Islam sebagai agama yang bersifat universal, selain menghendaki kebersihan lahiriah juga menghendaki kebersihan batiniah, lantaran penilaian yang sesungguhnya dalam Islam diberikan pada aspek batinnya. Hal ini terlihat pada salah satu syarat diterimanya amal ibadah, yaitu harus disertai niat.
Tasawuf merupakan salah satu bidang studi Islam yang memusatkan perhatian pada penbersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia. Melalui studi tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkan secara benar. Dari pengetahuan ini diharapkan ia akan tampil sebagai orang yang pandai mengendalikan dirinya pada saat ia berinteraksi dengan orang lain, atau pada saat melakukan berbagai aktivitas yang menuntut kejujuran, keikhlasan, tanggung jawab, kepercayaan dan lain-lain. Dari suasana yang demikian itu, tasawuf diharapkan dapat mengatasi berbagai penyimpangan moral seperti manipulasi, korupsi, kolusi, penyalahgunaan kekuasaan dan kesempatan, penindasan dan sebagainya.
Melihat pentingnya peranan tasawuf dalam kelangsungan hidup manusia seutuhnya, maka tidak mengherankan jika tasawuf akrab dengan kehidupan masyarakat Islam setelah masyarakat tersebut membina akidah dan ibadahnya melalui ilmu tauhid dan ilmi fiqih. Berkenaan dengan ini telah bermunculan para peneliti yang mengonsentrasikan kajiannya pada masalah tasawuf yang hasilnya telah disajikan dalam berbagai literatur.
A. Pengertian Tasawuf, Sufi dan Tariqat
Banyak defenisi tasawuf yang dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh. Hal ini disebabkan karena para ahli tasawuf tidak ada memberikan defenisi tentang ilmu sebagaimana para ahli filsafat. Ahli tasawuf hanya menggambarkan tentang sesuatu keadan yang dialaminya dalam kehidupan tasawuf pada waktu keadaan tertentu.1 Disamping itu, perbedaan cara memandang kegiatan tasawuf juga melahirkan defenisi yang berbeda.
Dari segi kebahasaan terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubungkan orang dengan tasawuf. Harun Nasution misalnya menyebutkan lima istilah yang berhubungan dengan tasawuf, yaitu al Suffah (ahl al-suffah) yaitu orang yang ikut pindah dengan Nabi dari Mekkah ke Madinah, saf, yaitu barisan yang dijumpai dalam melaksanakan salat berjama’ah, sufi yaitu bersih dan suci, sophos (bahasa Yunani : hikmah), dan suf (kain wol kasar).2
Jika diperhatikan secara seksama, nampak kelima istilah tersebut bertemakan tentang sifat-sifat dan keadaan yang terpuji, kesederhanaan dan kedekatan dengan Tuhan. Dengan demikian, dari segi kebiasaan tasawuf menggambarkan keadaan yang selalu berorientasi kepada kesucian jiwa, mengutamakan kebenaran dan rela berkorban demi tujuan-tujuan yang lebih mulia disisi Allah.
Dari segi istilah, tasawuf dapat didefenisikan dari tiga sudut pandang. Pertama, sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, kedua, sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, dan ketiga, sudut pandang manusia sebagai makhluk bertuhan.
Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas, maka tasawuf dapat didefenisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia akan memusatkan perhatian hanya kepada Allah. Selanjutnya jika sudut pandang yang digunakan adalah pandangan bahwa manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, maka tasawuf dapat didefenisikan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber pada ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Dan jika sudut pandang yang digunakan adalah manusia sebagai makhluk bertuhan, maka tasawuf dapat didefenisikan sebagai keadaan fitrah (perasaan percaya kepada Tuhan) yang dapat mengarahkan jiwa agar selalu tertuju pada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan.3
Kata sufi atau sufiah diartikan sebagai orang yang selalu mengamalkan ajaran tasawuf dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, sufi berarti orang yang telah mensucikan hatinya dengan mengingat Allah (zikrullah), menempuh jalan kembali kepada Allah dan sampai pada pengetahuan hakiki (ma’rifah).4
Istilah tariqat berasal dari kata al-tariq yang berarti jalan menuju kepada hakikat. Menurut istilah adalah tata cara yang telah digariskan dalam agama dan dilakukan hanya karena penghambaan diri kepada Allah dan karena ingin berjumpa dengan-Nya.5
B. Sumber dan Perkembangan Pemikiran Tasawuf
Di kalangan para orientalis Barat biasanya dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa sumber yang menbentuk tasawuf itu ada lima, yaitu unsur Islam, unsur Masehi, unsur Yunani, unsur Hindu/Budha dan unsur Persia.6 Kelima unsur ini secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut :
Sejalan dengan apa yang dibicarakan al-Qur’an diatas, Sunnahpun banyak berbicara tentang kehidupan rohaniah antara lain :
Aku adalah perbendaharaan yang bersembunyi, maka aku menjadikan makhluk agar mereka mengenal-Ku.
Selanjutnya didalam kehidupan Nabi Muhammad juga terdapat petunjuk yang menggambarkannya sebagai seorang sufi. Nabi telah melakukan pengasingan diri ke Gua Hira’ menjelang datangnya wahyu. Selama di Gua Hira’ ia tafakkur, beribadah dan hidup sebagai seorang yang zahid. Beliau hidup sederhana, tidak memakan atau meminum minuman kecuali yang halal.
Unsur-unsur luar Islam yang diduga mempengaruhi tasawuf Islam itu adalah sebagai berikut :
a. Unsur Masehi
Dalam ajaran Kristen ada faham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara. Dalam literatur Arab yang terdapat tulisan-tulisan tentang rahib-rahib yang mengasingkan diri di padang pasir Arabiah. Dikatakan bahwa zahid dan sufi dalam Islam meninggalkan dunia, memilih hidup sederhana dan mengasingkan diri adalah atas pengaruh rahib Kristen.7
b. Unsur Yunani
Ajaran Pythagoras untuk meninggalkan dunia dan pergi berkontemplasi, menurut sebagian orang inilah yang mempengaruhi Zuhud dan tasawuf dalam Islam.8 Filsafat mistik Phytagoras mengatakan bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Kesenangan roh yang sebenarnya berada di alam samawi.
c. Unsur Hindu/Budha
Dalam ajaran Budha dinyatakan bahwa untuk mencapai nirwana orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Faham fana’ yang terdapat dalam tasawuf hampir serupa dengan faham nirwana. Dalam ajaran Hindu juga dianjurkan agar manusia meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan.
d. Unsur Persia
Diantara para orientalis ada yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari Persia, karena sebagian tokohnya berasal dari Persia, seperti Ma’ruf al-Karkhi dan Abu Yazid al-Bustami. Pendapat ini tidak mempunyai pijakan yang kuat, karena perkembangan tasawuf tidak sekedar upaya mereka saja. Banyak para sufi Arab yang hidup di Syria, bahkan di kawasan Afrika (Maroko), seperti al-Darani, Zu al-Nun al-Misri dan lain-lain.9
Perkembangan tasawuf dalam Islam telah mengalami beberapa fase, yaitu:
