Adopsi Anak

PENDAHULUAN

A. Kata Pengantar 
Pengangkatan anak dalam istilah Hukum Perdata Barat disebut Adopsi. Adopsi adalah penciptaan hubungan orang tua anak oleh perintah pengadilan antara dua pihak yang biasanya tidak mempunyai hubungan keluarga. 
Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkat. 
Anak angkat ialah seorang anak dari seorang ibu dan bapak diambil oleh manusia lain untuk dijadikan sebagai anak sendiri tetapi antara anak angkat dan ayah angkat tidak ada hubungan nasab antara keduanya, bahkan antara keduanya diperbolehkan menikah menurut pandangan islam. 


PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ADOPSI ANAK 
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Adopsi adalah pemungutan atau pengangkatan anak orang lain secara sah sebagai anak sendiri. 
Ada beberapa definisi yang berbeda dari beberapa sumber yang berbeda pula terkait dengan istilah adopsi anak. Perbedaan ini dikarenakan pemakaian istilah adopsi anak disesuaikan dengan kondisi dan situasi masyarakat tertentu sebagai pihak–pihak yang berkaitan dengan pelaksanaan adopsi. Namun walaupun berbeda, keseluruhan definisi ini saling mengisi sehingga mampu memberikan definisi utuh yang lebih mendalam mengenai adopsi anak. 
Definisi pertama adalah pengertian adopsi anak yang paling sederhana yaitu, pengangkatan anak orang lain untuk dijadikan anak sendiri berdasarkan proses hukum (Salim, 1991). 
Selanjutnya pengertian adopsi anak didefinisikan lebih luas lagi sebagai pengangkatan anak secara resmi dan disahkan melalui keputusan pengadilan, sehingga hak–hak anak secara hukum diakui terutama dalam pembagian harta (Majalah Anggun, p.18, Oktober, 2005), sedangkan Gosita (2004) memberikan definisi yang lebih kompleks lagi mengenai adopsi anak yaitu bahwa adopsi anak adalah suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak turunannya sendiri, berdasarkan ketentuan–ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan. 
Berdasarkan definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa istilah adopsi anak identik dengan prosedur hukum yang sah, sehingga seorang anak dapat dikatakan sebagai anak adopsi bila proses pengadopsiannya dilakukan dengan proses hukum yang berlaku, namun hal yang menarik adalah pada definisi terakhir yang dikemukakan oleh Gosita. Gosita menyinggung masalah proses hukum dengan tidak sebatas pada hukum pemerintahan (negara), namun pengertian hukum menurut Gosita lebih fleksibel karena didasarkan pada hukum yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan, yang juga berarti budaya atau adat istiadat masyarakat yang bersangkutan. Hal ini terkait dengan masalah adopsi anak di Indonesia yang lebih didominasi pelaksanaannya berdasarkan adat istiadat dan budaya masyarakatnya yang plural (beraneka ragam), sehingga masalah adopsi anak di Indonesia akan memiliki definisi yang berbeda lagi bila dikaitkan dengan masalah budaya atau adat istiadat masyarakatnya. 
Adopsi, pengangkatan anak orang lain oleh suatu keuarga dengan maksud memelihara dan mendidiknya dengan penuh kasih sayang seperti mereka memperlakukan anak kandung sendiri. Dalam Fiqih adopsi disebut dengan istilah tabanni. 

B. Hukum Adopsi 
Islam Menetapkan bahwa antara orang tua angkat dengan anak angkatnya, tidak terdapat hubungan nasab, kecuali hanya hubungan kasih sayang dan hubungan tanggung jawab sebagai sesama manusia. Karena itu, antara keduanya bisa berhungan tali perkawinan : 
Misalnya nabi yusuf bisa mengawini ibu angkatnya (julaihah), bekas istri raja abdul aziz (bapak angkat nabi yusuf). 
Begitu pula halnya rasulullah saw. Diperintahkan oleh Allah mengawini bekas istri zaid sebagai anak angkatnya. Berarti antara rasulullah dengan zaid tidak ada hubungan nasab, kecuali hanya hubungan kasih sayang, sebagai bapak angkat dengan anak angkatnya. Ini dapat dilihat keterangan ayat 37 dari surat al ahzab. 
Islam tetap membolehkan adopsi (Pengangkatan anak, dengan ketentuan: 
  1. Nasab anak angkat tetap dinisbatkan kepada orang tua kandungnya, bukan orang tua angkatnya 
  2. Anak angkat itu diperbolehkan dalam islam, tetapi sekedar sebagai anak asuh, tidak boleh disamakan dengan setatus anak kandung, baik dari segi perwarisan hubungan mahram, maupun wali (dalam perkawinan) 
  3. Karena anak angkat itu tidak berhak menerima harta warisan dari orang tua angkatnya, maka boleh mendapatkan harta benda dari orang tua angkatnya berupa hibah, maksimal sepertiga dari jumlah kekayaan orang tua angkatnya 

Dari segi kasih sayang, persamaan biaya hidup, persamaan biaya pendidikan antara anak kandung dengan anak angkat (adopsi ) diperbolehkan dalam islam. Jadi hampir sama statusnya dengan anak asuh. 
Persoalan adopsi atau tabbani telah dikenal sejak zaman Jahiliah. Orang yang mengadopsi anak pada zaman itu memberlakukannya sebagai anak kandung, sehingga ibu angkat tidak bisa kawin dengan anak angkat, anak angkat dapat mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya, atau sebaliknya, dan anak angkat memakai nasab ( keturunan ) orang tua angkatnya, sedangkan hubungan dengan orang tua aslinya terputus sama sekali. 
Kasus anak angkat pada awal Islam adalah kasus keluarga Rasulullah SAW sendiri. Rasulullah SAW mempunyai seorang anak angkat bernama Zaid bin Harisah. Oleh para sahabat, Zaid telah dianggap sebagai anak Rasulullah SAW (sebagaimana yang berlaku dizaman Jahilia), sehingga Zaid dinasabkan kepada Muhammad SAW. Dengan memanggilnya Zain Bin Muhammad. Ibnu Umar menceritakan dalam sebuah riwayat “kami tidak memanggil Zaid Bin Harisah kecuali dengan nama Zaid Bin Muhammad” ( HR. Abu Daud). 
Kemudian turunlah firman Allah SWT dalam surat al-ahzab ayat 4-5

مَّا جَعَلَ ٱللَّهُ لِرَجُلٖ مِّن قَلۡبَيۡنِ فِي جَوۡفِهِۦۚ وَمَا جَعَلَ أَزۡوَٰجَكُمُ ٱلَّٰٓـِٔي تُظَٰهِرُونَ مِنۡهُنَّ أُمَّهَٰتِكُمۡۚ وَمَا جَعَلَ أَدۡعِيَآءَكُمۡ أَبۡنَآءَكُمۡۚ ذَٰلِكُمۡ قَوۡلُكُم بِأَفۡوَٰهِكُمۡۖ وَٱللَّهُ يَقُولُ ٱلۡحَقَّ وَهُوَ يَهۡدِي ٱلسَّبِيلَ ٤ ٱدۡعُوهُمۡ لِأٓبَآئِهِمۡ هُوَ أَقۡسَطُ عِندَ ٱللَّهِۚ فَإِن لَّمۡ تَعۡلَمُوٓاْ ءَابَآءَهُمۡ فَإِخۡوَٰنُكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَمَوَٰلِيكُمۡۚ وَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٞ فِيمَآ أَخۡطَأۡتُم بِهِۦ وَلَٰكِن مَّا تَعَمَّدَتۡ قُلُوبُكُمۡۚ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورٗا رَّحِيمًا ٥

Artinya: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Berdasarkan kedua ayat ini, jumhur ulama menyatakan bahwa hubungan anatara ayah dan ibu angkat dan anak angkatnya tidak lebih dari hubungan kasih sayang. Hubungan antara ayah/ibu angkat dan anak angkat tidak memberikan hukum yang berkitan dengan warisan, nasab dan tidak saling mengharamkan perkawinan. Apabila ayah atau ibu angakat meninggal dunia anak angkat tidak termasuk sebagai ahli waris yang berhak menerima warisan. Demikian juga dalam hal nasab, anak angkat tidak bisa memakai nasab ayah/ibu angkatnya.
Kasus Zaid bin Harisah yang dinasabkan para sahabat kepada Rasulullah SAW dengan panggilan Zaid Bin Muhammad dan telah dianggap para sahabat sebagai anak angkat Nabi Muhammad SAW. Di bantah oleh ayat di atas, sehingga Zaid tetap dinasabkan kepada ayahnya, Harisah. Bahkan untuk membantah anggapan bahwa anak angkat itu sama statusnya dengan anak kandung, Allah SWT memerintahkan Rasulullah SAW mengawini Zainab Binti Jahsy, bekas istri Zaid Bin Harisah, Pernyataan Allah SWT itu terdapat dalam surah al-ahzab ayat 37

وَإِذۡ تَقُولُ لِلَّذِيٓ أَنۡعَمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ وَأَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِ أَمۡسِكۡ عَلَيۡكَ زَوۡجَكَ وَٱتَّقِ ٱللَّهَ وَتُخۡفِي فِي نَفۡسِكَ مَا ٱللَّهُ مُبۡدِيهِ وَتَخۡشَى ٱلنَّاسَ وَٱللَّهُ أَحَقُّ أَن تَخۡشَىٰهُۖ فَلَمَّا قَضَىٰ زَيۡدٞ مِّنۡهَا وَطَرٗا زَوَّجۡنَٰكَهَا لِكَيۡ لَا يَكُونَ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ حَرَجٞ فِيٓ أَزۡوَٰجِ أَدۡعِيَآئِهِمۡ إِذَا قَضَوۡاْ مِنۡهُنَّ وَطَرٗاۚ وَكَانَ أَمۡرُ ٱللَّهِ مَفۡعُولٗا ٣٧
Artinya: Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu Menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.

Menurut Masjfuk Zuhdi, pemikir hukum Islam asal dari Indonesia, ayat ini menjelaskan dua hal, Yaitu;

  1. Adopsi seperti praktek dan tradisi dizaman Jahiliah yang memberi status anak kandung tidak dibenarkan ( dilarang) dan tidak diakui oleh Islam.dan 
  2. Hubungan anak angkat dengan orang tua angkat dan keluarganya tetap seperti sebelum di adopsi, tidak mempengaruhi hubungan kemahraman (bukan muhrim) dan hubungan kewarisan (tidak berhak mndapat warisan), baik anak angkat itu diambil dari kerabat sendiri maupun dari luar lingkukngan kerabat. 

Menurut Wahbah az-Zuhaili, ahli fiqih Mesir, sekalipun hak anak angkat tidak sama dengan hak anak kandung, baik dari segi warisan dan nasab maupun dari segi perkawinan, Islam sangat menganjurkan untuk berbuat baik (ihsan) kepada anak angkat. Berbuat ihsan yang diberikan Islam kepada orang tua angkat atau anak angkat sendiri tidak terbatas hanya dalam bentuk kasih sayang, tetapi juga bisa berbentuk materil, apabila ayah angkat misalnya, meninggal dunia, secara hukum anak angkat tidak termasuk ahki waris. Akan tetapi demi ihsan tersebut, pihak ahli waris dapatmerelakan hati untuk memberi bagian dari harta peninggalan harta ayah angkatnya tesebut sebagai rasa kemanusiaan, bukan atas ahli waris. Pilihan lain adalah orang tua angkat boleh meninggalkan wasiat atau hibah dalam jumlah harta tertentu ( tidak boleh lebih dari sepertiga harta) bagi anak angkatnya apabila orang tua angkat itu meninggal dunia.
Demikian juga sebaliknya, anak angkat yang mempunyai harta juga dapat berbuat ihsan kepada orang tua angkatnya, baik semasa hidup maupun setelah wafat melalui wasiat atau hibah, bukan atas dasar ahli waris.
Menurut Hasanain Muhammad Makhluf, ahli fiqih mesir, hal seperti ini perlu diperhatikan dan dilaksanakan oleh para orang tua angkat atau para anak angkat agar konflik antara anak angkat dan ahli waris orang tua angkat atau antara ahli waris anak angkat dan orang tua angkatnya dapat dihindari. Apalagi bagi mereka yang hidup disuatu wilayah yang hukum adat setempatnya membolehkan anak angkat dengan orang tua angkat maupun dengan orang tua angkat saling mewarisi, sehingga baik orang tua tuntutan pembagian warisan melalui hukum adat.
Oleh sebab itu, menurut Wahbah az-Zuhaili, mengadopsi anak merupakan perbuatan terpuji dalam Islam, apalagi anak yang di adopsi itu adalah anak kecil yang tidak diketahui sama sekali orang tuanya. Perbuatan mengadopsi itu terpuji karena mengasuh, memelihara, dan mendidika anak kecil yang tidak mempunyai orang tua ini seperti memelihara dan mendidik anak sendiri, merupakan perwujudan rasa tanggung jawab antara sesama muslim sangat dianjurkan Islam. Hal inilah menurut Wahbah az-Zuhaili, yang dimaksudkan Alah SWT dalam Firman-Nya:

Artinya; Dan Barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya...... 

Adapun mengadopsi anak dengan memberinya status hukum sebagai anak kandung, sebagai mana yang berlaku pada masyarakat non-Islam. Menurut Wahbah az-Zuhaili dan Mahmud Syaltut, tidak dapat dibenarkan Islam seperti yang telah ditegaskan oleh Allah SWT melalui Firman Nya. ( QS.33:4-5).
Pengangkatan jaid bin al-haritsah sebagai anak angkat oleh Rasulullah saw dimansuk (dibatalkan) oleh ayat 37 dari sumber al-ahjab, dengan dibolehkannya rasulullah mengawini bekas istri jaid berarti antara bapak angkat dengan anak angkat, tidak terdapat hubungan mahram.


PENUTUP 
Pengertian adopsi itu ada dua yaitu adopsi adalah mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian, kasih sayang, dan diperlakukan oleh orangtua angkatnya seperti anaknya sendiri tanpa memberi status anak kandung kepadanya.
Pengertian yang kedua Adopsi anak adalah mengambil anak orang lain untuk diberi status sebagai anak kandung sehingga anak tersebut berhak memakai nasab (pertalian keluarga) orangtua angkatnya dan mewarisi harta peninggalannya serta hak–hak lainnya selayaknya hubungan anak dengan orang tua. Hal ini disesuaikan dengan hukum yang berlaku dimasyarakat .

Adapun hukum dari mengadopsi anak itu diperbolehklan tetapi Islam Menetapkan bahwa antara orang tua angkat dengan anak angkatnya, tidak terdapat hubungan nasab, kecuali hanya hubungan kasih sayang dan hubungan tanggung jawab sebagai sesama manusia. Keduanya dibolehkan menikah dan jika orang tuanya meninggal harta warisan yang ditinggalkan orang tua angkatnya itu tidak boleh diwariskan kepada dia asalkan orang tua angkatnya itu meninggalkan surat hibah, itupun hanya sepertiga dari harta yang dimiliki orang tua angkatnya yang boleh diberikan kepada anak angkatnya itu.


DAFTAR PUSTAKA 

  1. Aziz Dahlan Abdul, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, Ikhtiar Baru van Hoeve, 1996 
  2. Adil Muhammad, Hukum Keluarga Islam, Palembang, IAIN Raden Fatah Press, 2006 
  3. Marhijanto Bambang, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Masa Kini, Surabaya, Terbit Terang, 1999. 
  4. M.Abdul Mujieb Mabruri Tholhah Syafi’ah AM, Kamus Istilah Fiqih, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2010 
  5. Mahjuddin, Masailil Fiqhiyah, ( Jakarta : Kalam Mulia : 2003) 
  6. Mahjuddin, Masail al-fiqih ( Jakarta :Kalam Mulia : 2014)

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger