My beloved husband…..
Ingat 20 April empat tahun silam ?
Mas bukan Umar yang perkasa, Ali yang pemberani, bukan pula seorang yang hafidz dan faqih. Mas Cuma seorang pemuda dha`if yang ingin menjaga diri dan menyempurnakan setengah dien. Mas berharap Adik mampu bersabar menemani Mas yang apa adanya untuk berjihad bersama mulai detik ini hingga akhir hayat kita nanti.
Banyak kelebihan yang Mas miliki. Memang, sejak awal Adik tidak pasang target apa-apa untuk calon suami. Rasa-rasanya kualitas diri sendiri pun masih kurang. Jika seseorang berkhayal terlalu tinggi, ia bisa kecewa saat menghadapi kenyataan. Meski demikian Adik teringat kata-kata seorang psikolog. Harapan terhadap kualitas pasangan hidup itu wajar. Bahkan saat awal menikah, impian itu bisa diwujudkan bersama. Jika menurut Mas hafalan Al-Qur`an Mas masih sedikit, bukankah kita bisa berlomba-lomba dan saling mengoreksi? Kalau dulu mungkin Mas berkhayal punya istri yang pandai memasak, setelah empat tahun masa sih keinginan itu tidak terpenuhi ?
Mas sayang……
Kadang sepertinya Mas terlalu memanjakan istri. Waktu rumah kita airnya masih nimba, hamper selalu Mas yang mencuci baju. Alasannya, takut kalau nanti Adik keguguran. Padahal, wanita-wanita di Palestina sibuk angkat senjata, sibuk ikut intifadhah tanpa perduli apapun kondisi mereka.
My dearest husband ……
Sekarang memang terbukti kalau keridhaan Allah sejalan dengan keridhaan suami. Entah berapa kali Allah memberi peringatan. Adik pernah tersiram air mendidih lantaran ngambek sama Mas. Waktu malam-malam Adik memaksa Mas untuk jalan-jalan, terpaksa kita harus menuntun sepeda motor berkilo-kilo lantaran bannya meletus tiba-tiba. Dan berbagai kesialan yang terjadi Adik rasakan sebagai hukuman karena menentang suami. Ah, jadi istri shalihah ternyata tidak semudah menyanyikannya seperti dalam nasyid.
Tapi kalau bisa, "hak istimewa" itu jangan disalahgunakan ya, Mas. Kadang kesal juga. Kalau badan sudah letih mengurus rumah seharian, ditambah adanya tugas dakwah, sementara Mas menuntut perhatian dan pelayanan khusus, jadinya bingung. Minta dipijitin, minta dibuatkan minum. Padahal, Adik sudah kecapekan minta ampun. Mau menolak rasanya takut. Dikerjakan, kok payah juga. Ataukah itu ujian bagi istri ? Insya Allah, Adik akan belajar lebih banyak untuk bersabar dan ikhlas.
Mas sayang……..
Rasanya beruntung punya suami Mas. Makannya gampang. Apa-apa doyan kecuali jengkol, pete dan sejenisnya. Kalau pas malas masak, Mas gampang beli makanan di warung. Ada lho, orang yang tidak mau makan selain masakan istrinya, maunya hangat lagi. Bagus juga, tapi kalau pas istrinya sakit ? Trus, bagaimana ?
Mas yang baik……..
Senangnya punya suami yang menjaga pandangan. Coba, berapa kali dalam sehari Mas bilang Adik cantik ? Padahal, di luar sana banyak yang jauh lebih manis, cantik dan trendy. Apalagi dikantor.
"Pokoknya, Adik yang paling cantik. Titik."
"Sekalipun belum mandi ??"
"Sekalipun belum mandi. Adik sibuk sekali ya, sampai-sampai Mas pulang kerja belum sempat mandi."
"Eh, Mas juga kalau berangkat kerja ganteng. Pakai minyak wangi, brisk, sisiran rapi. Kalau di rumah, jarang mandi, pakainya cuma sarung sama kaos oblong, bolong-bolong lagi."
"Jadi balas dendam nich, ceritanya?"
Sejak saat itu, Adik selalu berusaha untuk rapi sekalipun rumah masih berantakan.
Suamiku yang baik….
Senang sekali bermanja-manja. Adik happy punya suami yang bisa masak sedikit-sedikit, walau setelah itu daput ibarat kapal pecah. Hancur. Semua peralatan dapur turun. Tapi, mau nangis rasanya ketika Adik sakit dan Mas terpaksa harus mencuci, menyapu, beres-beres rumah, dan sebagainya. Ah, kasihan suamiku. Sudah berjihad di luar, di rumah pun masih kecapekan.
"Ini kan namanya bapak rumah tangga," hibur Mas.
Aneh sekali. Mas tidak seperti para suami lain yang bisa gemuk setelah menikah. Perasaan sudah di masakkan apa saja yang bisa dimasak. Malu Adik sama istri-istri lain, apalagi sama ibu Mas. Sepertinya, tidak becus mengurus anak orang. Atau, ini karena Mas terlalu gandrung dengan sepak bola? Oh ya, mengenai hobi yang satu ini……
"Tapi, …. Hari Sabtu kemarin kan, Mas sudah sepak bola."
"Sabtu lawan anak-anak mahasiswa, Minggu lawan orang tua."
"Tapi, langit mendung mau hujan. Nanti becek."
"Malah asyiiik, Dik!"
"Mas janji mau bantuin Adik nyuci baju pas libur."
"Nantilah, sepulang sepak bola."
"Katanya, mau ngajak jalan-jalan ke sawah."
"Mendung sih, Dik……"
Uh gondoknya! Kalau buat sepak bola apapun akan di tempuh. Sepertinya, tidak ada kamus malas. Tiap kali ada temen mengajak main sepak bolaselalu "yes" tak pernah "no". padahal, ingin sekali pas liburan, Mas menemani Adik di rumah dari pagi sampai petang, bercengkrama bersama istri dan anak-anak. Ahmad dan Umar juga ingin main sepak bola sama Mas.
My sweet man that I love very much….
Ketika melihat foto Mas pertama kali ibu berkata "Lihat dari sorot matanya, ia tipe orang yang keras." Memang. Waktu demi waktu berlalu dan omongan itu terbukti. Menyesal? Tentu tidak. Bahkan, dalam suratnya ibu senantiasa meminta Kangmas untuk membimbing Adik, lantaran beliau mengenal anaknya ini sebagai orang yang lamban alias kurang cekatan.
Jangankan suami, ibu yang sama-sama wanita pun kadang tidak sabaran menghadapi Adik. Namun Mas, sebetulnya kelembutan sikap Mas dalam menghadapi kekeraskepalaan dan kelambanan Adik, lebih berkenan di hati dibandingkan jika Mas bertindak "Streng", sekalipun Adik akan mencoba patuh dalam segala situasi dan kondisi. Mau tahu contohnya? Ingat kan, waktu Adik sedang hamil muda. Jangankan bau keringat, bau cabe, bawang, bahkan sabun mandi yang wangi bikin perut mual. Alhasil, jadi malas masak dan ujung-ujungnya malas makan.
"Adik jangan Cuma mikirin diri sendiri, dong! Ingat yang di perut! Anak kan amanah Allah. Ada orang yang bertahun-tahun ingin punya anak, tapi nggak dapat-dapat. Ini sudah dikasih malah kurang diurus. Omongan Mas nggak pernah didengar."
Adik menangis sesenggukan waktu itu. Sekalipun mas sudah minta maaf dan memang salah Adik sendiri, tetap saja ada rasa sakiit di hati ini.
Mas yang salih …….
Pas setahun yang lalu ketika kita melakukan perenungan dalam setahun pernikahan kita, Mas memberi nasehat tentang jihad. Mas cerita tentang Hansholah, tentang kecintaannya kepada Allah dan Rasul_Nya, sehingga mampu menggerakkan dirinya dengan segera ketika mendengar perintah Rasulullah untuk berangkat berjihad.
Nasehat itu masih terngiang-ngiang hingga kini. Menyisakan sebuah renungan, apakah kita bisa seperti itu apa tidak? Waktu itu Mas bilang, "Ya, harus! Bukankah para sahabat dulu ketika jahiliyah melakukan perilaku yang tidak baik, bermaksiat kepada Allah, tetapi ketika masuk Islam, mereka mampu berprestasi dengan gemilang, menjangkau puncak-puncak predikat seorang manusia. Mereka memiliki bahan dasar yang sama dengan kita, mengapa kita tidak optimis untuk bisa kembali mengulang prestasi-prestasi mereka?"
Dan waktu itu, kita menutup agenda muhasabah dengan qiyamullail bersama, waktu itu Mas membaca surah An-Anfal dan At-Taubah. Kita sama-sama menangis ketika Mas membaca surah At-Taubah ayat 111, "Sesungguhnya Allah telah memberi dari diri kaum Mukminin jiwa dan harta mereka untuk ditukar dengan syurga…." Menjadi pendamping Mas, terasa begitu terpompa semangat jihad Adik, Mas sering memberikan masukan yang begitu berharga untuk selalu bersemangat ber-Islam dan berdakwah.
My special man ……
Enam bulan lalu secara tidak sengaja, sewaktu beres-beres rumah, Adik menemukan sebuah diary yang sudah agak kumal. Di halaman pertama, ada tulisan dengan tinta merah, tulisan yang begitu adik kenal.
Aku ingin mati muda…
Dengan tubuh hancur berkeping-keping
Supaya serpihan daging dan darah yang tercecer
Dapat bersaksi di hadapan Allah
Bahwa mereka berasal dari tubuh yang hina ini
Adik sangat terharu. Waktu Adik tunjukkan diary itu, Mas tersenyum.
"Itu Mas tulis waktu tingkat tiga. Sehabis mengisi daurah untuk mahasiswa baru."
Adik jadi malu kalau ingat kadang-kadang masih suka manja, suka menoleransi kemalasan yang tiba-tiba muncul kalau pas ada tugas rumah tangga yang menumpuk. Padahal, tugas rumah tangga bagi istri kan, jihad yang besar, ya Mas……
Suamiku yang mujahid, insya Allah….
Tiga bulan yang lalu, ba'da Subuh.
"Dik, Mas pamit ada tugas dakwah ke Gunung Kidul, doakan Mas, ya. Barusan Mas diminta menggantikan ustad Abdullah yang seharusnya bertugas kesana."
"Bukankah Minggu yang lalu, Mas pergi ke Gunung Kidul?"
"Dalam bulan ini, ada tugas ekspedisi dakwah ke Gunung Kidul terutama ke daerah-daerah yang kekeringan. Sambil membagikan sembako dan pelayanan kesehatan, juga ada tim dakwahnya yang akan memberikan taklim. Mas kebetulan dapat amanah di tim dakwahnya. Hari ini, daerah yang akan dikunjungi ada tiga tempat: Semin, Playen, dan Nglipar, jadi harus berangkat pagi-pagi sekali."
Rasanya, ingin mencegah Mas berangkat karena sudah sebulan lebih dari sebulan ini agenda keluarga di akhir pecan ter-cancel terus. Mas laki-laki jarum super alias jarang di rumah, suka pergi. Waktu itu, Adik tidak rela dan sedikit masam.
"Dik, Mas hanya memiliki semangat dan jiwa. Mas tidak punya harta dan kebanggaan lain yang bisa diandalkan. Mas ingin berjumpa Allah dengan keadaan yang tenang karena telah mempersembahkan semua yang Mas miliki. Senyum dong, Dik…."
Adik terpaksa tersenyum. Ada perasaan tidak enak sekalipun pada Akhirnya Afik merelakan keberangkatan Mas. Mas bukan milik Adik saja. Adik tidak boleh egois karena nanti Allah juga tidak ridha.
Mas…..
Menjelang tengah hari sejak keberangkatan Mas, ada seseorang yang datang ke rumah.
"Ummu Ahmad,…..sabar, ya? Sekarang, Pak Akbar sedang dirawat di PKU bersama anggota rombongan yang lain."
Innalillahi. Bagai disambar petir ribuan watt, bergegas Adik menuju Rumah Sakit PKU Muhammadiyah ditemani seorang akhwat. Sepanjang perjalanan, badan serasa tak menginjak tanah. Jarak tiga kilo dari rumah terasa begitu jauh, sekalipun becak yang membawa kami sudah dipacu sekencangnya.
Setengah berlari, Adik melalui lorong-lorong rumah sakit menuju ruang ICU. Bau karbol, warna putih, selimut loreng, brangkar, dan wajah-wajah dingin membawa aroma kematian. Di depan pintu ruang ICU, telah menunggu beberapa teman Mas dan dua orang ummahat. Adik langsung dipeluk oleh mereka.
"Sabar, ya, ummu Ahmad."
Sejak dari rumah, jilbab telah basah oleh air mata. Tapi ketika melihat Mas, tangis Adik meledak. Innalillahi. Di depan Adik, terbujur sesosok tubuh yang demikian Adik cintai. Sosok yang meskipun terbaring kaku berlumuran darah, tetapi masih menyisakan senyum ketenangan. Adik ciumi pipi Mas yang berbercak darah mongering. Setelah itu, segalanya begitu kosong dan tak berarti apa-apa.
Sepertinya, pingsan jauh lebih baik karena semua kepedihan terlupakan. Waktu siuman, Adik sudah berada di rumah, sedang Mas telah di kafani. Menurut cerita salah seorang dari dua orang yang selamat, musibah itu terjadi di tikungan Irung Petruk. Mobil kijang Mas terseret belasan meter hingga masuk jurang ketika di hantam oleh truk besar pengangkut pasir. Dan, Mas syahid di tempat.
Mas Akbar, syuhada kami, insya Allah……
Pada waktu pemakaman, seorang teman Mas menyerahkan secarik kertas yang ditemukan di saku baju Mas, sewaktu akan dimandikan. Sesobek kertas yang masih tersisa percikan darah itu Adik buka. Goresan tulisan tangan Mas Akbar tertera di sana.
Bersenandunglah wahai langit
Dengan senandung yang indah
Sambutlah ruhku yang melesat ke arahmu
Wahai malaikat penjaga pintu langit
Antarkan aku menemui Hamzah
Penghulu para syuhada
Dan pintaku……
Ya….Allah
Izinkan aku menatap wajah_MU
Tangan Adik bergetar. Adik tidak dapat menahan diri untuk tidak menangis. Tulisan-tulisan itu ibarat sebuah rencana. Tulisan-tulisan Mas ibarat jalan hidup. Tulisan di diary dan juga di kertas yang menyertai syahidnya Mas Akbar.
Mas sayang, yang diliputi ketenangan…..
Seperti tahun-tahun sebelumnya, hari ini Adik melakukan program yang kita sepakati, muhasabah pada ulang tahun pernikahan kita. Tapi, ada yang kurang. Tidak ada lagi taujih tentang jihad. Tidak ada lagi lantunan Al-Anfal dan At-Taubah dari lisan yang senantiasa dibasahi oleh pesan-pesan rasulullah. Meski ada yang tetap tertinggal disini, …. Semangat dan cinta. Malam ini, Adik ditemani diary kumal dan secarik kertas yang tertinggal di baju yang Mas pakai sewaktu menjemput keabadian. Penggal-penggal kalimat didalamnya Adik simak kembali satu demi satu. Terasa ada yang membayang di pelupuk mata. Sebuah kenangan indah yang tak terlupakan.
Sedari tadi secarik kertas yang Adik tulis ini basah oleh air mata. Malam menjelang dini hari. Adik ingin menutup malam ini dengan qiyamullail seperti yang sering kita lakukan bersama. Jam dinding menunjukkan pulul tiga. Di samping jam dinding itu, tergores tulisan Mas di kertas karton yang dibuat bersama Ahmad, "Jihad Forever" yang belepotan cat air karena Ahmad ikut mewarnai. Yang selalu mengingatkan Adik untuk tegar dan senantiasa memupuk semangat jihad.
Semoga angin sepoi-sepoi yang menyelisip di sela-sela lubang di jendela ikut menjadi saksi kerinduan Adik kepada suami tercinta. Adik berharap, mas bisa ikut membaca coretan Adik ini. Sekian dulu.
Tunggu adik di Firdaus Allah yach….
Mas, Adik kangen….
Istrimu tercinta
============
Dikirimkan oleh salah seorang sahabat melalui Email pada hari Minggu, January 2, 2005 8:21 AM dengan judul "Siapalah Aku?"
0 comments:
Post a Comment