Pertama, yaitu fase asketisme (zuhud) yang tumbuh pada abad pertama dan kedua hijriyah. Pada fase ini terdapat individu-individu dari kalangan muslim yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah. Mereka menjalankan konsepsi asketis dalam kehidupan, yaitu tidak mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal. Mereka lebih banyak beramal untuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan akhirat. Tokoh yang sangat populer dari kalangan mereka adalah Hasan al-Basri (w.110H) dan Rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H).10
Pada abad ketiga hijriyah, ahli tasawuf mencoba menyelidiki ajaran tasawuf yang berkembang pada masa itu, sehingga mereka membaginya menjadi tiga bagian yaitu :
Pada abad keempat Hijriyah, ilmu tasawuf maju lebih pesat jika dibanding dengan abad ketiga. Para ulama mengembangkan ajaran tasawufnya masing-masing. Sehingga kota Bagdad sebagai kota satu-satunya yang terkenal sebagai pusat kegiatan tasawuf yang paling besar sebelum masa itu, tersaingi oleh kota-kota besar lainnya. Ulama yang mengembangkan ajaran tasawufnya tersebut antara lain :
Pada abad keenam Hijriyah muncul kelompok tokoh tasawuf yang memadukan tasawuf mereka dengan filsafat, dengan teori mereka yang bersifat setengah-setengah. Disebut murni tasawuf bukan, murni filsafatpun bukan. Mereka itu antara lain al-Suhrawardi al-Maqtul (w. 549 H) Muhyiddin Ibnu al-‘Arabi (w. 638 H), Umar Ibnu al-Farid (w. 632 H)
Dengan munculnya para sufi yang juga filosof, orang mulai membedakannya dengan tasawuf yang mula-mula berkembang, yaitu tasawuf akhlaki yang identik dengan tasawuf sunni. Dengan demikian, aliran tasawuf terbagi menjadi dua, tasawuf sunni dan tasawuf falsafi.
Pada abad ketujuh tercatat dalam sejarah, bahwa menurunkan gairah masyarakat Islam untuk mempelajari tasawuf. Hal ini disebabkan :
C. Variasi Praktek Tasawuf dan Pengkajiannnya
Para sufi punya cara yang berbeda dalam mengimplementasikan hidup dan ajaran tasawufnya. Pengalaman-pengalaman dalam mendekatkan diri kepada Allah menjadikan praktek tasawuf itu lebih bervariasi. Karena tujuh dari sufi itu adalah berada sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga tercapai persatuan, maka cara mencapai tujuan itu panjang dan berisi maqamat.14 Maqamat yang biasa disebutkan antara lain tobat, zuhud, sabar, tawakal dan rida. Diatas itu ada lagi al-mahhab (cinta), al-ma’rifah (pengetahuan), al fana dan al- baqa (kehancuran dan kelanjutan dan itihad (persatuan).
Rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H) adalah seorang yang banyak mengeluarkan cinta pada Tuhan. Ia mengatakan “Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut masuk neraka atau bukan pula ingin masuk surga, tetapi karena cintaku kepada-Nya.15 Cinta kepada Tuhan begitu memenuhi jiwanya sehingga di dalamnya tidak ada lagi ruangan untuk cinta kepada yang lain.
Rabi’ah al-Adawiyah mengklasifikasikan cinta Ilahi kepada dua jenis. Pertama, rasa cinta yang timbul dari nikmat-nikmat dan kebaikan yang diberikan Allah. Kedua, cinta yang tidak didorong kesenangan indrawi, tetapi didorong zat yang dicintai yaitu tersingkapnya tirai sehingga Allah nyata baginya.
Faham al-ma’rifah dipelopori oleh Zu al- Nun al-Misri (w. 214 H). Menurut beliau ma’rifah itu berbeda lagi setiap orang. Ma’rifah tentang keEsaan Allah yang diniliki orang awam didasarkan kepada taklid, ma’rifah utama bersumber kepada dalil. Sedangkan ma’rifah bagi ahli sufi atau wali-wali Allah bersumber kepada kasyf dan musyahadah. Menurut Zu al-Nun al-Misri, ma’rifah yang benar kepada Allah membawa sinarNya dalam hati hingga terang dan jelas, membuat orang selalu mendekat kepada Allah sehingga menjadi fana dalam keesaan-Nya. Dalam keadaan yang demikian, maka orang berbicara dengan ilmu yang diberikan-Nya, melihat dengan penglihatan-Nya, berbuat dengan perbuatan-Nya. Jadi ma’rifah itu ialah sesuatu yang halus dan terbit dari hati terdalam, diberikan oleh Tuhan sehingga terbuka hijab dan jelaslah penyelesainya.
