Sejarah penulisan Hadis seringkali menjadi bahan kontroversi di kalangan sebagian kaum muslim maupun non muslim. Ada sebagian yang menolak untuk menerima otentisitas Hadis Nabi lantaran mereka berargumen bahwa Hadis Nabi ditulis dan dibukukan dua abad sesudah wafatnya Rasulullah Muhammad, suatu rentang waktu yang agak lama berlalu sehingga dapat menyebabkan timbulnya perubahan dan pergeseran lafazh serta makna hadis yang bersangkutan. Mereka ini beranggapan hanya berdasarkan asumsi rasional semata dan tidak melihat serta meneliti berbagai argumen yang bisa diterima oleh syari’at Islam serta tidak mengkaji serta menelaah sejarah penulisn dan pembukuan hadis dengan benar.
Sementara di sisi yang lain ada sebagian kaum yang secara tekstual menerima begitu saja hadis Nabi tanpa mempedulikan kesahihan dan ketidaksahihannya.
Pada makalah ini secara ringkas dikemukakan penjelasan yang benar tentang penulisan dan pembukuan Hadis Nabi sejak mulai abad ke 2 H sampai dengan abad ke 7 H hingga sekarang.
A. Penulisan dan Pembukuan Hadis secara resmi (Abad ke 2 H)
Pada periode ini Hadis-hadis Nabi saw mulai ditulis dan dikumpulkan secara resmi. Adapun Khalifah yang memerintah pada saat itu adalah Umar ibn Abdul Aziz dari Dinasti Umayyah. Umar ibn Abdul Aziz mempunyai kepentingan di dalam kepemimpinannya untuk menulis dan membukukan Hadis secara resmi,[1] hal ini didadasarkan pada beberapa riwayat, Umar ibn Abdul Aziz khawatir akan hilangnya Hadis dan wafatnya para ulama Hadis.[2] Para sahabat telah berpencar di berbagai daerah, bahkan tidak sedikit jumlahnya yang sudah meninggal dunia. Sementara Hadis-hadis yang ada di dada mereka belum tentu semuanya sempat diwariskan kepada generasi berikutnya. Karena itu, khalifah yang terkenal wara’ dan takwa ini mengupayakan pengumpulan dan penulisan Hadis.
Ada perbedaan dalam penghimpunan Hadis dengan Alquran. Hadis mengalami masa yang lebih panjang sekitar tiga abad dibanding dengan Alquran yang hanya memerlukan waktu relatif lebih pendek.[3] Yang dimaksud dengan periodeisasi penghimpunan Hadis disini adalah fase-fase yang telah ditempuh dan dialami dalam sejarah pembinaan dan perkembangan Hadis, sejak Rasulullah saw masih hidup sampai terwujudnya kitab-kitab Hadis yang dapat disaksikan sekarang ini.[4]
Pada masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz,Islam sudah meluas sampai ke daerah-daerah yang tentunya pemahaman dan pemikiran mereka khususnya tentang keislaman itu sendiri adalah Hadis. Khalifah berinisiatif untuk mengumpulkan Hadis-hadis tersebut dikarenakan semakin meluasnya perkembangan Islam yang umumnya orang-orang yang baru memeluk agama Islam butuh dengan pengajaran yang didasarkan pada hadis-hadis Nabi. Selain itu gejolak politik yang terjadi di kalangan umat Islam, ada beberapa kelompok yang mencoba menyelewengkan sabda-sabda Rasulullah saw yang akhirnya akan merusak ajaran kemurnian Islam itu sendiri. Oleh karena itu Umar ibn Abdul Aziz telah menyusun suatu gerakan yang penuh semangat dalam rangka penyebarluasan dakwah Islamiyah.[5]
Menurut Ajjaj al-Khathib bahwa kegiatan pembukuan Hadis telah diprakarsai oleh ayahnya Khalifah Umar, yaitu Abdul Aziz yang ketika itu menjabat sebagai gubernur Mesir. Akan tetapi karena jabatannya sebagai gubernur maka jangkauannya tidak menyeluruh, oleh karena itu diteruskan oleh Umar setelah diangkat menjadi Khalifah. Tentunya pengkodifikasian Hadis begitu cepat merambah ke daerah-daerah yang dikuasai oleh gubernur dan langsung memberikan instruksi agar menulis dan mengumpulkan Hadis yang ada pada sahabat dan seterusnya disebarluaskan. Begitu juga ia mengutus para ulama untuk mengumpulkan hadis-hadis Rasulullah, hadis yang dipercaya kebenarannya ialah hadis yang telah diriwayatkan oleh orang-orang yang memiliki sifat menjauhkan diri dari dosa dan takwa.[6]
Jika kita teliti kemampuan ilmiah umat Islam, sebenarnya telah memungkinkan mereka untuk melakukan penulisan terhadap hadis-hadis Nabi.[7] Tetapi pendapat yang dominan di kalangan para sarjana dan ilmuan adalah bahwa Hadis-hadis itu hanya disebarkan lewat mulut ke mulut sampai akhir abad pertama. Perlu kita ketahui bahwa kecintaan dan kepatuhan para sahabat kepada Nabi saw sungguh demikian mendalam, karenanya dalam menuliskan risalah ajaran Islam, mereka melakukannya secara lisan seperti Nabi lakukan terhadap mereka. Kondisi seperti itu secara tidak langsung mengajarkan kepada kita bahwa hal kepatuhan juga bahagian dari agama.[8]
