Ummat muslim selalu mengklaim bahwa kitab yang mereka miliki merupakan kitab yang terjaga keasliannya dari sejak diturunkan hingga masa sekarang ini. Klaim ini kemudian dibarengi dengan anggapan bahwa otensitas kitab yang demikian tersebut tidak dimiliki oleh kitab suci lainnya seperti Injil.
Sayangnya, klaim-klaim yang demikian sering hanya dibuktikan dengan dalil-dalil dari Alquran maupun hadis yang tentu saja tidak diperceyai oleh ummat non-muslim. Untuk dapat membuktikan orisinalitas Alquran, kaum muslimin seharusnya tidak boleh hanya menggunakan bukti-bukti berupa ayat, namun fakta-fakta historis yang tidak bisa dipungkiri oleh ummat lain.
Makalah ini akan menguraikan tentang sejarah turun Alquran dan keotentikannya berdasarkan bukati-bukti historis yang diperkuat dengan dalil-dalil Alquran.
A. Keaslian Alquran dan Sejarah Turunnya
Keaslian yang tak dapat disangsikan lagi telah memberi kepada Alquran suatu kedudukan istimewa di antara kitab-kitab Suci, kedudukan itu khusus bagi Quran, dan tidak dibarengi oleh kitab-kitab lain.
Perbedaan-perbedaan yang memisahkan wahyu terakhir daripada kedua wahyu sebelumnya, pada pokoknya tidak terletak dalam "waktu turunnya" seperti yang sering ditekankan oleh beberapa pengarang yang tidak memperhatikan hal-hal yang terjadi sebelum kitab suci Yahudi Kristen dibukukan, dan hal-hal yang terjadi sebelum pembukuan Alquran, mereka juga tidak memperhatikan bagaimana Alquran itu diwahyukan kepada Nabi Muhammad.
Selain daripada itu kita harus membedakan antara Alquran, Wahyu tertulis, daripada Hadits jami' kumpulan riwayat, tentang perbuatan dan kata-kata Nabi Muhammad. Beberapa sahabat Nabi telah mulai mengumpulkannya segera setelah Nabi Muhammad wafat[1]. Dalam hal ini, dapat saja terjadi kesalahan-kesalahan yang bersifat kemanusiaan karena para penghimpun Hadits adalah manusia-manusia biasa; akan tetapi kumpulan-kumpulan mereka itu kemudian disoroti dengan tajam oleh kritik yang sangat serius, sehingga dalam prakteknya, orang lebih percaya kepada dokumen yang dikumpulkan orang, lama setelah Nabi Muhammad wafat.
Sebagaimana halnya dengan teks-teks Injil, Hadits mempunyai autentisitas yang berlainan, dari satu pengumpul kepada pengumpul yang lain. Sebagaimana hal Injil, tak ada sesuatu Injil yang ditulis pada waktu Yesus masih hidup (karena semuanya ditulis lama sesudah Nabi Isa meninggal) maka kumpulan Hadits juga dibukukan setelah (Nabi Muhammad meninggal).
Bagi Alquran, keadaannya berlainan. Teks Alquran atau Wahyu itu dihafalkan oleh Nabi dan para sahabatnya, langsung setelah wahyu diterima, dan ditulis oleh beberapa sahabat-sahabatnya yang ditentukannya. Jadi, dari permulaan, Alquran mempunyai dua unsur autentisitas tersebut, yang tidak dimiliki Injil. Hal ini berlangsung sampai wafatnya Nabi Muhammad. Penghafalan Alquran pada zaman manusia sedikit sekali yang dapat menulis, memberikan kelebihan jaminan yang sangat besar pada waktu pembukuan Alquran secara definitif, dan disertai beberapa regu untuk mengawasi pembukuan tersebut.
Wahyu Alquran telah disampaikan kepada Nabi Muhammad oleh malaikat Jibril, sedikit demi sedikit selama lebih dari 20 tahun. Wahyu yang pertama adalah yang sekarang merupakan ayat-ayat pertama daripada surat nomor 96. Kemudian Wahyu itu berhenti selama 3 tahun, dan mulai lagi berdatangan selama 20 tahun sampai wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 632 M.; dapat dikatakan bahwa turunnya Wahyu berlangsung 10 tahun sebelum Hijrah (622) dan 10 tahun lagi sesudah Hijrah.
Professor Hamidullah mengatakan dalam Pengantar yang dimuat dalam erjemahan Alquran bahwa isi dari wahyu pertama adalah "penghargaan terhadap kalam sebagai alat untuk pengetahuan manusia" dan dengan begitu maka menjadi jelas bagi kita "perhatian Nabi Muhammad untuk menjaga kelangsungan Alquran dengan tulisan.[2]"
Beberapa teks menunjukkan secara formal bahwa lama sebelum Nabi Muhammad meninggalkan Mekah untuk hijrah ke Madinah, ayat-ayat Quran yang telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad sudah dituliskan. Kita nanti akan mengetahui bahwa Alquran membuktikan hal tersebut.
Kita mengetahui bahwa Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya biasa menghafal teks-teks yang telah diwahyukan. Adalah tidak masuk akal jika Alquran menyebutkan hal-hal yang tidak sesuai dengan realitas, karena hal-hal itu mudah dikontrol disekeliling Muhammad yakni oleh sahabat-sahabat yang mencatat Wahyu tersebut.
Alquran sendiri memberitahukan bahwa penulisan Quran telah dilakukan semenjak Nabi Muhammad masih hidup. Kita mengetahui bahwa Nabi Muhammad mempunyai juru tulis-juru tulis banyak, di antaranya yang termashur adalah Zaid bin Tsabit.
