Tafsir Bi al - Ra'yi

Perkembangan hidup manusia mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan akal pikirannya. Hal ini jelas mempunyai pengaruh dalam pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Pada abad pertama Islam, para ulama sangat berhati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Bahkan sebagian para ulama bila ditanya mengenai satu ayat, mereka tidak memberikan jawaban apapun.

Namun pada abad-abad berikutnya, sebagian besar ulama berpendapat bahwa setiap orang boleh menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an selama ia memiliki syarat-syarat tertentu seperti : pengetahuan bahasa yang mencakup Nahwu, Sharaf, Balaghah, juga Ilmu U¡h­luddin ,Ilmu Qira’ah, Asbab al- Nuzul, Nasikh- Mansukh, dan lain sebagainya.

Sejarah penafsiran Al-Qur’an dimulai dengan menafsirkan ayat-ayatnya sesuai dengan hadist-hadist Rasulullah Saw, atau pendapat para sahabat. Penafsiran demikian terus berkembang sehingga dengan tidak disadari telah bercampur dengan hal-hal yang berbau Israiliyat (kisah-kisah yang bersumber dari ahli kitab yang umumnya tidak sejalan dengan kesucian agama atau pemikiran yang sehat). Hal ini mengakibatkan sebagian ulama menolak penafsiran yang menggambarkan pendapat-pendapat penulisnya atau menyatukan pendapat-pendapat tersebut dengan hadis-hadis atau pendapat-pendapat para sahabat yang dianggap benar.

Demikianlah hingga kemudian muncul beraneka corak tafsir, ada yang berdasarkan nalar penulisnya saja, ada pula berdasarkan riwayat-riwayat, ada pula yang menyatukan antara keduanya. Persoalan yang dibahaspun bermacam-macam. Untuk membatasi bidang kajian ini, maka makalah ini akan membahas tentang Tafsir bi al-Ra’yi, hal-hal yang berhubungan dan ruang-lingkupnya.

A. Pengertian Tafsir bi al-Ra’yi.
Tafsir menurut 'Ibn hayyan ialah suatu ilmu yang membahas cara menuturkan/ membunyikan lafazh-lafazh Al-Qur’an, Madlul-Madlulnya baik mengenai kata tunggal maupun mengenai kata tarkib dan makna-maknanya yang digantungkan oleh keadaan susunan dan beberapa kesempurnaan bagi yang demikian seperti, Nasakh, Asbab al-Nuzul, kisah yang mengatakan apa yang tidak terang di dalam Al-Qur’an dan lain-lain yang mempunyai hubungan erat dengannya.

Menurut ‘Ali hasan al-‘Aridl tafsir ialah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafazh-lafazh Al-qur’an, makna-makna yang ditunjukkannya dan hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri atau tersusun serta makna-makna yang dimungkinkan ketika dalam keadaan tersusun.

Tafsir bi al-Ra’yi (penafsiran dengan rasio) adalah penafsiran yang dilakukan dengan menetapkan rasio sebagai titik tolak. Corak ini dinamakan juga dengan al- Tafsir bi al-Ijtihadi, yaitu penafsiran yang menggunakan ijtihad. Karena penafsiran seperti ini didasarkan atas hasil pemikiran seorang mufassir. Perbedaan-perbedaan antara satu mufassir dengan mufassir lain lebih mungkin terjadi, dibandingkan al- Tafsir bi al-Ma’ts­r. Karena alasan tersebut, beberapa ulama menolak penafsiran dengan corak ini, dan menyebutnya sebagai al- Tafsir bi al- Hawa (tafsir atas dasar hawa nafsu). Namun, banyak para ulama yang dapat menerima tafsir corak ini juga, tapi dengan syarat-syarat tertentu pula. Penerimaan mereka didasarkan atas ayat-ayat al-qur’an sendiri, yang menurut mereka , memang menganjurkan manusia untuk memikirkan dan memahami kandungannya. Adapun ayat-ayat yang mendukung kebolehan tafsir corak ini, sebagaimana yang dikutip Shubhi al-Shalih, adalah sebagai berikut.21

أفلا يتد برون القران ام على قلوب أقفالها. سورة المحمد: 24
Artinya : “Apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci”. (Q.S. Muhammad: 24).

كتاب أنزلنه إليك مبارك ليد بروا اياته وليتذ كر أولوا ا لباب.  سورة الص: 29
Artinya: “Ini adalah kitab yang kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah, agar mereka memperhatikan ayat-ayat dan orang-orang yang mempunyai pikiran dapat memperoleh pelajaran darinya”. (Q.S. as-Shad: 29).