Adapun pandangan para orientalis tentang penulisan pertama Hadis yang dilakukan oleh al-Zuhri atas perintah Umar ibn Abdul Aziz adalah palsu. Karena mereka merujuk pada Hadis-hadis fikih yang menurut pandangan para orientalis baru muncul sesudah zaman Umar ibn Abdul Aziz.[9] Pendapat ini tentunya tidak mengkaji tentang sejarah Islam dari awal, yang mana ungkapan-ungkapan Nabi saw yang belum ditulis hanya dengan lisan dianggap sebagai ucapan biasa saja. Padahal bila kita rujuk pada pengertian Hadis itu sendiri bahwa segala sesuatu yang lahir dari perilaku Nabi secara keseluruhan itu merupakan bahan yang menjadi hukum atau pelajaran pada generasi sesudahnya. Terkait dengan pengertian tersebut maka kitab al Muwaththa’ karya ibn Malik merupakan salah satu kitab yang mencatat Hadis Nabi SAW dan fatwa ulama awal di Madinah yang menganut pengertian tersebut,sehingga kitab tersebut disusun berdasarkan pola yang diawali dengan atsar dan baru kemudian fatwa yang memuat penjelasan-penjelasan hukum yang berkaitan dengan perkataan, perbuatan yang dilakukan Nabi dan pendapat hukum para sahabat, tabi’in serta fatwa ulama
B. Masa Pemurnian dan Penyempurnaan Penulisan Hadis (Abad ke 3 H)
Menurut ahli Hadis, yang menjadi masalah pokok yang menyebabkan keterlambatan sampai seratus tahun lebih dalam pembukuan Hadis adalah karena hanya mengikuti pendapat populer di kalangan mereka tanpa meneliti sumber-sumber yang menunjukkan bahwa Hadis sudah dibukukan pada masa yang lebih awal.[10] Sedangkan sebab lain kenapa hadis belum disusun dan dibukukan pada masa sahabat dan tabi'in dikarenakan adanya larangan Nabi dalam shahih Muslim, khawatir akan bercampur dengan Alquran, sebab lain hafalan mereka sangat kuat dan mereka juga cerdas, di samping umumnya mereka tidak dapat menulis. Baru pada masa akhir tabi'in, Hadis-hadis Nabi disusun dan dibukukan.
Masa pemurnian dan penyempurnaan Hadis berlangsung sejak pemerintahan al-Ma'mun sampai awal pemerintahan al-Muqtadir dari khalifah Dinasti Abbasiyah. Ulama-ulama Hadis memusatkan pemeliharaan pada keberadaan Hadis, terutama kemurnian Hadis Nabi saw, sebagai antisipasi mereka terhadap kegiatan pemalsuan Hadis yang semakin marak.[11] Dalam setiap ajaran agama bagi para pemeluknya, tentunya sangat bervariasi dalam mengamalkan ajaran itu sendiri. Ini sesuai dengan kondisi sejauh mana pemahaman mereka tentang agama serta pengaruh yang dapat mengubah pola pikir seseorang menjadi taat, fanatik, atau acuh tak acuh. Perkembangan ilmu pengetahuan sudah dimulai pada abad ke-2 dengan lahirnya para imam mujtahid di berbagai bidang fikih dalam ilmu kalam. Perselisihan dan perbedaan pendapat di kalangan imam mujtahid menjadi khazanah ilmu yang terus dikembangkan dan dihargai, tetapi lain halnya yang dipahami oleh para pengikut imam tersebut. Dikarenakan faktor ingin benar dan menang sendiri maka pendapat ulama lainnya dianggap tidak benar. Fanatik menjadi ciri khas mereka yang akhirnya menciptakan Hadis-hadis palsu dalam rangka mendukung mazhabnya dan menjatuhkan mazhab lawannya.
Kegiatan pemalsuan Hadis mengalami masa yang begitu lama, sejak dari pemerintahan al-Ma'mun, al-Mu'tasim dan Wastiq, yang mereka sangat mendukung kaum Mu'tazilah. Momentum pertentangan mazhab juga dimanfaatkan oleh kaum kafir Zindiq yang memusuhi Islam untuk menciptakan Hadis-hadis palsu dan menyesatkan kaum muslimin dan tidak ketinggalan para pengarang cerita juga memanfaatkan setuasi tersebut. Ulama Mu'tazilah tidak saja mempengaruhi pikiran khalifah untuk bertindak keras terhadap ahli Hadis, bahkan mereka melepaskan umpat dan caci maki kepada ahli Hadis serta menuduh ahli Hadis bodoh dan dungu.[12]
Oleh sebab itu para ulama berupaya agar pelestarian yang berbentuk Hadis dapat terus dipertahankan dan diabadikan tentunya dengan menyeleksi satu demi satu Hadis yang telah masuk ataupun penemuan baru yang hubungan keakuratannya adalah bisa dipertanggungjawabkan serta memang benar-benar datang dari Nabi saw. Maka para ulama melakukan kunjungan ke daerah-daerah untuk menemui para perawi Hadis yang jauh dari pusat kota. Di antara mereka adalah Imam Bukhari yang telah melakukan perjalanan selama 16 tahun dengan mengunjungi kota Mekkah, Madinah dan kota-kota lain. Seterusnya mereka juga melakukan pengklasifikasian Hadis yang disandarkan kepada Nabi (marfu'), dan yang disandarkan kepada para sahabat (mawquf), serta yang disandarkan kepada tabi'in (maqthu'), serta penyeleksian Hadis kepada Hadis Shahih, Hasan, dan Dha'if.
