Di masa mudanya, tugas Si’ Djeha adalah membawa sapi-sapi milik sanak-saudaranya untuk merumput di lereng gunung. Dia sendiri Cuma mempunyai seekor anak sapi. Namun, dia antara seluruh ternak itu, si anak sapilah yang paling banyak makannya dan jauh lebih gemuk badannya.
Suatu hari, sanak saudara Si’ Djeha menyuruhnya pergi ke kota. Sekembalinya, mereka berkata kepadanya, “Anak sapimu begitu gemuk dan memikat sehingga kami tidak dapat menahan diri. Ketika kamu pergi, kami menyembelihnya. Dagingnya sudah kami makan.” Mereka mencercap-cercapkan mulut mereka untuk memperlihatkan kepadanya betapa lezat rasanya.
“Paling tidak aku dapat kulitnya,” kata Si’ Djeha.
Dia membawa kulit itu ke pasar, dan sepanjang hari berdiri menjajakannya. Tapi yang diperolehnya tidak lebih dari satu sen. “Apa gunanya uang satu sen?” kata Si’ Djeha kepada dirinya sendiri. Dia membuat lubang keping uang itu, memasukkan sehelai benang merah melalui lubang itu, dan pulang.
Dua orang pria berjalan di depannya. Tiba-tiba mereka berhenti dan membungkuk seakan-akan menemukan sesuatu di atas tanah. Ketika Si’ Djeha sampai ke tempat mereka, dia melihat sedang membagi kepingan uang emas dari sebuah peti kecil.
“Salaam!” kata Si’ Djeha.
Kedua pria itu mendelik marah dan menghardik, “Apa maumu?”
Diam-diam Si’ Djeha menjatuhkan uang sennya di antara emas mereka. “Aku ingin tahu bagaimana bisa dua orang pria tanpa malu-malu membagi harta milik orang lain,” kata Si’ Djeha.
“Allah yang Maha Pemurah yang meletakkan harta ini di jalan yang kami lalui! Jadi, ini milik kami,” sanggah salah seorang pria itu.
“Aku beri tahu kalian, harta itu milikku,” desak Si’ Djeha.
“Bagaimana kami yakin kamu berkata benar?” tanya mereka.
“Aku menyimpan uang satu sen yang disusupi selembar benang merah di antara emasku untuk mengingatkan aku bahwa kalau bukan karena rahmat Allah, aku pasti jatuh miskin,” kata Si’ Djeha.
Kedua pria itu mencari di antara kepingan uang emas dan menemukan uang sen yang dimaksud. “Kamu benar, demi Allah,” kata mereka. “Mari kita bagi emas ini jadi tiga!”
“Tidak,” jawab Si’ Djeha, “kalian ambil separuh dan aku akan menyimpan yang separuh lagi.” Dia memasukkan bagian yang miliknya ke dalam burnous-nya, dan melanjutkan perjalanannya.
Sanak saudara Si’ Djeha sangan terkejut. “Dari mana kamu temukan harta sebanyak itu?” tanya mereka.
Si’ Djeha tertawa. “Tidak dapatkah kalian menduga? Itulah yang aku dapatkan dari kulit anak sapiku.”
“Kami juga ingin kaya,” kata sanak saudara itu satu sama lain. Mereka pun membunuh sapi-sapi mereka dan mengulitinya.
“Jangan digarami kulitnya,” nasihat Si’ Djeha. “Akan kuberi tahu kalian kapan kulit-kulit sapi kalian siap dijual.”
Sanak-saudara itu sangan mempercayai kata-kata Si’ Djeha sekarang, dan mereka membiarkan kulit-kulit mereka membusuk di bawah cahaya matahari, dan menjadi sarang belatung. “Kini kalian bisa membawanya ke pasar,” kata Si’ Djeha.
Ketika tukang-tukang sepatu dan para pekerja kulit melihat kulit busuk itu, mereka berteriak, “Apakah kami tampak seperti orang tolol, sehingga kalian mengira dapat menipu kami?” Dan mereka menghujani dan memukuli sanak-saudara Si’ Djeha dengan tongkat. Mereka nyars tidak sanggup berjalan pulang.
“Kamu telah mencelakakan kami, Si’ Djeha!” mereka berteriak ketika sudah berada sejauh jarak pendengaran.
Si’ Djeha menertawakan mereka. “Apakah kalian benar-benar percaya, demi Allah, ada orang yang mau membayar kulit yang kotor dengan emas?”
Mereka Cuma membisu, menarik tubuh Si’ Djeha, mendorongnya masuk ke dalam karung, dan mengikatnya kuat-kuat. “Dia akan membunuh kita jika kita tidak menyingkirkannya lebih dulu,” bisik mereka. Mereka berniat menenggelamkannya ke laut.
