Dahulu kala ada seorang penduduk desa yang menganggap dirinya sebagai orang yang harus disejajarkan dengan para sarjana terkemuka. Suatu hari dia pergi ke desa sebelah untuk mengetahui apakah ada orang lain yang sama bijak dan sama pandai dengan dirinya. Dia masuk ke sebuah kedai kopi dan mulai memamerkan kepandaiannya. Orang-orang desa, yang tidak terpelajar, tidak berselera menanggapi percakapannya yang sok ilmiah. Maka mereka mendatangkan Bahlul, si tolol desa itu, dan menyuruhnya duduk di samping orang asing tersebut. “Sekarang mereka dapat saling membual sepuas hati mereka”.
Orang asing yang pandai itu memulai dengan mengangkat jari telunjukknya dan menunjuk ke langit seakan-akan menyatakan, “Tidak ada tuhan selain Allah!” Bahlul tidak ragu-ragu menanggapi dengan menunjukkan dua jarinya ke langit. “Inilah orang yang cocok dengan seleraku,” pikir orang asing. “Dia tidak hanya memahami tanda dariku, tapi bahkan balas memberi tanda, ‘Dan Allah tidak ada yang menyamai!’”
Selanjutnya, orang asing itu mengangkat telapak tangannya seakan-akan berkata, “Tuhan menciptakan langit di atas.” Dan Bahlul menanggapi dengan menghadapkan telapak tangannya ke bawah. “O ho!” pikir orang asing, “dia mengikuti jalan pikiranku secara tepat, dia mengatakan padaku, ‘Dan Allah menciptakan bumi di bawah!’”
Dia mengeluarkan sebutir telur dari sakunya, meletakkannya di depan Bahlul untuk mengatakan, “Allah menghidupkan dari yang telah mati.” Saat Bahlul mengeluarkan seekor anak ayam kecil dari lipatan jubahnya, orang asing yang pandai itu merasa sangat senang. “Dia ini benar-benar seorang sarjana,” katanya para dirinya sendiri. “Kini dia mengingatkan aku bahwa Allah, yang menjadi tumpuan segala puji dan kemuliaan, juga mematikan yang hidup!” Setelah merasa puas dengan pertukaran isyarat itu, orang tersebut melanjutkan pencariannya.
Orang-orang desa selama itu memperhatikan seluruh kelakar ini dan kini, sambil tertawa, bertanya kepada Bahlul bagaimana pendapatnya tentang sarjana itu. “Oh,” kata Bahlul, “dia menganggap dirinya jauh lebih pandai daripada yang sesungguhnya. Dia memulai dengan mengancam hendak mencungkil mataku dengan jarinya, tapi aku beri tahukan padanya bahwa jika dia berani mencoba melakukannya, aku akan membuat kedua matanya buta. Selanjutnya, dia mengangkat tangannya untuk menyatakan padaku bahwa dia dapat melemparku ke udara. Tapi aku jelas-jelas mengisyaratkan padanya bahwa sebuah pukulan tinjuku akan segera membawanya jatuh ke dalam api neraka dan tidak akan keluar-keluar lagi dari situ. Akhirnya, dia merasa dapat menertawai aku dan mengeluarkan sebutir telur dari sakunya, tapi aku mengunggulinya pula di situ, dengan anak ayamku. Dia tahu dia telah bertemu dengan orang yang setara; itulah sebabnya dia cepat-cepat pergi.”
Orang asing yang pandai itu memulai dengan mengangkat jari telunjukknya dan menunjuk ke langit seakan-akan menyatakan, “Tidak ada tuhan selain Allah!” Bahlul tidak ragu-ragu menanggapi dengan menunjukkan dua jarinya ke langit. “Inilah orang yang cocok dengan seleraku,” pikir orang asing. “Dia tidak hanya memahami tanda dariku, tapi bahkan balas memberi tanda, ‘Dan Allah tidak ada yang menyamai!’”
Selanjutnya, orang asing itu mengangkat telapak tangannya seakan-akan berkata, “Tuhan menciptakan langit di atas.” Dan Bahlul menanggapi dengan menghadapkan telapak tangannya ke bawah. “O ho!” pikir orang asing, “dia mengikuti jalan pikiranku secara tepat, dia mengatakan padaku, ‘Dan Allah menciptakan bumi di bawah!’”
Dia mengeluarkan sebutir telur dari sakunya, meletakkannya di depan Bahlul untuk mengatakan, “Allah menghidupkan dari yang telah mati.” Saat Bahlul mengeluarkan seekor anak ayam kecil dari lipatan jubahnya, orang asing yang pandai itu merasa sangat senang. “Dia ini benar-benar seorang sarjana,” katanya para dirinya sendiri. “Kini dia mengingatkan aku bahwa Allah, yang menjadi tumpuan segala puji dan kemuliaan, juga mematikan yang hidup!” Setelah merasa puas dengan pertukaran isyarat itu, orang tersebut melanjutkan pencariannya.
Orang-orang desa selama itu memperhatikan seluruh kelakar ini dan kini, sambil tertawa, bertanya kepada Bahlul bagaimana pendapatnya tentang sarjana itu. “Oh,” kata Bahlul, “dia menganggap dirinya jauh lebih pandai daripada yang sesungguhnya. Dia memulai dengan mengancam hendak mencungkil mataku dengan jarinya, tapi aku beri tahukan padanya bahwa jika dia berani mencoba melakukannya, aku akan membuat kedua matanya buta. Selanjutnya, dia mengangkat tangannya untuk menyatakan padaku bahwa dia dapat melemparku ke udara. Tapi aku jelas-jelas mengisyaratkan padanya bahwa sebuah pukulan tinjuku akan segera membawanya jatuh ke dalam api neraka dan tidak akan keluar-keluar lagi dari situ. Akhirnya, dia merasa dapat menertawai aku dan mengeluarkan sebutir telur dari sakunya, tapi aku mengunggulinya pula di situ, dengan anak ayamku. Dia tahu dia telah bertemu dengan orang yang setara; itulah sebabnya dia cepat-cepat pergi.”
0 comments:
Post a Comment