1. Pengertian ijma'
Ijma’ menurut bahasa artinya sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan Menurut istilah ijma', ialah kesepakatan mujtahid ummat Islam tentang hukum syara' dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Sebagai contoh ialah setelah Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan seorang pengganti beliau yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan bersama pula diangkatlah Abu Bakar RA sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada permulaannya ada yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar RA itu, namun kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya. Kesepakatan yang seperti ini dapat dikatakan ijma'.
Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dalam menetapkan suatu hukum, kerena segala persoalan dikembalikan kepada beliu, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belum diketahui hukumnya.
2. Dasar hukum ijma'
Dasar hukum ijma' berupa aI-Qur'an, al-Hadits dan akal pikiran.
a. Al-Qur'an
Allah SWT berfirman:
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu." (an-Nisâ': 59)
Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid.
Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.
Firman AIlah SWT:
Artinya:
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai." (Ali Imran: 103)
Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-berai. Termasuk dalam pengertian bersatu itu ialah berijma' (bersepakat) dan dilarang bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid.
Firman Allah SWT:
Artinya: "Dan barangsiapa yang menantang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (an-Nisâ': 115)
Pada ayat di atas terdapat perkataan sabîlil mu'minîna yang berarti jalan orang-orang yang beriman. Jalan yang disepakati orang-orang beriman dapat diartikan dengan ijma', sehingga maksud ayat ialah: "barangsiapa yang tidak mengikuti ijma' para mujtahidin, mereka akan sesat dan dimasukkan ke dalam neraka."
b. AI-Hadits
Bila para mujtahid telah melakukan ijma' tentang hukum syara' dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma' itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
c. Akal pikiran
Setiap ijma' yang dilakukan atas hukum syara', hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur'an dan al-Hadits, karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan.
3. Rukun-rukun ijma'
Dari definisi dan dasar hukum ijma' di atas, maka ulama ushul fiqh menetapkan rukun-rukun ijma' sebagai berikut:
Harus ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya peristiwa dan para mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan (menetapkan hukum peristiwa itu. Seandainya tidak ada beberapa orang mujtahid di waktu terjadinya suatu peristiwa tentulah tidak akan terjadi ijma', karena ijma' itu harus dilakukan oleh beberapa orang.
Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia Islam. Jika kesepakatan itu hanya dilakukan oleh para mujtahid yang ada pada suatu negara saja, maka kesepakatan yang demikian belum dapat dikatakan suatu ijma'.
Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syara') dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu. Jangan sekali-kali tersirat dalam kesepakatan itu unsur-unsur paksaan, atau para mujtahid yang diharapkan kepada suatu keadaan, sehingga ia harus menerima suatu keputusan. Kesepakatan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan pernyataan lisan, dengan perbuatan atau dengan suatu sikap yang menyatakan bahwa ia setuju atas suatu keputusan hukum yang telah disetujui oleh para mujtahid yang lain. Tentu saja keputusan yang terbaik ialah keputusan sebagai hasil suatu musyawarah yang dilakukan para mujtahid.
Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh sebahagian besar mujtahid yang ada, maka keputusan yang demikian belum pasti ke taraf ijma'. Ijma' yang demikian belum dapat dijadikan sebagai hujjah syari'ah.
4. Kemungkinan terjadinya ijma'
Jika diperhatikan sejarah kaum muslimin sejak zaman Rasulullah SAW sampai sekarang, dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya ijma', maka ijma' dapat dibagi atas tiga periode, yaitu:
Periode Rasulullah SAW;
Periode Khalifah Abu Bakar Shiddiq dan Khalifah Umar bin Khattab; dan
Periode sesudahnya.
Pada masa Rasulullah SAW, beliau merupakan sumber hukum. Setiap ada peristiwa atau kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada al-Qur'an yang telah diturunkan dan hadits yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW. Jika mereka tidak menemukannya dalam kedua sumber itu, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah. Rasululah adakalanya langsung menjawabnya, adakalanya menunggu ayat al-Qur'an turunkan Allah SWT. Karena itu kaum muslimin masih satu, belum nampak perbedaan pendapat yang menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian yang mereka alami.
Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, kaum muslimin kehilangan tempat bertanya, namun mereka telah mempunyai pegangan yang lengkap, yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Jika ada kejadian atau peristiwa yang memerlukan penetapan hukum, mereka berijtihad, tetapi belum ada bukti yang nyata bahwa mereka telah berijma'. Seandainya ada ijma' itu, kemungkinan terjadi pada masa khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar atau sedikit kemungkinan pada masa enam tahun pertama Khalifah Utsman. Hal ini adalah karena pada masa itu kaum muslimin masih satu, belum ada perbedaan pendapat yang tajam diantara kaum muslimin, disamping daerah Islam belum begitu luas, masih mungkin mengumpulkan para sahabat atau orang yang dipandang sebagai mujtahid.
Setelah enam tahun bahagian kedua kekhalifahan Utsman, mulailah nampak gejala-gejala perpecahan di kalangan kaum muslimin. Hal ini dimulai dengan tindakan Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagai penjabat jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan (nepotisme). Setelah Khalifah Utsman terbunuh, perpecahan di kalangan kaum muslimin semakin terjadi, seperti peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah bin Abu Sofyan, peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah yang terkenal dengan perang Jamal, timbul golongan Khawarij, golongan Syi'ah golongan Mu'awiyah dan sebagainya. Demikianlah perselisihan dan perpecahan itu terjadi pula semasa dinasti Amawiyah, semasa dinasti Abbasiyah, semasa dinasti Fathimiyah dan sebagainya, sehingga dana dan tenaga umat Islam terkuras dan habis karenanya.
Disamping itu daerah Islam semakin luas, sejak dari Asia Tengah (Rusia Selatan sekarang) sampai kebagian tengah benua Afrika, sejak ujung Afrika Barat sampai Indonesia, Tiongkok Selatan, Semenanjung Balkan dan Asia Kecil. Karena itu amat sukar melakukan ijma' dalam keadaan dan luas daerah yang demikian.
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
Ijma' tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad SAW;
Ijma' mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman; dan Setelah masa enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman sampai saat ini tidak mungkin terjadi ijma' sesuai dengan rukun-rukun yang telah ditetapkan di atas, mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu serta luasnya daerah yang berpenduduk Islam.
Pada masa sekarang telah banyak berdiri negara-negara Islam yang berdaulat atau suatu negara yang bukan negara Islam tetapi penduduknya mayoritas beragama Islam atau minoritas penduduknya beragama Islam. Pada negara-negara tersebut sekalipun penduduknya minoritas beragama Islam, tetapi ada peraturan atau undang-undang yang khusus bagi umat Islam. Misalnya India, mayoritas penduduknya beragama Hindu, hanya sebagian kecil yang beragama Islam. Tetapi diberlakukan undang-undang perkawinan khusus bagi umat Islam. Undang-undang itu ditetapkan oleh pemerintah dan parlemen India setelah musyawarah dengan para mujtahid kaum muslimin yang ada di India. Jika persepakatan para mujtahid India itu dapat dikatakan sebagai ijma', maka ada kemungkinan terjadinya ijma' pada masa setelah Khalifah Utsman sampai sekarang sekalipun ijma' itu hanya dapat dikatakan sebagai ijma' lokal.
Jika demikian dapat ditetapkan definisi ijma', yaitu keputusan hukum yang diambil oleh wakil-wakil umat Islam atau para mujtahid yang mewakili segala lapisan masyarakat umat Islam. Karena dapat dikatakan sebagai ulil amri sebagaimana yang tersebut pada ayat 59 surat an-Nisâ' atau sebagai ahlul halli wal 'aqdi. Mereka diberi hak oleh agama Islam untuk membuat undang-undang atau peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan rakyat mereka.
Hal yang demikian dibolehkan dalam agam Islam. Jika agama Islam membolehkan seorang yang memenuhi syarat-syarat mujtahid untuk berijtihad, tentu saja beberapa orang mujtahid dalam suatu negara boleh pula bersama-sama memecahkan permasalahan kaum muslimin kemudian menetapkan suatu hukum atau peraturan. Pendapat sebagai hasil usaha yang dilakukan orang banyak tentu lebih tinggi nilainya dari pendapat yang dilakukan oleh orang seorang.