Adapun bentuk penyusunan kitab Hadis pada periode ini adalah:
C. Masa Pemeliharaan, penertiban dan penambahan dalam penulisan Hadis (Abad 4 s/d 7 H)
Sebelum datangnya agama Islam, bangsa Arab tidak dikenal dengan kemampuan membaca dan menulis, sehingga mereka lebih dikenal sebagai bangsa yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Namun demikian, ini tidak berarti bahwa di antara mereka tidak ada seorangpun yang bisa menulis dan membaca. Keadaan ini hanya sebagai ciri keadaan dari mereka. Sejarah telah mencatat bahwa sejumlah orang yang di antara mereka ada yang mampu membaca dan yang menulis, Adiy bin Zaid al-Abbay (w. 35 sebelum hijrah) misalnya, sudah belajar menulis hingga menguasainya, dan merupakan orang yang pertama yang mampu menulis dengan bahasa Arab yang ditujukan kepada Kisra. Sebagian orang Yahudi juga mengajarkan anak-anak di Madinah menulis Arab. Kota Mekkah dengan pusat perdagangannya sebelum kenabian, menjadi saksi adanya para penulis dan orang-orang yang mempu membaca.[13]
Pada masa setelah sahabat kegiatan pengumpulan Hadis sudah menjadi suatu keharusan sejak abad ke-2, hal ini didasari karena perkembangan Islam semakin meluas dan diperlukannya rujukan-rujukan hukum yang mudah untuk didapatkan argumennya. Maka pemeliharaan Hadis sudah menjadi tanggungjawab para penguasa pada saat itu. Dimulai dari khalifah al-Muqtadir sampai pada al-Mu'tashim, walaupun kekuasaan Islam sudah mulai melemah pada abad ke 7 akibat serangan Holagu Khan cucu dari Jengis Khan, namun kegiatan para ulama Hadis dalam rangka memeliharannya dan mengembangkannya berlangsung sebagaimana pada periode sebelumnya. Hanya saja Hadis yang dihimpun tidaklah sebanyak masa sebelumnya. Adapun kitab-kitab Hadis yang dihimpun adalah:
Adapun bentuk-bentuk penyusunan kitab Hadis pada periode ini memperkenalkan sistem baru, yaitu:
1. Kegiatan periwayatan hadis
Berawal dari penaklukan yang dilakukan oleh tentara Tartar terhadap pemerintahan Abbasiyah yang kemudian dihidupkan kembali oleh dinasti Mamluk setelah berhasil menaklukkan bangsa mongol. Akan tetapi Dinasti Mamluk mempunyai maksud tertentu dengan membai'at khalifah. Hanyalah sekedar simbul agar daerah-daerah Islam lain mau mengakui daerah Mesir sebagai pusat pemerintahan Islam yang akhirnya umat akan tunduk kepada Mesir sebagai pemerintahan Islam, setelah itu lahirlah pengakuan pada Dinasti Mamluk sebagai penguasa dunia Islam. Setelah masa berlalu, kekuasaan Dinasti Mamluk sudah mulai surut, masuklah abad ke-8 H, Usman Kajuk mendirikan kerajaan di Turki atas peninggalan Bani Saljuk di Asia Tengah sambil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang ada disekirnya dan selanjutnya membangun Daulah Utsmaniah yang berpusat di Turki. Setelah menaklukkan Konstantinopel dan Mesir (runtuhnya Khalifah Abbasiyah), maka berpindahlah pusat kekuasaan Islam ke Konstantinopel pada abad ke-13 H, Mesir yang dipimpin oleh Muhammad Ali mulai bangkit untuk mengembalikan kejayaan Mesir masa silam. Namun Eropa bertambah kuat menguasai dunia, secara bertahap mereka mulai menguasai daerah-daerah Islam, sehingga pada abad ke-19 M sampai abad ke-20 M hampir seluruh wilayah Islam dijajah oleh bangsa Eropa. Kembangkitan kembali umat Islam baru dimulai pada pertengahan abad ke-20 M.
Sejalan dengan kondisi Islam di atas, maka periwayatan Hadis pada periode ini lebih banyak dilakukan dengan cara ijazahi dan mukatabah.[16] Sedikit sekali dari ulama Hadis pada periode ini melakukan periwayatan Hadis secara hafalan sebagaimana yang dilakukan oleh ulama Mutakaddimin, di antaranya:
Dalam hal ini kita tidak terlepas dari ilmu Tarikhi'r-Ruwah yang membicarakan hal ihwal para rawi Hadis baik yang bersangkutan dengan umur dan tanggal kapan mereka dilahirkan, dimana domisili mereka dan kapan mereka menerima Hadis dari guru-guru mereka.[18]
2. Bentuk penyusunan kitab Hadis
Pada periode ini, umumnya para ulama hadis mempelajari kitab-kitab Hadis yang telah ada, kemudian mengembangkan dan meringkaskannya sehingga menjadi sebuah karya sebagai berikut:
a. Kitab Syarah. Yaitu kitab yang memuat uraian dan penjelasan kandungan Hadis dari kitab tertentu dan hubungannya dengan dalil-dalil lain yang bersumber dari Alquran, Hadis, ataupun kaidah-kaidah syara’ lainnya.[19] Di antara contohnya adalah:
c. Kitab Zawa’id. Yaitu kitab yang menghimpun Hadis-hadis dari kitab-kitab tertentu yang tidak dimuat kitab tertentu lainnya. Di antara contohnya adalah Zawa’id al-sunan al-Kubra, oleh al-Bushiri, yang memuat hadis-hadis riwayat al-Baihaqi yang tidak termuat dalam al-Kutub al-Sittah.
d. Kitab petunjuk (kode indeks) Hadis. Yaitu, kitab yang berisi petunjuk-petunjuk praktis yang mempermudah mencari matan Hadis pada kitab-kitab tertentu. Contohnya, Miftah Kunuz al-Sunnah, oleh A.J. Wensinck, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh M. Fu’ad ‘Abd al-Baqi.
e. Kitab Takhrij. Yaitu kitab yang menjelaskan tempat-tempat pengambilan Hadis-hadis yang memuat dalam kitab tertentu dan menjelaskan kualitasnya. Contohnya adalah, Takhrij Ahadits al-Ihya’, oleh Al-‘Iraqi. Kitab ini men-takhrij Hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali.
f. Kitab Jami’. Yaitu kitab yang menghimpun Hadis-hadis dari berbagai kitab Hadis tertentu, seperti al-Lu’lu’ wa al-Marjan, karya Muhammad fu’ad al-Baqi. Kitab ini menghimpun Hadis-hadis Bukhari dan Muslim.
g. Kitab yang membahas masalah tertentu, seperti masalah hukum. Contohnya, Bulugh al-Maram min Adillah al-Hakam, oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani dan koleksi Hadis-hadis Hukum oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy.[20]
Dengan adanya karya-karya besar para ahli Hadis tersebut, maka dapatlah mempermudah generasi sekarang ini dalam mempelajari serta mentelusuri Hadis-hadis yang ada sekarang, sehingga dapat mengetahui kualitas Hadis-hadis tersebut, dan menghindarkan diri dari pengamalan Hadis-hadis yang daif.
===============
EndNote:
[1]Nawir Yuslem,Ulumul Hadis, (Jakarta :Mutiara Sumber Widya,2001) cet I. h.125.
[2]Shubhi ash-Shalih, ‘Ulum al-Hadis wa Mushthalahuh (Libanon: Dar al-‘Ilm al-Malayin, 1977), h. 45.
[3]Ibid., h. 83.
[4]Shubudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Bandung: Angkasa, 1991), h. 69.
[5]Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), h. 97.
[6]Mun'im Qindil, Kehidupan orang-orang Shaleh (Semarang: Asy Syifa', t.t ), h. 209.
[7]M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 106.
[8]Abuddin Nata, Alquran dan Hadis (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), h. 158.
[9]Ibid., h. 159.
[10]Azami, Hadis Nabi…… h. 108.
[11]Yuslem, Ulumul Hadis…., h. 133.
[12]M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Perkembangan Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 87.
[13]Syaikh Manna’ al-Qathtan, Mabahis Fi Ulumil Hadis, terj. Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadis (Jakarta: Al-Kausar, 2005), h. 45.
[14]Yuslem, Ulumul Hadis…… h. 139.
[15]Ibid. h. 139.
[16]Ijazah adalah pemberian izin dari seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan Hadis-hadis yang berasal dari guru tersebut, baik yang tertulis maupun yang berupa hafalan. Sedangkan mukatabah adalah pemberian catatan Hadis dari seorang guru kepada orang lain (muridnya), baik catatan tersebut ditulis oleh guru itu sendiri ataupun yang didektekan kepada muridnya. Lihat Nawir Yuslem, Ulumul Hadis…. h. 143.
[17]Ibid. h. 144.
[18]Farhur Rahman, Ikhtishar Mushthalul Hadis (Bandung: Alma'arif, 1974), h. 296.
[19]Yuslem, Ulumul Hadis, h. 144.
[20]Ibid. h. 145.
===============
DAFTAR PUSTAKA
Azami, M.M. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
Hasan, Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2003.
Ismail, Shubudi. Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa, 1991.
Nata, Abuddin. Alquran dan Hadis. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996.
Qathtan, Manna’. Mabahis Fi Ulumil Hadis, terj. Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadis. Jakarta: Al-Kausar, 2005.
Qindil, Mun'im. Kehidupan orang-orang Shaleh. Semarang: Asy Syifa'.
Rahman, Farhur. Ikhtishar Mushthalul Hadis. Bandung: Alma'arif, 1974.
Shalih, Shubhi. ‘Ulum al-Hadis wa Mushthalahuh. Libanon: Dar al-‘Ilm al-Malayin, 1977.
Shiddieqy, M. Hasbi. Sejarah Perkembangan Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001.
Sementara di sisi yang lain ada sebagian kaum yang secara tekstual menerima begitu saja hadis Nabi tanpa mempedulikan kesahihan dan ketidaksahihannya.
Pada makalah ini secara ringkas dikemukakan penjelasan yang benar tentang penulisan dan pembukuan Hadis Nabi sejak mulai abad ke 2 H sampai dengan abad ke 7 H hingga sekarang.
A. Penulisan dan Pembukuan Hadis secara resmi (Abad ke 2 H)
Pada periode ini Hadis-hadis Nabi saw mulai ditulis dan dikumpulkan secara resmi. Adapun Khalifah yang memerintah pada saat itu adalah Umar ibn Abdul Aziz dari Dinasti Umayyah. Umar ibn Abdul Aziz mempunyai kepentingan di dalam kepemimpinannya untuk menulis dan membukukan Hadis secara resmi,[1] hal ini didadasarkan pada beberapa riwayat, Umar ibn Abdul Aziz khawatir akan hilangnya Hadis dan wafatnya para ulama Hadis.[2] Para sahabat telah berpencar di berbagai daerah, bahkan tidak sedikit jumlahnya yang sudah meninggal dunia. Sementara Hadis-hadis yang ada di dada mereka belum tentu semuanya sempat diwariskan kepada generasi berikutnya. Karena itu, khalifah yang terkenal wara’ dan takwa ini mengupayakan pengumpulan dan penulisan Hadis.
Ada perbedaan dalam penghimpunan Hadis dengan Alquran. Hadis mengalami masa yang lebih panjang sekitar tiga abad dibanding dengan Alquran yang hanya memerlukan waktu relatif lebih pendek.[3] Yang dimaksud dengan periodeisasi penghimpunan Hadis disini adalah fase-fase yang telah ditempuh dan dialami dalam sejarah pembinaan dan perkembangan Hadis, sejak Rasulullah saw masih hidup sampai terwujudnya kitab-kitab Hadis yang dapat disaksikan sekarang ini.[4]
Pada masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz,Islam sudah meluas sampai ke daerah-daerah yang tentunya pemahaman dan pemikiran mereka khususnya tentang keislaman itu sendiri adalah Hadis. Khalifah berinisiatif untuk mengumpulkan Hadis-hadis tersebut dikarenakan semakin meluasnya perkembangan Islam yang umumnya orang-orang yang baru memeluk agama Islam butuh dengan pengajaran yang didasarkan pada hadis-hadis Nabi. Selain itu gejolak politik yang terjadi di kalangan umat Islam, ada beberapa kelompok yang mencoba menyelewengkan sabda-sabda Rasulullah saw yang akhirnya akan merusak ajaran kemurnian Islam itu sendiri. Oleh karena itu Umar ibn Abdul Aziz telah menyusun suatu gerakan yang penuh semangat dalam rangka penyebarluasan dakwah Islamiyah.[5]
Menurut Ajjaj al-Khathib bahwa kegiatan pembukuan Hadis telah diprakarsai oleh ayahnya Khalifah Umar, yaitu Abdul Aziz yang ketika itu menjabat sebagai gubernur Mesir. Akan tetapi karena jabatannya sebagai gubernur maka jangkauannya tidak menyeluruh, oleh karena itu diteruskan oleh Umar setelah diangkat menjadi Khalifah. Tentunya pengkodifikasian Hadis begitu cepat merambah ke daerah-daerah yang dikuasai oleh gubernur dan langsung memberikan instruksi agar menulis dan mengumpulkan Hadis yang ada pada sahabat dan seterusnya disebarluaskan. Begitu juga ia mengutus para ulama untuk mengumpulkan hadis-hadis Rasulullah, hadis yang dipercaya kebenarannya ialah hadis yang telah diriwayatkan oleh orang-orang yang memiliki sifat menjauhkan diri dari dosa dan takwa.[6]
Jika kita teliti kemampuan ilmiah umat Islam, sebenarnya telah memungkinkan mereka untuk melakukan penulisan terhadap hadis-hadis Nabi.[7] Tetapi pendapat yang dominan di kalangan para sarjana dan ilmuan adalah bahwa Hadis-hadis itu hanya disebarkan lewat mulut ke mulut sampai akhir abad pertama. Perlu kita ketahui bahwa kecintaan dan kepatuhan para sahabat kepada Nabi saw sungguh demikian mendalam, karenanya dalam menuliskan risalah ajaran Islam, mereka melakukannya secara lisan seperti Nabi lakukan terhadap mereka. Kondisi seperti itu secara tidak langsung mengajarkan kepada kita bahwa hal kepatuhan juga bahagian dari agama.[8]
Adapun pandangan para orientalis tentang penulisan pertama Hadis yang dilakukan oleh al-Zuhri atas perintah Umar ibn Abdul Aziz adalah palsu. Karena mereka merujuk pada Hadis-hadis fikih yang menurut pandangan para orientalis baru muncul sesudah zaman Umar ibn Abdul Aziz.[9] Pendapat ini tentunya tidak mengkaji tentang sejarah Islam dari awal, yang mana ungkapan-ungkapan Nabi saw yang belum ditulis hanya dengan lisan dianggap sebagai ucapan biasa saja. Padahal bila kita rujuk pada pengertian Hadis itu sendiri bahwa segala sesuatu yang lahir dari perilaku Nabi secara keseluruhan itu merupakan bahan yang menjadi hukum atau pelajaran pada generasi sesudahnya. Terkait dengan pengertian tersebut maka kitab al Muwaththa’ karya ibn Malik merupakan salah satu kitab yang mencatat Hadis Nabi SAW dan fatwa ulama awal di Madinah yang menganut pengertian tersebut,sehingga kitab tersebut disusun berdasarkan pola yang diawali dengan atsar dan baru kemudian fatwa yang memuat penjelasan-penjelasan hukum yang berkaitan dengan perkataan, perbuatan yang dilakukan Nabi dan pendapat hukum para sahabat, tabi’in serta fatwa ulama
B. Masa Pemurnian dan Penyempurnaan Penulisan Hadis (Abad ke 3 H)
Menurut ahli Hadis, yang menjadi masalah pokok yang menyebabkan keterlambatan sampai seratus tahun lebih dalam pembukuan Hadis adalah karena hanya mengikuti pendapat populer di kalangan mereka tanpa meneliti sumber-sumber yang menunjukkan bahwa Hadis sudah dibukukan pada masa yang lebih awal.[10] Sedangkan sebab lain kenapa hadis belum disusun dan dibukukan pada masa sahabat dan tabi'in dikarenakan adanya larangan Nabi dalam shahih Muslim, khawatir akan bercampur dengan Alquran, sebab lain hafalan mereka sangat kuat dan mereka juga cerdas, di samping umumnya mereka tidak dapat menulis. Baru pada masa akhir tabi'in, Hadis-hadis Nabi disusun dan dibukukan.
Masa pemurnian dan penyempurnaan Hadis berlangsung sejak pemerintahan al-Ma'mun sampai awal pemerintahan al-Muqtadir dari khalifah Dinasti Abbasiyah. Ulama-ulama Hadis memusatkan pemeliharaan pada keberadaan Hadis, terutama kemurnian Hadis Nabi saw, sebagai antisipasi mereka terhadap kegiatan pemalsuan Hadis yang semakin marak.[11] Dalam setiap ajaran agama bagi para pemeluknya, tentunya sangat bervariasi dalam mengamalkan ajaran itu sendiri. Ini sesuai dengan kondisi sejauh mana pemahaman mereka tentang agama serta pengaruh yang dapat mengubah pola pikir seseorang menjadi taat, fanatik, atau acuh tak acuh. Perkembangan ilmu pengetahuan sudah dimulai pada abad ke-2 dengan lahirnya para imam mujtahid di berbagai bidang fikih dalam ilmu kalam. Perselisihan dan perbedaan pendapat di kalangan imam mujtahid menjadi khazanah ilmu yang terus dikembangkan dan dihargai, tetapi lain halnya yang dipahami oleh para pengikut imam tersebut. Dikarenakan faktor ingin benar dan menang sendiri maka pendapat ulama lainnya dianggap tidak benar. Fanatik menjadi ciri khas mereka yang akhirnya menciptakan Hadis-hadis palsu dalam rangka mendukung mazhabnya dan menjatuhkan mazhab lawannya.
Kegiatan pemalsuan Hadis mengalami masa yang begitu lama, sejak dari pemerintahan al-Ma'mun, al-Mu'tasim dan Wastiq, yang mereka sangat mendukung kaum Mu'tazilah. Momentum pertentangan mazhab juga dimanfaatkan oleh kaum kafir Zindiq yang memusuhi Islam untuk menciptakan Hadis-hadis palsu dan menyesatkan kaum muslimin dan tidak ketinggalan para pengarang cerita juga memanfaatkan setuasi tersebut. Ulama Mu'tazilah tidak saja mempengaruhi pikiran khalifah untuk bertindak keras terhadap ahli Hadis, bahkan mereka melepaskan umpat dan caci maki kepada ahli Hadis serta menuduh ahli Hadis bodoh dan dungu.[12]
Oleh sebab itu para ulama berupaya agar pelestarian yang berbentuk Hadis dapat terus dipertahankan dan diabadikan tentunya dengan menyeleksi satu demi satu Hadis yang telah masuk ataupun penemuan baru yang hubungan keakuratannya adalah bisa dipertanggungjawabkan serta memang benar-benar datang dari Nabi saw. Maka para ulama melakukan kunjungan ke daerah-daerah untuk menemui para perawi Hadis yang jauh dari pusat kota. Di antara mereka adalah Imam Bukhari yang telah melakukan perjalanan selama 16 tahun dengan mengunjungi kota Mekkah, Madinah dan kota-kota lain. Seterusnya mereka juga melakukan pengklasifikasian Hadis yang disandarkan kepada Nabi (marfu'), dan yang disandarkan kepada para sahabat (mawquf), serta yang disandarkan kepada tabi'in (maqthu'), serta penyeleksian Hadis kepada Hadis Shahih, Hasan, dan Dha'if.
Adapun bentuk penyusunan kitab Hadis pada periode ini adalah:
- Kitab Shahih, kitab ini hanya menghimpun Hadis-hadis Shahih, sedangkan yang tidak Shahih tidak dimasukkan kedalamnya. Yang termasuk dalam kitab shahih adalah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
- Kitab Sunan, di dalam kitab ini selain dijumpai hadis-hadis Shahih, juga dijumpai Hadis yang berkualitas Dha'if dengan syarat tidak terlalu lemah dan tidak munkar. Yang termasuk dalam kitab ini antara lain Sunan Abi Dawud, Sunan at Turmudzi, Sunan al Nasa’I dan Sunan ibn Majah.
- Kitab Musnad, di dalam kitab ini dijumpai Hadis-hadis disusun berdasarkan urutan kabilah, seperti mendahulukan Bani Hasyim dari yang lainnya, ada yang menurut urutan lainnya seperti huruf hijaiyah dan lain sebagainya. Yang termasuk kitab ini adalah Musnad Ahmad ibn Hanbal.
C. Masa Pemeliharaan, penertiban dan penambahan dalam penulisan Hadis (Abad 4 s/d 7 H)
Sebelum datangnya agama Islam, bangsa Arab tidak dikenal dengan kemampuan membaca dan menulis, sehingga mereka lebih dikenal sebagai bangsa yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Namun demikian, ini tidak berarti bahwa di antara mereka tidak ada seorangpun yang bisa menulis dan membaca. Keadaan ini hanya sebagai ciri keadaan dari mereka. Sejarah telah mencatat bahwa sejumlah orang yang di antara mereka ada yang mampu membaca dan yang menulis, Adiy bin Zaid al-Abbay (w. 35 sebelum hijrah) misalnya, sudah belajar menulis hingga menguasainya, dan merupakan orang yang pertama yang mampu menulis dengan bahasa Arab yang ditujukan kepada Kisra. Sebagian orang Yahudi juga mengajarkan anak-anak di Madinah menulis Arab. Kota Mekkah dengan pusat perdagangannya sebelum kenabian, menjadi saksi adanya para penulis dan orang-orang yang mempu membaca.[13]
Pada masa setelah sahabat kegiatan pengumpulan Hadis sudah menjadi suatu keharusan sejak abad ke-2, hal ini didasari karena perkembangan Islam semakin meluas dan diperlukannya rujukan-rujukan hukum yang mudah untuk didapatkan argumennya. Maka pemeliharaan Hadis sudah menjadi tanggungjawab para penguasa pada saat itu. Dimulai dari khalifah al-Muqtadir sampai pada al-Mu'tashim, walaupun kekuasaan Islam sudah mulai melemah pada abad ke 7 akibat serangan Holagu Khan cucu dari Jengis Khan, namun kegiatan para ulama Hadis dalam rangka memeliharannya dan mengembangkannya berlangsung sebagaimana pada periode sebelumnya. Hanya saja Hadis yang dihimpun tidaklah sebanyak masa sebelumnya. Adapun kitab-kitab Hadis yang dihimpun adalah:
- Al-Shahih, oleh ibn Khujaimah (313 H).