Karena Si’ Djeha masih muda dan tubuhnya gemuk, para penggendongnya merasa berat. Setibanya di pantai, mereka kelelahan dan terengah-engah. Mereka melihat seorang gembala sedang menunggui dombanya merumput di tepi laut. Mereka berhenti dan minta diberi susu. Pria itu memiringkan botol kulit kambingnya agar setiap orang dapat bergiliran minum. Lalu mereka beristirahat sebentar, meletakkan kepala mereka di atas siku mereka, dan tidak lama kemudian mereka lelap tertidur.
Sementara itu, si gembala mulai mengumpulkan ternaknya. Melihat karung tergeletak di atas pasir, dia mengguncang-guncangnya, sambil bertanya dalam hati apa yang ada di dalamnya.
“Tinggalkan aku dalam kedamaian!” Si’ Djeha meraung. Gembala itu tersentak mundur ketakutan. “Apakah kamu manusia atau hantu?” tanyanya. “Dan siapa pun kamu, apa yang sedang kamu lakukan di dalam karung ini?”
“Aku manusia seperti kamu, saudaraku,” kata Si’ Djeha, “tapi aku lebih beruntung. Mereka membawaku untuk membaca Buku Nasib, untuk mengetahui apa yang ditulis untukku dan apa yang disembunyikan Allah dari mata manusia.”
“Wah, aku mau melihatnya juga!” kata gembala.
“Cuma ada tempat untuk satu orang di dalam karung,” kata Si’ Djeha, “dan aku tidak mau membuang kesempatan ini.”
Gembala itu terus mengeluh dan meneriakkan keberuntungan Si’ Djeha, hingga akhirnya Si’ Djeha membiarkan dirinya dibujuk. “Semoga aku diampuni karena melakukan kebodohan seperti ini,” katanya, “tapi tak apalah, saudaraku, kamu boleh menggantikan tempatku. Bukalah ikatannya.” Lalu setelah dia membungkus gembala itu dengan aman di dalam karung dan mengucapkan selamat jalan kepadanya, Si’ Djeha berjalan pulang ke desanya, dan pelan-pelan menggiring domba-domba di depannya.
Pada waktunya, sanak-saudara Si’ Djeha bangun dari tidur mereka. Mereka mengangkat karung dan menenggelamkannya ke laut. Lalu mereka bergegas pulang melintasi ladang-ladang untuk merayakan kebebasan mereka. Para perempuan sedang bertepun tangan dan bernyanyi ketika, sebelum gelam datang, mereka melihat Si’ Djeha memasuki desa dengan sekumpulan besar domba yang berjalan santai.
“Ini dia Si’ Djeha, dan dia sama sekali tidak mati!” teriak para perempuan itu. Kini mereka berkerumun di sekelilingnya dan bertanya, “Dari mana kamu menemukan begitu banyak domba?”
“Di bawah gelombang laut,” kata Si’ Djeha. “Ternyata laut itu bergantung di langit, dan di bawahnya terletak padang rumput yang sangat luas yang tertutup kawanan ternak yang tak terhitung jumlahnya.”
“Katakan pada kami bagaimana kami bisa mendapatkan ternak sendiri,” mereka memohon kepadanya. “Tidak ada jalan lain kecuali mengikat anak-anak kalian ke dalam karung seperti yang telah kalian lakukan terhadapku, dan melemparkan mereka ke laut. Saat matahari terbenam nanti, mereka akan menggiring kawanan ternak pulang.”
Keesokan harinya, sanak-saudara Si’ Djeha menjalankan apa yang disuruhkan pada mereka dan menunggu. Matahari telah terbenam dan tidak ada anak yang kembali. Gelap telah datang dan tetap tidak ada anak yang muncul. “Kapan anak-anak kami akan kembali?” tanya mereka.
“Tentunya kalian tidak percaya ada domba dan ternak merumput di bawah laut!” kata Si’ Djeha. Kumpulan orang tua yang bersedih itu menyeretnya sepanjang jalan ke gurun yang jauh dari jalan yang dilalui manusia, mengikatnya pada sebatang pohon, dan meninggalkannya. “Jika tidak dimakan binatang buas, dia akan mati kehausan,” kata mereka.
Baru saja mereka pergi dari situ, seorang penunggang kuda muncul. Dia adalaj caiid, seorang pria tua. Dia baru saja mengunjungi bey di Tunis, dan kebetulan jalan pulang ke rumahnya melewati pohon ini. Heran, dia berhenti ketika melihat Si’ Djeha dan berseru, “Bagaimana kamu bisa diikat begini, jauh dari rumah atau kota mana pun?”