Perlu dijelaskan, meskipun mufassir dalam hal ini menggunakan pemikiran, namun ia tidaklah bebas mutlak. Mufassir harus bertolak dari pemahamannya terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam al- Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Akan tetapi pemahaman tersebut tidak cukup untuk menjamin penafsiran cara ini. Karena itu, dalam menggunakan corak tafsir ini diberlakukan syarat-syarat mufassir dan kaedah-kaedah penafsiran yang ketat, antara lain:
  1. Memiliki pengetahuan bahasa Arab dan segala seluk beluknya.
  2. Menguasai ilmu-ilmu al-Qur’an.
  3. Menguasai ilmu- ilmu yang berhubungan dengan ilmu-ilmu al-Qur’an, seperti hadis, Ushul fiqh dan lain sebagainya.
  4. Beraqidah yang benar.
  5. Mengetahui prinsip-prinsip pokok agama Islam.
  6. Menguasai ilmu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat yang ditafsirkan.22
Secara umum tafsir dibagi kepada dua, yaitu tafsir naqli dan tafsir ‘aqli. Dari dua jenis tafsir tersebut yang saling ketemu itu timbulllah tafsir yang didasarkan pada pendapat atau opini. Jenis tafsir ini dilarang muthlak oleh sementara ulama. Larangan tersebut berdasarkan pada sebuah hadis; “Barang siapa yang berbicara mengenai al-Qur’an menurut pendapatnya sendiri, walaupun ternyata benar, maka ia tetap telah berbuat sesuatu yang keliru”. Sedangkan menurut pemahaman penulis, yang dimaksud “pendapat” dalam hadis tersebut ialah perkataan yang diucapkan tanpa dalil yang sah menurut syara’. Orang yang berbuat demikian itu tidak menempuh jalan yang lurus dalam menafsirkan al-Qur’an. Akan tetapi jika orang menafsirkan al-Qur’an berdasarkan dalil-dalil yang sah menurut syara’, tentu pendapatnya patut dipuji dan sama sekali tidak membahayakan agama.

Apabila zaman sahabat sampai dengan zaman at-Thabari (225 H/839 M-310 H/923 M) penafsiran ayat dilakukan dengan cara menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, al-Qur’an dengan hadis-hadis nabi SAW, ataupun al-Qur’an dengan ijtihad para sahabat, maka pada zaman sesudah at-thabari timbullah berbagai penafsiran, aliran, dan dengan berbagai pendapat.23 Tafsir yang disandarkan kepada al-Qur’an, hadis Nabi SAW dan perkataan sahabat dikenal dengan Tafsir bi al- Ma’ts­r. Sedangkan penafsiran yang disebut terakhir dinamakan Tafsir bi al-Ra’yi.


Setelah zaman at-Thabari, tafsir sudah bercampur dengan pendapat-pendapat pribadi para mufassir. Bahkan mereka sudah mulai melakukan penafsiran dengan mengunakan akal, sehingga ada penafsiran ayat yang keluar dari makna kata. Hal ini terjadi karena pengaruh pendapat pribadi, ilmu pengetahuan dan perkembagan zaman. Para ulama berbeda pendapat mengenai tafsir bi ar-Ra’yi. Ada yang mengharamkan dan ada pula yang membolehkannnya. Yang mengharamkan, diantaranya Sa’id bin Musayyab, ulama dari kalangan tabi’in (15-94 H), dan yang membolehkan di antaranya ; Mujahid bin Jabir ulama dari kalangan tabi’in (18 H/639 M-101 H/719 M) dan ulama-ulama dari kalangan Mu’tazilah, seperti al-Jahiz ‘Abu `Usman bin Bahar (w. 255H) dan an-Nazzam (w. 231 M).

Pada hakikatnya perbedaan itu berkisar sekitar apakah penafsiran yang dilakukan melalui pendapat akal semata tanpa memperhatikan kaedah-kaedah bahasa, prinsip-prinsip Syara’ dan lain sebagainya. Hal ini dapat dikatakan telah memenuhi apa yang dikehendaki Allah SWT. Namun, apabila penggunaan akal tersebut disertai dengan syrat-syarat yang diperlukan bagi seorang mufassir, maka tidak ada halangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yu. Bahkan al-Qur’an sangat menganjurkan untuk mempergunakan ijtihad dalam memahami ayat-ayat-Nya dan ajaran-ajaran-Nya.

Pada periode ini bermunculan kitab-kitab tafsir dengan berbagai pendekatan seperti pendekatan bahasa, ilmu pengetahuan, fiqh, sejarah, tasawuf dan teologi,untuk dapat menerima penafsiran melalui tafsir bi al-ra’yi, Az-Zarkasyi mengemukakan sekurang kurangnya ada empat (4) syarat yang harus dipenuhi, antara lain:
  1. Ra’yu tersebut merupakan nukilan dari Rasulullah SAW, dengan tetap memperhatikan nilai nukilan itu.
  2. Ra’yu tersebut terambil dari perkataan sahabat.
  3. Harus mempertahankan prinsip-prinsip kebahasaan.
  4. Berpedoman pada arti kalimat yang sesuai dengan ketentuan syara’.24

B. Perbedaan Tafsir Bi al-Ra’yi dengan Tafsir Bi al-Ma’tsur.
Bila tafsir bi al-ra’yi adalah seperti yang diuraikan di atas yakni penafsiran dengan menggunakan rasion sebagai titik tolak penafsiran, yang kemudian juga disebut dengan tafsir ijtihadi karena penafsiran tersebut merupakan hasil ijtihad seseorang, maka Tafsir bi al-Ma’ts­r adalah:

هو الذى يعتمد على صحيح المنقول بالمراتب التي ذ كرت سابقا في شروط المفسر من تفسر القران بالقران, او بالسنة أ نها جاءت مبينة لكتاب الله. او بما روي عن الصحاب نهم اعلم الناس لكتاب الله. او بماقاله كبار التابعين أنهم تلقوا ذ لك غالبا عن الصحابة.
Artinya : “Tafsir bi al-ma’ts­r ialah tafsir yang berpegang kepada riwayat yang ¡hahih, yaitu menafsirkan Al-qur’an dengan Al-qur’an, atau dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan kitabullah, atau dengan perkataan para ¡ahabat karena merekalah yang paling mengetahui kitabullah atau dengan apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh besar tabi’in karena pada umumnya mereka menerima dari para sahabat”.

Sedangkan menurut Muhammad ‘Ali ash-Shabuni, tafsir bi al-ma’ts­r ialah rangkaian keterangan yang terdapat dalam Al-qur’an dan al-sunnah atau kata-kata ¡ahabat sebagai keterangan/ penjelasan maksud dari firman Allah, yaitu penafsiran Al-qur’an dengan as-sunnah. Dengan demikian tafsir bi al-ma’ts­r adalah tafsir Al-qur’an dengan Al-qur’an atau penafsiran Al-qur’an dengan as-sunnah.

Tafsir bi al-ma’ts­r adalah tafsir yang mencakup penjelasan terperinci dari sebuah ayat dengan ayat lain dalam Al-qur’an (tafsir al-qur’an bi al-qur’an), keterangan yang berasal dari Ras­lullah Saw (tafsir al-qur’an bi as-sunnah), sahabat dan tabi’in berkenaan dengan penjelasan maksud Allah Swt yang terdapat dalam nash-nash kitab-Nya yang mulia.

Dari penjelasan diatas dapatlah dipahami bahwasanya tafsir bi al-ma’ts­r adalah suatu usaha untuk memahami ayat-ayat Al-qur’an dengan Al-qur’an atau as-sunnah Ras­lullah Saw, dan sebagian ulama berpendapat bahwa menjelaskan Al-qur’an dengan perkataan para ¡ahabat bahkan tabi’in masih termasuk tafsir bi al-ma’ts­r bahkan mereka memberi alasan karena para tabi’in langsung menerimanya dari para ¡ahabat, dan tafsir bi al-ma’ts­r ini adalah merupakan jalan yang paling aman dari kesesatan dalam memahami Al-qur’an.

