Ajaran Tasawuf Akhlaqi

Bagian terpenting dari tujuan tasawuf adalah memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan, sehingga merasa dan sadar berada di “hadirat” Tuhan. Keberadaan di “hadirat” Tuhan itu dirasakan sebagai kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki. Bagi kaum sufi, pengalaman Nabi dalam Isra’ Mi’raj, misalnya, merupakan sebuah contoh puncak pengalaman rohani. Ia adalah pengalaman rohani tertinggi yang hanya dipunyai oleh seorang Nabi. Kaum sufi berusaha meniru dan mengulangi pengalaman rohani Nabi itu dalam dimensi, skala, dan format yang sepadan puncak kebahagiaan yang dilukiskan dalam sebuah hadits sebagai “sesuatu yang tak pernag terlihat oleh mata”.

Para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriah. Itulah sebabnya, pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat. Tujuannya adalah menguasai hawa nafsu; menekan hawa nafsu sampai ke titik terendah; dan – bila mungkin – mematikan hawa nafsu sama sekali. Untuk itu, dalam tasawuf akhlaqi, sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut.

1. Takhalli

Takhalli merupakan langkah pertama yang harus dijalani seorang sufi. Thakalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku atau akhlak tercela. Salah satu akhlak tercela yang paling banyak membawa pengaruh terhadap timbulnya akhlak jelek lainnya adalah ketergantungan pada kelezatan duniawi. Hal ini dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu.

2. Tahalli

Tahalli adalah upaya mengisi atau menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah jiwa dikosongkan dari akhlak-akhlak jelek. Pada tahap tahalli, kaum sufi berusaha agar setiap gerak perilaku selalu berjalan di atas ketentuan agama, baik kewajiban yang bersifat “luar” maupun yang bersifat “dalam”. Aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal, seperti shalat, puasa, dan haji, sedangkan aspek “dalam” seperti iman, ketaatan, dan kecintaan kepada Tuhan.

Sikap mental dan perbuatan baik yang sangat penting diisikan ke dalam jiwa manusia dan dibiasakan dalam perbuatan dalam rangka pembentukan manusia paripurna, antara lain sebagai berikut.

a. Tobat

Menurut Qamar Kailani dalam bukunya Fi At-Tashawwuf Al-Islam, tobat adalah “rasa penyesalan yang sungguh-sungguh dalam hati dengan disertai permohonan ampun serta meninggalkan segala perbuatan yang menimbulkan dosa”.

Sementara itu, Al-Ghazali mengklasifikasikan tobat kepada tiga tingkatan”
  1. Meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih kepada kebaikan karena takut kepada siksa Allah.
  2. Beralih dari satu situasi yang sudah baik menuju ke situaasi yang lebih baik lagi. Dalam tasawuf, keadaan ini sering disebut “inabah”.
  3. Rasa penyesalan yang dilakukan semata-mata karena ketaatan dan kecintaan kepada Allah, hal ini disebut “aubah”.

b. Cemas dan Harap (Khauf dan Raja’)

Sikap mental rasa cemas (khauf) dan harap (raja’), merupakan salah satu ajaran tasawuf yang selalu dikaitkan kepada Hasan Al-Bashri (wafat tahun 110 H). Karena, secara historis memang, dialah yang pertama kali memunculkan ajaran ini sebagai ciri kehidupan sufi. Menurut Al-Bashri, yang dimaksud dengan cemas atau takut adalah suatu perasaan yang timbul karena banyak berbuat salah dan sering lalai kepada Allah. Karena sering menyadari kekurangsempurnaannya dalam mengabdi kepada Allah, timbullah rasa takut, khawatir kalau-kalau Allah akan murka kepadanya.

Rasa takut itu akan mendorong seseorang untuk mempertinggi nilai dan kadar pengabdiannya dengan harap (raja’), ampunan dan anugerah Allah. Oleh karena itu, ajaran khauf dan raja’ merupakan sikap mental yang bersifat introspeksi, mawas diri, dan selalu memikirkan kehidupan yang akan datang, yaitu kehidupan abadi.

c. Zuhud

Sesuai dengan pandangan sufi, hawa nafsu duniawilah yang menjadi sumber kerusakan moral manusia. Sikap kecenderungan seseorang kepada hawa nafsu mengakibatkan kebrutalan dalam mengejar kepuasan nafsunya. Dorongan jiwa yang ingin menikmati kehidupan dunia akan menimbulkan kesenjangan antara manusid dengan Allah. Agar terbebas dari godaan dan pengaruh hawa nafsunya, manusia harus bersikap hati-hati terhadap dunia. Ia harus zuhud terhadap dunia, yaitu meninggalkan kehidupan duniawi dan melepaskan diri dari pengaruh materi.

