit dan Malaka.
Pada tahun 1297 Malik Al saleh meninggal, dan digantikan oleh putranya Sultan Muhammad (th 1297 - 1326) lebih dikenal dengan nama Malik Al Tahir, penggantinya Sultan Ahmad (th 1326 - 1348), juga pakai nama Malik Al Tahir, penggantinya Zainal Abidin. Raja Zainal Abidin pada tahun 1511 terpaksa melarikan diri dan meninggalkan tahtanya berlindung di Majapahit, karena masih saudara raja Majapahit. Hal ini berarti hubungan kekerabatan Raja Samudra Pasai dengan Raja Majapahit terbina sangat baik, menurut berita Cina disebutkan pertengahan abad 15, Samudra Pasai masih mengirimkan utusannya ke Cina sebagai tanda persahabatan. Makam Naina Hisana bin Naina Fatahilah, ulama terkemuka Pasai menikah dengan adik Sultan Trenggono (raja Demak/adik Patih Unus/anak Raden Patah). Fatahilah berhasil merebut Sunda Kelapa (22 Juni 1522) berganti nama menjadi Jayakarta, juga Cirebon dan Banten.
Kerajaan Samudera Pasai berkembang dengan armada lautnya yang besar untuk ukuran saat itu, yang memang diperlukan untuk mengawasi perdagangan di dalam wilayahnya. Pengawasan perdagangan itu merupakan sendi-sendi kerajaan, karena dari bidang inilah kerajaan mendapatkan dana yang besar. Perdagangan yang menjadi basis hubungan antara Malaka, China dan India saat itu telah menjadikan kerajaan Samudera Pasai menjadi sebuah kerajaan yang terkenal dan berpengaruh di Asia Tenggara terutama pada abad ke-14 dan 15 M. Dengan kondisi ini pula kerajaan Samudera Pasai bisa mengembangkan ajaran agama Islam ke wilayah-wilayah lainnya di Nusantara. Pada abad ke-14 M, kerajaan inipun menjadi pusat studi agama Islam.
C. KESULTANAN DI PEUREULAK (PERLAK)
Prof. A. Hasjmy berdasarkan makalahnya pada rujukan kitab-kitab seperti Kitab Izhhar al-Haqq karangan Abu Ishak Makarani al- Fasy, Kitab Tadzkirah Thabaqat Jam’u Sulthan as-Salathin karangan Sayyid Abdullah bin Sayyid Habib Saifuddin dalam tahun 1275 H, atas titah Alaidin Mansur Syah menyebutkan bahwa kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah kerajaan Perlak yang berdiri pada abad ke –3 H / abad ke- 9 M. Hanya terdapat perbedaan sedikit tentang tahun berdiri kerajaan tesebut. Dalam kitab Izhhar al- Haqq menyebutkan tahun 225 H, sedangkan kitab Tadzkirah Thabaqat menyebutkan tahun 227 H.
Marcopolo menerangkan “perlu diketahui bahwa Perlak selalu disinggahi saudagar Arab sebab mereka telah mengIslamkan penduduknya”.
Kesultanan perlak berdiri pada tahun 840 dan berakhir pada 1292. proses berdirinya tidak terlepas dari pengaruh Islam di Sumatera. Sebelum kesultanan Perlak berdiri di wilayah perlak sebenarnya sudah berdiri negeri Perlak yang raja dan rakyatnya merupakan keturunan dari Maharaja Pho He La dan pengikutnya.
Pada tahun 840 ini, rombongan yang berjumlah 100 orang dari Timur Tengah datang ke pantai Sumatera yang dipimpin oleh nakhoda khilafah. Rombongan ini bertujuan untuk berdagang sekaligus membawa da’I yang bertugas untuk menyebarkan Islam di Perlak. Dalam waktu kurang dari setengah abad, raja dan rakyat Perlak meninggalkan agama lama mereka yakni Hindu dan Budha dan memeluk agama Islam.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa salah seorang dari anak buah nakhoda khalifah, Ali bin Muhammad bin Ja’far Shadiq dari suku Quraisy, dikawinkan dengan Putri Makhdum Tansyuri yang merupakan salah sorang adik dari Meurah Perlak yang bernama Syahir Nuwi, yakni raja Perlak keturunan Parsi. Dari perkawinan mereka lahirlah Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Aziz Shah yang menjadi sultan pertama di kesultanan Perlak. Beliau pernah memindahkan ibukota bandar peureulak ke bandar Khalifah (bener kelipah), dikarenakan pada waktu itu sang khalifah berpindah tempat sementara.