Beberapa perbedaan yang mendasar dari kedua corak penafsiran ini adala:
  1. Tafsir bi al-ma’tsur pada umumnya seragam, karena sumber yang dipakai adalah sama, yakni Alquran, Sunnah, perkataan Sahabat dan seterusnya. Sedangkan tafsir bi al-ra’yi akan jauh dari seragam, keseragamannya hanya akan terlihat dalam menafsirkan kata-kata yang sudah sangat jelas tunjukannya, sedangkan pada hal-hal lain, maka penafsiran dengan rasio ini akan terpengaruh dengan cara seseorang berfikir, menganalisa, tempat, masa, kondisi dan situasi.
  2. Tafsir bi al-ra’yi lebih tertutup peluangnya untuk tercampur dengan israiliyyat, karena tafsir ini tidak akan memakai sumber yang tidak jelas sumbernya dan yang tidak masuk akal. Sementara peluang itu relatif lebih besar pada tafsir bi al-ma’tsur.
  3. Tafsir bi al-ra’yi terlihat lebih dapat dipahami bila dikaitkan dengan masa ke-kinia, karena tafsir ini akan terus berubah sesuai dengan corak pemikiran dan zaman, sementara tafsir bi al-ma’tsur, karena sumbernya sudah tetap, maka sifatnya akan statis, intrepretasi terhadap sumber-sumber tafsirnyalah yang kemudian bisa berubah-ubah.

C. Kitab-kitab yang tergolong Tafsir bi al- Ra’yi.
Sedangkan kitab-kitab yang tergolong kepada Tafsir bi al- Ra’yi, antara lain :
  • Al- Bahr al- Muhit : Muhammad al- ‘Andalusi.
  • Ghara’ib al- Qur’an wa Ragha’ib al- Furqan : Nizamuddin an- Nisabur.
  • Ruh al- Ma`ani fi Tafsir al- Qur’an al- ‘Adhim wa as- Sab’ al- Masani : Allamah al- Alusi.
Selanjutnya juga dikenal kitab-kitab Tafsir bi al- Ra’yi dari kalangan Mu’tazilah, seperti :
  • Tanzih al- Qur’an ‘an al- Mata’in : Al- Qadhi `Abdul Jabbar.
  • Amali asy- Syarif al- Murtada : ‘Abu al- Qasim `Ali at- Tahir.
  • Al- Kasysyaf ‘an haqa’iq at- Tanzil wa ‘Uyun al- Aqawil fi Wujud at- Tanzil : ‘Abu al- Qasim Mahmud bin `Umar az- Zamakhsyari.
Di samping itu juga masih banyak sekali kitab-kitab tafsir dalam bidang tasawuf, filsafat dan hukum. Adapun yang khusus dalam bidang hukum, antara lain :
  • Al- Jami’ fi Ahkam al- Qur’an : Imam al- Qurtubi.
  • Ahkam al- Qur’an : ‘Ibnu `Arabi dan ‘Abu Bakar al- Jassas.
  • Rawa’i al- Bayan fi Tafsir al- Qur’an : Muhammad `Ali as- Shab­ni.
  • Tafsir ayat al- Ahkam : Muhammad `Ali as- Sayyis.25


=========================
Footnote:
1 M. Quraish Shihab, Membumikan Alqur’an (Bandung : Mizan, 1994), h. 83.
2 M. Hasbi Ash-Shiddieqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 185-186.
3 ‘Ali ¦asan al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. Ahmad ‘Akram (Jakarta : Rajawali Press, 1992), h. 3.
21 M. Quraish shihab, Sejarah ‘Ulumul Qur’an. (ed). Azyumardi Azra, Cet. II (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h.. 177.
22Ibid.
23Ensiklopedi Islam, Jilid. V (Jakarta; Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999, h. 30.
24 Ibid, h. 31.
4 Manna al-Khalil al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, (Riyadh: Mans­rat al-¦adits, 1973), h. 347.
5 Muhammad `Ali As-Shabuni, °ibyan Fi `Ul­m al-Qur’an (t.tp., 1998), h. 205.
6 Muhammad ¦usain al-D©ahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassir (Kairo : Maktabah Wahbah, 2000), h. 112.
25 Ibid..

=======================
DAFTAR PUSTAKA
al-Aridl, `Ali hasan. Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. Ahmad Akrom. Jakarta: Rajawali Press, 1992.

al-Dzahabiy, Muhammad husain. Al-Tafsir wa al-Mufassir. Kairo: Maktabah Wahbah, 2000.

Ensiklopedi Islam, Jilid. V. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999.


As-Shab­ni, Muhammad `Ali. °ibyan Fi ’Ulum Al-Qur’an. t.tp., 1998.

Ash-Shiddieqiy, M. Hasby. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/ Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.

Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1994.

__________________, Sejarah ‘Ulumul Qur’an. (ed). Azyumardi Azra, Cet. II. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.

al-Qattan, Manna Khalil. Mabahits fi ‘Ulum al- Qur’an. Riyadh: Mansurat al-hadits, 1973.

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger