Setiap rasul dan nabi selalu dibekali dengan mu’jizat yang akan menjadi bukti kebenaran kenabiannya atau kerasulannya, seperti Nabi Isa yang bisa mengobati segala penyakit dan menghidupkan orang yang mati, atau seperti Nabi Sulaiman yang bisa berkomunikasi dengan segala binatang. Unsur luar biasa yang terkandung dalam mu’jizat ini dimaksudkan sebagai dorongan bagi manusia untuk berpikir.[1]
Sejarah mengatakan bahwa mu’jizat seorang nabi atau rasul merupakan hal yang sesuai dengan zamannya, atau hal yang sedang berkembang dan digandrungi oleh masyarakat yang diseru untuk beriman kepada Allah, seperti merubah tali menjadi ular ketika masyarakat Mesir kala itu sedang menggandrungi sihir, atau keindahan bahasa Alquran untuk orang Arab yang sangat menyukai bahasa yang indah, fasih dan baligh.[2]
Alquran yang menjadi mu’jizat Nabi Muhammad SAW adalah bukti terkuat untuk saat itu atas kebenaran risalah Muhammad, keindahannya yang merupakan hal yang paling mudah dicerna oleh orang Arab yang notabene adalah pengagum karya sastra mengalahkan segala keindahan syair-syair kaum Quraisy. Meskipun sebenarnya tidak ada lagi alasan bagi orang kafir dan kaum Quraisy Mekkah juga kaum munafik Yahudi khususnya untuk tidak mempercayai kebenaran seruan Nabi Muhammad tapi mereka tetap tidak mengakui kebenaran risalah Muhammad.
Dalam makalah ini, penulis ingin menguraikan tentang I’jaz Alquran tersebut, aspek-aspek kemu’jizatannya dan beberapa hal yang masih relevan dengan kajian kemukjizatan Alquran, termasuk tentang sekilas keadaan bangsa Arab pra-risalah yang begitu menghormati sastra yang juga merupakan salah satu kemukjizatan Alquran.
A. Bangsa Arab dan Sastra Arab Pra-Risalah.
Bangsa Arab yang hidup di semenanjung Arab adalah bangsa yang harus berusaha lebih untuk bertahan hidup, hal ini dikarenakan daerah yang tandus yang mereka diami tidak memberikan sumber kehidupan yang mencukupi. Mereka, mayoritas merupakan pedagang meskipun tidak juga sedikit yang hidup dari pertanian dan profesi lainnya.
Perdagangan yang merupakan mayoritas pekerjaan orang Arab direkam dan dijadikan sebagai bahan ungkapan oleh Alquran. Banyak kata dan permisalan yang digunakan oleh Alquran “bersumber” dari istilah-istilah perdagangan seperti mitsqal, mizan, ajr, jaza’, yattajirun, hisab, rabiha, khasira dan lain sebagainya.[3]
Bangsa Arab juga merupakan bangsa yang mempunyai minat tinggi terhadap bahasa, mereka mempunyai kebiasaan mengirimkan anak-anak mereka untuk mempelajari bahasa kepedalaman. Mereka memberikan apresiasi yang sungguh besar bagi seseorang yang fasih dan baligh dalam berbicara. Sastra merupakan salah satu bentuk kehormatan bagi mereka, tak heran jika beberapa genre sastra berkembang pesat dikalangan bangsa Arab kala itu.[4] Mereka beradu kebolehan dalam menggubah puisi secara rutin di pasar-pasar atau di tempat berkumpulnya orang-orang, karya yang paling bagus akan mendapatkan kehormatan untuk ditempelkan di dinding ka’bah, seorang pujangga akan semakin terkenal dengan banyaknya mu’allaqat yang ia ciptakan.
Puisi yang merupakan genre yang paling disenangi biasanya berkisar pada hal, benda atau kejadian yang kasat mata, seperti wanita, unta, raja atau perang,[5] maka tak heran jika puisi yang mereka gubah haruslah menggunakan kata-kata atau ungkapan hiperbola -yang tentu tidak terlepas dari unsur kebohongan- untuk memperindah karyanya. [6]
Ketika Nabi Muhammad SAW membacakan ayat-ayat suci yang indah dari segi bahasanya untuk saat itu, sontak saja mereka kaget dan mengakui keindahan susunan kata, fashl, ijaz, surah bayaniyah, balaghah, ma’ani dan badi’nya. Selain bahasa yang merupakan keindahan Alquran kala itu juga adalah kandungannya tentang cerita tentang ummat-ummat terdahulu.
Akan tetapi ketika keindahan itu disertai dengan pengakuan Muhammad tentang risalah dan agama baru, meninggalkan agama lama dan berhala, mereka lantas tidak mau mengakui kebenaran ayat Alquran sebagai firman Tuhan. Kesombongan dan rasa harga diri mereka membuat mereka menolak ajaran Muhamad. Berbagai tuduhan mereka lontarkan seperti tukang sihir, tukang tenung, pendongeng dan orang gila yang membuat sendiri Alquran.[7]
B. Definisi Mu’jizat.
Kata mu’jizat berasal dari bahasa Arab, ajaza yang merupakan kata dasarnya berarti lemah, tidak mampu atau tidak kuasa.[8] Kata ini merupakan kata kerja intransitif (lazim), kemudian dijadikan transitif (muta’addiy) dengan menambahkan huruf hamzah diawalnya atau dengan menambahkan tadi’efh, hingga menjadi a’jaza atau ajjaza yang berarti membuatnya lemah atau menjadikan tidak kuasa.[9] Kata a’jaza inilah yang kemudian dengan sighat ism fai’l berubah menjadi mu’jiz atau mu’jizatun, yang menurut etimologi berarti yang melemahkan.
Dalam buku Mukjizat Al-Qur’an, Quraish Shihab lebih lanjut menjelaskan bahwa pelaku yang melemahkan itu dalam bahasa Arab dinamai dengan معجِز (mu’jiz). Bila kemampuan pelakunya dalam melemahkan pihak lain sangat menonjol sehingga mampu membungkam lawan-lawannya, maka ia dinamai معجِزة(mu’jizat). Tambahan (ة ) pada akhir kata itu mengandung makna superlatif (mubalaghah). [10]
Mukjizat didefinisikan oleh kebanyakan pakar agama Islam sebagai “suatu hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seorang yang mengaku Nabi, sebagai bukti kenabiannya yang ditantangkan kepada yang ragu, untuk melakukan atau membuat hal serupa, namun mereka tidak mampu untuk membuatnya.” Sebagaimana diungkapkan oleh Al-Suyuthi dalam Al- Itqan ;
Nabi Muhammad diperintahkan oleh Allah Swt. untuk menantang kaum Quraisy untuk menandingi keindahan Alquran dari segala sisinya. Paling tidak ada empat ayat yang merupakan tantangan bagi mereka yang tidak mempercayai kebenaran Alquran saat itu, keempat ayat itu adalah:
Tapi ada juga pendapat yang mengatakan bahwa ayat yang merupakan tantangan untuk membuat tandingan Alquran hanya ada tiga ayat, dalam arti tiga tingkatan. Seperti Manna Qaththan yang mengatakan memberikan tiga tingaktan tantangan dengan empat ayat, yang pertama adalah Al-Isra ayat 88 yang berbunyi:
Diteruskan dengan membuat sepuluh surat saja pada surat Hud ayat 13, yang kalau itu juga mereka tidak mampu maka diteruskan untuk membuat satu surat saja yaitu pada surat Yunus ayat 38 yang kemudian diulangi pada surat al-Baqarah ayat 24.[13]
C. Sisi Kemu’jizatan Al-Qur’an.
Sisi kemu’jizatan Alquran ini adalah salah satu hal yang sangat variatif, banyak terdapat perbedaan pendapat tentang apa saja yang menjadi mu’jizat Alquran itu, sebagian mengatakan bahasanya dan kandungannya, sebagian lagi mengatakan bahkan satu hurufnya saja merupakan mu’jizat, kandungannya terhadap teori-teori ilmiah.
Dalam buku “Membumikan Alquran”, Quraish Shihab menjelaskan paling tidak ada tiga aspek dalam Alquran yang dapat menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw., sekaligus menjadi bukti bahwa informasi atau petunjuk yang disampaikannya adalah benar-benar bersumber dari Allah swt. Ketiga aspek tersebut akan lebih meyakinkan lagi, bila diketahui bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang yang pandai membaca dan menulis, ia juga tidak hidup dan bermukim di tengah-tengah masyarakat yang relatif mengenal peradaban, seperti Mesir, Romawi atau Persia. Ketiga aspek tersebut adalah pertama, aspek keindahan dan ketelitian redaksi-redaksinya. Kedua, pemberitaan-pemberitaan gaibnya, dan yang ketiga isyarat-isyarat ilmiahnya.[14]
Bila diteliti lebih lanjut pendapat para mufassirin tentang i’jaz Al-Quran, maka akan didapati pendapat mereka yang sangat variatif. Sebagian mufassirin, diantaranya Imam Fakruddin, az-Zamlukany, Ibn Hazam, al-Khutabi berpendapat bahwa kemukjizatan Al-Quran karena fashahat dan balaghat–nya secara keseluruhan. Sedangkan yang lain seperti al-Marakasy berpendapat bahwa I’jaz tersebut disebabkan ia memiliki unsur-unsur keteraturan, kesinambungan dan penyusunan yang berbeda dengan kaedah-kaedah bahasa konvensional kalam Arab. Dalam hal ini, sulit bagi mereka (orang Arab) untuk mengetahui rahasia-rahasia i’jaz Al-Quran, baik mereka lihat dari sisi syairnya, balaghatnya, khitabnya dan lain sebagainya, sekalipun diantara mereka adalah orang-orang yang ahli dalam sastra dan bahasa.[15]
Ada juga sebagian mufassir yang lain melihat I’jaz Alquran tersebut dari sisi prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya, khususnya yang berhubungan dengan persoalan-persoalan sosial (al-ijtima’iyyat), politik (al-siyasat) dan norma-norma (al-akhlaqiyat). Aspek-aspek tersebut bagi masyarakat Arab saat itu adalah sesuatu yang belum pernah terpikirkan mereka sebelumnya. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Alquran membawa informasi-informasi baru yang di luar perkiraan manusia. Dari sini jelas bahwa Alquran mengandung dasar-dasar dan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan, yang pada dasarnya tidak mungkin dihasilkan oleh seorang Muhammad yang “ummi” (menurut sebagian besar ulama).[16]
Al-Rumani, dalam buku Salasu Rasail Fi I’jaz al-Quran melihat kemukjizatan Alquran dari tujuh macam segi, yaitu:[17]
Menurut kami bahwa salah satu bentuk kemu’jizatan ini adalah keabadiannya, keeksisannya hingga zaman sekarang, begitu juga kekuatannya untuk menjadi beberapa sumber ilmu, seprti Fikih, Ushul Fikih, Nahwu, Sharf, Bayan, Ma’ani dan Badi’. Denga kata lain tidak ada suatu tulisanpun yang paling diminati orang di muka bumi ini menyaingi Alquran hingga menghasilkan beberapa disiplin Ilmu. Juga kemampuannya menjelaskan sesuatu dan melukiskannya dengan sarana terbaik, menerangkan sesuatu dengan makna yang mudah difikirkan, atau menjelaskan suasana psikologik dengan imajinatif dengan sesuatu yang dapat diraba dan dirasakan dengan konkret.[19]
Lalu apakah semua kandungan Alquran dimaksudkan dalam tantangan untuk membuat tandingan Alquran ketika turunnya?” tentu saja tidak karena bangsa Arab kala itu tidaklah mengenal kandungan-kandungan Alquran, seperti hukum, ilmu dan lain sebagainya.
Mu’jizat bahasa adalah hal yang paling utama dalam tantangan ini,[20] karena unsur itulah yang menjadi perhatian kaum Quraysy saat itu. Keindahan eksternal maupun internalnya merupakan hal yang dipuji sekaligus diingkari oleh kaum Quraysy.
Uslubnya, tasybih, majaz, kinyah, fasohah, balaghah, ma’ani, qashr, washl, fashl, ijaz, irama (musiqul uslub, musiqul wazan dan musiqul fawasil), saja’, tajanus, husnut taqsim, jinas, tarshi’, tasythir, raddul I’jaz alas shudur, tauriyah,tibaq, muqabalah[21] dan lain sebagainya adalah unsur-unsur yang menjadi keindahan bahasa Alquran dalam pandangan ilmu Balaghah. Seperti ayat :
Dari beberapa perbedaan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kemukjizatan Alquran tidak hanya terbatas pada kadar tertentu saja, akan tetapi kemukjizatannya terletak pada totalitasnya sebagai Alquran, baik bahasa, pemilihan huruf, pemilihan kata, pemilihan kalimat, ritme, kandungannya, cara turunnya, kekekalannya dan kemampuannya membangkitkan minat pengkaji untuk mengkajinya.
Lebih rinci lagi, Manna Khalil al-Qatthan berpendapat bahwa secara garis besarnya, kemukjizatan Alquran itu dapat dilihat dari beberapa aspek berikut:
Keilmiahan Alquran tidaklah terletak pada cakupannya terhadap teori-teori ilmiahan yang selalu berubah karena memang pada dasarnya teori itu akan terus berkembang sesuai dengan metode yang dipakai dalam membuktikan teori tersebut, sementara Alquran tidaklah berubah. Dengan begitu, menurut kami bahwa keilmiahan Alquran tersebut terletak pada dorongannya untuk berfikir dan menggunakan akal.
Pada masa turunnya Alquran, kita banyak mengenal nama tersohor dalam bidang sastra, perang, ekonomi dan politik, tapi baik di Mekkah maupun Madinah tidak ada seorangpun yang begitu mencuat namanya dalam bidang hukum kecuali ia memang seorang tokoh yang mengambil dasar-dasar hukumnya dari Alquran, seperti Mu’adz b. Jabal, Abu Musa al-Asy’ari dan sebagainya.
D. Arah Baru Dalam Memahami Alquran.
Apa yang ditemukan manusia akhir-akhir ini membuat mereka terheran-heran, hal ini disebabkan kesesuaian beberapa fenomena zaman sekarang ini dengan prediksi-prediksi atau kandungan Alquran, sebut saja tentang sidik jari yang telah lama diisyaratkan oleh Alquran dalam uraian tentang proses terjadinya manusia.
Hal ini mungkin akibat dari krisis yang melanda ummat Islam dalam berfikir bukan karena krisis metode berpikir, karena ummat Islam telah mempunyai dasar metode berpikir.
Yang perlu dipikirkan pada masa sekarang ini adalah adanya jaminan-jaminan individu, pemikiran materi, undang-undang dan seterusnya bagi para cendikiawan, fukaha.
Ummat perlu memikirkan bagaiman caranya memahami Alquran dengan humanis dan universal, hingga melahirkan kesimpulan dan nilai-nilai yang humanis dan universal, bukan hanya sebuah nostalgia akan kemajuan peradaban ummat Islam pada masa lalu. Tidak dengan serta merta mencari-cari ayat untuk mengklaim bahwa sebuah temuan yang ditemukan oleh orang non-Muslim telah ada dalam Alquran, yang kemudian terkesan bagai sebuah takwil yang ba’id.
Kita tidak mengingkari kemungkinan bahwa Alquran telah menjelaskan beberapa hal yang akan terjadi di dunia ini. Tapi bagaimana memandang Alquran sebagai kitab yang penuh mukjizat hingga bisa dijelaskan dengan gamblang memerlukan usaha lain, yang kesemua itu memerlukan aktivitas berfikir yang memadai.
===================
EndNote
[1]Munawwar Khalil, Al-Qur’an Dari Masa ke Masa (Solo:Ramadhani, 1985) hal. 59.
[2]Kesenangan orang Arab terhadap sastra khususnya pada genre pusis dapat ditelusuri dari kata aroba itu sendiri, Goerge Makdisi mengatakan bahwa aroba berarti orang yang bebicara dengan lancar, fasih tanpa kesalahan dan tanpa terputus-putus, lihat Goerge Makdisi, The Rise Of Humanism In Classical Islam And The Chiristian West (Edinburgh : Edinburgh University Press, 1990) hal. 120. lihat juga Ahmad Warson Munawwir, Al-munawwir (Yogyakarta : Pustaka Progressif, 1984) hal. 911. dan Louis Ma’luf, Al-Munjid Fi Al-Lughah Wa Al-A’lam (Beirut : Daar Masyriq, 1982). Hal. 493.
[3]Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an (Yogyakarta : Forum kajian dan Budaya, 2001) hal. 11.
[4]John, L.Esposito, Dunia Islam Modern I, terj. Eva dkk (Bandung: Mizan, 2002) hal . 153.
[5]Untuk contoh puisi-puisi ini silahkan lihat A.Hasyimi, Jawahir Al-Adab, (Beirut: Daar Kutub, 1996) hal. 331.
[6]Munawwar Khalil, Al-Qur’an, hal. 69.
[7]Manna Qatthan, Mabahits Fi Ulumil Qur’an (Mesir: Mansyuroti asril Hadist, tth) hal. 260.
[8]Ahmad Warson, Al-Munawwir, hal. 898. lihat juga Louis Ma’luf, Al-Munjid, hal. 488.
[9]Ibid.
[10]Lihat, M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiyah dan Pemberitaan Gaib, Cet. IV (Bandung: Mizan, 1997), h. 23
[11]Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Itqan Fi Ulum Al-Quran (Kairo: Maktabah Dar Al-Turast, t.t.), Jilid ke-4, h. 3.
[12]Manna, Mabahits, hal. 257.
[13]Manna, Mabahits, hal. 259.
[14]Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Cet. XXIII (Bandung: Mizan, 1992), h. 29-32.
[15]Lebih lanjut al- Suyuthi, Al-Itqan, h. 7-12. Lihat juga, Muhammada Abu Bakar Al-Baqilany, I’jaz Al-Quran (Kairo: Daar al-Ma’arif, t.t.), h. 15. Al-Baqilany sendiri melihat sisi kemukjizatan Al-Quran itu dari tiga sisi, yaitu: Pertama, sisi pemberitaannya yang gaib (akhbar an algaib). Kedua, karena ke-ummi-an Rasul. Ketiga, susunan dan keteraturan bahasanya yang luar biasa dan menakjubkan.
[16]Manna, Mabahits, hal. 260.
[17]Muhammad Zaglul Salam dan Muhammad Khalfullah Ahmad, Salasu Rasail Fi I’jaz Al-Quran: Li al- Rumani Wa al-Khuthabi Wa Abdul Qadir al-Jurjani, Cet.3. (Mesir: Dar al-Ma’arif, t.t.), h. 75.
[18]Manna, Mabahits, hal. 260.
[19]Subhi Sholih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus (jakarta : pustaka Firdausi, 2001) hal. 427.
[20]Subhi Sholih, Membahas, hal. 427.
[21]Istilah-istilah diatas adalah term dalam ilmu Bayan, Ma’ani dan Badi’. Ilmu Bayan adalah ilmu metode pendeskripsian dengan berbagai cara, tujuannya adalah agar perkataan dapat dipahami secara jelas, karenanya disebut ilmu Bayan. Ilmu ini mempelajari tentang uslub (gaya bahasa), Gambaran Deskriptif (shurah bayaniyah) seperti alegoris (tasybih) majaz dan kinayah. Sedangkan ilmu Ma’ani adalah dasar-dasar untuk mengetahui keadaan dan keindahan perkataan sesuai dengan bentuk dan konteks kalimat. Ilmu ini mempelajari kretria perkataan yang baligh dan fasih (Fashahah wa balahg Al-kalam), kalimat khabar dan insya’, qashr, fashl. Washl,ijaz,ithnab dan musawah. Ilmu Badi’. Adalah ilmu yang mempelajari keindahan internal dan eksternal sebuah kalimat dengan tetap menjaga kejelasan arti. Dalam ilmu ini diplejari tentang irama, gaya bahasa, keindahan struktur (keindahan eksternal) dan keindahan Arti (keindahan internal). Untuk lebih jelasnya silahkan lihat M.Ghufron, Al-Balaghah Fi Ilmi Al-Bayan (Ponorogo :Darussalam, 1991) hal. 99-102. juga Haddam Banna, Al-Balaghah Fi Ilmi Al-Ma’ani (Ponorogo : Darussalam,1991) hal. 80-81. dan M.Ghufron, Al-Balagahah Fi Ilm Badi’ (Ponorogo : Darussalam, 1991) hal. 81-82.
[22]Manna, Mabahits, hal 260.
[23]Lihat Abu Bakar Jabbar, Aysarut Tafasir (Beirut : Daar Kutub Al-Ilmiyah, 1995) jil. I, hal. 34.
===================
Daftar Pustaka
Al-Baqilany, Muhammad Abu Bakar, I’jaz Al-Quran.Kairo: Daar al-Ma’arif, t.t..
Amal, Taufik Adnan. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an. Yogyakarta : Forum kajian dan Budaya, 2001.
Banna, Haddam, Al-Balaghah Fi Ilmi Al-Ma’ani. Ponorogo : Darussalam,1991.
Esposito, John.L, Dunia Islam Modern I, terj. Eva dkk . Bandung : Mizan, 2002.
Ghufron, M. Al-Balaghah Fi Ilmi Al-Bayan. Ponorogo : Darussalam,1991.
_________, Al-Balagahah Fi Ilm Badi’. Ponorogo : Darussalam,1991.
Hasyimi, Ahmad, Jawahir Al-Adab. Beirut : Daar Kutub, 1996.
Jabbar , Abu Bakar, Aysarut Tafasir, jil. I. Beirut : Daar Kutub Al-Ilmiyah, 1995.
Khalil, Munawwar. Al-Qur’an Dari Masa ke Masa. Solo:Ramadhani, 1985.
Makdisi, Goerge. The Rise Of Humanism In Classical Islam And The Chiristian West . Edinburgh : Edinburgh University Press, 1990.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-munawwir. Yogyakarta : Pustaka Progressif, 1984.
Ma’luf, Louis. al-Munjid Fi al-Lughah Wa al-A’lam. Beirut : Daar Masyriq, 1982.
Salam, Muhammad Zaglul dan Muhammad Khalfullah Ahmad, Salasu Rasail Fi I’jaz Al-Quran: Li al- Rumani Wa al-Khuthabi Wa Abdul Qadir al-Jurjani. Mesir: Dar al-Ma’arif, t.t.
Shihab, Quraish, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1992.
______________, Mukjizat Al-Quran: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiyah dan Pemberitaan Gaib. Bandung: Mizan, 1997.
Sholih, Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus. Jakarta : pustaka Firdausi, 2000.
Suyuthi, Jalaluddin, Al-Itqan Fi Ulum Al-Quran, Jil. IV. Kairo: Maktabah Dar Al-Turast, t.t.h.
Qatthan, Manna, Mabahits Fi Ulumil Qur’an. Mesir: Mansyuroti asril Hadist, tth.
Sejarah mengatakan bahwa mu’jizat seorang nabi atau rasul merupakan hal yang sesuai dengan zamannya, atau hal yang sedang berkembang dan digandrungi oleh masyarakat yang diseru untuk beriman kepada Allah, seperti merubah tali menjadi ular ketika masyarakat Mesir kala itu sedang menggandrungi sihir, atau keindahan bahasa Alquran untuk orang Arab yang sangat menyukai bahasa yang indah, fasih dan baligh.[2]
Alquran yang menjadi mu’jizat Nabi Muhammad SAW adalah bukti terkuat untuk saat itu atas kebenaran risalah Muhammad, keindahannya yang merupakan hal yang paling mudah dicerna oleh orang Arab yang notabene adalah pengagum karya sastra mengalahkan segala keindahan syair-syair kaum Quraisy. Meskipun sebenarnya tidak ada lagi alasan bagi orang kafir dan kaum Quraisy Mekkah juga kaum munafik Yahudi khususnya untuk tidak mempercayai kebenaran seruan Nabi Muhammad tapi mereka tetap tidak mengakui kebenaran risalah Muhammad.
Dalam makalah ini, penulis ingin menguraikan tentang I’jaz Alquran tersebut, aspek-aspek kemu’jizatannya dan beberapa hal yang masih relevan dengan kajian kemukjizatan Alquran, termasuk tentang sekilas keadaan bangsa Arab pra-risalah yang begitu menghormati sastra yang juga merupakan salah satu kemukjizatan Alquran.
A. Bangsa Arab dan Sastra Arab Pra-Risalah.
Bangsa Arab yang hidup di semenanjung Arab adalah bangsa yang harus berusaha lebih untuk bertahan hidup, hal ini dikarenakan daerah yang tandus yang mereka diami tidak memberikan sumber kehidupan yang mencukupi. Mereka, mayoritas merupakan pedagang meskipun tidak juga sedikit yang hidup dari pertanian dan profesi lainnya.
Perdagangan yang merupakan mayoritas pekerjaan orang Arab direkam dan dijadikan sebagai bahan ungkapan oleh Alquran. Banyak kata dan permisalan yang digunakan oleh Alquran “bersumber” dari istilah-istilah perdagangan seperti mitsqal, mizan, ajr, jaza’, yattajirun, hisab, rabiha, khasira dan lain sebagainya.[3]
Bangsa Arab juga merupakan bangsa yang mempunyai minat tinggi terhadap bahasa, mereka mempunyai kebiasaan mengirimkan anak-anak mereka untuk mempelajari bahasa kepedalaman. Mereka memberikan apresiasi yang sungguh besar bagi seseorang yang fasih dan baligh dalam berbicara. Sastra merupakan salah satu bentuk kehormatan bagi mereka, tak heran jika beberapa genre sastra berkembang pesat dikalangan bangsa Arab kala itu.[4] Mereka beradu kebolehan dalam menggubah puisi secara rutin di pasar-pasar atau di tempat berkumpulnya orang-orang, karya yang paling bagus akan mendapatkan kehormatan untuk ditempelkan di dinding ka’bah, seorang pujangga akan semakin terkenal dengan banyaknya mu’allaqat yang ia ciptakan.
Puisi yang merupakan genre yang paling disenangi biasanya berkisar pada hal, benda atau kejadian yang kasat mata, seperti wanita, unta, raja atau perang,[5] maka tak heran jika puisi yang mereka gubah haruslah menggunakan kata-kata atau ungkapan hiperbola -yang tentu tidak terlepas dari unsur kebohongan- untuk memperindah karyanya. [6]
Ketika Nabi Muhammad SAW membacakan ayat-ayat suci yang indah dari segi bahasanya untuk saat itu, sontak saja mereka kaget dan mengakui keindahan susunan kata, fashl, ijaz, surah bayaniyah, balaghah, ma’ani dan badi’nya. Selain bahasa yang merupakan keindahan Alquran kala itu juga adalah kandungannya tentang cerita tentang ummat-ummat terdahulu.
Akan tetapi ketika keindahan itu disertai dengan pengakuan Muhammad tentang risalah dan agama baru, meninggalkan agama lama dan berhala, mereka lantas tidak mau mengakui kebenaran ayat Alquran sebagai firman Tuhan. Kesombongan dan rasa harga diri mereka membuat mereka menolak ajaran Muhamad. Berbagai tuduhan mereka lontarkan seperti tukang sihir, tukang tenung, pendongeng dan orang gila yang membuat sendiri Alquran.[7]
B. Definisi Mu’jizat.
Kata mu’jizat berasal dari bahasa Arab, ajaza yang merupakan kata dasarnya berarti lemah, tidak mampu atau tidak kuasa.[8] Kata ini merupakan kata kerja intransitif (lazim), kemudian dijadikan transitif (muta’addiy) dengan menambahkan huruf hamzah diawalnya atau dengan menambahkan tadi’efh, hingga menjadi a’jaza atau ajjaza yang berarti membuatnya lemah atau menjadikan tidak kuasa.[9] Kata a’jaza inilah yang kemudian dengan sighat ism fai’l berubah menjadi mu’jiz atau mu’jizatun, yang menurut etimologi berarti yang melemahkan.
Dalam buku Mukjizat Al-Qur’an, Quraish Shihab lebih lanjut menjelaskan bahwa pelaku yang melemahkan itu dalam bahasa Arab dinamai dengan معجِز (mu’jiz). Bila kemampuan pelakunya dalam melemahkan pihak lain sangat menonjol sehingga mampu membungkam lawan-lawannya, maka ia dinamai معجِزة(mu’jizat). Tambahan (ة ) pada akhir kata itu mengandung makna superlatif (mubalaghah). [10]
Mukjizat didefinisikan oleh kebanyakan pakar agama Islam sebagai “suatu hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seorang yang mengaku Nabi, sebagai bukti kenabiannya yang ditantangkan kepada yang ragu, untuk melakukan atau membuat hal serupa, namun mereka tidak mampu untuk membuatnya.” Sebagaimana diungkapkan oleh Al-Suyuthi dalam Al- Itqan ;
المعجزة : أمر خارق للعادة ، مقرون بالتحدى ، سالم عن المعارضة ، وهي إما حسية وإماعقلية.
[11]Menurt Manna Qatthan kata mu’jizat berarti hal yang luar biasa yang tampak pada seorang rasul ataupun nabi yang tidak mungkin untuk ditandingi,[12] Louis Ma’luf juga mengatakan hal tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas. Memang tidak begitu banyak perbedaan yang mendasar tentang defenisi Mu’jizat ini.Nabi Muhammad diperintahkan oleh Allah Swt. untuk menantang kaum Quraisy untuk menandingi keindahan Alquran dari segala sisinya. Paling tidak ada empat ayat yang merupakan tantangan bagi mereka yang tidak mempercayai kebenaran Alquran saat itu, keempat ayat itu adalah:
و إن كنتم فى ريب مما نزلنا على عبدنا فأتوا بسورة من مثله و ادعوا شهداءكم من دون الله إن كنتم صادقين ( البقرة : 24 )
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Alquran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal dengan Alquran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.( al-Baqarah: 24 )أم يقولون افتراه قل فأتوا بسورة مثله و ادعوا من استطعتم من دون الله إن كنتم صادقين ( يونس : 37 )
Atau (patutkah) mereka mengatakan “ Muhammad membuat-buatnya.” Katakanlah : “(kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpanya dan panggilah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”. ( Yunus : 38)ام يقولون افتراه قل فأتوا بعسر سور مثله مفتريات و ادعوا من استطعتم من دون الله إن كنتم صادقين ( هود : 13 )
Bahkan mereka mengatakan :” Muhammad telah membuat-buat Alquran itu”, katakanlah:” (kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar”.( Hud : 13)فليأتوا بحديث مثله إن كانوا صادقين ( الطور : 34 )
Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal dengan Alquran itu jika mereka orang-orang yang benar (At-at-Thur : 34)Tapi ada juga pendapat yang mengatakan bahwa ayat yang merupakan tantangan untuk membuat tandingan Alquran hanya ada tiga ayat, dalam arti tiga tingkatan. Seperti Manna Qaththan yang mengatakan memberikan tiga tingaktan tantangan dengan empat ayat, yang pertama adalah Al-Isra ayat 88 yang berbunyi:
قل لئن اجتمعت الإنس و الجن على أن يأتوا بمثل هذا القرأن لا يأتون بمثله و لو كان بعضهم لبعض ظهيرا
Artinya: katakanlah:”sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan Alquran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka menjadi pembantu dengan yang lainnya”Diteruskan dengan membuat sepuluh surat saja pada surat Hud ayat 13, yang kalau itu juga mereka tidak mampu maka diteruskan untuk membuat satu surat saja yaitu pada surat Yunus ayat 38 yang kemudian diulangi pada surat al-Baqarah ayat 24.[13]
C. Sisi Kemu’jizatan Al-Qur’an.
Sisi kemu’jizatan Alquran ini adalah salah satu hal yang sangat variatif, banyak terdapat perbedaan pendapat tentang apa saja yang menjadi mu’jizat Alquran itu, sebagian mengatakan bahasanya dan kandungannya, sebagian lagi mengatakan bahkan satu hurufnya saja merupakan mu’jizat, kandungannya terhadap teori-teori ilmiah.
Dalam buku “Membumikan Alquran”, Quraish Shihab menjelaskan paling tidak ada tiga aspek dalam Alquran yang dapat menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw., sekaligus menjadi bukti bahwa informasi atau petunjuk yang disampaikannya adalah benar-benar bersumber dari Allah swt. Ketiga aspek tersebut akan lebih meyakinkan lagi, bila diketahui bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang yang pandai membaca dan menulis, ia juga tidak hidup dan bermukim di tengah-tengah masyarakat yang relatif mengenal peradaban, seperti Mesir, Romawi atau Persia. Ketiga aspek tersebut adalah pertama, aspek keindahan dan ketelitian redaksi-redaksinya. Kedua, pemberitaan-pemberitaan gaibnya, dan yang ketiga isyarat-isyarat ilmiahnya.[14]
Bila diteliti lebih lanjut pendapat para mufassirin tentang i’jaz Al-Quran, maka akan didapati pendapat mereka yang sangat variatif. Sebagian mufassirin, diantaranya Imam Fakruddin, az-Zamlukany, Ibn Hazam, al-Khutabi berpendapat bahwa kemukjizatan Al-Quran karena fashahat dan balaghat–nya secara keseluruhan. Sedangkan yang lain seperti al-Marakasy berpendapat bahwa I’jaz tersebut disebabkan ia memiliki unsur-unsur keteraturan, kesinambungan dan penyusunan yang berbeda dengan kaedah-kaedah bahasa konvensional kalam Arab. Dalam hal ini, sulit bagi mereka (orang Arab) untuk mengetahui rahasia-rahasia i’jaz Al-Quran, baik mereka lihat dari sisi syairnya, balaghatnya, khitabnya dan lain sebagainya, sekalipun diantara mereka adalah orang-orang yang ahli dalam sastra dan bahasa.[15]
Ada juga sebagian mufassir yang lain melihat I’jaz Alquran tersebut dari sisi prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya, khususnya yang berhubungan dengan persoalan-persoalan sosial (al-ijtima’iyyat), politik (al-siyasat) dan norma-norma (al-akhlaqiyat). Aspek-aspek tersebut bagi masyarakat Arab saat itu adalah sesuatu yang belum pernah terpikirkan mereka sebelumnya. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Alquran membawa informasi-informasi baru yang di luar perkiraan manusia. Dari sini jelas bahwa Alquran mengandung dasar-dasar dan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan, yang pada dasarnya tidak mungkin dihasilkan oleh seorang Muhammad yang “ummi” (menurut sebagian besar ulama).[16]
Al-Rumani, dalam buku Salasu Rasail Fi I’jaz al-Quran melihat kemukjizatan Alquran dari tujuh macam segi, yaitu:[17]
- Tidak adanya yang mampu menyaingi ( ترك المعارضة ).
- Tantangan Alquran yang global (semua manusia dan jin) ( التحدى للكافة).
- Adanya pemalingan ( الصرفة) .
- Balaghah Alquran البلاغة )).
- Berita-berita gaib yang akan datang (الأخبار الصادقة عن الأمور المستقبلة ).
- Pembatalan kebiasaan-kebiasaan ( نقض العادة).
- Qiasnya terhadap segala mukjizat ( قياسه بكل معجزة ).
Menurut kami bahwa salah satu bentuk kemu’jizatan ini adalah keabadiannya, keeksisannya hingga zaman sekarang, begitu juga kekuatannya untuk menjadi beberapa sumber ilmu, seprti Fikih, Ushul Fikih, Nahwu, Sharf, Bayan, Ma’ani dan Badi’. Denga kata lain tidak ada suatu tulisanpun yang paling diminati orang di muka bumi ini menyaingi Alquran hingga menghasilkan beberapa disiplin Ilmu. Juga kemampuannya menjelaskan sesuatu dan melukiskannya dengan sarana terbaik, menerangkan sesuatu dengan makna yang mudah difikirkan, atau menjelaskan suasana psikologik dengan imajinatif dengan sesuatu yang dapat diraba dan dirasakan dengan konkret.[19]
Lalu apakah semua kandungan Alquran dimaksudkan dalam tantangan untuk membuat tandingan Alquran ketika turunnya?” tentu saja tidak karena bangsa Arab kala itu tidaklah mengenal kandungan-kandungan Alquran, seperti hukum, ilmu dan lain sebagainya.
Mu’jizat bahasa adalah hal yang paling utama dalam tantangan ini,[20] karena unsur itulah yang menjadi perhatian kaum Quraysy saat itu. Keindahan eksternal maupun internalnya merupakan hal yang dipuji sekaligus diingkari oleh kaum Quraysy.
Uslubnya, tasybih, majaz, kinyah, fasohah, balaghah, ma’ani, qashr, washl, fashl, ijaz, irama (musiqul uslub, musiqul wazan dan musiqul fawasil), saja’, tajanus, husnut taqsim, jinas, tarshi’, tasythir, raddul I’jaz alas shudur, tauriyah,tibaq, muqabalah[21] dan lain sebagainya adalah unsur-unsur yang menjadi keindahan bahasa Alquran dalam pandangan ilmu Balaghah. Seperti ayat :
يوم تقوم الساعة يقسم المجةمون ما لبسوا غير ساعة # فأما اليتيم فلا نقهر و أما السائل فلا تنهر # إن الأبرار لفى نعيم و إن الفجار لفى جحيم # و تخشى الناس و الله أحق أن تخشاه # و هو الذى يتوفاكم بالليل و يعلم ما جرحتم بالنهار # و تحسبهم أيقاظا و هم رقودا # لكيلا تأسوا على ما فاتاكم و لا تفرحوا على ما أتاكم
Selain itu menurut Manna Qaththan bahwa informasi tentang ummat-ummat terdahulu juga merupakan unsur dalam tantangan Allah.[22] Dan menurut sebagian besar ulama keummiyan rasul juga terkandung didalamnya. [23]Dari beberapa perbedaan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kemukjizatan Alquran tidak hanya terbatas pada kadar tertentu saja, akan tetapi kemukjizatannya terletak pada totalitasnya sebagai Alquran, baik bahasa, pemilihan huruf, pemilihan kata, pemilihan kalimat, ritme, kandungannya, cara turunnya, kekekalannya dan kemampuannya membangkitkan minat pengkaji untuk mengkajinya.
Lebih rinci lagi, Manna Khalil al-Qatthan berpendapat bahwa secara garis besarnya, kemukjizatan Alquran itu dapat dilihat dari beberapa aspek berikut:
- Aspek Bahasa.
- Aspek Ilmiah.
Keilmiahan Alquran tidaklah terletak pada cakupannya terhadap teori-teori ilmiahan yang selalu berubah karena memang pada dasarnya teori itu akan terus berkembang sesuai dengan metode yang dipakai dalam membuktikan teori tersebut, sementara Alquran tidaklah berubah. Dengan begitu, menurut kami bahwa keilmiahan Alquran tersebut terletak pada dorongannya untuk berfikir dan menggunakan akal.
- Aspek Hukum.
Pada masa turunnya Alquran, kita banyak mengenal nama tersohor dalam bidang sastra, perang, ekonomi dan politik, tapi baik di Mekkah maupun Madinah tidak ada seorangpun yang begitu mencuat namanya dalam bidang hukum kecuali ia memang seorang tokoh yang mengambil dasar-dasar hukumnya dari Alquran, seperti Mu’adz b. Jabal, Abu Musa al-Asy’ari dan sebagainya.
D. Arah Baru Dalam Memahami Alquran.
Apa yang ditemukan manusia akhir-akhir ini membuat mereka terheran-heran, hal ini disebabkan kesesuaian beberapa fenomena zaman sekarang ini dengan prediksi-prediksi atau kandungan Alquran, sebut saja tentang sidik jari yang telah lama diisyaratkan oleh Alquran dalam uraian tentang proses terjadinya manusia.
Hal ini mungkin akibat dari krisis yang melanda ummat Islam dalam berfikir bukan karena krisis metode berpikir, karena ummat Islam telah mempunyai dasar metode berpikir.
Yang perlu dipikirkan pada masa sekarang ini adalah adanya jaminan-jaminan individu, pemikiran materi, undang-undang dan seterusnya bagi para cendikiawan, fukaha.
Ummat perlu memikirkan bagaiman caranya memahami Alquran dengan humanis dan universal, hingga melahirkan kesimpulan dan nilai-nilai yang humanis dan universal, bukan hanya sebuah nostalgia akan kemajuan peradaban ummat Islam pada masa lalu. Tidak dengan serta merta mencari-cari ayat untuk mengklaim bahwa sebuah temuan yang ditemukan oleh orang non-Muslim telah ada dalam Alquran, yang kemudian terkesan bagai sebuah takwil yang ba’id.
Kita tidak mengingkari kemungkinan bahwa Alquran telah menjelaskan beberapa hal yang akan terjadi di dunia ini. Tapi bagaimana memandang Alquran sebagai kitab yang penuh mukjizat hingga bisa dijelaskan dengan gamblang memerlukan usaha lain, yang kesemua itu memerlukan aktivitas berfikir yang memadai.
===================
EndNote
[1]Munawwar Khalil, Al-Qur’an Dari Masa ke Masa (Solo:Ramadhani, 1985) hal. 59.
[2]Kesenangan orang Arab terhadap sastra khususnya pada genre pusis dapat ditelusuri dari kata aroba itu sendiri, Goerge Makdisi mengatakan bahwa aroba berarti orang yang bebicara dengan lancar, fasih tanpa kesalahan dan tanpa terputus-putus, lihat Goerge Makdisi, The Rise Of Humanism In Classical Islam And The Chiristian West (Edinburgh : Edinburgh University Press, 1990) hal. 120. lihat juga Ahmad Warson Munawwir, Al-munawwir (Yogyakarta : Pustaka Progressif, 1984) hal. 911. dan Louis Ma’luf, Al-Munjid Fi Al-Lughah Wa Al-A’lam (Beirut : Daar Masyriq, 1982). Hal. 493.
[3]Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an (Yogyakarta : Forum kajian dan Budaya, 2001) hal. 11.
[4]John, L.Esposito, Dunia Islam Modern I, terj. Eva dkk (Bandung: Mizan, 2002) hal . 153.
[5]Untuk contoh puisi-puisi ini silahkan lihat A.Hasyimi, Jawahir Al-Adab, (Beirut: Daar Kutub, 1996) hal. 331.
[6]Munawwar Khalil, Al-Qur’an, hal. 69.
[7]Manna Qatthan, Mabahits Fi Ulumil Qur’an (Mesir: Mansyuroti asril Hadist, tth) hal. 260.
[8]Ahmad Warson, Al-Munawwir, hal. 898. lihat juga Louis Ma’luf, Al-Munjid, hal. 488.
[9]Ibid.
[10]Lihat, M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiyah dan Pemberitaan Gaib, Cet. IV (Bandung: Mizan, 1997), h. 23
[11]Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Itqan Fi Ulum Al-Quran (Kairo: Maktabah Dar Al-Turast, t.t.), Jilid ke-4, h. 3.
[12]Manna, Mabahits, hal. 257.
[13]Manna, Mabahits, hal. 259.
[14]Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Cet. XXIII (Bandung: Mizan, 1992), h. 29-32.
[15]Lebih lanjut al- Suyuthi, Al-Itqan, h. 7-12. Lihat juga, Muhammada Abu Bakar Al-Baqilany, I’jaz Al-Quran (Kairo: Daar al-Ma’arif, t.t.), h. 15. Al-Baqilany sendiri melihat sisi kemukjizatan Al-Quran itu dari tiga sisi, yaitu: Pertama, sisi pemberitaannya yang gaib (akhbar an algaib). Kedua, karena ke-ummi-an Rasul. Ketiga, susunan dan keteraturan bahasanya yang luar biasa dan menakjubkan.
[16]Manna, Mabahits, hal. 260.
[17]Muhammad Zaglul Salam dan Muhammad Khalfullah Ahmad, Salasu Rasail Fi I’jaz Al-Quran: Li al- Rumani Wa al-Khuthabi Wa Abdul Qadir al-Jurjani, Cet.3. (Mesir: Dar al-Ma’arif, t.t.), h. 75.
[18]Manna, Mabahits, hal. 260.
[19]Subhi Sholih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus (jakarta : pustaka Firdausi, 2001) hal. 427.
[20]Subhi Sholih, Membahas, hal. 427.
[21]Istilah-istilah diatas adalah term dalam ilmu Bayan, Ma’ani dan Badi’. Ilmu Bayan adalah ilmu metode pendeskripsian dengan berbagai cara, tujuannya adalah agar perkataan dapat dipahami secara jelas, karenanya disebut ilmu Bayan. Ilmu ini mempelajari tentang uslub (gaya bahasa), Gambaran Deskriptif (shurah bayaniyah) seperti alegoris (tasybih) majaz dan kinayah. Sedangkan ilmu Ma’ani adalah dasar-dasar untuk mengetahui keadaan dan keindahan perkataan sesuai dengan bentuk dan konteks kalimat. Ilmu ini mempelajari kretria perkataan yang baligh dan fasih (Fashahah wa balahg Al-kalam), kalimat khabar dan insya’, qashr, fashl. Washl,ijaz,ithnab dan musawah. Ilmu Badi’. Adalah ilmu yang mempelajari keindahan internal dan eksternal sebuah kalimat dengan tetap menjaga kejelasan arti. Dalam ilmu ini diplejari tentang irama, gaya bahasa, keindahan struktur (keindahan eksternal) dan keindahan Arti (keindahan internal). Untuk lebih jelasnya silahkan lihat M.Ghufron, Al-Balaghah Fi Ilmi Al-Bayan (Ponorogo :Darussalam, 1991) hal. 99-102. juga Haddam Banna, Al-Balaghah Fi Ilmi Al-Ma’ani (Ponorogo : Darussalam,1991) hal. 80-81. dan M.Ghufron, Al-Balagahah Fi Ilm Badi’ (Ponorogo : Darussalam, 1991) hal. 81-82.
[22]Manna, Mabahits, hal 260.
[23]Lihat Abu Bakar Jabbar, Aysarut Tafasir (Beirut : Daar Kutub Al-Ilmiyah, 1995) jil. I, hal. 34.
===================
Daftar Pustaka
Al-Baqilany, Muhammad Abu Bakar, I’jaz Al-Quran.Kairo: Daar al-Ma’arif, t.t..
Amal, Taufik Adnan. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an. Yogyakarta : Forum kajian dan Budaya, 2001.
Banna, Haddam, Al-Balaghah Fi Ilmi Al-Ma’ani. Ponorogo : Darussalam,1991.
Esposito, John.L, Dunia Islam Modern I, terj. Eva dkk . Bandung : Mizan, 2002.
Ghufron, M. Al-Balaghah Fi Ilmi Al-Bayan. Ponorogo : Darussalam,1991.
_________, Al-Balagahah Fi Ilm Badi’. Ponorogo : Darussalam,1991.
Hasyimi, Ahmad, Jawahir Al-Adab. Beirut : Daar Kutub, 1996.
Jabbar , Abu Bakar, Aysarut Tafasir, jil. I. Beirut : Daar Kutub Al-Ilmiyah, 1995.
Khalil, Munawwar. Al-Qur’an Dari Masa ke Masa. Solo:Ramadhani, 1985.
Makdisi, Goerge. The Rise Of Humanism In Classical Islam And The Chiristian West . Edinburgh : Edinburgh University Press, 1990.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-munawwir. Yogyakarta : Pustaka Progressif, 1984.
Ma’luf, Louis. al-Munjid Fi al-Lughah Wa al-A’lam. Beirut : Daar Masyriq, 1982.
Salam, Muhammad Zaglul dan Muhammad Khalfullah Ahmad, Salasu Rasail Fi I’jaz Al-Quran: Li al- Rumani Wa al-Khuthabi Wa Abdul Qadir al-Jurjani. Mesir: Dar al-Ma’arif, t.t.
Shihab, Quraish, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1992.
______________, Mukjizat Al-Quran: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiyah dan Pemberitaan Gaib. Bandung: Mizan, 1997.
Sholih, Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus. Jakarta : pustaka Firdausi, 2000.
Suyuthi, Jalaluddin, Al-Itqan Fi Ulum Al-Quran, Jil. IV. Kairo: Maktabah Dar Al-Turast, t.t.h.
Qatthan, Manna, Mabahits Fi Ulumil Qur’an. Mesir: Mansyuroti asril Hadist, tth.
0 comments:
Post a Comment