5. Macam-macam ijma'
Sekalipun sukar membuktikan apakah ijma' benar-benar terjadi, namun dalam kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh diterangkan macam-macam ijma'. Diterangkan bahwa ijma' itu dapat ditinjau dari beberapa segi dan tiap-tiap segi terdiri atas beberapa macam.
Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijma' terdiri atas:
ljma' bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan. Ijma' bayani disebut juga ijma' shahih, ijma' qauli atau ijma' haqiqi;
Ijma' sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijma' seperti ini disebut juga ijma' 'itibari.
Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma', dapat dibagi kepada:
ljma' qath'i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu adalah qath'i diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain;
ljma' zhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu dhanni, masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain.
Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula beberapa macam ijma' yang dihubungkan dengan masa terjadi, tempat terjadi atau orang yang melaksanakannya. Ijma'-ijma' itu ialah:
Ijma' sahabat, yaitu ijma' yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW;
Ijma' khulafaurrasyidin, yaitu ijma' yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa ke-empat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal dunia ijma' tersebut tidak dapat dilakukan lagi;
Ijma' shaikhan, yaitu ijma' yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab;
Ijma' ahli Madinah, yaitu ijma' yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijma' ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki, tetapi Madzhab Syafi'i tidak mengakuinya sebagai salah satu sumber hukum Islam;
Ijma' ulama Kufah, yaitu ijma' yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab Hanafi menjadikan ijma' ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam.
6. Obyek ijma'
Obyek ijma' ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalarn al-Qur'an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu'amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Qur'an dan al-Hadits.
7. Kehujjaan Ijma’ menurut Pandangan Ulama’.
Jumhur ulama berpendapat, bahwa ijma’ dapat dijadikan argumentasi (hujjah) berdasarkan dua dalil berikut:
Hadits-hadits yang menyatakan bahwa umat Muhammad tidak akan bersepakat terhadap kesesatan. Apa yang menurut pandangan kaum muslimin baik, maka munurut Allah juga baik. Oleh karena itu, amal perbuatan para sahabat yang telah disepakati dapat dijadikan argumentasi.
Ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kehujjahan ijma’, misalnya, apakah ijma’ itu hujjah syar’i? Apakah ijma’ itu merupakan landasan usul fiqih atau bukan? Bolehkah kita menafikan atau mengingkari ijma’?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, para ulama’ berbeda pendapat. Al-Qardawi berpendapat bahwa orang-orang hawn tidak menjadikan ijma’ itu sebagai hujjah, bahkan dalam sejarahnya dia mengatakan bahwa ijma’ itu bukan hujjah secara mutlak.
Menurut Al-Maidi, para ulama’ telah sepakat mengenai ijma’ sebagai hujjah ygn wajib diamalkan. Pendapat tersebut bertentangan dengan Syi’ah, Khawarij dan Nizam dari golongan Mu’tazilah.
Al-Hajib berkata bahwa ijma’ itu hujjah tanpa menanggapi pendapat Nizam, Khawarij dan Syiah. Adapun Ar-Rahawi berpendapat bahwa ijma’ itu pada dasarnya adalah hujjah. Sedangkan dalam kitab “Qawa’idul Usul dan Ma’qidul Usul” dikatakan bahwa ijma’ hujjah pada setiap masa. Namun pendapat itu ditentang oleh “Daud” yang mengatakan bahwa ijma’ itu hanya terjadi pada masa sahabat.
Kehujjahan ijma’ juga berkaitan erat dengan jenis ijma’ itu merupakan sendiri, yaitu sharih dan sukuti, agar lebih jelas maka pendapat mereka tentang ijam’ akan ditinjau berdasarkan pembagian ijma’ itu sendiri.
Kehujjahan ijma’ sharih
Jumhur telah sepakat bahwa ijma’ sharih itu merupakan hujjah secar qath’i, wajib mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma’ pada suatu permasalahan maka ita menjadi hukum qath’I yang tidak boleh ditentang, dan menjadi menjadi masalah yang tidak boleh diijtihadi lagi.
Dalil-dalil yang dikeluarkan oleh jumhur
Firman Allah SWT. dalam surat Annisa’ ayat 115.
Artinya :
Barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisa’: 115)
Kehujjahan dalil dari ayat di atas adalah ancaman Allah SWT terhadap mereka yang tidak mengikuti jalannya orang-orang mu’min. Disebutkan bahwa mereka akan dimasukkan ke neraka Jahanam dan akan mendapat tempat kembali yang buruk. Hal itu menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang tidak beriman itu adalah batil dan haram diikuti. Sebaliknya, jalan yang ditempuh oleh orang-orang mu’min adalah hak dan wajib diikuti.
Kehujjahan ijma’ sukuti
Ijma’ Sukuti telah dipertentangkan kehujjahannya di kalangan para ulama. Sebagian dari mereka tidak memandang ijma’ sukuti sebagai hujjah bahkan tidak mengatakan sebagai ijma’. Di antara mereka ialah pengikut Maliki dan Imam Syafi’I yang menyebutkan hal tersebut dalam berbagai pendapatnya.
Mereka berargumen bahwa diamnya sebagian mujtahid itu mungkin saja menyepakati sebagian atau bisa saja tidak sama sekali. Misalnya karena tidak melakukan ijtihad pada satu masalah atau takut mengemukakan pendapatnya sehingga kesepakatan mereka terhadap mujtahid lainnya tidak bisa ditetapkan apakah hal itu qath’I atau zanni. Jika demikian adanya, tidak bisa dihalalkan adanya kesepakatan dari seluruh mujtahid. Berarti tidak bisa dikatakan ijma’ ataupun dijadikan sebagai hujjah.
Sebagian besar golong Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa ijma’ sukuti merupakan hujjah qat’I seperti halnya ijma’ sharih. Alasan mereka adalah diamnya sebagian mujtahid utuk menyatakan sepakat ataupun tidaknya terhadap pendapat yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid lainnya, bila memenuhi persyaratan adanya ijma’ sukuti, bisa dikatakan sebagai dalil tentang kesepakatan mereka terhadap hukum. Dengan demikian, bisa juga dikatakan sebagai hujjah yang qat’I karena alasannya juga menunjukkan adanya ijma’ yang tidak bisa dibedakan dengan ijma’ sharih.
=====================
DAFTAR PUSTAKA
M. Ali Hasan. Perbandingan Mazhab. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2007.
Drs. Moh. Rifa’i. Usul Fiqih. Bandung: PT. Alma’arif 1973.
Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Usul Fiqih. Pustaka Amani, Jakarta 2003.
Prof. Dr. Rachmat Syafi’i. MA. Ilmu Usul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia 2007.
Prof. Muhamad Abu Zahrah. Usul Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus, Cetakan Pertama 1994., Cetakan Kesembilan 2005.
Drs. Moh. Rifa’i. Usul Fiqih. Bandung 1973. hal. 128
M. Ali Hasan “Perbandingan Mazhab”, Jakarata 2002. hal 24-25
Prof. Dr. Rachmat Syafi’I, MA. ”Ilmu Usul Fiqih” Bandung 2007-hal 70-71.
Prof. Dr Abdul Wahhab Khallaf, “Ilmu Usul Fikih” Jakarta 2003 M. Hal. 62
Prof. Dr. Rachmat Syafi’I, MA. “Ilmu Usul Fiqih” Bandung 2007. Hal. 73
Prof. Muhammad Abu Zahrah, “Usul Fiqih” Jakarta 2005. Hal. 314
Prof. Dr. Rachmat Syafi’I, MA. “Ilmu Usul Fiqih” Bandung 2007. Hal. 73
Prof. Dr. Rachmat Syafi’I, MA. “Ilmu Usul Fiqih” Bandung 2007. Hal. 80.
Ijma’ menurut bahasa artinya sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan Menurut istilah ijma', ialah kesepakatan mujtahid ummat Islam tentang hukum syara' dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Sebagai contoh ialah setelah Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan seorang pengganti beliau yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan bersama pula diangkatlah Abu Bakar RA sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada permulaannya ada yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar RA itu, namun kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya. Kesepakatan yang seperti ini dapat dikatakan ijma'.
Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dalam menetapkan suatu hukum, kerena segala persoalan dikembalikan kepada beliu, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belum diketahui hukumnya.
2. Dasar hukum ijma'
Dasar hukum ijma' berupa aI-Qur'an, al-Hadits dan akal pikiran.
a. Al-Qur'an
Allah SWT berfirman:
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu." (an-Nisâ': 59)
Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid.
Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.
Firman AIlah SWT:
Artinya:
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai." (Ali Imran: 103)
Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-berai. Termasuk dalam pengertian bersatu itu ialah berijma' (bersepakat) dan dilarang bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid.
Firman Allah SWT:
Artinya: "Dan barangsiapa yang menantang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (an-Nisâ': 115)
Pada ayat di atas terdapat perkataan sabîlil mu'minîna yang berarti jalan orang-orang yang beriman. Jalan yang disepakati orang-orang beriman dapat diartikan dengan ijma', sehingga maksud ayat ialah: "barangsiapa yang tidak mengikuti ijma' para mujtahidin, mereka akan sesat dan dimasukkan ke dalam neraka."
b. AI-Hadits
Bila para mujtahid telah melakukan ijma' tentang hukum syara' dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma' itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
لَا تَجْتَمِعُ امتي على ضلالةِ
Artinya: "umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)c. Akal pikiran
Setiap ijma' yang dilakukan atas hukum syara', hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur'an dan al-Hadits, karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan.
3. Rukun-rukun ijma'
Dari definisi dan dasar hukum ijma' di atas, maka ulama ushul fiqh menetapkan rukun-rukun ijma' sebagai berikut:
Harus ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya peristiwa dan para mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan (menetapkan hukum peristiwa itu. Seandainya tidak ada beberapa orang mujtahid di waktu terjadinya suatu peristiwa tentulah tidak akan terjadi ijma', karena ijma' itu harus dilakukan oleh beberapa orang.
Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia Islam. Jika kesepakatan itu hanya dilakukan oleh para mujtahid yang ada pada suatu negara saja, maka kesepakatan yang demikian belum dapat dikatakan suatu ijma'.
Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syara') dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu. Jangan sekali-kali tersirat dalam kesepakatan itu unsur-unsur paksaan, atau para mujtahid yang diharapkan kepada suatu keadaan, sehingga ia harus menerima suatu keputusan. Kesepakatan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan pernyataan lisan, dengan perbuatan atau dengan suatu sikap yang menyatakan bahwa ia setuju atas suatu keputusan hukum yang telah disetujui oleh para mujtahid yang lain. Tentu saja keputusan yang terbaik ialah keputusan sebagai hasil suatu musyawarah yang dilakukan para mujtahid.
Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh sebahagian besar mujtahid yang ada, maka keputusan yang demikian belum pasti ke taraf ijma'. Ijma' yang demikian belum dapat dijadikan sebagai hujjah syari'ah.
4. Kemungkinan terjadinya ijma'
Jika diperhatikan sejarah kaum muslimin sejak zaman Rasulullah SAW sampai sekarang, dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya ijma', maka ijma' dapat dibagi atas tiga periode, yaitu:
Periode Rasulullah SAW;
Periode Khalifah Abu Bakar Shiddiq dan Khalifah Umar bin Khattab; dan
Periode sesudahnya.
Pada masa Rasulullah SAW, beliau merupakan sumber hukum. Setiap ada peristiwa atau kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada al-Qur'an yang telah diturunkan dan hadits yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW. Jika mereka tidak menemukannya dalam kedua sumber itu, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah. Rasululah adakalanya langsung menjawabnya, adakalanya menunggu ayat al-Qur'an turunkan Allah SWT. Karena itu kaum muslimin masih satu, belum nampak perbedaan pendapat yang menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian yang mereka alami.
Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, kaum muslimin kehilangan tempat bertanya, namun mereka telah mempunyai pegangan yang lengkap, yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Jika ada kejadian atau peristiwa yang memerlukan penetapan hukum, mereka berijtihad, tetapi belum ada bukti yang nyata bahwa mereka telah berijma'. Seandainya ada ijma' itu, kemungkinan terjadi pada masa khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar atau sedikit kemungkinan pada masa enam tahun pertama Khalifah Utsman. Hal ini adalah karena pada masa itu kaum muslimin masih satu, belum ada perbedaan pendapat yang tajam diantara kaum muslimin, disamping daerah Islam belum begitu luas, masih mungkin mengumpulkan para sahabat atau orang yang dipandang sebagai mujtahid.
Setelah enam tahun bahagian kedua kekhalifahan Utsman, mulailah nampak gejala-gejala perpecahan di kalangan kaum muslimin. Hal ini dimulai dengan tindakan Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagai penjabat jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan (nepotisme). Setelah Khalifah Utsman terbunuh, perpecahan di kalangan kaum muslimin semakin terjadi, seperti peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah bin Abu Sofyan, peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah yang terkenal dengan perang Jamal, timbul golongan Khawarij, golongan Syi'ah golongan Mu'awiyah dan sebagainya. Demikianlah perselisihan dan perpecahan itu terjadi pula semasa dinasti Amawiyah, semasa dinasti Abbasiyah, semasa dinasti Fathimiyah dan sebagainya, sehingga dana dan tenaga umat Islam terkuras dan habis karenanya.
Disamping itu daerah Islam semakin luas, sejak dari Asia Tengah (Rusia Selatan sekarang) sampai kebagian tengah benua Afrika, sejak ujung Afrika Barat sampai Indonesia, Tiongkok Selatan, Semenanjung Balkan dan Asia Kecil. Karena itu amat sukar melakukan ijma' dalam keadaan dan luas daerah yang demikian.
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
Ijma' tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad SAW;
Ijma' mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman; dan Setelah masa enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman sampai saat ini tidak mungkin terjadi ijma' sesuai dengan rukun-rukun yang telah ditetapkan di atas, mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu serta luasnya daerah yang berpenduduk Islam.
Pada masa sekarang telah banyak berdiri negara-negara Islam yang berdaulat atau suatu negara yang bukan negara Islam tetapi penduduknya mayoritas beragama Islam atau minoritas penduduknya beragama Islam. Pada negara-negara tersebut sekalipun penduduknya minoritas beragama Islam, tetapi ada peraturan atau undang-undang yang khusus bagi umat Islam. Misalnya India, mayoritas penduduknya beragama Hindu, hanya sebagian kecil yang beragama Islam. Tetapi diberlakukan undang-undang perkawinan khusus bagi umat Islam. Undang-undang itu ditetapkan oleh pemerintah dan parlemen India setelah musyawarah dengan para mujtahid kaum muslimin yang ada di India. Jika persepakatan para mujtahid India itu dapat dikatakan sebagai ijma', maka ada kemungkinan terjadinya ijma' pada masa setelah Khalifah Utsman sampai sekarang sekalipun ijma' itu hanya dapat dikatakan sebagai ijma' lokal.
Jika demikian dapat ditetapkan definisi ijma', yaitu keputusan hukum yang diambil oleh wakil-wakil umat Islam atau para mujtahid yang mewakili segala lapisan masyarakat umat Islam. Karena dapat dikatakan sebagai ulil amri sebagaimana yang tersebut pada ayat 59 surat an-Nisâ' atau sebagai ahlul halli wal 'aqdi. Mereka diberi hak oleh agama Islam untuk membuat undang-undang atau peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan rakyat mereka.
Hal yang demikian dibolehkan dalam agam Islam. Jika agama Islam membolehkan seorang yang memenuhi syarat-syarat mujtahid untuk berijtihad, tentu saja beberapa orang mujtahid dalam suatu negara boleh pula bersama-sama memecahkan permasalahan kaum muslimin kemudian menetapkan suatu hukum atau peraturan. Pendapat sebagai hasil usaha yang dilakukan orang banyak tentu lebih tinggi nilainya dari pendapat yang dilakukan oleh orang seorang.
5. Macam-macam ijma'
Sekalipun sukar membuktikan apakah ijma' benar-benar terjadi, namun dalam kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh diterangkan macam-macam ijma'. Diterangkan bahwa ijma' itu dapat ditinjau dari beberapa segi dan tiap-tiap segi terdiri atas beberapa macam.
Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijma' terdiri atas:
ljma' bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan. Ijma' bayani disebut juga ijma' shahih, ijma' qauli atau ijma' haqiqi;
Ijma' sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijma' seperti ini disebut juga ijma' 'itibari.
Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma', dapat dibagi kepada:
ljma' qath'i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu adalah qath'i diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain;
ljma' zhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu dhanni, masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain.
Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula beberapa macam ijma' yang dihubungkan dengan masa terjadi, tempat terjadi atau orang yang melaksanakannya. Ijma'-ijma' itu ialah:
Ijma' sahabat, yaitu ijma' yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW;
Ijma' khulafaurrasyidin, yaitu ijma' yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa ke-empat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal dunia ijma' tersebut tidak dapat dilakukan lagi;
Ijma' shaikhan, yaitu ijma' yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab;
Ijma' ahli Madinah, yaitu ijma' yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijma' ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki, tetapi Madzhab Syafi'i tidak mengakuinya sebagai salah satu sumber hukum Islam;
Ijma' ulama Kufah, yaitu ijma' yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab Hanafi menjadikan ijma' ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam.
6. Obyek ijma'
Obyek ijma' ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalarn al-Qur'an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu'amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Qur'an dan al-Hadits.
7. Kehujjaan Ijma’ menurut Pandangan Ulama’.
Jumhur ulama berpendapat, bahwa ijma’ dapat dijadikan argumentasi (hujjah) berdasarkan dua dalil berikut:
Hadits-hadits yang menyatakan bahwa umat Muhammad tidak akan bersepakat terhadap kesesatan. Apa yang menurut pandangan kaum muslimin baik, maka munurut Allah juga baik. Oleh karena itu, amal perbuatan para sahabat yang telah disepakati dapat dijadikan argumentasi.
Ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kehujjahan ijma’, misalnya, apakah ijma’ itu hujjah syar’i? Apakah ijma’ itu merupakan landasan usul fiqih atau bukan? Bolehkah kita menafikan atau mengingkari ijma’?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, para ulama’ berbeda pendapat. Al-Qardawi berpendapat bahwa orang-orang hawn tidak menjadikan ijma’ itu sebagai hujjah, bahkan dalam sejarahnya dia mengatakan bahwa ijma’ itu bukan hujjah secara mutlak.
Menurut Al-Maidi, para ulama’ telah sepakat mengenai ijma’ sebagai hujjah ygn wajib diamalkan. Pendapat tersebut bertentangan dengan Syi’ah, Khawarij dan Nizam dari golongan Mu’tazilah.
Al-Hajib berkata bahwa ijma’ itu hujjah tanpa menanggapi pendapat Nizam, Khawarij dan Syiah. Adapun Ar-Rahawi berpendapat bahwa ijma’ itu pada dasarnya adalah hujjah. Sedangkan dalam kitab “Qawa’idul Usul dan Ma’qidul Usul” dikatakan bahwa ijma’ hujjah pada setiap masa. Namun pendapat itu ditentang oleh “Daud” yang mengatakan bahwa ijma’ itu hanya terjadi pada masa sahabat.
Kehujjahan ijma’ juga berkaitan erat dengan jenis ijma’ itu merupakan sendiri, yaitu sharih dan sukuti, agar lebih jelas maka pendapat mereka tentang ijam’ akan ditinjau berdasarkan pembagian ijma’ itu sendiri.
Kehujjahan ijma’ sharih
Jumhur telah sepakat bahwa ijma’ sharih itu merupakan hujjah secar qath’i, wajib mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma’ pada suatu permasalahan maka ita menjadi hukum qath’I yang tidak boleh ditentang, dan menjadi menjadi masalah yang tidak boleh diijtihadi lagi.
Dalil-dalil yang dikeluarkan oleh jumhur
Firman Allah SWT. dalam surat Annisa’ ayat 115.
Artinya :
Barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisa’: 115)
Kehujjahan dalil dari ayat di atas adalah ancaman Allah SWT terhadap mereka yang tidak mengikuti jalannya orang-orang mu’min. Disebutkan bahwa mereka akan dimasukkan ke neraka Jahanam dan akan mendapat tempat kembali yang buruk. Hal itu menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang tidak beriman itu adalah batil dan haram diikuti. Sebaliknya, jalan yang ditempuh oleh orang-orang mu’min adalah hak dan wajib diikuti.
Kehujjahan ijma’ sukuti
Ijma’ Sukuti telah dipertentangkan kehujjahannya di kalangan para ulama. Sebagian dari mereka tidak memandang ijma’ sukuti sebagai hujjah bahkan tidak mengatakan sebagai ijma’. Di antara mereka ialah pengikut Maliki dan Imam Syafi’I yang menyebutkan hal tersebut dalam berbagai pendapatnya.
Mereka berargumen bahwa diamnya sebagian mujtahid itu mungkin saja menyepakati sebagian atau bisa saja tidak sama sekali. Misalnya karena tidak melakukan ijtihad pada satu masalah atau takut mengemukakan pendapatnya sehingga kesepakatan mereka terhadap mujtahid lainnya tidak bisa ditetapkan apakah hal itu qath’I atau zanni. Jika demikian adanya, tidak bisa dihalalkan adanya kesepakatan dari seluruh mujtahid. Berarti tidak bisa dikatakan ijma’ ataupun dijadikan sebagai hujjah.
Sebagian besar golong Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa ijma’ sukuti merupakan hujjah qat’I seperti halnya ijma’ sharih. Alasan mereka adalah diamnya sebagian mujtahid utuk menyatakan sepakat ataupun tidaknya terhadap pendapat yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid lainnya, bila memenuhi persyaratan adanya ijma’ sukuti, bisa dikatakan sebagai dalil tentang kesepakatan mereka terhadap hukum. Dengan demikian, bisa juga dikatakan sebagai hujjah yang qat’I karena alasannya juga menunjukkan adanya ijma’ yang tidak bisa dibedakan dengan ijma’ sharih.
=====================
DAFTAR PUSTAKA
M. Ali Hasan. Perbandingan Mazhab. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2007.
Drs. Moh. Rifa’i. Usul Fiqih. Bandung: PT. Alma’arif 1973.
Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Usul Fiqih. Pustaka Amani, Jakarta 2003.
Prof. Dr. Rachmat Syafi’i. MA. Ilmu Usul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia 2007.
Prof. Muhamad Abu Zahrah. Usul Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus, Cetakan Pertama 1994., Cetakan Kesembilan 2005.
Drs. Moh. Rifa’i. Usul Fiqih. Bandung 1973. hal. 128
M. Ali Hasan “Perbandingan Mazhab”, Jakarata 2002. hal 24-25
Prof. Dr. Rachmat Syafi’I, MA. ”Ilmu Usul Fiqih” Bandung 2007-hal 70-71.
Prof. Dr Abdul Wahhab Khallaf, “Ilmu Usul Fikih” Jakarta 2003 M. Hal. 62
Prof. Dr. Rachmat Syafi’I, MA. “Ilmu Usul Fiqih” Bandung 2007. Hal. 73
Prof. Muhammad Abu Zahrah, “Usul Fiqih” Jakarta 2005. Hal. 314
Prof. Dr. Rachmat Syafi’I, MA. “Ilmu Usul Fiqih” Bandung 2007. Hal. 73
Prof. Dr. Rachmat Syafi’I, MA. “Ilmu Usul Fiqih” Bandung 2007. Hal. 80.
0 comments:
Post a Comment