Pengertian Darurat:
Istilah “darurat” berasal dari rahim ajaran Islam, yakni al-dlarûrah. Dalam bahasa Arab, “darurat” bisa ditulis dengan al-dlaruurah, al-dlaaruurah, atau al-dlaaruuraa’. Kata ini akrab dalam wacana hukum Islam, terutama dalam perbincangan ushûl al-fiqh dan qawâ’id al-fiqh. Al-Qur’an sendiri menyebutnya dengan istilah idlthirâr:
Menurut al-Layts, kata al-dlarûrah adalah bentuk jadian dari al-idlthirâr. Secara bahasa, dua kata ini bermakna sama, yakni suatu kebutuhan yang amat mendesak (syiddatul luzûm), sesuatu yang tak dapat dihindari (lâ ghinâ ‘anhu), atau sesuatu yang memaksa (alja’ahu).
Darurat dalam Kaidah Fiqih.
Menurut al-Hamawy, darurat merupakan limit akhir keterpaksaan yang jika tidak menerjang sesuatu meski dilarang bisa mengancam jiwa . (Hâsyiyah al-Hamawy ‘alâ al-Asybah wa al-Nadhâ’ir li Ibn Nujaym: 108). Pendapat ini selaras dengan sebagian pendapat dari kalangan ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.
Karena bisa mengalami ancaman jiwa (al-khawf ‘ala al-nafs min al-halâk), maka dalam keadaan darurat seseorang diperbolehkan untuk melakukan sesuatu yang dilarang (tubîh al-mahdhûrât) dalam kerangka menyelamatkan jiwanya dari kematian. Ulama bersepakat (ijma’) bahwa bangkai, darah, air kencing, dan daging babi (sesuatu yang diharamkan oleh syara’) adalah halal bagi seseorang yang khawatir dirinya binasa akibat kelaparan dan kehausan. Tetapi tingkat kebolehannya sekadar untuk mempertahankan hidupnya dan “menyelamatkannya” dari kematian. Melebihi dari itu, hukumnya tetap haram (Marâtib al-Ijmâ’: 151, al-Majmû’: IX: 39, al-Mughniy: IX: 412, Fath al-Bâri: X: 65).
Ulama sepakat, dalam keadaan darurat seseorang diperbolehkan untuk berdusta (suatu tindakan yang diharamkan Allah). Darurat di sini contohnya adalah ketika ia didatangi oleh seorang lalim yang akan membunuh seseorang yang sedang bersembunyi, ia boleh berbohong untuk melindungi orang itu. Atau ada orang ingin merampas harta yang dititipkan kepadanya, ia boleh mengatakan tak mengetahui keberadaan harta itu. Menurut para ulama, dusta demikian sangat diperbolehkan, bahkan bisa menjadi wajib, demi menjaga jiwa dan kehidupan orang yang terancam itu.
Daud al-Dhahiri juga memperbolehkan orang yang terpaksa (al-mudlthir) untuk memakan makanan orang lain tanpa wajib menggantinya seukur menghilangkan kedaruratannya (al-Majmû’: IX: 51). Artinya, demi menjaga jiwa dan kehidupannya yang tengah terancam, seseorang boleh mencuri makanan orang lain untuk dimakan sebatas menghilangkan kelaparan yang menghinggapinya.
Dari berbagai contoh kasus yang disepakati oleh para ulama, jelaslah bahwa kebolehan untuk melakukan sesuatu yang diharamkan itu, dalam ajaran Islam, semata-mata demi untuk menghilangkan dlarar dan menjaga jiwa pelakunya. Kebolehan ini didasarkan pada hadis Nabi saw.: lâ dlarara wa lâ dlirâr (tidak berbahaya dan tidak membahayakan), yang kemudian dirumuskan oleh para ahli hukum Islam menjadi kaidah al-dlararu yuzâlu (bahaya itu [harus] dihilangkan). Dari kaidah inilah, kemudian dimunculkan dan disepakati oleh para ulama kaidah populer al-dlarûrâtu tubîh al-mahdhûrât (darurat dapat memperbolehkan hal-hal yang dilarang). Jadi, keadaan darurat dalam qawâ’id fiqhiyyah dirumuskan sebagai sesuatu keadaan yang kalau tidak dilakukan, seseorang bisa mati karenanya. Keselamatan jiwa adalah ukurannya. Inilah yang menjadi sebab adanya keringanan atau penghapusan beban hukum selama keadaan darurat itu belum hilang.
Darurat dalam Kaidah Ushul Fiqih
Dalam wacana ushûl al-fiqh, kondisi demikian merupakan bagian dari kemaslahatan yang bersifat dlarûriyyah, yakni suatu kemaslahatan primer dalam kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat, yang jika tidak terwujud maka rusaklah kehidupan dunia, dan kehidupan umat manusia akan terancam. Mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat adalah tujuan syari’at (maqâshid al-syarî’ah) yang sangat prinsipil. Akan tetapi kemaslahatan dlarûriyyah dalam ushûl al-fiqh lebih luas ketimbang konsep al-dlarûrah dalam qawâ’id fiqhiyyah (kaedah-kaedah fikih).