D. Pendekatan Utama Dalam Kajian Tasawuf
Ada beberapa pendekatan yang dilakukan dalam kajian tasawuf, yaitu :
Pendekatan ini dilakukan oleh Sayyed Husein Nasr ketika melakukan penelitian di bidang tasawuf dengan judul : Tasawuf Dulu dan Sekarang, yang diterjemahkan oleh Abdul hadi WM.16
Faham wahdat al-wujud ini timbul dari faham bahwa Allah ingin melihat dirinya, maka dijadikannyalah alam. Maka alam ini merupakan cermin bagi Allah. Di kala ia melihat dirinya, ia lihat kepada alam, pada benda-benda yang ada pada alam, karena pada tiap benda-benda itu terdapat sifat Tuhan. Dari sini timbullah paham kesatuan. Yang ada dalam alam ini kelihatan banyak, tetapi sebenarnya itu satu. Tak obahnya seperti orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di sekelilingnya.
E. Tokoh dan Karya Utama Dalam Kajian Tasawuf
Karya-karyanya yang berkaitan dengan tasawuf adalah : Lataif al-Asrar, Nubzah fi az-Zil ma’a Sahibih, Asrar al-Ihsan fi Ma’rifat ar- Ruh wa ar Rahman, Jawahir al-Ulum fi Kasyf al-Ma’lum, Syifa al Qulub, Hidayah al Imam bin Fadlal – manan, ‘Aqaid as-Sufiyah al- Muwahiddin, Rahiq alp Muhammadiyah fi Tariq as- Sufiyah.21
==================
FootNote
====================
Daftar Pustaka
Anwar, Rosihan, Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2000.
As, Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994.
Basuni, Ibrahim, Nas’ah al-Tasawuf al- Islam. Makkah: Dar al-Ma’rifat, 1119 H. Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1983.
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993.
Mahyuddin, Kuliah Akhlah Tasawuf. Jakarta: Kalam Mulia, 2001.
Mansur, M. Laily, Ajaran dan Teladan Para Sufi. Jakarta: Sri Gunting, 1996.
Mz, Lahib, Rahasia Ilmu Tasawu. Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2001.
Mz, Labib, Kisah Perjalanan Tokoh Sufi Terkemuka. Surabaya: Tiga Dua, 2000.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Nata, Abu, Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
Nasrullah, M.S., Kunci Memasuki Dunia Tasawuf. Bandung: Mizan, 1996.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Beberapa Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1986.
Solihin, M., Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Tasawuf merupakan salah satu bidang studi Islam yang memusatkan perhatian pada penbersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia. Melalui studi tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkan secara benar. Dari pengetahuan ini diharapkan ia akan tampil sebagai orang yang pandai mengendalikan dirinya pada saat ia berinteraksi dengan orang lain, atau pada saat melakukan berbagai aktivitas yang menuntut kejujuran, keikhlasan, tanggung jawab, kepercayaan dan lain-lain. Dari suasana yang demikian itu, tasawuf diharapkan dapat mengatasi berbagai penyimpangan moral seperti manipulasi, korupsi, kolusi, penyalahgunaan kekuasaan dan kesempatan, penindasan dan sebagainya.
Melihat pentingnya peranan tasawuf dalam kelangsungan hidup manusia seutuhnya, maka tidak mengherankan jika tasawuf akrab dengan kehidupan masyarakat Islam setelah masyarakat tersebut membina akidah dan ibadahnya melalui ilmu tauhid dan ilmi fiqih. Berkenaan dengan ini telah bermunculan para peneliti yang mengonsentrasikan kajiannya pada masalah tasawuf yang hasilnya telah disajikan dalam berbagai literatur.