Dalam pengantar dalam Terjemahan Alqurannya (197) Prof. Hamidullah melukiskan kondisi waktu teks Alquran ditulis sampai Nabi Muhammad wafat. Sumber-sumber sepakat untuk mengatakan bahwa tiap kali suatu fragmen daripada Alquran diwahyukan, Nabi memanggil seorang daripada para sahabat-sahabatnya yang terpelajar dan mendiktekan kepadanya, serta menunjukkan secara pasti tempat fragmen baru tersebut dalam keseluruhan Alquran. Riwayat-riwayat menjelaskan bahwa setelah mendiktekan ayat tersebut, Muhammad minta kepada juru tulisnya untuk membaca apa yang sudah ditulisnya, yaitu untuk mengadakan pembetulan jika terjadi kesalahan. Suatu riwayat yang masyhur mengatakan bahwa tiap tahun pada bulan Ramadlan, Nabi Muhammad membaca ayat-ayat Alquran yang sudah diterimanya di hadapan Jibril. Pada bulan Ramadlan yang terakhir sebelum Nabi Muhammad meninggal, malaikat Jibril mendengarkannya membaca (mengulangi hafalan) Alquran dua kali. Kita mengetahui bahwa semenjak zaman Nabi Muhammad, kaum muslimin membiasakan diri untuk berjaga pada bulan Ramadlan dan melakukan ibadat-ibadat tambahan dengan membaca seluruh Alquran. Beberapa sumber menambahkan bahwa pada pembacaan Alquran yang terakhir di hadapan Jibril, juru tulis Nabi Muhammad yang bernama Zaid hadir. Sumber-sumber lain mengatakan bahwa di samping Zaid juga ada beberapa orang lain yang hadir.
Untuk pencatatan pertama, orang memakai bermacam-macarn bahan seperti kulit, kayu, tulang unta, batu empuk untuk ditatah dan lain-lainnya. Tetapi pada waktu yang sama Muhammad menganjurkan supaya kaum muslimin enghafalkan Alquran, yaitu bagian-bagian yang dibaca dalam sembahyang. Dengan begitu maka muncullah sekelompok orang yang dinamakan hafidzun (penghafal Alquran) yang hafal seluruh Alquran dan mengajarkannya kepada orang-orang lain.
Metoda ganda untuk memelihara teks Alquran yakni dengan mencatat dan menghafal ternyata sangat berharga. Tidak lama setelah Nabi Muhammad wafat (tahun 632 M.), penggantinya (sebagai Kepala Negara), yaitu Abu Bakar, Khalifah yang pertama, minta kepada juru tulis Nabi, Zaid bin Tsabit untuk menulis sebuah Naskah; hal ini ia laksanakan. Atas initiatif Umar (yang kemudian menjadi Khalifah kedua), Zaid memeriksa dokumentasi yang ia dapat mengumpulkannya di Madinah; kesaksian daripada penghafal Alquran, copy Alquran yang dibikin atas bermacam-macam bahan dan yang dimiliki oleh pribadi-pribadi, semua itu untuk menghindari kesalahan transkripsi (penyalinan tulisan) sedapat mungkin. Dengan cara ini, berhasillah tertulis suatu naskah Alquran yang sangat dapat dipercayai.[3]
Sumber-sumber mengatakan bahwa kemudian Umar bin Khathab yang menggantikan Abu Bakar pada tahun 634 M, menyuruh bikin satu naskah (mushaf) yang ia simpan, dan ia pesankan bahwa setelah ia mati, naskah tersebut diberikan kepada anaknya perempuan, Hafsah janda Nabi Muhammad.
Khalifah ketiga, Utsman bin Affan yang menjabat dari tahun 644 sampai 655, membentuk suatu panitya yang terdiri daripada para ahli dan memerintahkan untuk melakukan pembukuan besar yang kemudian membawa nama Khalifah tersebut. Panitya tersebut memeriksa dokumen yang dibuat oleh Abubakar dan yang dibuat oleh Umar dan kemudian disimpan oleh Hafsah, panitya berkonsultasi dengan orang-orang yang hafal Alquran. Kritik tentang autentisitas teks dilakukan secara ketat sekali. Persetujuan saksi-saksi diperlukan untuk menetapkan suatu ayat kecil yang mungkin mempunyai arti lebih dari satu; kita mengetahui bahwa beberapa ayat Alquran dapat menerangkan ayat-ayat yang lain dalam soal ibadat. Hal ini adalah wajar jika kita mengingat bahwa kerasulan Muhammad adalah sepanjang dua puluh tahun.
Dengan cara tersebut di atas, diperolehlah suatu teks di mana urutan Surat-surat mencerminkan urutan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ketika membaca Qur-a:n di bulan Ramadlan di muka malaikat Jibril seperti yang telah diterangkan di atas.
Kita dapat bertanya-tanya tentang motif yang mendorong 3 Khalifah pertama, khususnya Uthman untuk mengadakan koleksi dan pembukuan teks. Motif tersebut adalah sederhana; tersiarnya Islam adalah sangat cepat pada beberapa dasawarsa yang pertama setelah wafatnya Nabi Muhammad. Tersiarnya Islam tersebut terjadi di daerah-daerah yang penduduknya tidak berbahasa Arab. Oleh karena itu perlu adanya tindakan-tindakan pengamanan untuk memelihara tersiarnya teks Alquran dalam kemurnian aslinya. Pembukuan Utsman adalah untuk memenuhi hasrat ini.
Utsman mengirimkan naskah-naskah teks pembukuannya ke pusat-pusat Emperium Islam[4], dan oleh karena itu maka menurut Professor Hamidullah , pada waktu ini terdapat naskah Alquran (mushaf) Uthman di Tasykent dan Istambul. Jika kita sadar akan kesalahan penyalinan tulisan yang mungkin terjadi, manuskrip yang paling kuno yang kita miliki dan yang ditemukan di negara-negara Islam adalah identik. Begitu juga naskah-naskah yang ada di Eropa. (Di Bibliotheque National di Paris terdapat fragmen-fragmen yang menurut para ahli, berasal dan abad VIII dan IX Masehi, artinya berasal dari abad II dan III Hijrah). Teks-teks kuno yang sudah ditemukan semuanya sama, dengan catatan ada perbedaan-perbedaan yang sangat kecil yang tidak merubah arti teks, jika konteks ayat-ayat memungkinkan cara membaca yang lebih dari satu karena tulisan kuno lebih sederhana daripada tulisan sekarang.
Surat-surat Alquran yang berjumlah 114, diklasifikasi menurut panjang pendeknya, dengan beberapa kekecualian. Oleh karena itu urutan waktu (kronologi) wahyu tidak dipersoalkan; tetapi orang dapat mengerti hal tersebut dalam kebanyakan persoalan. Banyak riwayat-riwayat yang disebutkan dalam beberapa tempat dalam teks, dan hal ini memberi kesan seakan-akan ada ulangan. Sering sekali suatu paragraf menambahkan perincian kepada suatu riwayat yang dimuat di lain tempat secara kurang terperinci. Dan semua yang mungkin ada hubungannya dengan Sains modern, seperti kebanyakan hal-hal yang dibicarakan oleh Alquran, dibagi-bagi dalam Alquran dengan tidak ada suatu tanda adanya klasifikasi[5].
B. Pengumpulan Alquran Pada Zaman Rasul
Pengumpulan Al Quran pada zaman Rasulullah SAW ditempuh dengan dua cara:
Pertama : al Jam’u fis Sudur
Para sahabat langsung menghafalnya diluar kepala setiap kali Rasulullah SAW menerima wahyu. Hal ini bisa dilakukan oleh mereka dengan mudah terkait dengan kultur (budaya) orang arab yang menjaga Turast (peninggalan nenek moyang mereka diantaranya berupa syair atau cerita) dengan media hafalan dan mereka sangat masyhur dengan kekuatan daya hafalannya.
Kedua : al Jam’u fis Suthur
Yaitu wahyu turun kepada Rasulullah SAW ketika beliau berumur 40 tahun yaitu 12 tahun sebelum hijrah ke madinah. Kemudian wahyu terus menerus turun selama kurun waktu 23 tahun berikutnya dimana Rasulullah. SAW setiap kali turun wahyu kepadanya selalu membacakannya kepada para sahabat secara langsung dan menyuruh mereka untuk menuliskannya sembari melarang para sahabat untuk menulis hadis-hadis beliau karena khawatir akan bercampur dengan Al Quran. Rasul SAW bersabda “Janganlah kalian menulis sesuatu dariku kecuali Al Quran, barangsiapa yang menulis sesuatu dariku selain Al Quran maka hendaklah ia menghapusnya ”[6]
Biasanya sahabat menuliskan Al Quran pada media yang terdapat pada waktu itu berupa ar-Riqa’ (kulit binatang), al-Likhaf (lempengan batu), al-Aktaf (tulang binatang), al-`Usbu ( pelepah kurma). Sedangkan jumlah sahabat yang menulis Al Quran waktu itu mencapai 40 orang. Adapun hadis yang menguatkan bahwa penulisan Al Quran telah terjadi pada masa Rasulullah s.a.w. adalah hadis yang di Takhrij (dikeluarkan) oleh al-Hakim dengan sanadnya yang bersambung pada Anas r.a., ia berkata: “Suatu saat kita bersama Rasulullah s.a.w. dan kita menulis Al Quran (mengumpulkan) pada kulit binatang.
Dari kebiasaan menulis Al Quran ini menyebabkan banyaknya naskah-naskah (manuskrip) yang dimiliki oleh masing-masing penulis wahyu, diantaranya yang terkenal adalah: Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Salin bin Ma’qal.
Adapun hal-hal yang lain yang bisa menguatkan bahwa telah terjadi penulisan Al Quran pada waktu itu adalah Rasulullah SAW melarang membawa tulisan Al Quran ke wilayah musuh. Rasulullah s.a.w. bersabda: “Janganlah kalian membawa catatan Al Quran ke wilayah musuh, karena aku merasa tidak aman (khawatir) apabila catatan Al Quran tersebut jatuh ke tangan mereka”.
Kisah masuk islamnya sahabat `Umar bin Khattab r.a. yang disebutkan dalam buku-bukus sejarah bahwa waktu itu `Umar mendengar saudara perempuannya yang bernama Fatimah sedang membaca awal surah Thaha dari sebuah catatan (manuskrip) Al Quran kemudian `Umar mendengar, meraihnya kemudian memba-canya, inilah yang menjadi sebab ia mendapat hidayah dari Allah sehingga ia masuk islam.
Sepanjang hidup Rasulullah s.a.w Al Quran selalu ditulis bilamana beliau mendapat wahyu karena Al Quran diturunkan tidak secara sekaligus tetapi secara bertahap.
C. Makna Nuzul
Isitilah “penurunan ayat-ayat Alquran” lazimnya dikenal dengan istilah nuzul al-qur’an atau tanzil al-qur’an. Hal yang tidak lazim untuk mengungkapkan maksud tersebut adalah inzal al-Qur’an.
Baik kata nuzul, tanzil dan inzal pada dasarnya berasal dari kata nazal-yanzilu yang berarti turun. Kata tersebut merupakan kata kerja intransitif. Kata tanzil merupakan bentuk mashdar dari nazzala yang merupakan bentuk pen-transitifan untuk kata nazala yang kemudian berarti menurunkan. Secara sekilas, arti yang sama terdapat pada kata inzal yang berasal dari kata anzala yang juga bentuk pentransitifan untuk kata nazala.[7]
Dalam bahasa Indonesia, kata nuzul dapat diartikan sebagai “turun (kata benda)”, tanzil berarti penurunan begitu juga dengan inzal yang berarti penurunan.[8]
Analisa yang lebih mendalam akan mendapatkan bahwa terdapat perbedaan arti ketiga kata tersebut. Antara kata nuzul dengan tanzil perbedaannya memang tidak terlalu samar, namun antara kata inzal dengan tanzil, sekilas terlihat artinya sama.
Perbedaannya terlihat bila kita menganalisa ayat-ayat yang menggunakan asal kata nazzala dengan anzala. Berikut hasil pencarian kami:
Selain ayat-ayat tersebut, masih terdapat ayat-ayat lain. Sedangkan untuk kata kata dasar anzala terdapat ayat:
Bila dibandingkan, maka akan didapatkan hasil berikut:
Selain itu, kata nazzala juga berarti menurunkan secara bertahap, tidak menurunkan objek sekaligus langsung. Sementara kata anzala lebih umum pada pengertian menurunkan objek sekaligus.
D. Penutup
Keaslian Alquran dapat dibuktikan dengan fakta-fakta sejarah. Orisinalitas dan keaslian teks-teks Alquran tetap terjaga karena selain di hapal oleh banyak penghapal, Alquran juga langsung ditulis setelah diturunkan. Prosedur penulisan Alquran juga tidak sederhana, penulisan Alquran menyertakan saksi-saksi.
Kronologi dan sejarah penulisan Alquran dari masa Rasulullah saw. Hingga sekarang membuktikan bahwa Alquran memang tetap terjaga keotentikannya.
==============
Catatan Kaki:
[1] Maurice Bucaille, Bibel, Alquran, dan Sains Modern, ter. Rasyidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 56.
[2] Ibid.
[3] Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus,1990), h. 385
[4] K.Ali.A Study Of Islamic History (India: Idarah Adabiyah Delli, 1980), hal. 117.
[5] Ibid.
[6] Muslim, ¢a¥³¥ Muslim (Mesir: Maktabah, Misriyah, 1924) juz V, Bab Zuhud hal 402.
[7] Penulis, Amtsilah Tashrifiyah (Ponorogo: Darussalam Press, tth), h. 4.
[8] Ahmad Warson Munawwir, Al-munawwir (Yogyakarta : Pustaka Progressif, 1984) hal. 911. dan Louis Ma’luf, Al-Munjid Fi Al-Lughah Wa Al-A’lam (Beirut : Daar Masyriq, 1982). Hal. 493.
==============
Daftar Pustaka
Ali, K., A Study Of Islamic History. India: Idarah Adabiyah Delli, 1980.
Bucaille, Maurice Bibel, Alquran, dan Sains Modern, ter. Rasyidi. Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Ma’luf, Louis, Al-Munjid Fi Al-Lughah Wa Al-A’lam. Beirut : Daar Masyriq, 1982.
Muslim, ¢a¥³¥ Muslim. Juz V. Mesir: Maktabah, Misriyah, 1924.
Munawwir, Ahmad Warson Al-munawwir. Yogyakarta : Pustaka Progressif, 1984.
Penulis, Amtsilah Tashrifiyah. Ponorogo: Darussalam Press, tth.
Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus,1990.
Sayangnya, klaim-klaim yang demikian sering hanya dibuktikan dengan dalil-dalil dari Alquran maupun hadis yang tentu saja tidak diperceyai oleh ummat non-muslim. Untuk dapat membuktikan orisinalitas Alquran, kaum muslimin seharusnya tidak boleh hanya menggunakan bukti-bukti berupa ayat, namun fakta-fakta historis yang tidak bisa dipungkiri oleh ummat lain.
Makalah ini akan menguraikan tentang sejarah turun Alquran dan keotentikannya berdasarkan bukati-bukti historis yang diperkuat dengan dalil-dalil Alquran.
A. Keaslian Alquran dan Sejarah Turunnya
Keaslian yang tak dapat disangsikan lagi telah memberi kepada Alquran suatu kedudukan istimewa di antara kitab-kitab Suci, kedudukan itu khusus bagi Quran, dan tidak dibarengi oleh kitab-kitab lain.
Perbedaan-perbedaan yang memisahkan wahyu terakhir daripada kedua wahyu sebelumnya, pada pokoknya tidak terletak dalam "waktu turunnya" seperti yang sering ditekankan oleh beberapa pengarang yang tidak memperhatikan hal-hal yang terjadi sebelum kitab suci Yahudi Kristen dibukukan, dan hal-hal yang terjadi sebelum pembukuan Alquran, mereka juga tidak memperhatikan bagaimana Alquran itu diwahyukan kepada Nabi Muhammad.
Selain daripada itu kita harus membedakan antara Alquran, Wahyu tertulis, daripada Hadits jami' kumpulan riwayat, tentang perbuatan dan kata-kata Nabi Muhammad. Beberapa sahabat Nabi telah mulai mengumpulkannya segera setelah Nabi Muhammad wafat[1]. Dalam hal ini, dapat saja terjadi kesalahan-kesalahan yang bersifat kemanusiaan karena para penghimpun Hadits adalah manusia-manusia biasa; akan tetapi kumpulan-kumpulan mereka itu kemudian disoroti dengan tajam oleh kritik yang sangat serius, sehingga dalam prakteknya, orang lebih percaya kepada dokumen yang dikumpulkan orang, lama setelah Nabi Muhammad wafat.
Sebagaimana halnya dengan teks-teks Injil, Hadits mempunyai autentisitas yang berlainan, dari satu pengumpul kepada pengumpul yang lain. Sebagaimana hal Injil, tak ada sesuatu Injil yang ditulis pada waktu Yesus masih hidup (karena semuanya ditulis lama sesudah Nabi Isa meninggal) maka kumpulan Hadits juga dibukukan setelah (Nabi Muhammad meninggal).
Bagi Alquran, keadaannya berlainan. Teks Alquran atau Wahyu itu dihafalkan oleh Nabi dan para sahabatnya, langsung setelah wahyu diterima, dan ditulis oleh beberapa sahabat-sahabatnya yang ditentukannya. Jadi, dari permulaan, Alquran mempunyai dua unsur autentisitas tersebut, yang tidak dimiliki Injil. Hal ini berlangsung sampai wafatnya Nabi Muhammad. Penghafalan Alquran pada zaman manusia sedikit sekali yang dapat menulis, memberikan kelebihan jaminan yang sangat besar pada waktu pembukuan Alquran secara definitif, dan disertai beberapa regu untuk mengawasi pembukuan tersebut.
Wahyu Alquran telah disampaikan kepada Nabi Muhammad oleh malaikat Jibril, sedikit demi sedikit selama lebih dari 20 tahun. Wahyu yang pertama adalah yang sekarang merupakan ayat-ayat pertama daripada surat nomor 96. Kemudian Wahyu itu berhenti selama 3 tahun, dan mulai lagi berdatangan selama 20 tahun sampai wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 632 M.; dapat dikatakan bahwa turunnya Wahyu berlangsung 10 tahun sebelum Hijrah (622) dan 10 tahun lagi sesudah Hijrah.
Professor Hamidullah mengatakan dalam Pengantar yang dimuat dalam erjemahan Alquran bahwa isi dari wahyu pertama adalah "penghargaan terhadap kalam sebagai alat untuk pengetahuan manusia" dan dengan begitu maka menjadi jelas bagi kita "perhatian Nabi Muhammad untuk menjaga kelangsungan Alquran dengan tulisan.[2]"
Beberapa teks menunjukkan secara formal bahwa lama sebelum Nabi Muhammad meninggalkan Mekah untuk hijrah ke Madinah, ayat-ayat Quran yang telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad sudah dituliskan. Kita nanti akan mengetahui bahwa Alquran membuktikan hal tersebut.
Kita mengetahui bahwa Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya biasa menghafal teks-teks yang telah diwahyukan. Adalah tidak masuk akal jika Alquran menyebutkan hal-hal yang tidak sesuai dengan realitas, karena hal-hal itu mudah dikontrol disekeliling Muhammad yakni oleh sahabat-sahabat yang mencatat Wahyu tersebut.
Alquran sendiri memberitahukan bahwa penulisan Quran telah dilakukan semenjak Nabi Muhammad masih hidup. Kita mengetahui bahwa Nabi Muhammad mempunyai juru tulis-juru tulis banyak, di antaranya yang termashur adalah Zaid bin Tsabit.
Dalam pengantar dalam Terjemahan Alqurannya (197) Prof. Hamidullah melukiskan kondisi waktu teks Alquran ditulis sampai Nabi Muhammad wafat. Sumber-sumber sepakat untuk mengatakan bahwa tiap kali suatu fragmen daripada Alquran diwahyukan, Nabi memanggil seorang daripada para sahabat-sahabatnya yang terpelajar dan mendiktekan kepadanya, serta menunjukkan secara pasti tempat fragmen baru tersebut dalam keseluruhan Alquran. Riwayat-riwayat menjelaskan bahwa setelah mendiktekan ayat tersebut, Muhammad minta kepada juru tulisnya untuk membaca apa yang sudah ditulisnya, yaitu untuk mengadakan pembetulan jika terjadi kesalahan. Suatu riwayat yang masyhur mengatakan bahwa tiap tahun pada bulan Ramadlan, Nabi Muhammad membaca ayat-ayat Alquran yang sudah diterimanya di hadapan Jibril. Pada bulan Ramadlan yang terakhir sebelum Nabi Muhammad meninggal, malaikat Jibril mendengarkannya membaca (mengulangi hafalan) Alquran dua kali. Kita mengetahui bahwa semenjak zaman Nabi Muhammad, kaum muslimin membiasakan diri untuk berjaga pada bulan Ramadlan dan melakukan ibadat-ibadat tambahan dengan membaca seluruh Alquran. Beberapa sumber menambahkan bahwa pada pembacaan Alquran yang terakhir di hadapan Jibril, juru tulis Nabi Muhammad yang bernama Zaid hadir. Sumber-sumber lain mengatakan bahwa di samping Zaid juga ada beberapa orang lain yang hadir.
Untuk pencatatan pertama, orang memakai bermacam-macarn bahan seperti kulit, kayu, tulang unta, batu empuk untuk ditatah dan lain-lainnya. Tetapi pada waktu yang sama Muhammad menganjurkan supaya kaum muslimin enghafalkan Alquran, yaitu bagian-bagian yang dibaca dalam sembahyang. Dengan begitu maka muncullah sekelompok orang yang dinamakan hafidzun (penghafal Alquran) yang hafal seluruh Alquran dan mengajarkannya kepada orang-orang lain.
Metoda ganda untuk memelihara teks Alquran yakni dengan mencatat dan menghafal ternyata sangat berharga. Tidak lama setelah Nabi Muhammad wafat (tahun 632 M.), penggantinya (sebagai Kepala Negara), yaitu Abu Bakar, Khalifah yang pertama, minta kepada juru tulis Nabi, Zaid bin Tsabit untuk menulis sebuah Naskah; hal ini ia laksanakan. Atas initiatif Umar (yang kemudian menjadi Khalifah kedua), Zaid memeriksa dokumentasi yang ia dapat mengumpulkannya di Madinah; kesaksian daripada penghafal Alquran, copy Alquran yang dibikin atas bermacam-macam bahan dan yang dimiliki oleh pribadi-pribadi, semua itu untuk menghindari kesalahan transkripsi (penyalinan tulisan) sedapat mungkin. Dengan cara ini, berhasillah tertulis suatu naskah Alquran yang sangat dapat dipercayai.[3]
Sumber-sumber mengatakan bahwa kemudian Umar bin Khathab yang menggantikan Abu Bakar pada tahun 634 M, menyuruh bikin satu naskah (mushaf) yang ia simpan, dan ia pesankan bahwa setelah ia mati, naskah tersebut diberikan kepada anaknya perempuan, Hafsah janda Nabi Muhammad.
Khalifah ketiga, Utsman bin Affan yang menjabat dari tahun 644 sampai 655, membentuk suatu panitya yang terdiri daripada para ahli dan memerintahkan untuk melakukan pembukuan besar yang kemudian membawa nama Khalifah tersebut. Panitya tersebut memeriksa dokumen yang dibuat oleh Abubakar dan yang dibuat oleh Umar dan kemudian disimpan oleh Hafsah, panitya berkonsultasi dengan orang-orang yang hafal Alquran. Kritik tentang autentisitas teks dilakukan secara ketat sekali. Persetujuan saksi-saksi diperlukan untuk menetapkan suatu ayat kecil yang mungkin mempunyai arti lebih dari satu; kita mengetahui bahwa beberapa ayat Alquran dapat menerangkan ayat-ayat yang lain dalam soal ibadat. Hal ini adalah wajar jika kita mengingat bahwa kerasulan Muhammad adalah sepanjang dua puluh tahun.
Dengan cara tersebut di atas, diperolehlah suatu teks di mana urutan Surat-surat mencerminkan urutan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ketika membaca Qur-a:n di bulan Ramadlan di muka malaikat Jibril seperti yang telah diterangkan di atas.
Kita dapat bertanya-tanya tentang motif yang mendorong 3 Khalifah pertama, khususnya Uthman untuk mengadakan koleksi dan pembukuan teks. Motif tersebut adalah sederhana; tersiarnya Islam adalah sangat cepat pada beberapa dasawarsa yang pertama setelah wafatnya Nabi Muhammad. Tersiarnya Islam tersebut terjadi di daerah-daerah yang penduduknya tidak berbahasa Arab. Oleh karena itu perlu adanya tindakan-tindakan pengamanan untuk memelihara tersiarnya teks Alquran dalam kemurnian aslinya. Pembukuan Utsman adalah untuk memenuhi hasrat ini.
Utsman mengirimkan naskah-naskah teks pembukuannya ke pusat-pusat Emperium Islam[4], dan oleh karena itu maka menurut Professor Hamidullah , pada waktu ini terdapat naskah Alquran (mushaf) Uthman di Tasykent dan Istambul. Jika kita sadar akan kesalahan penyalinan tulisan yang mungkin terjadi, manuskrip yang paling kuno yang kita miliki dan yang ditemukan di negara-negara Islam adalah identik. Begitu juga naskah-naskah yang ada di Eropa. (Di Bibliotheque National di Paris terdapat fragmen-fragmen yang menurut para ahli, berasal dan abad VIII dan IX Masehi, artinya berasal dari abad II dan III Hijrah). Teks-teks kuno yang sudah ditemukan semuanya sama, dengan catatan ada perbedaan-perbedaan yang sangat kecil yang tidak merubah arti teks, jika konteks ayat-ayat memungkinkan cara membaca yang lebih dari satu karena tulisan kuno lebih sederhana daripada tulisan sekarang.
Surat-surat Alquran yang berjumlah 114, diklasifikasi menurut panjang pendeknya, dengan beberapa kekecualian. Oleh karena itu urutan waktu (kronologi) wahyu tidak dipersoalkan; tetapi orang dapat mengerti hal tersebut dalam kebanyakan persoalan. Banyak riwayat-riwayat yang disebutkan dalam beberapa tempat dalam teks, dan hal ini memberi kesan seakan-akan ada ulangan. Sering sekali suatu paragraf menambahkan perincian kepada suatu riwayat yang dimuat di lain tempat secara kurang terperinci. Dan semua yang mungkin ada hubungannya dengan Sains modern, seperti kebanyakan hal-hal yang dibicarakan oleh Alquran, dibagi-bagi dalam Alquran dengan tidak ada suatu tanda adanya klasifikasi[5].
B. Pengumpulan Alquran Pada Zaman Rasul
Pengumpulan Al Quran pada zaman Rasulullah SAW ditempuh dengan dua cara:
Pertama : al Jam’u fis Sudur
Para sahabat langsung menghafalnya diluar kepala setiap kali Rasulullah SAW menerima wahyu. Hal ini bisa dilakukan oleh mereka dengan mudah terkait dengan kultur (budaya) orang arab yang menjaga Turast (peninggalan nenek moyang mereka diantaranya berupa syair atau cerita) dengan media hafalan dan mereka sangat masyhur dengan kekuatan daya hafalannya.
Kedua : al Jam’u fis Suthur
Yaitu wahyu turun kepada Rasulullah SAW ketika beliau berumur 40 tahun yaitu 12 tahun sebelum hijrah ke madinah. Kemudian wahyu terus menerus turun selama kurun waktu 23 tahun berikutnya dimana Rasulullah. SAW setiap kali turun wahyu kepadanya selalu membacakannya kepada para sahabat secara langsung dan menyuruh mereka untuk menuliskannya sembari melarang para sahabat untuk menulis hadis-hadis beliau karena khawatir akan bercampur dengan Al Quran. Rasul SAW bersabda “Janganlah kalian menulis sesuatu dariku kecuali Al Quran, barangsiapa yang menulis sesuatu dariku selain Al Quran maka hendaklah ia menghapusnya ”[6]
Biasanya sahabat menuliskan Al Quran pada media yang terdapat pada waktu itu berupa ar-Riqa’ (kulit binatang), al-Likhaf (lempengan batu), al-Aktaf (tulang binatang), al-`Usbu ( pelepah kurma). Sedangkan jumlah sahabat yang menulis Al Quran waktu itu mencapai 40 orang. Adapun hadis yang menguatkan bahwa penulisan Al Quran telah terjadi pada masa Rasulullah s.a.w. adalah hadis yang di Takhrij (dikeluarkan) oleh al-Hakim dengan sanadnya yang bersambung pada Anas r.a., ia berkata: “Suatu saat kita bersama Rasulullah s.a.w. dan kita menulis Al Quran (mengumpulkan) pada kulit binatang.
Dari kebiasaan menulis Al Quran ini menyebabkan banyaknya naskah-naskah (manuskrip) yang dimiliki oleh masing-masing penulis wahyu, diantaranya yang terkenal adalah: Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Salin bin Ma’qal.
Adapun hal-hal yang lain yang bisa menguatkan bahwa telah terjadi penulisan Al Quran pada waktu itu adalah Rasulullah SAW melarang membawa tulisan Al Quran ke wilayah musuh. Rasulullah s.a.w. bersabda: “Janganlah kalian membawa catatan Al Quran ke wilayah musuh, karena aku merasa tidak aman (khawatir) apabila catatan Al Quran tersebut jatuh ke tangan mereka”.
Kisah masuk islamnya sahabat `Umar bin Khattab r.a. yang disebutkan dalam buku-bukus sejarah bahwa waktu itu `Umar mendengar saudara perempuannya yang bernama Fatimah sedang membaca awal surah Thaha dari sebuah catatan (manuskrip) Al Quran kemudian `Umar mendengar, meraihnya kemudian memba-canya, inilah yang menjadi sebab ia mendapat hidayah dari Allah sehingga ia masuk islam.
Sepanjang hidup Rasulullah s.a.w Al Quran selalu ditulis bilamana beliau mendapat wahyu karena Al Quran diturunkan tidak secara sekaligus tetapi secara bertahap.
C. Makna Nuzul
Isitilah “penurunan ayat-ayat Alquran” lazimnya dikenal dengan istilah nuzul al-qur’an atau tanzil al-qur’an. Hal yang tidak lazim untuk mengungkapkan maksud tersebut adalah inzal al-Qur’an.
Baik kata nuzul, tanzil dan inzal pada dasarnya berasal dari kata nazal-yanzilu yang berarti turun. Kata tersebut merupakan kata kerja intransitif. Kata tanzil merupakan bentuk mashdar dari nazzala yang merupakan bentuk pen-transitifan untuk kata nazala yang kemudian berarti menurunkan. Secara sekilas, arti yang sama terdapat pada kata inzal yang berasal dari kata anzala yang juga bentuk pentransitifan untuk kata nazala.[7]
Dalam bahasa Indonesia, kata nuzul dapat diartikan sebagai “turun (kata benda)”, tanzil berarti penurunan begitu juga dengan inzal yang berarti penurunan.[8]
Analisa yang lebih mendalam akan mendapatkan bahwa terdapat perbedaan arti ketiga kata tersebut. Antara kata nuzul dengan tanzil perbedaannya memang tidak terlalu samar, namun antara kata inzal dengan tanzil, sekilas terlihat artinya sama.
Perbedaannya terlihat bila kita menganalisa ayat-ayat yang menggunakan asal kata nazzala dengan anzala. Berikut hasil pencarian kami:
وان كنتم في ريب مما نزلنا علي عبدنا فاتوا بسوره
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (Al-Baqarah : 23)نزل عليك الكتب بالحق مصدقا لما بين يديه وانزل التوريه والانجيل
Dia menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepadamu dengan Sebenarnya; membenarkan Kitab yang Telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil. (Ali Imran : 3)تبارك الذي نزل الفرقان علي عبده ليكون للعلمين نذيرا
Maha Suci Allah yang Telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam. (Al-Furqan : 1)قال قد وقع عليكم من ربكم رجس وغضب اتجدلونني في اسماء سميتموها انتم وءاباوكم ما نزل الله بها من سلطن فانتظروا اني معكم من المنتظرين
Ia berkata: "Sungguh sudah pasti kamu akan ditimpa azab dan kemarahan dari Tuhanmu". apakah kamu sekalian hendak berbantah dengan Aku tentang nama-nama (berhala) yang kamu beserta nenek moyangmu menamakannya, padahal Allah sekali-kali tidak menurunkan hujjah untuk itu? Maka tunggulah (azab itu), Sesungguhnya Aku juga termasuk orang yamg menunggu bersama kamu". (Al-A'raf : 71)والذي نزل من السماء ماء بقدر فانشرنا به بلده ميتا كذلك تخرجون
Dan yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan) lalu kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati, seperti Itulah kamu akan dikeluarkan (dari dalam kubur). (Az-Zuhruf : 11)Selain ayat-ayat tersebut, masih terdapat ayat-ayat lain. Sedangkan untuk kata kata dasar anzala terdapat ayat:
الذي جعل لكم الارض فرشا والسماء بناء وانزل من السماء ماء فاخرج به من الثمرت رزقا لكم فلا تجعلوا لله اندادا وانتم تعلمون
Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu Mengetahui. (Al-Baqarah : 22)واذا قيل لهم ءامنوا بما انزل الله قالوا نومن بما انزل علينا ويكفرون بما وراءه وهو الحق مصدقا لما معهم قل فلم تقتلون انبياء الله من قبل ان كنتم مومنين
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kepada Al Quran yang diturunkan Allah," mereka berkata: "Kami Hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami". dan mereka kafir kepada Al Quran yang diturunkan sesudahnya, sedang Al Quran itu adalah (Kitab) yang hak; yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Katakanlah: "Mengapa kamu dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika benar kamu orang-orang yang beriman?" (Al-Baqarah : 91)كان الناس امه وحده فبعث الله النبين مبشرين ومنذرين وانزل معهم الكتب بالحق ليحكم بين الناس فيما اختلفوا فيه وما اختلف فيه الا الذين اوتوه من بعد ما جاءتهم البينت بغيا بينهم فهدي الله الذين ءامنوا لما اختلفوا فيه من الحق باذنه والله يهدي من يشاء الي صرط مستقيم
Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi Keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang Telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, Karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (Al-Baqarah : 213)ثم انزل عليكم من بعد الغم امنه نعاسا يغشي طايفه منكم وطايفه قد اهمتهم انفسهم يظنون بالله غير الحق ظن الجهليه يقولون هل لنا من الامر من شيء قل ان الامر كله لله يخفون في انفسهم ما لا يبدون لك يقولون لو كان لنا من الامر شيء ما قتلنا ههنا قل لو كنتم في بيوتكم لبرز الذين كتب عليهم القتل الي مضاجعهم وليبتلي الله ما في صدوركم وليمحص ما في قلوبكم والله عليم بذات الصدور
Kemudian setelah kamu berdukacita, Allah menurunkan kepada kamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan dari pada kamu, sedang segolongan lagi Telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri, mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah. mereka berkata: "Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?". Katakanlah: "Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah". mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata: "Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini". Katakanlah: "Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang Telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh". dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha mengetahui isi hati. (Ali Imran : 154)Bila dibandingkan, maka akan didapatkan hasil berikut:
- bahwa kata nazzala lebih sering berobjek Alquran al-Karim.
- pada sedikit ayat nazzal dipakai berobjek air.
- satu ayat berisi nazzala berobjek kepada “sultan” yang diartikan sebagai alasan.
- kata anzala sering dipakai baik untuk Alquran al-Karim atau air.
Selain itu, kata nazzala juga berarti menurunkan secara bertahap, tidak menurunkan objek sekaligus langsung. Sementara kata anzala lebih umum pada pengertian menurunkan objek sekaligus.
D. Penutup
Keaslian Alquran dapat dibuktikan dengan fakta-fakta sejarah. Orisinalitas dan keaslian teks-teks Alquran tetap terjaga karena selain di hapal oleh banyak penghapal, Alquran juga langsung ditulis setelah diturunkan. Prosedur penulisan Alquran juga tidak sederhana, penulisan Alquran menyertakan saksi-saksi.
Kronologi dan sejarah penulisan Alquran dari masa Rasulullah saw. Hingga sekarang membuktikan bahwa Alquran memang tetap terjaga keotentikannya.
==============
Catatan Kaki:
[1] Maurice Bucaille, Bibel, Alquran, dan Sains Modern, ter. Rasyidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 56.
[2] Ibid.
[3] Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus,1990), h. 385
[4] K.Ali.A Study Of Islamic History (India: Idarah Adabiyah Delli, 1980), hal. 117.
[5] Ibid.
[6] Muslim, ¢a¥³¥ Muslim (Mesir: Maktabah, Misriyah, 1924) juz V, Bab Zuhud hal 402.
[7] Penulis, Amtsilah Tashrifiyah (Ponorogo: Darussalam Press, tth), h. 4.
[8] Ahmad Warson Munawwir, Al-munawwir (Yogyakarta : Pustaka Progressif, 1984) hal. 911. dan Louis Ma’luf, Al-Munjid Fi Al-Lughah Wa Al-A’lam (Beirut : Daar Masyriq, 1982). Hal. 493.
==============
Daftar Pustaka
Ali, K., A Study Of Islamic History. India: Idarah Adabiyah Delli, 1980.
Bucaille, Maurice Bibel, Alquran, dan Sains Modern, ter. Rasyidi. Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Ma’luf, Louis, Al-Munjid Fi Al-Lughah Wa Al-A’lam. Beirut : Daar Masyriq, 1982.
Muslim, ¢a¥³¥ Muslim. Juz V. Mesir: Maktabah, Misriyah, 1924.
Munawwir, Ahmad Warson Al-munawwir. Yogyakarta : Pustaka Progressif, 1984.
Penulis, Amtsilah Tashrifiyah. Ponorogo: Darussalam Press, tth.
Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus,1990.
0 comments:
Post a Comment