Dalam ushûl al-fiqh, kemaslahatan dlarûriyyah meliputi pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta (hifzh al-dîn, hifzh al-nafs, hifzh al-’aql, hifzh al-nasl, hifzh al-mâl), sementara dalam qawâ’id fiqhiyyah lebih ditekankan pada aspek pemeliharaan jiwa (hifzh al-nafs). Keadaan darurat dalam ushul fiqh dirumuskan sebagai sesuatu keadaan yang kalau tidak dilakukan, salah satu di antara komponen kehidupan yang lima akan terancam. Jadi, keselamatan jiwa bukan satu-satunya yang dijadikan ukuran.
Kesimpulan
Tidak mudah membolehkan sesuatu yang dilarang, apalagi melarang sesuatu yang jelas diperbolehkan. Menentukan suatu keadaan disebut darurat atau tidak juga bukan pekerjaan gampang. Keadaan darurat dalam pemahaman ajaran Islam senantiasa merujuk pada kondisi kehidupan manusia. Dalam kondisi di mana setiap insan bisa hidup secara bebas, bahkan memiliki kebebasan berfikir , agak gegabah disebut keadaan darurat, bila konsep darurat itu dalam wacana fiqih. Karena, sekali lagi, ukurannya adalah keselamatan jiwa manusia. Oleh karena itu, limit waktunya juga sangat singkat, yakni sebatas adanya jaminan kelestarian hidup dan keselamatan jiwa dalam suasana keadaan darurat tersebut. Jika jaminan hidup dan kepastian atas keselamatan jiwa itu diperoleh, maka hilanglah apa yang disebut keadaan darurat. Pemberlakuan hukum pun menjadi normal kembali. Namun dalam wacana ushul fiqih, ukurannya adalah bukan semata-mata keselamatan jiwa manusia, melainkan lima komponen kehidupan (Daruriyat al-khams). Oleh karena itu, limit waktunya bisa jadi tidak singkat, bahkan permanen, yakni selama tidak adanya jaminan kelestarian salah satu di antara lima kompenan hidup tersebut. Jika jaminan salah satu di antara lima kompenan hidup itu diperoleh, maka hilanglah apa yang disebut keadaan darurat. Pemberlakuan hukum pun menjadi normal kembali.
Oleh Ibnu Muchtar
Istilah “darurat” berasal dari rahim ajaran Islam, yakni al-dlarûrah. Dalam bahasa Arab, “darurat” bisa ditulis dengan al-dlaruurah, al-dlaaruurah, atau al-dlaaruuraa’. Kata ini akrab dalam wacana hukum Islam, terutama dalam perbincangan ushûl al-fiqh dan qawâ’id al-fiqh. Al-Qur’an sendiri menyebutnya dengan istilah idlthirâr:
انما حرم عليكم الميته والدم ولحم الخنزير وما اهل به لغير الله فمن اضطر غير باغ ولا عاد فلا اثم عليه ان الله غفور رحيم
(Surat al-Baqarah: 173)قل اي شيء اكبر شهده قل الله شهيد بيني وبينكم واوحي الي هذا القرءان لانذركم به ومن بلغ اينكم لتشهدون ان مع الله ءالهه اخري قل لا اشهد قل انما هو اله وحد وانني بريء مما تشركون
(al-An’am: 119)Menurut al-Layts, kata al-dlarûrah adalah bentuk jadian dari al-idlthirâr. Secara bahasa, dua kata ini bermakna sama, yakni suatu kebutuhan yang amat mendesak (syiddatul luzûm), sesuatu yang tak dapat dihindari (lâ ghinâ ‘anhu), atau sesuatu yang memaksa (alja’ahu).
Darurat dalam Kaidah Fiqih.
Menurut al-Hamawy, darurat merupakan limit akhir keterpaksaan yang jika tidak menerjang sesuatu meski dilarang bisa mengancam jiwa . (Hâsyiyah al-Hamawy ‘alâ al-Asybah wa al-Nadhâ’ir li Ibn Nujaym: 108). Pendapat ini selaras dengan sebagian pendapat dari kalangan ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.
Karena bisa mengalami ancaman jiwa (al-khawf ‘ala al-nafs min al-halâk), maka dalam keadaan darurat seseorang diperbolehkan untuk melakukan sesuatu yang dilarang (tubîh al-mahdhûrât) dalam kerangka menyelamatkan jiwanya dari kematian. Ulama bersepakat (ijma’) bahwa bangkai, darah, air kencing, dan daging babi (sesuatu yang diharamkan oleh syara’) adalah halal bagi seseorang yang khawatir dirinya binasa akibat kelaparan dan kehausan. Tetapi tingkat kebolehannya sekadar untuk mempertahankan hidupnya dan “menyelamatkannya” dari kematian. Melebihi dari itu, hukumnya tetap haram (Marâtib al-Ijmâ’: 151, al-Majmû’: IX: 39, al-Mughniy: IX: 412, Fath al-Bâri: X: 65).
Ulama sepakat, dalam keadaan darurat seseorang diperbolehkan untuk berdusta (suatu tindakan yang diharamkan Allah). Darurat di sini contohnya adalah ketika ia didatangi oleh seorang lalim yang akan membunuh seseorang yang sedang bersembunyi, ia boleh berbohong untuk melindungi orang itu. Atau ada orang ingin merampas harta yang dititipkan kepadanya, ia boleh mengatakan tak mengetahui keberadaan harta itu. Menurut para ulama, dusta demikian sangat diperbolehkan, bahkan bisa menjadi wajib, demi menjaga jiwa dan kehidupan orang yang terancam itu.
Daud al-Dhahiri juga memperbolehkan orang yang terpaksa (al-mudlthir) untuk memakan makanan orang lain tanpa wajib menggantinya seukur menghilangkan kedaruratannya (al-Majmû’: IX: 51). Artinya, demi menjaga jiwa dan kehidupannya yang tengah terancam, seseorang boleh mencuri makanan orang lain untuk dimakan sebatas menghilangkan kelaparan yang menghinggapinya.
Dari berbagai contoh kasus yang disepakati oleh para ulama, jelaslah bahwa kebolehan untuk melakukan sesuatu yang diharamkan itu, dalam ajaran Islam, semata-mata demi untuk menghilangkan dlarar dan menjaga jiwa pelakunya. Kebolehan ini didasarkan pada hadis Nabi saw.: lâ dlarara wa lâ dlirâr (tidak berbahaya dan tidak membahayakan), yang kemudian dirumuskan oleh para ahli hukum Islam menjadi kaidah al-dlararu yuzâlu (bahaya itu [harus] dihilangkan). Dari kaidah inilah, kemudian dimunculkan dan disepakati oleh para ulama kaidah populer al-dlarûrâtu tubîh al-mahdhûrât (darurat dapat memperbolehkan hal-hal yang dilarang). Jadi, keadaan darurat dalam qawâ’id fiqhiyyah dirumuskan sebagai sesuatu keadaan yang kalau tidak dilakukan, seseorang bisa mati karenanya. Keselamatan jiwa adalah ukurannya. Inilah yang menjadi sebab adanya keringanan atau penghapusan beban hukum selama keadaan darurat itu belum hilang.
Darurat dalam Kaidah Ushul Fiqih
Dalam wacana ushûl al-fiqh, kondisi demikian merupakan bagian dari kemaslahatan yang bersifat dlarûriyyah, yakni suatu kemaslahatan primer dalam kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat, yang jika tidak terwujud maka rusaklah kehidupan dunia, dan kehidupan umat manusia akan terancam. Mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat adalah tujuan syari’at (maqâshid al-syarî’ah) yang sangat prinsipil. Akan tetapi kemaslahatan dlarûriyyah dalam ushûl al-fiqh lebih luas ketimbang konsep al-dlarûrah dalam qawâ’id fiqhiyyah (kaedah-kaedah fikih).
Dalam ushûl al-fiqh, kemaslahatan dlarûriyyah meliputi pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta (hifzh al-dîn, hifzh al-nafs, hifzh al-’aql, hifzh al-nasl, hifzh al-mâl), sementara dalam qawâ’id fiqhiyyah lebih ditekankan pada aspek pemeliharaan jiwa (hifzh al-nafs). Keadaan darurat dalam ushul fiqh dirumuskan sebagai sesuatu keadaan yang kalau tidak dilakukan, salah satu di antara komponen kehidupan yang lima akan terancam. Jadi, keselamatan jiwa bukan satu-satunya yang dijadikan ukuran.
Kesimpulan
Tidak mudah membolehkan sesuatu yang dilarang, apalagi melarang sesuatu yang jelas diperbolehkan. Menentukan suatu keadaan disebut darurat atau tidak juga bukan pekerjaan gampang. Keadaan darurat dalam pemahaman ajaran Islam senantiasa merujuk pada kondisi kehidupan manusia. Dalam kondisi di mana setiap insan bisa hidup secara bebas, bahkan memiliki kebebasan berfikir , agak gegabah disebut keadaan darurat, bila konsep darurat itu dalam wacana fiqih. Karena, sekali lagi, ukurannya adalah keselamatan jiwa manusia. Oleh karena itu, limit waktunya juga sangat singkat, yakni sebatas adanya jaminan kelestarian hidup dan keselamatan jiwa dalam suasana keadaan darurat tersebut. Jika jaminan hidup dan kepastian atas keselamatan jiwa itu diperoleh, maka hilanglah apa yang disebut keadaan darurat. Pemberlakuan hukum pun menjadi normal kembali. Namun dalam wacana ushul fiqih, ukurannya adalah bukan semata-mata keselamatan jiwa manusia, melainkan lima komponen kehidupan (Daruriyat al-khams). Oleh karena itu, limit waktunya bisa jadi tidak singkat, bahkan permanen, yakni selama tidak adanya jaminan kelestarian salah satu di antara lima kompenan hidup tersebut. Jika jaminan salah satu di antara lima kompenan hidup itu diperoleh, maka hilanglah apa yang disebut keadaan darurat. Pemberlakuan hukum pun menjadi normal kembali.
Oleh Ibnu Muchtar
0 comments:
Post a Comment