A. Pengertian Tasawuf, Sufi dan Tariqat
Banyak defenisi tasawuf yang dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh. Hal ini disebabkan karena para ahli tasawuf tidak ada memberikan defenisi tentang ilmu sebagaimana para ahli filsafat. Ahli tasawuf hanya menggambarkan tentang sesuatu keadan yang dialaminya dalam kehidupan tasawuf pada waktu keadaan tertentu.1 Disamping itu, perbedaan cara memandang kegiatan tasawuf juga melahirkan defenisi yang berbeda.
Dari segi kebahasaan terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubungkan orang dengan tasawuf. Harun Nasution misalnya menyebutkan lima istilah yang berhubungan dengan tasawuf, yaitu al Suffah (ahl al-suffah) yaitu orang yang ikut pindah dengan Nabi dari Mekkah ke Madinah, saf, yaitu barisan yang dijumpai dalam melaksanakan salat berjama’ah, sufi yaitu bersih dan suci, sophos (bahasa Yunani : hikmah), dan suf (kain wol kasar).2
Jika diperhatikan secara seksama, nampak kelima istilah tersebut bertemakan tentang sifat-sifat dan keadaan yang terpuji, kesederhanaan dan kedekatan dengan Tuhan. Dengan demikian, dari segi kebiasaan tasawuf menggambarkan keadaan yang selalu berorientasi kepada kesucian jiwa, mengutamakan kebenaran dan rela berkorban demi tujuan-tujuan yang lebih mulia disisi Allah.
Dari segi istilah, tasawuf dapat didefenisikan dari tiga sudut pandang. Pertama, sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, kedua, sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, dan ketiga, sudut pandang manusia sebagai makhluk bertuhan.
Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas, maka tasawuf dapat didefenisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia akan memusatkan perhatian hanya kepada Allah. Selanjutnya jika sudut pandang yang digunakan adalah pandangan bahwa manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, maka tasawuf dapat didefenisikan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber pada ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Dan jika sudut pandang yang digunakan adalah manusia sebagai makhluk bertuhan, maka tasawuf dapat didefenisikan sebagai keadaan fitrah (perasaan percaya kepada Tuhan) yang dapat mengarahkan jiwa agar selalu tertuju pada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan.3
Kata sufi atau sufiah diartikan sebagai orang yang selalu mengamalkan ajaran tasawuf dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, sufi berarti orang yang telah mensucikan hatinya dengan mengingat Allah (zikrullah), menempuh jalan kembali kepada Allah dan sampai pada pengetahuan hakiki (ma’rifah).4
Istilah tariqat berasal dari kata al-tariq yang berarti jalan menuju kepada hakikat. Menurut istilah adalah tata cara yang telah digariskan dalam agama dan dilakukan hanya karena penghambaan diri kepada Allah dan karena ingin berjumpa dengan-Nya.5
B. Sumber dan Perkembangan Pemikiran Tasawuf
Di kalangan para orientalis Barat biasanya dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa sumber yang menbentuk tasawuf itu ada lima, yaitu unsur Islam, unsur Masehi, unsur Yunani, unsur Hindu/Budha dan unsur Persia.6 Kelima unsur ini secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut :
- 1. Unsur Islam
Sejalan dengan apa yang dibicarakan al-Qur’an diatas, Sunnahpun banyak berbicara tentang kehidupan rohaniah antara lain :
Aku adalah perbendaharaan yang bersembunyi, maka aku menjadikan makhluk agar mereka mengenal-Ku.
Selanjutnya didalam kehidupan Nabi Muhammad juga terdapat petunjuk yang menggambarkannya sebagai seorang sufi. Nabi telah melakukan pengasingan diri ke Gua Hira’ menjelang datangnya wahyu. Selama di Gua Hira’ ia tafakkur, beribadah dan hidup sebagai seorang yang zahid. Beliau hidup sederhana, tidak memakan atau meminum minuman kecuali yang halal.
- 2. Unsur Luar Islam
Unsur-unsur luar Islam yang diduga mempengaruhi tasawuf Islam itu adalah sebagai berikut :
a. Unsur Masehi
Dalam ajaran Kristen ada faham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara. Dalam literatur Arab yang terdapat tulisan-tulisan tentang rahib-rahib yang mengasingkan diri di padang pasir Arabiah. Dikatakan bahwa zahid dan sufi dalam Islam meninggalkan dunia, memilih hidup sederhana dan mengasingkan diri adalah atas pengaruh rahib Kristen.7
b. Unsur Yunani
Ajaran Pythagoras untuk meninggalkan dunia dan pergi berkontemplasi, menurut sebagian orang inilah yang mempengaruhi Zuhud dan tasawuf dalam Islam.8 Filsafat mistik Phytagoras mengatakan bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Kesenangan roh yang sebenarnya berada di alam samawi.
c. Unsur Hindu/Budha
Dalam ajaran Budha dinyatakan bahwa untuk mencapai nirwana orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Faham fana’ yang terdapat dalam tasawuf hampir serupa dengan faham nirwana. Dalam ajaran Hindu juga dianjurkan agar manusia meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan.
d. Unsur Persia
Diantara para orientalis ada yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari Persia, karena sebagian tokohnya berasal dari Persia, seperti Ma’ruf al-Karkhi dan Abu Yazid al-Bustami. Pendapat ini tidak mempunyai pijakan yang kuat, karena perkembangan tasawuf tidak sekedar upaya mereka saja. Banyak para sufi Arab yang hidup di Syria, bahkan di kawasan Afrika (Maroko), seperti al-Darani, Zu al-Nun al-Misri dan lain-lain.9
Perkembangan tasawuf dalam Islam telah mengalami beberapa fase, yaitu:
Pertama, yaitu fase asketisme (zuhud) yang tumbuh pada abad pertama dan kedua hijriyah. Pada fase ini terdapat individu-individu dari kalangan muslim yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah. Mereka menjalankan konsepsi asketis dalam kehidupan, yaitu tidak mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal. Mereka lebih banyak beramal untuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan akhirat. Tokoh yang sangat populer dari kalangan mereka adalah Hasan al-Basri (w.110H) dan Rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H).10
Pada abad ketiga hijriyah, ahli tasawuf mencoba menyelidiki ajaran tasawuf yang berkembang pada masa itu, sehingga mereka membaginya menjadi tiga bagian yaitu :
- Tasawuf yang berisikan ilmu jiwa, yaitu tasawuf yang berisi metode yang lengkap tentang pengobatan jiwa, yang mengonsentrasikan kejiwaan menusia kepada Khaliqnya sehingga ketegangan jiwa akibat pengaruh keduniaan dapat teratasi dengan baik.
- Taswuf yang berintikan ilmu akhlak, yaitu didalamnya terkandung petunjuk-petunjuk tentang cara-cara berbuat baik.
- Tasawuf yang berisikan metafisika, yaitu didalamnya terkandung ajaran yang melukiskan ketunggalan Ilahi yang merupakan satu-satunya yang ada dalam pengertian yang mutlak.11
Pada abad keempat Hijriyah, ilmu tasawuf maju lebih pesat jika dibanding dengan abad ketiga. Para ulama mengembangkan ajaran tasawufnya masing-masing. Sehingga kota Bagdad sebagai kota satu-satunya yang terkenal sebagai pusat kegiatan tasawuf yang paling besar sebelum masa itu, tersaingi oleh kota-kota besar lainnya. Ulama yang mengembangkan ajaran tasawufnya tersebut antara lain :
- Musa al-Ansary, mengajarkan tasawuf di Khurasan (Iran). Wafat tahun 320 H.
- Abu Hamid bin Muhammad al-Rubazy, mengajar disalah satu kota di Mesir. Wafat tahun 322 H.
- Abu Ali Muhammad bin Abdil Wahhab al-Saqafy, mengajar di Naisabur. Wafat tahun 328 H.
Pada abad keenam Hijriyah muncul kelompok tokoh tasawuf yang memadukan tasawuf mereka dengan filsafat, dengan teori mereka yang bersifat setengah-setengah. Disebut murni tasawuf bukan, murni filsafatpun bukan. Mereka itu antara lain al-Suhrawardi al-Maqtul (w. 549 H) Muhyiddin Ibnu al-‘Arabi (w. 638 H), Umar Ibnu al-Farid (w. 632 H)
Dengan munculnya para sufi yang juga filosof, orang mulai membedakannya dengan tasawuf yang mula-mula berkembang, yaitu tasawuf akhlaki yang identik dengan tasawuf sunni. Dengan demikian, aliran tasawuf terbagi menjadi dua, tasawuf sunni dan tasawuf falsafi.
Pada abad ketujuh tercatat dalam sejarah, bahwa menurunkan gairah masyarakat Islam untuk mempelajari tasawuf. Hal ini disebabkan :
- Semakin gencarnya serangan ulama syari’at memerangi tasawuf
- Adanya tekad penguasa (pemerintah) pada masa itu untuk melenyapkan ajaran tasawuf di dunia Islam, karena kegiatan ini dianggap sebagai sumber perpecahan umat Islam.12
C. Variasi Praktek Tasawuf dan Pengkajiannnya
Para sufi punya cara yang berbeda dalam mengimplementasikan hidup dan ajaran tasawufnya. Pengalaman-pengalaman dalam mendekatkan diri kepada Allah menjadikan praktek tasawuf itu lebih bervariasi. Karena tujuh dari sufi itu adalah berada sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga tercapai persatuan, maka cara mencapai tujuan itu panjang dan berisi maqamat.14 Maqamat yang biasa disebutkan antara lain tobat, zuhud, sabar, tawakal dan rida. Diatas itu ada lagi al-mahhab (cinta), al-ma’rifah (pengetahuan), al fana dan al- baqa (kehancuran dan kelanjutan dan itihad (persatuan).
Rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H) adalah seorang yang banyak mengeluarkan cinta pada Tuhan. Ia mengatakan “Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut masuk neraka atau bukan pula ingin masuk surga, tetapi karena cintaku kepada-Nya.15 Cinta kepada Tuhan begitu memenuhi jiwanya sehingga di dalamnya tidak ada lagi ruangan untuk cinta kepada yang lain.
Rabi’ah al-Adawiyah mengklasifikasikan cinta Ilahi kepada dua jenis. Pertama, rasa cinta yang timbul dari nikmat-nikmat dan kebaikan yang diberikan Allah. Kedua, cinta yang tidak didorong kesenangan indrawi, tetapi didorong zat yang dicintai yaitu tersingkapnya tirai sehingga Allah nyata baginya.
Faham al-ma’rifah dipelopori oleh Zu al- Nun al-Misri (w. 214 H). Menurut beliau ma’rifah itu berbeda lagi setiap orang. Ma’rifah tentang keEsaan Allah yang diniliki orang awam didasarkan kepada taklid, ma’rifah utama bersumber kepada dalil. Sedangkan ma’rifah bagi ahli sufi atau wali-wali Allah bersumber kepada kasyf dan musyahadah. Menurut Zu al-Nun al-Misri, ma’rifah yang benar kepada Allah membawa sinarNya dalam hati hingga terang dan jelas, membuat orang selalu mendekat kepada Allah sehingga menjadi fana dalam keesaan-Nya. Dalam keadaan yang demikian, maka orang berbicara dengan ilmu yang diberikan-Nya, melihat dengan penglihatan-Nya, berbuat dengan perbuatan-Nya. Jadi ma’rifah itu ialah sesuatu yang halus dan terbit dari hati terdalam, diberikan oleh Tuhan sehingga terbuka hijab dan jelaslah penyelesainya.
D. Pendekatan Utama Dalam Kajian Tasawuf
Ada beberapa pendekatan yang dilakukan dalam kajian tasawuf, yaitu :
- 1. Pendekatan tematik
Pendekatan ini dilakukan oleh Sayyed Husein Nasr ketika melakukan penelitian di bidang tasawuf dengan judul : Tasawuf Dulu dan Sekarang, yang diterjemahkan oleh Abdul hadi WM.16
- 2. Pendekatan studi tokoh
Faham wahdat al-wujud ini timbul dari faham bahwa Allah ingin melihat dirinya, maka dijadikannyalah alam. Maka alam ini merupakan cermin bagi Allah. Di kala ia melihat dirinya, ia lihat kepada alam, pada benda-benda yang ada pada alam, karena pada tiap benda-benda itu terdapat sifat Tuhan. Dari sini timbullah paham kesatuan. Yang ada dalam alam ini kelihatan banyak, tetapi sebenarnya itu satu. Tak obahnya seperti orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di sekelilingnya.
- 3. Pendekatan kombinasi
E. Tokoh dan Karya Utama Dalam Kajian Tasawuf
- 1. Al-Gazali
- 2. Suhrawardi al-Maqtul
- 3. Hamka
- 4. Nuruddin al-Raniri
Karya-karyanya yang berkaitan dengan tasawuf adalah : Lataif al-Asrar, Nubzah fi az-Zil ma’a Sahibih, Asrar al-Ihsan fi Ma’rifat ar- Ruh wa ar Rahman, Jawahir al-Ulum fi Kasyf al-Ma’lum, Syifa al Qulub, Hidayah al Imam bin Fadlal – manan, ‘Aqaid as-Sufiyah al- Muwahiddin, Rahiq alp Muhammadiyah fi Tariq as- Sufiyah.21
==================
FootNote
- Ibrahim Basuni, Nas’ah al-Tasawuf al- Islam (Makkah: Dar al-Ma’rifat, 1119 H), hal. 17
- Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), hal. 56.
- Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 240.
- M.S. Nasrullah, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf. Bandung: Mizan, 1996), hal. 289.
- Ibid, hal. 262
- Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 181
- Lahib Mz, Rahasia Ilmu Tasawu (Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2001), hal. 21.
- Harun Nasution, Filsafat, hal. 58
- Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 190
- Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hal. 50
- Mahyuddin, Kuliah Akhlah Tasawuf (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), hal. 70
- Ibid, hal. 88
- Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993), hal. 181
- Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Beberapa Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 78
- Ibid, hal. 80 - 81
- Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, hal. 241
- Ibid, hal. 245
- M. Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi (Jakarta: Sri Gunting, 1996), hal. 81
- Ibid, hal. 175
- Labib Mz, Kisah Perjalanan Tokoh Sufi Terkemuka ( Surabaya: Tiga Dua, 2000), hal. 49.
- M. Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 2001, hal. 39
====================
Daftar Pustaka
Anwar, Rosihan, Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2000.
As, Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994.
Basuni, Ibrahim, Nas’ah al-Tasawuf al- Islam. Makkah: Dar al-Ma’rifat, 1119 H. Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1983.
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993.
Mahyuddin, Kuliah Akhlah Tasawuf. Jakarta: Kalam Mulia, 2001.
Mansur, M. Laily, Ajaran dan Teladan Para Sufi. Jakarta: Sri Gunting, 1996.
Mz, Lahib, Rahasia Ilmu Tasawu. Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2001.
Mz, Labib, Kisah Perjalanan Tokoh Sufi Terkemuka. Surabaya: Tiga Dua, 2000.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Nata, Abu, Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
Nasrullah, M.S., Kunci Memasuki Dunia Tasawuf. Bandung: Mizan, 1996.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Beberapa Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1986.
Solihin, M., Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia, 2001.
0 comments:
Post a Comment