- Al-Anwa'wa al-Taqsim, oleh ibn Hibban (354 H).
- Al-Musnad, oleh Abu Awanah (316 H).
- Al-Muntaqa, oleh ibn Jarud.
- Al-Muhtarah, oleh Muhammad ibn Abd al-Maqdisi.[14]
Adapun bentuk-bentuk penyusunan kitab Hadis pada periode ini memperkenalkan sistem baru, yaitu:
- Kitab Athraf, di dalam kitab ini penyusunnya hanya menyebutkan sebagian dari matan Hadis tertentu kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu, baik sanad yang berasal dari kitab Hadis yang dikutip matannya ataupun dari kitab-kitab lainnya.
- Kitab Mustakhraj, kitab ini memuat matan Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim, atau keduanya atau yang lainnya, dan selanjutnya penyusunan kitab ini meriwayatkan matan Hadis tersebut dengan sanadnya sendiri.
- Kitab Mustadrak, kitab ini menghimpun Hadis-hadis yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau yang memiliki salah satu syarat dari keduanya.
- Kitab Jami', kitab ini menghimpun Hadis-hadis yang termuat dalam kitab-kitab yang telah ada, seperti:
- Yang menghimpun Hadis-hadis shahih Bukhari dan Muslim.
- Yang menghimpun Hadis-hadis dari al-Kutub al-Sittah.
- Yang Menghimpun Hadis-hadis Nabi dari berbagai kitab hadis.
1. Kegiatan periwayatan hadis
Berawal dari penaklukan yang dilakukan oleh tentara Tartar terhadap pemerintahan Abbasiyah yang kemudian dihidupkan kembali oleh dinasti Mamluk setelah berhasil menaklukkan bangsa mongol. Akan tetapi Dinasti Mamluk mempunyai maksud tertentu dengan membai'at khalifah. Hanyalah sekedar simbul agar daerah-daerah Islam lain mau mengakui daerah Mesir sebagai pusat pemerintahan Islam yang akhirnya umat akan tunduk kepada Mesir sebagai pemerintahan Islam, setelah itu lahirlah pengakuan pada Dinasti Mamluk sebagai penguasa dunia Islam. Setelah masa berlalu, kekuasaan Dinasti Mamluk sudah mulai surut, masuklah abad ke-8 H, Usman Kajuk mendirikan kerajaan di Turki atas peninggalan Bani Saljuk di Asia Tengah sambil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang ada disekirnya dan selanjutnya membangun Daulah Utsmaniah yang berpusat di Turki. Setelah menaklukkan Konstantinopel dan Mesir (runtuhnya Khalifah Abbasiyah), maka berpindahlah pusat kekuasaan Islam ke Konstantinopel pada abad ke-13 H, Mesir yang dipimpin oleh Muhammad Ali mulai bangkit untuk mengembalikan kejayaan Mesir masa silam. Namun Eropa bertambah kuat menguasai dunia, secara bertahap mereka mulai menguasai daerah-daerah Islam, sehingga pada abad ke-19 M sampai abad ke-20 M hampir seluruh wilayah Islam dijajah oleh bangsa Eropa. Kembangkitan kembali umat Islam baru dimulai pada pertengahan abad ke-20 M.
Sejalan dengan kondisi Islam di atas, maka periwayatan Hadis pada periode ini lebih banyak dilakukan dengan cara ijazahi dan mukatabah.[16] Sedikit sekali dari ulama Hadis pada periode ini melakukan periwayatan Hadis secara hafalan sebagaimana yang dilakukan oleh ulama Mutakaddimin, di antaranya:
- Al-'Iraqi (w. 806 H/ 1404 M). Dia berhasil mendektekan Hadis secara hafalan kepada 400 majelis sejak tahun 796 H / 1394 M, serta menulis beberapa kitab Hadis.
- Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H / 1448 M), seorang penghafal Hadis yang tiada tandingannya pada masanya. Ia telah mendektekan Hadis kepada 1000 majelis dan menulis sejumlah kitab yang berkaitan dengan Hadis.
- Al-Sakhawi (w. 902 H / 1497 M), ia merupakan murid Ibnu Hajar, yang telah mendektekan Hadis kepada 1000 majelis dan menulis sejumlah kitab.[17]
Dalam hal ini kita tidak terlepas dari ilmu Tarikhi'r-Ruwah yang membicarakan hal ihwal para rawi Hadis baik yang bersangkutan dengan umur dan tanggal kapan mereka dilahirkan, dimana domisili mereka dan kapan mereka menerima Hadis dari guru-guru mereka.[18]
2. Bentuk penyusunan kitab Hadis
Pada periode ini, umumnya para ulama hadis mempelajari kitab-kitab Hadis yang telah ada, kemudian mengembangkan dan meringkaskannya sehingga menjadi sebuah karya sebagai berikut:
a. Kitab Syarah. Yaitu kitab yang memuat uraian dan penjelasan kandungan Hadis dari kitab tertentu dan hubungannya dengan dalil-dalil lain yang bersumber dari Alquran, Hadis, ataupun kaidah-kaidah syara’ lainnya.[19] Di antara contohnya adalah:
- Fath al-Bari, oleh Ibn Hajar al-asqalani, yaitu syarah kitab Shahih al-Bukhari.
- Al-Minhaj, qleh al-Nawawi, yang mensyarahkan kitab Shahih Muslim.
- ‘Aun al-Ma’bud, oleh Syams al-Haq al-Azhim al-Abadi, syarah sunan Abu Dawud.
c. Kitab Zawa’id. Yaitu kitab yang menghimpun Hadis-hadis dari kitab-kitab tertentu yang tidak dimuat kitab tertentu lainnya. Di antara contohnya adalah Zawa’id al-sunan al-Kubra, oleh al-Bushiri, yang memuat hadis-hadis riwayat al-Baihaqi yang tidak termuat dalam al-Kutub al-Sittah.
d. Kitab petunjuk (kode indeks) Hadis. Yaitu, kitab yang berisi petunjuk-petunjuk praktis yang mempermudah mencari matan Hadis pada kitab-kitab tertentu. Contohnya, Miftah Kunuz al-Sunnah, oleh A.J. Wensinck, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh M. Fu’ad ‘Abd al-Baqi.
e. Kitab Takhrij. Yaitu kitab yang menjelaskan tempat-tempat pengambilan Hadis-hadis yang memuat dalam kitab tertentu dan menjelaskan kualitasnya. Contohnya adalah, Takhrij Ahadits al-Ihya’, oleh Al-‘Iraqi. Kitab ini men-takhrij Hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali.
f. Kitab Jami’. Yaitu kitab yang menghimpun Hadis-hadis dari berbagai kitab Hadis tertentu, seperti al-Lu’lu’ wa al-Marjan, karya Muhammad fu’ad al-Baqi. Kitab ini menghimpun Hadis-hadis Bukhari dan Muslim.
g. Kitab yang membahas masalah tertentu, seperti masalah hukum. Contohnya, Bulugh al-Maram min Adillah al-Hakam, oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani dan koleksi Hadis-hadis Hukum oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy.[20]
Dengan adanya karya-karya besar para ahli Hadis tersebut, maka dapatlah mempermudah generasi sekarang ini dalam mempelajari serta mentelusuri Hadis-hadis yang ada sekarang, sehingga dapat mengetahui kualitas Hadis-hadis tersebut, dan menghindarkan diri dari pengamalan Hadis-hadis yang daif.
===============
EndNote:
[1]Nawir Yuslem,Ulumul Hadis, (Jakarta :Mutiara Sumber Widya,2001) cet I. h.125.
[2]Shubhi ash-Shalih, ‘Ulum al-Hadis wa Mushthalahuh (Libanon: Dar al-‘Ilm al-Malayin, 1977), h. 45.
[3]Ibid., h. 83.
[4]Shubudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Bandung: Angkasa, 1991), h. 69.
[5]Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), h. 97.
[6]Mun'im Qindil, Kehidupan orang-orang Shaleh (Semarang: Asy Syifa', t.t ), h. 209.
[7]M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 106.
[8]Abuddin Nata, Alquran dan Hadis (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), h. 158.
[9]Ibid., h. 159.
[10]Azami, Hadis Nabi…… h. 108.
[11]Yuslem, Ulumul Hadis…., h. 133.
[12]M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Perkembangan Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 87.
[13]Syaikh Manna’ al-Qathtan, Mabahis Fi Ulumil Hadis, terj. Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadis (Jakarta: Al-Kausar, 2005), h. 45.
[14]Yuslem, Ulumul Hadis…… h. 139.
[15]Ibid. h. 139.
[16]Ijazah adalah pemberian izin dari seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan Hadis-hadis yang berasal dari guru tersebut, baik yang tertulis maupun yang berupa hafalan. Sedangkan mukatabah adalah pemberian catatan Hadis dari seorang guru kepada orang lain (muridnya), baik catatan tersebut ditulis oleh guru itu sendiri ataupun yang didektekan kepada muridnya. Lihat Nawir Yuslem, Ulumul Hadis…. h. 143.
[17]Ibid. h. 144.
[18]Farhur Rahman, Ikhtishar Mushthalul Hadis (Bandung: Alma'arif, 1974), h. 296.
[19]Yuslem, Ulumul Hadis, h. 144.
[20]Ibid. h. 145.
===============
DAFTAR PUSTAKA
Azami, M.M. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
Hasan, Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2003.
Ismail, Shubudi. Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa, 1991.
Nata, Abuddin. Alquran dan Hadis. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996.
Qathtan, Manna’. Mabahis Fi Ulumil Hadis, terj. Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadis. Jakarta: Al-Kausar, 2005.
Qindil, Mun'im. Kehidupan orang-orang Shaleh. Semarang: Asy Syifa'.
Rahman, Farhur. Ikhtishar Mushthalul Hadis. Bandung: Alma'arif, 1974.
Shalih, Shubhi. ‘Ulum al-Hadis wa Mushthalahuh. Libanon: Dar al-‘Ilm al-Malayin, 1977.
Shiddieqy, M. Hasbi. Sejarah Perkembangan Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001.
0 comments:
Post a Comment