Suriah
Ada seorang perempuan tua yang hidup bersama saudara perempuannya. Tak satu pun dari mereka pernah merasakan kebahagiaan hidup perkawinan, dan kini mereka sudah terlalu tua sehingga salah seorang di antara mereka berdua giginya tinggal satu. Dia diberi nama panggilan si Satu-Gigi. Sementara saudaranya bernasib lebih baik, sebab giginya masih tersisa dua, dan dipanggil si Dua-Gigi.
Suatu hari—hari itu Jumat—Dua-Gigi berkata kepada saudaranya, “Hari ini putra raja berjalan di bawah jendela kita dalam perjalanannya ke masjid untuk shalat. Dan hari ini aku akan memercikkan sedikit air di atas kepalanya. Saat aku melakukan itu, aku ingin kamu berteriak, ‘Dik, bagaimana kamu bisa membasahi kepala pangeran dengan air yang biasa kamu gunakan untuk membasuh muka dan tanganmu! Jika dia dapat mengetahui siapa diri kita, aku berharap semoga Allah menyelamatkan kita dari hukuman-Nya!’” Lalu Dua-Gigi yang cekatan ini sibuk keluar-masuk rumah, mencampur air mawar dengan perasan bunga melati dan segenggam kuncup dari pohon-jeruk yang baru mekar.
Tengah hari, ketika pangeran bersama para penggiringnya lewat di bawah, Dua-Gigi memercikkan air wangi ke atas kepalanya. Sementara itu, Satu-Gigi berteriak seperti diperintahkan kepadanya, “Dik, dik, apa yang telah kamu lakukan? Kamu telah menumpahkan air yang biasa kamu gunakan untuk membasuh muka dan tanganmu ke kepala pangeran! Besok kalau dia menemukan kita, aku berharap semoga Allah menyelamatkan kita dari hukumannya!” Tapi sesungguhnya yang dikatakan pangeran hanyah, “Betapa anggun dan cantiknya dia yang menggunakan wangi-wangian semacam ini untuk membasuh muka dan tangannya!”
Begitu kembali ke istana, pangeran menemui ibunya dan berkata, “Ibu, semoga Allah menjauhkanmu dari segala bencana, maukah engkau pergi ke rumah yang jendelanya menonjol ke jalan di dekat masjid, dan menemui gadis cantik yang duduk di balik daun jendela itu pada siang hari ini?”
Ratu tertawa, “Putraku, tidak ada gadis di dalam rumah yang sebutkan itu!”
Namun, pangeran berkeras, “Aku tahu di rumah itu ada gadis dengan keanggunan dan kecantikan tiada tara.” Maka ratu pergi ke rumah dua perawan tua itu untuk melihat sendiri.
Dia melangkah masuk ke dalam ruangan, dan di situ duduklah Satu-Gigi sendirian. “Di mana adikmu?” tanya ratu. “Oh, tak seorang pun boleh melihatnya sebelum hari perkawinannya!” kata Satu-Gigi.
“Bahkan jari kelingkingnya pun tidak boleh?” tanya ratu. “Dik,” seru Satu-Gigi, “tunjukkan jari kelingkingmu agar dilihat ibu pangeran.”
Nah, Dua-Gigi telah menyembunyikan dirinya di dalam lemari pakaian, dan dengan cepat dia mengeluarkan lilin putih yang dipasanginya beberapa cincin. “Jika jari-jarinya seputih dan seramping bunga lili putih begini,” kata ratu pada dirinya sendiri, “pastilah dia seorang gadis yang benar-benar jelita!” Gembira, dia bergegas menemui putranya dan berkata, “Aku akan mulai mempersiapkan perkawinan hari ini.”
Perkawinan sudah ditentukan. Mempelai perempuan dibawa ke istana, didahului barisan penabuh beduk dan penyanyi. Pangeran memasuki kamar pengantin untuk membuka kerudung yang menutupi wajah kekasihnya. Dan wajah Dua-Gigi pun terbuka. “Ini bukan istriku!” kata pangeran, dan dilemparkannya perempuan itu keluar jendela hingga jatuh ke taman istana dengan kepala membentur tanah lebih dulu.
Pada saat itu, putra raja jin sedang menderita bisul di tenggorokannya. Ketika dia melihat perempuan tua dengan kepala di atas tanah dan kedua kaki di udara, dia tertawa dan terus tertawa hingga bisulnya pecah dan membuatnya terbebas dari rasa sakit. Maka dia memanggil tujuh orang saudara perempuannya, yang mempunyai kecantikan menakjubkan, dan berkata, “Beri dia imbalan atas jasanya!”
Putri jin yang pertama berkata, “Semoga rambutnya menyerupai rambutku.” Dan rambut Dua-Gigi yang lurus-kejur berubah menjadi gumpalan sehitam malam sepanjang tumit, indah tiada tara. Putri jin yang kedua berkata, “Semoga wajahnya menjadi kembaran wajahku.” Dan kening Dua-Gigi bersinar lembut layaknya mata pedang, wajah yang tidak ada padanannya. Putri jin yang ketiga berkata, “Semoga matanya menyerupai mataku.” Dan mata Dua-Gigi melebar bagai tepian sebuah cangkir kopi sehingga tidak ada yang menyamainya. Putri jin yang keempat, kelima, keenam, dan ketujuh semuanya juga mengucapkan keinginan mereka dan mereka meninggalkan Dua-Gigi dengan kecantikan tiada tandingan.
Keesokan harinya, ketika pangeran bangun dan memandang keluar jendela, dia melihat istrinya duduk di taman. Dia menatapnya, menjadi tergila-gila padanya, bergegas turun, berlari.
“Apakah kamu istriku?” katanya.
“Benar, aku istrimu. Aku di sini semalaman,” kata Dua-Gigi. Dengan penuh kegembiraan, pangeran mendudukkannya di sisinya.
Lalu kakaknya datang dan berkata, “Jika aku Satu-Gigi, apakah kamu Dua-Gigi? Lalu mengapa kamu bisa menjadi begitu cantik sedangkan aku tetap begini?”
Dua-Gigi menjawab, “Aku pergi ke penyisir kapas dan memintanya menyisirku dengan bayaran lima dinar; dan beginilah aku jadinya!”
Satu-Gigi pun membayar penyisir kapas dan berkata, “Maukah kamu menyisirku dan menerima bayaran lima dinar?”
Si penyisir menyimpan Satu-Gigi di bawah alat penyisir. Tidak lama kemudian tulang-tulangnya tanggal, dagingnya lepas dan berceceran ke atas tanah. Sementara itu, adiknya hidup bersama suaminya, sang putra sultan, dalam kebahagiaan semurni emas dua puluh empat karat.
Mulberry, mulberry,
Habislah ceritaku ini.
Ada seorang perempuan tua yang hidup bersama saudara perempuannya. Tak satu pun dari mereka pernah merasakan kebahagiaan hidup perkawinan, dan kini mereka sudah terlalu tua sehingga salah seorang di antara mereka berdua giginya tinggal satu. Dia diberi nama panggilan si Satu-Gigi. Sementara saudaranya bernasib lebih baik, sebab giginya masih tersisa dua, dan dipanggil si Dua-Gigi.
Suatu hari—hari itu Jumat—Dua-Gigi berkata kepada saudaranya, “Hari ini putra raja berjalan di bawah jendela kita dalam perjalanannya ke masjid untuk shalat. Dan hari ini aku akan memercikkan sedikit air di atas kepalanya. Saat aku melakukan itu, aku ingin kamu berteriak, ‘Dik, bagaimana kamu bisa membasahi kepala pangeran dengan air yang biasa kamu gunakan untuk membasuh muka dan tanganmu! Jika dia dapat mengetahui siapa diri kita, aku berharap semoga Allah menyelamatkan kita dari hukuman-Nya!’” Lalu Dua-Gigi yang cekatan ini sibuk keluar-masuk rumah, mencampur air mawar dengan perasan bunga melati dan segenggam kuncup dari pohon-jeruk yang baru mekar.
Tengah hari, ketika pangeran bersama para penggiringnya lewat di bawah, Dua-Gigi memercikkan air wangi ke atas kepalanya. Sementara itu, Satu-Gigi berteriak seperti diperintahkan kepadanya, “Dik, dik, apa yang telah kamu lakukan? Kamu telah menumpahkan air yang biasa kamu gunakan untuk membasuh muka dan tanganmu ke kepala pangeran! Besok kalau dia menemukan kita, aku berharap semoga Allah menyelamatkan kita dari hukumannya!” Tapi sesungguhnya yang dikatakan pangeran hanyah, “Betapa anggun dan cantiknya dia yang menggunakan wangi-wangian semacam ini untuk membasuh muka dan tangannya!”
Begitu kembali ke istana, pangeran menemui ibunya dan berkata, “Ibu, semoga Allah menjauhkanmu dari segala bencana, maukah engkau pergi ke rumah yang jendelanya menonjol ke jalan di dekat masjid, dan menemui gadis cantik yang duduk di balik daun jendela itu pada siang hari ini?”
Ratu tertawa, “Putraku, tidak ada gadis di dalam rumah yang sebutkan itu!”
Namun, pangeran berkeras, “Aku tahu di rumah itu ada gadis dengan keanggunan dan kecantikan tiada tara.” Maka ratu pergi ke rumah dua perawan tua itu untuk melihat sendiri.
Dia melangkah masuk ke dalam ruangan, dan di situ duduklah Satu-Gigi sendirian. “Di mana adikmu?” tanya ratu. “Oh, tak seorang pun boleh melihatnya sebelum hari perkawinannya!” kata Satu-Gigi.
“Bahkan jari kelingkingnya pun tidak boleh?” tanya ratu. “Dik,” seru Satu-Gigi, “tunjukkan jari kelingkingmu agar dilihat ibu pangeran.”
Nah, Dua-Gigi telah menyembunyikan dirinya di dalam lemari pakaian, dan dengan cepat dia mengeluarkan lilin putih yang dipasanginya beberapa cincin. “Jika jari-jarinya seputih dan seramping bunga lili putih begini,” kata ratu pada dirinya sendiri, “pastilah dia seorang gadis yang benar-benar jelita!” Gembira, dia bergegas menemui putranya dan berkata, “Aku akan mulai mempersiapkan perkawinan hari ini.”
Perkawinan sudah ditentukan. Mempelai perempuan dibawa ke istana, didahului barisan penabuh beduk dan penyanyi. Pangeran memasuki kamar pengantin untuk membuka kerudung yang menutupi wajah kekasihnya. Dan wajah Dua-Gigi pun terbuka. “Ini bukan istriku!” kata pangeran, dan dilemparkannya perempuan itu keluar jendela hingga jatuh ke taman istana dengan kepala membentur tanah lebih dulu.
Pada saat itu, putra raja jin sedang menderita bisul di tenggorokannya. Ketika dia melihat perempuan tua dengan kepala di atas tanah dan kedua kaki di udara, dia tertawa dan terus tertawa hingga bisulnya pecah dan membuatnya terbebas dari rasa sakit. Maka dia memanggil tujuh orang saudara perempuannya, yang mempunyai kecantikan menakjubkan, dan berkata, “Beri dia imbalan atas jasanya!”
Putri jin yang pertama berkata, “Semoga rambutnya menyerupai rambutku.” Dan rambut Dua-Gigi yang lurus-kejur berubah menjadi gumpalan sehitam malam sepanjang tumit, indah tiada tara. Putri jin yang kedua berkata, “Semoga wajahnya menjadi kembaran wajahku.” Dan kening Dua-Gigi bersinar lembut layaknya mata pedang, wajah yang tidak ada padanannya. Putri jin yang ketiga berkata, “Semoga matanya menyerupai mataku.” Dan mata Dua-Gigi melebar bagai tepian sebuah cangkir kopi sehingga tidak ada yang menyamainya. Putri jin yang keempat, kelima, keenam, dan ketujuh semuanya juga mengucapkan keinginan mereka dan mereka meninggalkan Dua-Gigi dengan kecantikan tiada tandingan.
Keesokan harinya, ketika pangeran bangun dan memandang keluar jendela, dia melihat istrinya duduk di taman. Dia menatapnya, menjadi tergila-gila padanya, bergegas turun, berlari.
“Apakah kamu istriku?” katanya.
“Benar, aku istrimu. Aku di sini semalaman,” kata Dua-Gigi. Dengan penuh kegembiraan, pangeran mendudukkannya di sisinya.
Lalu kakaknya datang dan berkata, “Jika aku Satu-Gigi, apakah kamu Dua-Gigi? Lalu mengapa kamu bisa menjadi begitu cantik sedangkan aku tetap begini?”
Dua-Gigi menjawab, “Aku pergi ke penyisir kapas dan memintanya menyisirku dengan bayaran lima dinar; dan beginilah aku jadinya!”
Satu-Gigi pun membayar penyisir kapas dan berkata, “Maukah kamu menyisirku dan menerima bayaran lima dinar?”
Si penyisir menyimpan Satu-Gigi di bawah alat penyisir. Tidak lama kemudian tulang-tulangnya tanggal, dagingnya lepas dan berceceran ke atas tanah. Sementara itu, adiknya hidup bersama suaminya, sang putra sultan, dalam kebahagiaan semurni emas dua puluh empat karat.
Mulberry, mulberry,
Habislah ceritaku ini.
0 comments:
Post a Comment