“Huss! Jangan ganggu aku, aku mohon,” kata Si’ Djeha dengan tajam. Tapi caiid itu telah terbiasa dipatuhi dan bukan melakukan apa yang disuruhkan orang lain. Dia merasa penasaran. Dia mengajukan pertanyaannya sekali lagi.
“Jangan berbicara denganku,” Si’ Djeha memarahinya, “atau aku akan kembali pada keadaanku sebelumnya.”
“Mengapa, seperti apa kamu sebelumnya?” tanya caiid.
“Hampir seratus tahun,” kata Si’ Djeha, “begitu bungkuknya sehingga dengan sisa penglihatanku aku hanya dapat melihat ke tanah. Tapi mereka mengikatku di pohon Sidi Abdel Kader, si orang suci, dan lihatlah bagaimana aku telah berubah!”
“Apa benar begitu?” tanya caiid.
“Kamu dapat melihat dengan matamu sendiri memang demikianlah!” sahut Si’ Djeha. “Dan akan demikian pula dengan setiap orangtua yang ingin kembali muda. Dia hanya harus mengikat dirinya pada pohon ini dan berdiri diam.”
“Biar aku mencobanya,” kata caiid.
Si’ Djeha tampak ragu-ragu, tapi kemudian berkata, “Aku tidak ingin menjadi lebih muda lagi. kamu boleh melepaskan ikatanku.”
Dengan penuh semangat caiid siap menantikan gilirannya. Namun, Si’ Djeha menahannya seraya berkata, “Pertama-tama, copot dulu pakaian mewah ini; selembar kemeja sederhana seperti milikku adalah yang paling baik sebagai penghubung antara pojon ini dan dirimu.” Maka caiid melepaskan mantel dan jubahnya, dan menyingkirkan sabuk dan serbannya yang indah. Dengan mengenakan kemeja Si’ Djeha, dia berdiri menempel pada pohon itu, sementara Si’ Djeha mengencangkan ikatannya kuat-kuat.
“Ingat, agar mukjizat itu terjadi, kamu tidak boleh mengucapkan sepatah kata pun,” kata Si’ Djeha. Kemudian dia mulai mengenakan perlengkapan pakaian caiid yang elok, setelah rapi, dia menaiki kuda caiid dan, sambil bersenandung, mengarahkan langkah kuda itu ke rumahnya.
Suatu hari, sanak saudara Si’ Djeha menyuruhnya pergi ke kota. Sekembalinya, mereka berkata kepadanya, “Anak sapimu begitu gemuk dan memikat sehingga kami tidak dapat menahan diri. Ketika kamu pergi, kami menyembelihnya. Dagingnya sudah kami makan.” Mereka mencercap-cercapkan mulut mereka untuk memperlihatkan kepadanya betapa lezat rasanya.
“Paling tidak aku dapat kulitnya,” kata Si’ Djeha.
Dia membawa kulit itu ke pasar, dan sepanjang hari berdiri menjajakannya. Tapi yang diperolehnya tidak lebih dari satu sen. “Apa gunanya uang satu sen?” kata Si’ Djeha kepada dirinya sendiri. Dia membuat lubang keping uang itu, memasukkan sehelai benang merah melalui lubang itu, dan pulang.
Dua orang pria berjalan di depannya. Tiba-tiba mereka berhenti dan membungkuk seakan-akan menemukan sesuatu di atas tanah. Ketika Si’ Djeha sampai ke tempat mereka, dia melihat sedang membagi kepingan uang emas dari sebuah peti kecil.
“Salaam!” kata Si’ Djeha.
Kedua pria itu mendelik marah dan menghardik, “Apa maumu?”
Diam-diam Si’ Djeha menjatuhkan uang sennya di antara emas mereka. “Aku ingin tahu bagaimana bisa dua orang pria tanpa malu-malu membagi harta milik orang lain,” kata Si’ Djeha.
“Allah yang Maha Pemurah yang meletakkan harta ini di jalan yang kami lalui! Jadi, ini milik kami,” sanggah salah seorang pria itu.
“Aku beri tahu kalian, harta itu milikku,” desak Si’ Djeha.
“Bagaimana kami yakin kamu berkata benar?” tanya mereka.
“Aku menyimpan uang satu sen yang disusupi selembar benang merah di antara emasku untuk mengingatkan aku bahwa kalau bukan karena rahmat Allah, aku pasti jatuh miskin,” kata Si’ Djeha.
Kedua pria itu mencari di antara kepingan uang emas dan menemukan uang sen yang dimaksud. “Kamu benar, demi Allah,” kata mereka. “Mari kita bagi emas ini jadi tiga!”
“Tidak,” jawab Si’ Djeha, “kalian ambil separuh dan aku akan menyimpan yang separuh lagi.” Dia memasukkan bagian yang miliknya ke dalam burnous-nya, dan melanjutkan perjalanannya.
Sanak saudara Si’ Djeha sangan terkejut. “Dari mana kamu temukan harta sebanyak itu?” tanya mereka.
Si’ Djeha tertawa. “Tidak dapatkah kalian menduga? Itulah yang aku dapatkan dari kulit anak sapiku.”
“Kami juga ingin kaya,” kata sanak saudara itu satu sama lain. Mereka pun membunuh sapi-sapi mereka dan mengulitinya.
“Jangan digarami kulitnya,” nasihat Si’ Djeha. “Akan kuberi tahu kalian kapan kulit-kulit sapi kalian siap dijual.”
Sanak-saudara itu sangan mempercayai kata-kata Si’ Djeha sekarang, dan mereka membiarkan kulit-kulit mereka membusuk di bawah cahaya matahari, dan menjadi sarang belatung. “Kini kalian bisa membawanya ke pasar,” kata Si’ Djeha.
Ketika tukang-tukang sepatu dan para pekerja kulit melihat kulit busuk itu, mereka berteriak, “Apakah kami tampak seperti orang tolol, sehingga kalian mengira dapat menipu kami?” Dan mereka menghujani dan memukuli sanak-saudara Si’ Djeha dengan tongkat. Mereka nyars tidak sanggup berjalan pulang.
“Kamu telah mencelakakan kami, Si’ Djeha!” mereka berteriak ketika sudah berada sejauh jarak pendengaran.
Si’ Djeha menertawakan mereka. “Apakah kalian benar-benar percaya, demi Allah, ada orang yang mau membayar kulit yang kotor dengan emas?”
Mereka Cuma membisu, menarik tubuh Si’ Djeha, mendorongnya masuk ke dalam karung, dan mengikatnya kuat-kuat. “Dia akan membunuh kita jika kita tidak menyingkirkannya lebih dulu,” bisik mereka. Mereka berniat menenggelamkannya ke laut.
Karena Si’ Djeha masih muda dan tubuhnya gemuk, para penggendongnya merasa berat. Setibanya di pantai, mereka kelelahan dan terengah-engah. Mereka melihat seorang gembala sedang menunggui dombanya merumput di tepi laut. Mereka berhenti dan minta diberi susu. Pria itu memiringkan botol kulit kambingnya agar setiap orang dapat bergiliran minum. Lalu mereka beristirahat sebentar, meletakkan kepala mereka di atas siku mereka, dan tidak lama kemudian mereka lelap tertidur.
Sementara itu, si gembala mulai mengumpulkan ternaknya. Melihat karung tergeletak di atas pasir, dia mengguncang-guncangnya, sambil bertanya dalam hati apa yang ada di dalamnya.
“Tinggalkan aku dalam kedamaian!” Si’ Djeha meraung. Gembala itu tersentak mundur ketakutan. “Apakah kamu manusia atau hantu?” tanyanya. “Dan siapa pun kamu, apa yang sedang kamu lakukan di dalam karung ini?”
“Aku manusia seperti kamu, saudaraku,” kata Si’ Djeha, “tapi aku lebih beruntung. Mereka membawaku untuk membaca Buku Nasib, untuk mengetahui apa yang ditulis untukku dan apa yang disembunyikan Allah dari mata manusia.”
“Wah, aku mau melihatnya juga!” kata gembala.
“Cuma ada tempat untuk satu orang di dalam karung,” kata Si’ Djeha, “dan aku tidak mau membuang kesempatan ini.”
Gembala itu terus mengeluh dan meneriakkan keberuntungan Si’ Djeha, hingga akhirnya Si’ Djeha membiarkan dirinya dibujuk. “Semoga aku diampuni karena melakukan kebodohan seperti ini,” katanya, “tapi tak apalah, saudaraku, kamu boleh menggantikan tempatku. Bukalah ikatannya.” Lalu setelah dia membungkus gembala itu dengan aman di dalam karung dan mengucapkan selamat jalan kepadanya, Si’ Djeha berjalan pulang ke desanya, dan pelan-pelan menggiring domba-domba di depannya.
Pada waktunya, sanak-saudara Si’ Djeha bangun dari tidur mereka. Mereka mengangkat karung dan menenggelamkannya ke laut. Lalu mereka bergegas pulang melintasi ladang-ladang untuk merayakan kebebasan mereka. Para perempuan sedang bertepun tangan dan bernyanyi ketika, sebelum gelam datang, mereka melihat Si’ Djeha memasuki desa dengan sekumpulan besar domba yang berjalan santai.
“Ini dia Si’ Djeha, dan dia sama sekali tidak mati!” teriak para perempuan itu. Kini mereka berkerumun di sekelilingnya dan bertanya, “Dari mana kamu menemukan begitu banyak domba?”
“Di bawah gelombang laut,” kata Si’ Djeha. “Ternyata laut itu bergantung di langit, dan di bawahnya terletak padang rumput yang sangat luas yang tertutup kawanan ternak yang tak terhitung jumlahnya.”
“Katakan pada kami bagaimana kami bisa mendapatkan ternak sendiri,” mereka memohon kepadanya. “Tidak ada jalan lain kecuali mengikat anak-anak kalian ke dalam karung seperti yang telah kalian lakukan terhadapku, dan melemparkan mereka ke laut. Saat matahari terbenam nanti, mereka akan menggiring kawanan ternak pulang.”
Keesokan harinya, sanak-saudara Si’ Djeha menjalankan apa yang disuruhkan pada mereka dan menunggu. Matahari telah terbenam dan tidak ada anak yang kembali. Gelap telah datang dan tetap tidak ada anak yang muncul. “Kapan anak-anak kami akan kembali?” tanya mereka.
“Tentunya kalian tidak percaya ada domba dan ternak merumput di bawah laut!” kata Si’ Djeha. Kumpulan orang tua yang bersedih itu menyeretnya sepanjang jalan ke gurun yang jauh dari jalan yang dilalui manusia, mengikatnya pada sebatang pohon, dan meninggalkannya. “Jika tidak dimakan binatang buas, dia akan mati kehausan,” kata mereka.
Baru saja mereka pergi dari situ, seorang penunggang kuda muncul. Dia adalaj caiid, seorang pria tua. Dia baru saja mengunjungi bey di Tunis, dan kebetulan jalan pulang ke rumahnya melewati pohon ini. Heran, dia berhenti ketika melihat Si’ Djeha dan berseru, “Bagaimana kamu bisa diikat begini, jauh dari rumah atau kota mana pun?”
“Huss! Jangan ganggu aku, aku mohon,” kata Si’ Djeha dengan tajam. Tapi caiid itu telah terbiasa dipatuhi dan bukan melakukan apa yang disuruhkan orang lain. Dia merasa penasaran. Dia mengajukan pertanyaannya sekali lagi.
“Jangan berbicara denganku,” Si’ Djeha memarahinya, “atau aku akan kembali pada keadaanku sebelumnya.”
“Mengapa, seperti apa kamu sebelumnya?” tanya caiid.
“Hampir seratus tahun,” kata Si’ Djeha, “begitu bungkuknya sehingga dengan sisa penglihatanku aku hanya dapat melihat ke tanah. Tapi mereka mengikatku di pohon Sidi Abdel Kader, si orang suci, dan lihatlah bagaimana aku telah berubah!”
“Apa benar begitu?” tanya caiid.
“Kamu dapat melihat dengan matamu sendiri memang demikianlah!” sahut Si’ Djeha. “Dan akan demikian pula dengan setiap orangtua yang ingin kembali muda. Dia hanya harus mengikat dirinya pada pohon ini dan berdiri diam.”
“Biar aku mencobanya,” kata caiid.
Si’ Djeha tampak ragu-ragu, tapi kemudian berkata, “Aku tidak ingin menjadi lebih muda lagi. kamu boleh melepaskan ikatanku.”
Dengan penuh semangat caiid siap menantikan gilirannya. Namun, Si’ Djeha menahannya seraya berkata, “Pertama-tama, copot dulu pakaian mewah ini; selembar kemeja sederhana seperti milikku adalah yang paling baik sebagai penghubung antara pojon ini dan dirimu.” Maka caiid melepaskan mantel dan jubahnya, dan menyingkirkan sabuk dan serbannya yang indah. Dengan mengenakan kemeja Si’ Djeha, dia berdiri menempel pada pohon itu, sementara Si’ Djeha mengencangkan ikatannya kuat-kuat.
“Ingat, agar mukjizat itu terjadi, kamu tidak boleh mengucapkan sepatah kata pun,” kata Si’ Djeha. Kemudian dia mulai mengenakan perlengkapan pakaian caiid yang elok, setelah rapi, dia menaiki kuda caiid dan, sambil bersenandung, mengarahkan langkah kuda itu ke rumahnya.
0 comments:
Post a Comment