Kerajaan Perlak dipimpin oleh 18 raja yang dimulai oleh Sultan Alaiddin Syekh Maulana Abdul Aziz (840-864) hingga yang terakhir Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (1267-1292). Masa kesultanan Perlak dibagi kepada dua masa yakni dinasti Syekh Maulana Abdul Aziz dan dinasti Johan Berdaulat yang merupakan keturunan dari Meurah Perlak asli.
D. KERAJAAN LANGKAT
Wilayah kabupaten Langkat yang dikenal sekarang ini, sebelumnya adalah sebuah kerajaan. Wilayahnya terbentang antara aliran sungai Seruwai atau daerah Tamiang (sekarang menjadi wilayah Aceh Tamiang) sampai ke aliran anak sungai Wampu. Terdapat sebuah sungai lainnya si antara kedua sungai ini, yaitu sungai Batang Serangan yang merupakan jalur pusat kegiatan nelayan dan perdagangan penduduk setempat dengan luar negeri terutama ke Penang atau Malaysia. Sungai Batang Serangan ketika bertemu dengan sungai Wampu, namanya menjadi sungai Langkat. Sehingga dapat dikatagorikan bahwa kerajaan Langkat lahir dan berkembang di sekitar kawasan sungai-sungai di daerah Langkat yang meliputi kawasan Aceh Tamiang sampai ke Binjai dan wilayah Bahorok.
Nama kerajaan Langkat diambil dari nama sebuah pohon yaitu pohon Langkat. Pohon ini dulu banyak tumbuh di sekitar pinggiran sungai Langkat tersebut. Jenis pohon ini sekarang langka dan hanya dijumpai di hutan-hutan pedalaman daerah Langkat. Pohon Langkat menyerupai pohon Langsat, tetapi rasanya pahit dan kelat. Oleh karena pusat kerajaan Langkat berada di sekitar sungai Langkat, maka kerajaan ini akhirnya populer dengan istilah kerajaan Langkat.
Silsilah kesultanan Langkat diambil dari nama leluhur dinasti Langkat yang terjauh, yaitu Dewa Sahdan. Menurut mitos yang ada, ia lahir di tengah hutan belantara dan dibersarkan di Kuta Buluh (tanah tinggi Karo) kira-kira hidup pada tahun 1500 sampai 1580 Masehi. Kemudian Dewa Sahdan turun gunung dan beberapa kali berhasil mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, karena terlibat peperangan dengan kerajaan-kerajaan lain, khususnya Aceh yang pada saat itu sedang mengembangkan daerah kekuasaannya.
Pendiri kerajaan Langkat yang dikenal adalah Raja kahar, yang pada pertengahan abad ke –18 pada tahun 1750 sejak itu, nama Langkat sebagai sebuah kerajaan mulai terdengar walaupun daerah kekuasaannya masih belum begitu luas dan pusat pemerintahannya masih berpindah-pindah. Baru setelah Sultan Musa Berkuasa, maka pusat kerajaan resmi berada di Kota Tanjung Pura, selanjutnya secara damai meluaskan wilayahnya sehingga wilayah kekuasaannya bertambah luas mulai dari perbatasan Aceh Tamiang sampai di kawasan Binjai dan Bahorok. Setelah Sultan Musa mangkat maka kerajaan diambil alih oleh Sultan Abdul Aziz dan Sultan Mahmud hingga berakhirnya kekuasaan kerajaan Langkat.
Adapun silsilah kerajaan Langkat yaitu: Dewa Sahdan (1500-1580) di Kota Rantang hamparan Perak, Dewa Sakti (1580- w. 1612) wafat pada perang Aceh, Raja Abdullah atau Marhum Guri (1612-1673), Raja Kahar (1673-1750) di Kota Dalam Secanggang, Badiulzaman (1750-1814), Kejuruan Tuah Hitam (1814-1823), Raja Ahmad (1824-1870), Sultan Musa di Tanjung Pura (1870-1896), Sultan Abdul Aziz di Tanjung Pura (1896-1926), Sultan Mahmud di Binjai (1926-1946).
E. KERAJAAN ACEH DARUSSALAM
Kerajaan ini terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar. Kurang diketahui kapan sebanarnya kerajaan ini berdiri. Anas Mahmud (penulis buku Naik Turunnya Kerajaan Aceh Darussalam di Pesisir Timur Pulau Sumatera) berpendapat bahwa kerajaan Aceh berdiri pada abad ke-15 M setelah runtuhnya Lamori oleh Muzaffar Syah (1465-1497 M), beliaulah yang membangun kota Banda Aceh Darussalam.
Menurut Anas, pada masa pemerintahan Muzaffar Syah, kerajaan Aceh Darusslam mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan, karena saudagar-saudagar muslim yang berbasis di Malaka memindahkan pusat aktivitas mereka ke Aceh setelah Malaka dikuasai oleh Portugis pada tahun 1511 M.
Puncak kejayaan kerajaan Aceh terjadi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637 M). Pada masa pemerintahannya, kerajaan Aceh menguasai seluruh pesisir Timur dan Barat di Sumatera.
Kerajaan Aceh kemudian diperintah oleh Iskandar Tsani yang menggantikan Iskandar Muda. Pada beberapa tahun pemerintahannya, kerajaan Aceh mengalami perkembangan dalam bidang agama. Kematian raja Aceh Darussalam ini kemudian diikuti oleh beberapa bencana, sehingga menjelang abad ke-18 M, kesultanan Aceh tidak mempunyai pengaruh yang signifikan.
Berbagai teori dan pembahasan yang berusaha menjawab ketiga masalah pokok ini jelas belum tuntas, yaitu tentang tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Tidak hanya kurangnya data yang dapat mendukung suatu teori tertentu, tetapi juga karena sifat sepihak dari berbagai teori yang ada. Terdapat kecenderungan kuat, suatu teori tertentu menekankan hanya aspek-aspek khusus dari ketiga masalah pokok, sementara mengabaikan aspek-aspek lainnya. Dan juga disebabkan oleh subjektivitas penulis.
Islam menyebar di India dan semenanjug Arab hingga ke Malaya dan masuk ke Indonesia. Pada beberapa daerah, Islam disebarkan melalui penaklukkan, akan tetapi di Asia Tenggara Islam disebarkan oleh para pedagang dan aktivitas sufi.
Seorang penulis berkebangsaan Barat, Thomas W. Arnold menjelaskan bahwa telah dibawa ke Nusantara oleh pedagang-pedagang Arab sejak abad pertama hijriah, lama sebelum adanya catatan sejarah. Pernyataan ini diperkuat dengan adanya perdagangan yang luas oleh orang-orang Arab dengan dunia timur sejak masa awal Islam.
Di dalam Tarikh China, pada tahun 674 M, terdapat catatan tentang seorang pemimpin Arab yang mengepalai rombongan orang-orang Arab dan menetap di pantai barat Sumatera. Kemudian berdasarkan kesamaan mazhab yang dianut oleh mereka (pedagang dan muballigh) anut, yaitu mazhab Syafi’i. Pada masa itu mazhab Syafi’I merupakan mazhab yang dominan di pantai Corromandel dan Malabor ketika Ibnu Batutah mengunjungi wilayah tersebut pada abad ke-14.
Versi lain yang dipaparkan oleh Azra yang mengutip beberapa pendapat dan teori sarjana, kebanyakan sarjana Belanda yang berpegang pada teori yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara berasal dari anak Benua India bukan Persia atau Arab. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah Pijnappel, seorang pakar dari Leiden. Dia mengaitkan asal muasal Islam di Nusantara dengan dengan wilayah Gujarat dan Malabar. Menurut dia, adalah orang-orang yang bermazhab Syafi’I yang bermigrasi dan menetap di wilayah India tersebut yang kemudian membawa Islam ke Nusantara. Teori ini dikembangkan oleh Snoujk Hurgronje.
Moquetta, seorang sarjana belanda lainnya, berdasarkan hasil penelitiannya menyimpulkan bawha tempat asal Islam di Nusantara adalah Cambay, Gujarat. Dia berargument bahwa tipe nisan yang terdapat baik di Pasai maupun Gresik memperlihatkan tipe yang sama dengan yang terdapat di Cambay, India.
Selain dari itu, seminar yang dilaksanakan di Medan pada tahun 1963, tahun 1978 di Banda Aceh, dan tanggal 30 september 1980 di Rantau Kuala Simpang tentang sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia menyimpulkan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad I H langsung dari tanah Arab melalui Aceh.
Kemudian daerah yang pertama kali didatangi Islam ialah pesisir Sumatera. Para muballigh itu selain sebagai penyiar agama juga merupakan pedagang. Dan penyiaran Islam di Indonesia dilakukan secara damai.
Beberapa teori lain, sebgaimana yang dihimpun oleh Muhammad Hasan al-Idrus menjelaskan dua teori yang berbeda yang bertolak belakang. Teori pertama diwakili oleh sarjanawan Eropa yang menjelaskan bahwa Islam pertama kali masuk ke Indonesia pada sekitar abad ke-13 M, ketika Marcopolo singgah di Utara pulau Sumatera pada tahun 1292 M.
Teori kedua, adalah teori yang dikemukakan oleh beberapa sarjana Arab dan Muslim, antara lain Muhammad Dhiya’ Syahab dan Abdullah bin Nuh yang menulis kitab al-Islam fi Indonesia, serta Syarif Alwi bin Thahir al-Haddad seorang mufti kesultanan Johor Malaysia dalam kitabnya yang berjudul al-Madkhal ila Tarikh al-Islam fis Syarqi al-Aqsha, keduanya menolak teori yang dikemukakan oleh para sarjanawan Barat yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Asia Tenggara khusunya ke Malaysia dan Indonesia pada abad ke-13 M. mereka meyakini bahwa Islam masuk pada abad ke-7 H, karena kerajaan Islam baru ada di Sumatera pada sekitar akhir abad ke-5 dan ke-6 H. Hal ini mereka pertegas dengan mengemukakan beberapa bukti, antara lain tentang sejarah kehidupan seorang penyebar agama Islam di Jawa yakni Seikh Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri) bin Maulana Uluwwul Islam Makhdum lahir pada tahun 1355 tahun Jawa. Sedangkan ayahnya masuk ke Jawa setelah masuknya Sayrif al-Husein raja Carmen pada tahun 1316 tahun Jawa. Setelah itu masuk Raden Rahmat, seorang penyebar agama Islam di Jawa Timur pada tahun 1316 tahun Jawa.
Satu lagi teori yang dikutip oleh Azra adalah bahwa Islam telah masuik ke Indonesia sejak abad ke-13 H melalui kegigihan para kaum sufi yang mengembara dan melakukan penyiaran Islam secara ataraktiv, khusunya dengan menekankan kesesuaian Islam dan komunitas daripada perubahan dalam praktek kepercayaan lokal. Mereka juga mengawini putri para penguasa pada masa itu untuk mempermudah pengembangan Islam. Faktor pendukung lainnya adalah tasawwuf yang memang telaha da sebagai sebuah kategori dalam literatur sejarah Melayu khususnya di Nusantara pada waktu itu.
Teori versi Indonesia menjelaskan bahwa Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh para pedangan dari Persia, Arab dan India melalui pelabuhan penting seperti pelabuhan Lamuri di Aceh, Barus dan Palembang di Sumatera sekitar abad I H/7 M.
Dari beberapa teori diatas, tak lepas dari Sumatera, khusunya Aceh. Sudah sangat diyakini dikalangan awam dan masyarakat-masyarakat Indonesia bahwasanya Islam pertama kali berpijak, yaitu di Aceh, di sebuah kota yang bernama Peureulak (perlak). Dari teori-teori diatas juga dapat diketahui bahwa, sesungguhnya ada perbedaan dikalangan sejarawan dalam melihat kapan dan dari mana Islam masuk ke Nusantara untuk pertama kalinya. Namun perbedaan-perbedaan tersebut tidak sampai mengkaburkan tentang ada dan berkembangnya agama Islam di Nusantara ini, sebagai salah satu wilayah yang mayoritas penduduknya adalah muslim.
B. KERAJAAN SAMUDRA PASAI
Berdasarkan berita Marcopolo (th 1292) dan Ibnu Batutah (abad 13). Pada tahun 1267 telah berdiri kerajaan Islam pertama di Indonesia, yaitu kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga dibuktikan dengan adanya Batu nisan makam Sultan Malik Al Saleh (th 1297) Raja pertama Samudra Pasai. Kesultanan Samudera Pasai, juga dikenal dengan Samudera, Pasai, atau Samudera Darussalam, adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe, Aceh Utara sekarang.
Kerajaan Samudra Pasai berdiri sekitar abad 13 oleh Nazimuddin Al Kamil, seorang laksamana laut Mesir. Pada Tahun 1283 Pasai dapat ditaklukannnya, kemudian mengangkat Marah Silu menjadi Raja Pasai pertama dengan gelar Sultan Malik Al Saleh (1285 - 1297). Makam Nahrasyiah Tri Ibnu Battutah, musafir Islam terkenal asal Maroko, mencatat hal yang sangat berkesan bagi dirinya saat mengunjungi sebuah kerajaan di pesisir pantai timur Sumatera sekitar tahun 1345 Masehi. Setelah berlayar selama 25 hari dari Barhnakar (sekarang masuk wilayah Myanmar), Battutah mendarat di sebuah tempat yang sangat subur. Perdagangan di daerah itu sangat maju, ditandai dengan penggunaan mata uang emas. Ia semakin takjub karena ketika turun ke kota ia mendapati sebuah kota besar yang sangat indah dengan dikelilingi dinding dan menara kayu.
Kota perdagangan di pesisir itu adalah ibu kota Kerajaan Samudera Pasai. Samudera Pasai (atau Pase jika mengikuti sebutan masyarakat setempat) bukan hanya tercatat sebagai kerajaan yang sangat berpengaruh dalam pengembangan Islam di Nusantara. Pada masa pemerintahan Sultan Malikul Dhahir, Samudera Pasai berkembang menjadi pusat perdagangan internasional. Pelabuhannya diramaikan oleh pedagang-pedagang dari Asia, Afrika, Cina, dan Eropa.
Kejayaan Samudera Pasai yang berada di daerah Samudera Geudong, Aceh Utara, diawali dengan penyatuan sejumlah kerajaan kecil di daerah Peurelak, seperti Rimba Jreum dan Seumerlang. Sultan Malikussaleh adalah salah seorang keturunan kerajaan itu yang menaklukkan beberapa kerajaan kecil dan mendirikan Kerajaan Samudera pada tahun 1270 Masehi.Makam Abdullah ibnu Muhammad ibnu Abdul Kadir Ia menikah dengan Ganggang Sari, seorang putri dari kerajaan Islam Peureulak. Dari pernikahan itu, lahirlah dua putranya yang bernama Malikul Dhahir dan Malikul Mansyur. Setelah keduanya beranjak dewasa, Malikussaleh menyerahkan takhta kepada anak sulungnya Malikul Dhahir. Ia mendirikan kerajaan baru bernama Pasai.
Ketika Malikussaleh mangkat, Malikul Dhahir menggabungkan kedua kerajaan itu menjadi Samudera Pasai. Dalam kisah perjalanannya ke Pasai, Ibnu Battutah menggambarkan Sultan Malikul Dhahir sebagai raja yang sangat saleh, pemurah, rendah hati, dan mempunyai perhatian kepada fakir miskin. Meskipun ia telah menaklukkan banyak kerajaan, Malikul Dhahir tidak pernah bersikap jemawa. Kerendahan hatinya itu ditunjukkan sang raja saat menyambut rombongan Ibnu Battutah. Para tamunya dipersilakan duduk di atas hamparan kain, sedangkan ia langsung duduk di tanah tanpa beralas apa-apa.
Dengan cermin pribadinya yang begitu rendah hati, raja yang memerintah Samudera Pasai dalam kurun waktu 1297- 1326 M ini, pada batu nisannya dipahat sebuah syair dalam bahasa Arab,
المقام سيد الملك الظاهر. نورالدنيا ضياءالدين
Yang artinya, ini adalah makam yang mulia Malikul Dhahir, cahaya dunia sinar agama. Tercatat, selama abad 13 sampai awal abad 16, Samudera Pasai dikenal sebagai salah satu kota di wilayah Selat Malaka dengan bandar pelabuhan yang sangat sibuk. Bersamaan dengan Pidie, Pasai menjadi pusat perdagangan internasional dengan lada sebagai salah satu komoditas ekspor utama.Saat itu Pasai diperkirakan mengekspor lada sekitar 8.000- 10.000 bahara setiap tahunnya, selain komoditas lain seperti sutra, kapur barus, dan emas yang didatangkan dari daerah pedalaman. Bukan hanya perdagangan ekspor impor yang maju. Sebagai bandar dagang yang maju, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang sebagai alat pembayaran. Salah satunya yang terbuat dari emas dikenal sebagai uang dirham.
Hubungan dagang dengan pedagang-pedagang Pulau Jawa juga terjalin. Produksi beras dari Jawa ditukar dengan lada. Pedagang-pedagang Jawa mendapat kedudukan yang istimewa di pelabuhan Samudera Pasai. Mereka dibebaskan dari pembayaran cukai.
Selain sebagai pusat perdagangan, Pasai juga menjadi pusat perkembangan Islam di Nusantara. Kebanyakan mubalig Islam yang datang ke Jawa dan daerah lain berasal dari Pasai.
Eratnya pengaruh Kerajaan Samudera Pasai dengan perkembangan Islam di Jawa juga terlihat dari sejarah dan latar belakang para Wali Songo. Sunan Kalijaga memperistri anak Maulana Ishak, Sultan Pasai. Sunan Gunung Jati alias Fatahillah yang gigih melawan penjajahan Portugis lahir dan besar di Pasai. Laksamana Cheng Ho tercatat juga pernah berkunjung ke Pasai.
Situs Kerajaan Islam Samudera Pasai ini sempat sangat terkenal di tahun 1980-an, sebelum konflik di Aceh semakin memanas dan menyurutkan para peziarah. Menurut Yakub, juru kunci makam Sultan Malikussaleh, nama besar sang sultan turut mengundang rasa keingintahuan para peziarah dari Malaysia, India, sampai Pakistan. "Negara-negara itu dulunya menjalin hubungan dagang dengan Pasai," tutur Yakub.
Sejarah Pasai yang begitu panjang masih bisa ditelusuri lewat sejumlah situs makam para pendiri kerajaan dan keturunannya di makam raja-raja itu. Makam itu menjadi saksi satu-satunya karena peninggalan lain seperti istana sudah tidak ada. Makam Sultan Malikussaleh dan cucunya, Ratu Nahrisyah, adalah dua kompleks situs yang tergolong masih terawat.
Menurut Snouck Hurgronje, hubungan langsung Arab dengan Indonesia baru berlangsung abad 17 pada masa kerajaan Samudra Pasai, Banten, Demak dan Mataram Baru. Samudra Pasai sebelum menjadi kerajaan Islam merupakan kota pelabuhan yang berada dalam kekuasaan Majapahit, yang pada masa itu sedang mengalami kemunduran. Setelah dikuasai oleh pembesar Islam, para pedagang dari Tuban, Palembang, malaka, India, Cina dan lain-lain datang berdagang di Samudra Pasai. Menurut Ibnu Batutah: Samudera Pasai merupakan pelabuhan terpenting dan Istana Raja telah disusun dan diatur secara indah berdasarkan pola budaya Indonesia dan Islam.
Kehidupan masyarakat Samudera Pasai diwarnai oleh agama dan kebudayaan Islam. Pemerintahnya bersifat Theokrasi (berdasarkan ajaran Islam) rakyatnya sebagiab besar memeluk agama Islam. Raja raja Pasai membina persahabatan dengan Campa, India, Tiongkok, Majapahit dan Malaka.
Pada tahun 1297 Malik Al saleh meninggal, dan digantikan oleh putranya Sultan Muhammad (th 1297 - 1326) lebih dikenal dengan nama Malik Al Tahir, penggantinya Sultan Ahmad (th 1326 - 1348), juga pakai nama Malik Al Tahir, penggantinya Zainal Abidin. Raja Zainal Abidin pada tahun 1511 terpaksa melarikan diri dan meninggalkan tahtanya berlindung di Majapahit, karena masih saudara raja Majapahit. Hal ini berarti hubungan kekerabatan Raja Samudra Pasai dengan Raja Majapahit terbina sangat baik, menurut berita Cina disebutkan pertengahan abad 15, Samudra Pasai masih mengirimkan utusannya ke Cina sebagai tanda persahabatan. Makam Naina Hisana bin Naina Fatahilah, ulama terkemuka Pasai menikah dengan adik Sultan Trenggono (raja Demak/adik Patih Unus/anak Raden Patah). Fatahilah berhasil merebut Sunda Kelapa (22 Juni 1522) berganti nama menjadi Jayakarta, juga Cirebon dan Banten.
Kerajaan Samudera Pasai berkembang dengan armada lautnya yang besar untuk ukuran saat itu, yang memang diperlukan untuk mengawasi perdagangan di dalam wilayahnya. Pengawasan perdagangan itu merupakan sendi-sendi kerajaan, karena dari bidang inilah kerajaan mendapatkan dana yang besar. Perdagangan yang menjadi basis hubungan antara Malaka, China dan India saat itu telah menjadikan kerajaan Samudera Pasai menjadi sebuah kerajaan yang terkenal dan berpengaruh di Asia Tenggara terutama pada abad ke-14 dan 15 M. Dengan kondisi ini pula kerajaan Samudera Pasai bisa mengembangkan ajaran agama Islam ke wilayah-wilayah lainnya di Nusantara. Pada abad ke-14 M, kerajaan inipun menjadi pusat studi agama Islam.
C. KESULTANAN DI PEUREULAK (PERLAK)
Prof. A. Hasjmy berdasarkan makalahnya pada rujukan kitab-kitab seperti Kitab Izhhar al-Haqq karangan Abu Ishak Makarani al- Fasy, Kitab Tadzkirah Thabaqat Jam’u Sulthan as-Salathin karangan Sayyid Abdullah bin Sayyid Habib Saifuddin dalam tahun 1275 H, atas titah Alaidin Mansur Syah menyebutkan bahwa kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah kerajaan Perlak yang berdiri pada abad ke –3 H / abad ke- 9 M. Hanya terdapat perbedaan sedikit tentang tahun berdiri kerajaan tesebut. Dalam kitab Izhhar al- Haqq menyebutkan tahun 225 H, sedangkan kitab Tadzkirah Thabaqat menyebutkan tahun 227 H.
Marcopolo menerangkan “perlu diketahui bahwa Perlak selalu disinggahi saudagar Arab sebab mereka telah mengIslamkan penduduknya”.
Kesultanan perlak berdiri pada tahun 840 dan berakhir pada 1292. proses berdirinya tidak terlepas dari pengaruh Islam di Sumatera. Sebelum kesultanan Perlak berdiri di wilayah perlak sebenarnya sudah berdiri negeri Perlak yang raja dan rakyatnya merupakan keturunan dari Maharaja Pho He La dan pengikutnya.
Pada tahun 840 ini, rombongan yang berjumlah 100 orang dari Timur Tengah datang ke pantai Sumatera yang dipimpin oleh nakhoda khilafah. Rombongan ini bertujuan untuk berdagang sekaligus membawa da’I yang bertugas untuk menyebarkan Islam di Perlak. Dalam waktu kurang dari setengah abad, raja dan rakyat Perlak meninggalkan agama lama mereka yakni Hindu dan Budha dan memeluk agama Islam.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa salah seorang dari anak buah nakhoda khalifah, Ali bin Muhammad bin Ja’far Shadiq dari suku Quraisy, dikawinkan dengan Putri Makhdum Tansyuri yang merupakan salah sorang adik dari Meurah Perlak yang bernama Syahir Nuwi, yakni raja Perlak keturunan Parsi. Dari perkawinan mereka lahirlah Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Aziz Shah yang menjadi sultan pertama di kesultanan Perlak. Beliau pernah memindahkan ibukota bandar peureulak ke bandar Khalifah (bener kelipah), dikarenakan pada waktu itu sang khalifah berpindah tempat sementara.
Kerajaan Perlak dipimpin oleh 18 raja yang dimulai oleh Sultan Alaiddin Syekh Maulana Abdul Aziz (840-864) hingga yang terakhir Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (1267-1292). Masa kesultanan Perlak dibagi kepada dua masa yakni dinasti Syekh Maulana Abdul Aziz dan dinasti Johan Berdaulat yang merupakan keturunan dari Meurah Perlak asli.
D. KERAJAAN LANGKAT
Wilayah kabupaten Langkat yang dikenal sekarang ini, sebelumnya adalah sebuah kerajaan. Wilayahnya terbentang antara aliran sungai Seruwai atau daerah Tamiang (sekarang menjadi wilayah Aceh Tamiang) sampai ke aliran anak sungai Wampu. Terdapat sebuah sungai lainnya si antara kedua sungai ini, yaitu sungai Batang Serangan yang merupakan jalur pusat kegiatan nelayan dan perdagangan penduduk setempat dengan luar negeri terutama ke Penang atau Malaysia. Sungai Batang Serangan ketika bertemu dengan sungai Wampu, namanya menjadi sungai Langkat. Sehingga dapat dikatagorikan bahwa kerajaan Langkat lahir dan berkembang di sekitar kawasan sungai-sungai di daerah Langkat yang meliputi kawasan Aceh Tamiang sampai ke Binjai dan wilayah Bahorok.
Nama kerajaan Langkat diambil dari nama sebuah pohon yaitu pohon Langkat. Pohon ini dulu banyak tumbuh di sekitar pinggiran sungai Langkat tersebut. Jenis pohon ini sekarang langka dan hanya dijumpai di hutan-hutan pedalaman daerah Langkat. Pohon Langkat menyerupai pohon Langsat, tetapi rasanya pahit dan kelat. Oleh karena pusat kerajaan Langkat berada di sekitar sungai Langkat, maka kerajaan ini akhirnya populer dengan istilah kerajaan Langkat.
Silsilah kesultanan Langkat diambil dari nama leluhur dinasti Langkat yang terjauh, yaitu Dewa Sahdan. Menurut mitos yang ada, ia lahir di tengah hutan belantara dan dibersarkan di Kuta Buluh (tanah tinggi Karo) kira-kira hidup pada tahun 1500 sampai 1580 Masehi. Kemudian Dewa Sahdan turun gunung dan beberapa kali berhasil mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, karena terlibat peperangan dengan kerajaan-kerajaan lain, khususnya Aceh yang pada saat itu sedang mengembangkan daerah kekuasaannya.
Pendiri kerajaan Langkat yang dikenal adalah Raja kahar, yang pada pertengahan abad ke –18 pada tahun 1750 sejak itu, nama Langkat sebagai sebuah kerajaan mulai terdengar walaupun daerah kekuasaannya masih belum begitu luas dan pusat pemerintahannya masih berpindah-pindah. Baru setelah Sultan Musa Berkuasa, maka pusat kerajaan resmi berada di Kota Tanjung Pura, selanjutnya secara damai meluaskan wilayahnya sehingga wilayah kekuasaannya bertambah luas mulai dari perbatasan Aceh Tamiang sampai di kawasan Binjai dan Bahorok. Setelah Sultan Musa mangkat maka kerajaan diambil alih oleh Sultan Abdul Aziz dan Sultan Mahmud hingga berakhirnya kekuasaan kerajaan Langkat.
Adapun silsilah kerajaan Langkat yaitu: Dewa Sahdan (1500-1580) di Kota Rantang hamparan Perak, Dewa Sakti (1580- w. 1612) wafat pada perang Aceh, Raja Abdullah atau Marhum Guri (1612-1673), Raja Kahar (1673-1750) di Kota Dalam Secanggang, Badiulzaman (1750-1814), Kejuruan Tuah Hitam (1814-1823), Raja Ahmad (1824-1870), Sultan Musa di Tanjung Pura (1870-1896), Sultan Abdul Aziz di Tanjung Pura (1896-1926), Sultan Mahmud di Binjai (1926-1946).
E. KERAJAAN ACEH DARUSSALAM
Kerajaan ini terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar. Kurang diketahui kapan sebanarnya kerajaan ini berdiri. Anas Mahmud (penulis buku Naik Turunnya Kerajaan Aceh Darussalam di Pesisir Timur Pulau Sumatera) berpendapat bahwa kerajaan Aceh berdiri pada abad ke-15 M setelah runtuhnya Lamori oleh Muzaffar Syah (1465-1497 M), beliaulah yang membangun kota Banda Aceh Darussalam.
Menurut Anas, pada masa pemerintahan Muzaffar Syah, kerajaan Aceh Darusslam mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan, karena saudagar-saudagar muslim yang berbasis di Malaka memindahkan pusat aktivitas mereka ke Aceh setelah Malaka dikuasai oleh Portugis pada tahun 1511 M.
Puncak kejayaan kerajaan Aceh terjadi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637 M). Pada masa pemerintahannya, kerajaan Aceh menguasai seluruh pesisir Timur dan Barat di Sumatera.
Kerajaan Aceh kemudian diperintah oleh Iskandar Tsani yang menggantikan Iskandar Muda. Pada beberapa tahun pemerintahannya, kerajaan Aceh mengalami perkembangan dalam bidang agama. Kematian raja Aceh Darussalam ini kemudian diikuti oleh beberapa bencana, sehingga menjelang abad ke-18 M, kesultanan Aceh tidak mempunyai pengaruh yang signifikan.
0 comments:
Post a Comment