d. Al-Faqr

Istilah al-faqr bermakna tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah dipunyai dan merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki, sehingga tidak meminta sesuatu yang lain. Sikap mental faqr merupakan benteng pertahanan yang kuat dalam menghadapi pengaruh kehidupan materi. Sebab, sikap mental ini akan menghindarkan seseorang dari keserakahan. Dengan demikian, pada prinsipnya, sikap mental faqr merupakan rentetan sikap zuhud. Hanya saja, zuhud lebih keras menghadapi kehidupan duniawi, sedangkan faqr sekadar pendisiplinan diri dalam mencari dan memanfaatkan fasilitas hidup.

e. Ash-Shabru

Salah satu sikap mental yang fundamental bagi seorang sufi adalah sabar. Sabar diartikan sebagai suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil, dan konsekuen dalam pendirian. Jiwanya tidak tergoyahkan; pendiriannya tidak berubah bagaimanapun berat tantangan yang dihadapi; pantang mundur dan tak kenal menyerah. Sikap sabar dilandasi oleh anggapan bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan kehendak (iradah) Tuhan.

f. Rida

Sikap mental rida merupakan kelanjutan rasa cinta ata perpaduan dari mahabbah dan sabar. Istilah rida mengandung pengertian menerima dengan lapang dada dan hati terbuka terhadap apa saja yang datang dari Allah, baik dalam menerima serta melaksanakan ketentuan-ketentuan agama maupun yang berkenaan dengan masalah nasib dirinya.

g. Muqarabah

Seorang calon sufi sejak awal sudah diajarkan bahwa dirinya tidak pernah lepas dari pengawasan Allah. Seluruh aktivitas hidupnya ditujukan untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Ia tahu dan sadar bahwa Allah “memandang” kepadanya. Kesadaran itu membawanya pada satu sikap mawas diri atau muqarabah. Kata ini mempunyai arti yang mirip dengan instropeksi atau self correction. Dengan kalimat yang lebih populer dapat dikatakan bahwa muqarabah adalah setiap saat siap dan siaga meneliti keadaan diri sendiri.

3. Tajalli

Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, rangkaian pendidikan akhlak disempurnakan pada fase tajalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan terbiasa melakukan perbuatan luhur – tidak berkurang, rasa Ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.

B. TASAWUF AKHLAQI DAN KARAKTERISTIKNYA

Tasawuf akhlaqi yang terus berkembang semenjak zaman klasik Islam hingga zaman modern sekarang sering digandrungi orang karena penampilan paham atau ajaran-ajarannya yang tidak terlalu rumit. Tasawuf jenis ini banyak berkembang di dunia Islam, terutama di negara-negara yang dominan bermazhab Syafi’i.

Adapun ciri-ciri tasawuf akhlaqi antara lain:
  1. Melandaskan diri pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
  2. Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada ungkapan-ungkapan syathahat.
  3. Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan manusia. Dualisme yang dimaksudkan di sini adalah ajaran yang mengakui bahwa meskipun manusid dapat berhubungan dengan Tuhan, hubungannya tetap dalam kerangka yang berbeda di antara keduanya, dalam hal esensinya. Sedekat apa pun manusia dengan Tuhannya tidak lantas membuat manusia dapatt menyatu dengan Tuhan.
  4. Kesinambungan antara hakikat dengan syari’at.
  5. Lebih terkonsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan akhlak, dan pengobatan jiwa dengan cara riyadhah (latihan mental) dan langkah takhalli, tahalli, dan tajalli.

C. TOKOH-TOKOH TASAWUF AKHLAQI

Berikut ini adalah contoh-contoh sufi beserta ajaran-ajarannya yang termasuk ke dalam aliran tasawuf akhlaqi.

1. Hasan Al-Bashri (21 – 110 H)

a. Biografi Singkat

Hasan Al-Bashri, yang nama lengkapnya Abu Sa’in Al-Hasan bin Yasar, adalah seorang zahid yang amat masyhur di kalangan tabiin. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H. (632 M.) dan wafat pada hari Kamis bulan Rajab tanggal 10 tahun 110 H (728 M). Ia dilahirkan dua malam sebelum Khalifah Umar bin Khathtab wafat. Ia dikabarkan bertemu dengan 70 orang sahabat yang turut menyaksikan peperangan Badr dan 300 sahabat lainnya.

b. Ajaran-ajaran Tasawuf

Hamka mengemukakan sebagian ajaran-ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri berikut ini:
  1. Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik daripada rasa tenteram yang menimbulkan perasaan takut.
  2. Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dunia dengan perasaan benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Namun, barang siapa bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya tertambat dengan duni, ia akan sengsara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat ditanggungnya.
  3. Tafakur membawa kita pada kebaikan dan berusaha mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat menyebabkan kita untuk tidak mengulanginya lagi. Sesuatu yang fana’ – betapapun banyaknya – tidak akan menyamai sesuatu yang baqa’ – betapa pun sedikitnya. Waspadalah terhadap negeri yang cepat datang dan pergi serta penuh tipuan.
  4. Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali ditinggalkan mati suaminya.
  5. Orang yang beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari karena berada di antara dua perasaan takut: Takut mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya yang akan mengancam.
  6. Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya, akan kiamat yang akan menagih janjinya.
  7. Banyak duka cita di dunia memperteguh semangat amal saleh.

2. Al-Muhasibi (165-243 H)

a. Biografi Singkat

Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdillah Al-Harits bin Asad Al-Bashri Al-Baghdadi Al-Muhasibi. Tokoh sufi ini lebih dikenal dengan sebutan Al-Muhasibi. Ia dilahirkan di Bashrah, Irak, tahun 165 H/781 M. dan meninggal di negara yang sama pada tahun 243 H/857 M. Ia adalah sufi dan ulama besar yang menguasai beberapa bidang ilmu seperti tasawuf, hadits, dan fiqh. Ia merupakan figur sufi yang dikenal senantiasa menjaga dan mawas diri terhadap perbuatan dosa. Ia juga sering kali mengintropeksi diri menurut amal yang dilakukannya. Ia merupakan guru bagi kebanyakan ulama Baghdad. Orang yang paling banyak menimba ilmu darinya dan dipandang sebagai muridnya paling dekat dengannya adalah Al-Junaid Al-Baghdadi (w. 298 H.) yang kemudian menjadi seorang sufi dan ulama besar Baghdad.

b. Ajaran-Ajaran Tasawuf

1. Makrifat

Al-Muhasibi menjelaskan tahapan-tahapan makrifat sebagai berikut:
  1. Taat.
  2. Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan tahap makrifat selanjutnya.
  3. Pada tahap ketiga ini, Allah menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan dan keghaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua tahap di atas. Ia akan menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini disimpan Allah
  4. Tahap keempat adalah apa yang dikatakan oleh sementara sufi dengan fana’ yang menyebabkan baqa’.

2. Khauf dan Raja’

Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan) menempati posisi peneting dalam perjalanan seseorang membersihkan jiwa. Ia terkesan mengaitkan kedua sifat itu dengan etika-etika keagamaan lainnya, yakni, ketika disifati dengan dua sifat di atas, seseorang secara bersamaan disifatipula dengan sifat-sifat lainnya. Pangkal wara’, menurutnya, adalah ketakwaan ; Pangkal ketakwaan adalah intropeksi diri (muhasabat an-nafs; Pangkal intropeksi diri adalah khauf dan raja’; Pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan tentang janji dan ancaman Allah; sedangkan pangkal pengetahuan tentang keduanya adalah perenungan.

ان المتقين في جنت وعيون

ءاخذين ما ءاتيهم ربهم انهم كانوا قبل ذلك محسنين

كانوا قليلا من اليل ما يهجعون

وبالاسحار هم يستغفرون

Artinya:

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam surga dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh tuhan mereka, sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam, mereka memohon ampun (kepada Allah).”
(Q.S. Adz-Dzariyyat: 15 – 18)

3. Al-Qusyairi (376-465 H)



a. Bigrafi Singkat

Al-Qusyairi adalah salah seorang tokoh sufi utama dari abad kelima Hijriyah. Kedudukannya demikian penting mengingat karya-karynya tentang para sufi dan tasawuf aliran sunni pada abad ketiga dan keempat Hijriyah, membuat terpeliharanya pendapat dan khazanah tasawuf pada masa itu, baik dari segi teoretis maupun praktis.

b. Ajaran-Ajaran Tasawuf
  1.  Mengembalikan Tasawuf ke Landasan Ahlusunnah
  2. Kesehatan Batin
  3. Penyimpangan Para sufi

4. Al-Ghazali (450 – 505 H)

a. Biografi Singkat

Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Secara singkat dipanggil Al-Ghazali atau Abu Hamid Al-Ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di kampung Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H./1058 M, tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad.

b. Ajaran Tasawuf Al-Ghazali

Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf Sunni yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlusunnah wal Jama’ah. Dari paham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang memengaruhi para filosof Islam, sekte Isma’iliyyah,m aliran Syi’ah, Ikhwan Ash-Shafa, dan lain-lainnya.

1) Makrifat

Menurut Al-Ghazali, sebagaimana dijelaskan oleh Harrun Nasution, makrifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Alat memperoleh makrifat bersandar pada sirr, qalb, dan ruh. Selanjutnya, Harun Nasution juga menjelaskan pendapat Al-Ghazali yanag dikutip dari Al-Qusyairi bahwa qalb dapat mengetahui hakikat segala yang ada. Jika dilimpahi cahaya Tuhan, qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan sirr, qalb dan ruh yang telah suci dan kosong, tidak berisi apa pun. Saat itulah ketiganya akan menerima illuminasi (kasyf) dari Allah. Pada waktu itu pulalah, Allah menurunkan cahaya-Nya kepada sang sufi sehingga yang dilihat sang sufi hanyalah allah. Di sini, sampailah ia ke tingkat makrifat.

2) As-Sa’dah

Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah). Di dalam kita kimiya’ As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabiat), sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya. Nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah. Nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara yang merdu. Demikian juga, seluruh anggota tubuh, masing-masing mempunyai kenikmatan tersendiri.

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger