A. Pengertian Tasawuf
Bila kita mengkaji tentang asal kata “tasawuf”, baik melalui buku-buku atau kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama terdahulu maupun saat ini belum ada kesepakatan dari para ahli tentang masalah ini. Para ahli tasawuf sendiri masih berbeda pendapat mengenai asal mula kata tersebut. Secara etimologi, sebagian dari mereka berpendapat bahwa kata “tasawuf” merupakan bentuk masdar dari kata kerja “tasawwafa” yang berarti “labitsa al shuf” atau memakai pakaian dari wol, yaitu pakaian yang biasa dipakai oleh orang-orang miskin di timur tengah pada zaman dahulu yang pakaian kemewahan saat itu adalah sutra. Karena orang sufi ingin hidup sederhana dan ingin menjauhi hidup keduniawian dan kesenangan jasmani, maka mereka hidup sebagai orang-orang miskin dengan memakai wol kasar.
Juga berasal dari kata “al-shafa” yang berarti bersih (murni). Ada juga yang mengambil dari perkataan “shuffah” yang dinisabkan kepada ahlu al-shuffah, yaitu sahabat-sahabat Nabi yang dengan keyakinan dan keimanan datang kepada Nabi dan turut berjuang menegakkan agama Islam. Mereka meninggalkan kampung halaman dan harta benda untuk hidup bermandi cahaya wahyu di dekat Nabi SAW. Karena jumlah mereka banyak, maka Rasulullah membangun asrama di samping masjid bagi mereka.
Ada lagi yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata”al-shaf” yang berarti barisan dalam shalat. Hal ini dinisbatkan kepada orang-orang yang melaksanakan shalat pada barisan pertama. Yang lain lagi mengatakan bahwa kata tasawuf berasal dari kata “shuffah”, yaitu suatu kabilah Arab badui yang memisahkan diri dari dunia dan menghambakan diri sebagai pelayan di sekitar ka’bah, suku ini hidup di kalangan bani Muzar.
Sedangkan menurut Abu Hafish Umar bin Abdul Azis : “sebagian yang lain berpendapat bahwa kata tasawuf bisa berasal dari seluruh kata-kata tersebut karena pada setiap kata terdapat makna yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya.”
Maka mereka yang menisbatkannya kepada kata “shuf”, karena melihat hal tersebut dari segi pakaian yang dikanakan oleh para sufi yang terbuat dari wol atau bulu dumba. Lalu mereka yang menisbatkannya kepada kata”suffah” karena melihat dari sisi usaha orang-orang sufi untuk menyerupai “ahli suffah” r.a. Sedangkan mereka yang menisbatkannya kepada kata “shafa” karena melihat sisi kebersihan hati dan jiwa para sufi. Dan mereka yang menisbatkannya kepada kata “shaf”, karena melihat kecendrungan orang-orang sufi untuk shalat di barisan terdepan (pertama).
Jirji zaidan berkeyakinan bahwa kata tasawuf berhubungan dengan kata Yunani “shopia” yang berarti kebijaksanaan. Dengan demikian makaal-shuffiyah artinya adalah kebijaksanan. Karena menurutnya ilmu tasawuf belum muncul dan belum dikenal sebagai ilmu seperti sekarang ini kecuali setelah masa penerjemahan kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab serta masuknya kata filsafat kedalam bahasa Arab.
Adapun secara terminologi, kata tasawuf juga memiliki berbagai defenisi. Para ulama yang menulis tentang tasawuf telah sama-sama mengetahui bahwa pendefenisian tasawuf dalam satu defenisi yang universal dan memiliki batasan (jami’ dan mani’), adalah suatu masalah yang sangat rumit. Hal ini disebabkan banyaknya defenisi yang muncul dari para tokoh-tokoh sufi. Bahkan terkadang terdapat banyak defenisi yang berasal dari satu orang. Menurut Qusyairi hal ini dikarenakan setiap orang berbicara sesuai dengan waktu dan keadaan yang dialaminya.
Hal ini juga dapat terjadi karena umumnya pengertian yang dikemukakan oleh para sufi sangat erat kaitannya dengan Tuhan. Muhammad al Jariri misalnya, ketika ditanya tentang pengertian tasawuf, maka beliau berkata “masuk ke dalam setiap moral yang luhur dan keluar dari setiap moral yang rendah”.8 Abu Husainan-Nuri mendefenisikan tasawuf dengan kemerdekaan, kemurahan, tidak membebani diri dan dermawan”.
Secara umum, Ibrahim Hilal mengemukakan bahwa “tasawuf adalah memilih jalan hidup secara zuhud yaitu menjauhkan diri dari perhiasan hidup dalam segala bentuknya. Tasawuf itu adalah bermacam-macan ibadah, wirid dan lapar, berjaga di waktu malam dengan memperbanyak shalat dan wirid sehingga lemahlah unsur jasmaniah dalam diri seseorang hingga semakin kuatlah unsur rohaniahnya. Tasawuf itu adalah menundukkan jasmani dan rohani dengan jalan yang disebut sebagai usaha mencapai hakikat kesempurnaan rohani dan mengenal zat Tuhan dengan segala kesempurnaan-Nya. Inilah yang mereka gambarkan dengan hakikat”.
B. Tujuan dan Kandungan Tasawuf
Telah disebutkan sebelumnya bahwa ilmu tasawuf adalah tuntunan yang dapat menyampaikan manusia kepada mengenal Tuhan atau ma’rifat billah, dan melalui tasawuf ini pula ia dapat melangkah sesuai dengan tuntunan yang paling baik dan benar dengan akhlak yang indah serta akidah yang kuat. Oleh sebab itu maka mutasawwif tidak mempunyai tujuan lain selain mencapai ma’rifat billah (mengenal Allah) dengan sebenar-benarnya, dan tersingkapnya dinding (hijab) yang membatasinya dengan Allah. Bagi mereka mendekatkan diri kepada Allah selalu dilandasi semangat beribadah dengan tujuan untuk mencapai kesempurnaan hidup dan ma’rifahtullah.
Adapun yang dimaksud dengan ma’rifatullah ialah melihat tuhan dengan hati secara jelas dan nyata dengan segala kenikmatan dan kebesarannya, tapi tidak dengan kaifiyat. Artinya, Tuhan tidak digambarkan seperti benda atau manusia ataupun bentuk tertentu sebagai jawaban dari bagaimana zat Tuhan tersebut.
Sedangkan yang dimaksud dengan kesempurnaan hidup adalah tercapainya martabat dan derajat kesempurnaan atau insan kamil. Insan kamil dalam pandangan para mutasawwifin artinya bermacam-macam. Diantaranya adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Arabi, seorang ahli tasawuf yang berpaham pantheisme atau wihdatul wujud yang menyebabkan beliau dituduh oleh ulama sunni sebagai orang yang telah keluar dari Islam, mulhid, zindiq. Beliau berkata seperti yang dikutip oleh Saifullah al-Aziz : “insan kamil adalah manusia yang sempurna karena adanya realisasi wahda asasi dengan Tuhan yang mengakibatkan adanya sifat dan keutamaan Tuhan padanya.
Dengan demikian maka ilmu tasawuf yang pada intinya adalah sebagai usaha untuk menyingkap hijab yang membatasi antara manusia dengan Allah SWT dengan sistem yang tersusun mrlalui latihan ruhaniyah dan riyadhat al-nafs yang mengandung empat unsur pokok yaitu :
C. Asal - Usul Tasawuf
Meskipun kata sufi tidak terdapat dalam Al-qur’an maupun Al-hadist, namun apabila kita mencari dan menyelidiki secara seksama pada ayat-ayat Al-qur’an dan hadist-hadist Rasulullah SAW, maka banyak sekali didapati ayat-ayat atau hadist yang berfungsi sebagai sumber tasawuf, meskipun ada sebagian ahli yang mengatakan bahwa tasawuf timbul karena adanya pengaruh dari luar Islam. Untuk memperjelas dan memperkuat bahwa tasawuf dalam Islam tumbuh dan berkembang dari sumber pokok ajaran Islam itu sendiri, maka terlebih dahulu perlu dikemukakan teori-teori tentang asal - usul timbulnya tasawuf dalam Islam antara lain :
D. Sumber Tasawuf
Bila memperhatikan permulaan tumbuhnya tasawuf dan perjalanan perkembangannya, maka dapat diketahui bahwa tumbuhnya tasawuf adalah akibat pengaruh ajaran Al-qur’an dan sunnah Nabi serelah mereka membaca ayat-ayat dan hadist Nabi, mencontoh perilaku Nabi bersama para sahabatnya, serta pengaruh tuntunan agama Islam pada umumnya. Diantara ayat tersbut adalah :
Demikianlah sebagian ayat-ayat dan hadis-hadis yang menguatkan keterangan bahwa tasawuf Islam tumbuh dan berkembang dari pengaruh dan pancaran agama Islam sendiri.
E. Aliran Tasawuf
Untuk lebih memperjelas tentang tasawuf sebagai ilmu kerohanian maupun sebagai mistisisme dalam Islam, nampaknya masih perlu dilihat dari tipe-tipenya. Apabila merujuk pada literatur tasawuf yang berasal dari timur tengah, ternyata masih ditemui keragaman pola yang ditempuh untuk menentukan aliran-aliran tasawuf. Adapun sebab terjadinya keragaman itu bermula dari perbedaan dasar pengklasifikasiannya.
Salah satu cara yang telah dilakukan adalah berdasarkan objek dan sasaran tasawuf itu. Berdasarkan hampiran itu, tasawuf dikelompokkan kepada tiga aliran induk, yaitu : pertama, tasawuf akhlaki yang lebih berorientasi etis, kedua, tasawuf amali yang lebih mengutamakan intensitas dan ekstensitas ibadah agar diperoleh penghayatan spritual dalam ibadah, dan yang ketiga adalah tasawuf falsafi yang bermakna mistik metafisis.
Apabila tasawuf diartikan sebagai upaya agar berada sedekat mungkin dengan Tuhan, maka tasawuf dapat dibedakan berdasarkan “kedekatan” atau “jarak” antara manusia dengan Tuhan. Berdasarkan hampiran itu, maka munculah apa yang disebut tasawuf transendentalisme – yang masih memberikan garis pemisah atau membeda antara manusia dan Tuhan – dan tasawuf union – mistisme – berpendapat bahwa garis pemisah itu dapat dihilangkan sehingga manusia dapat menunggal dengan Tuhan karena ada kesamaan esensi antara keduanya.
Tipe tasawuf ini kemudian disebut tasawuf sya’i dan tipe pertama disebut tasawuf sunni. Penggolongan ini didasarkan kepada sumber atau landasan ajaran tasawuf itu. Apabila konsepnya dipandang telah menyimpang dari prinsip-prinsip Islam, maka ia dikelompokkan kepada tasawuf sya’i, sebaikya apabila ajaran tasawuf tersebut masih berada dalam garis-garis Islam, itulah yang disebut tasawuf sunni.
Dilihat dari daerah asal munculnya, tasawuf dapat dicirikan kepada aliran Khurasan atau Persia yang didominasi konsep al-fana ajaran Abu Yazid al-Busthami dan tasawuf aliran Mesopotamia atau Irak yang bermula dari ajaran al-Junaidi dan kemudian diperluas olrh al-Ghazali.
F. Pertumbuhan dan Perkembangan Tasawuf
Sebenarnya pertumbuhan dan perkembangan tasawuf sama saja dengan pertumbuhan dan perkembangan Islam itu sendiri. Hal ini melihat keberadaan tasawuf adalah sama dengan keberadaan Islam itu sendiri. Karena pada hakekatnya agama Islam itu ajarannya hampir bisa dikatakan bercorak tasawuf. Karena itu tidak heran bila kehidupan tasawuf tumbuh dan berkembang bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya agama Islam mulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Bahkan sebelum beliau diangkat secara resmi oleh Alllah SWT sebagai Rasul-Nya, kehidupan beliau telah mencerminkan ciri-ciri dan perilaku kehidupan sufi jika dilihat dari kehidupan beliau sehari-hari yang sangat sederhana di samping menghabiskan waktunya dalam beribadat dan bertaqarrub kepada Tuhannya.
Seperti yang sudah sama-sama kita maklumi, sebelum beliau menerima wahyu yang pertama, beliau sudah sering melakukan kegiatan sufi dengan melakukan uzlah di gua Hira selama berbulan-bulan lamanya sampai beliau menerima wahyu pertama pada tanggal 17 Ramadhan tahun pertama kenabian. Setelah resmi diangkat sebagai utusan Allah, keadaan dan tata cara hidup beliau masih ditandai oleh jiwa dan suasana kerakyatan, meskipun beliau berada dalam lingkaran hidup yang serba dapat terpenuhi karena kedudukannya sebagai Nabi yang dapat langsung meminta segalanya kepada Allah SWT.
Di waktu malam hanya sedikit waktu yang digunakan beliau untuk tidur, sebagian besar waktunya banyak dihabiskan untuk berdzikir kepada Allah SWT. Tempat tidur beliau terdiri dari balai kayu biasa dengan alas tikar daun kurma. Singkatnya beliau lebih cinta suasana hidup sederhana meskipun jabatannya sebagai Nabi dapat meminta apa saja, dari pada hidup bermewah-mewah.
Demikian contoh yang diberikan oleh manusia termulia dari pimpinan manusia tertinggi ini. Didikan yang beliau bawa tidak hanya sekedar pengajar semata. Beliau beri contoh dengan perbuatan dan tingkah lakunya, bukan hanya menyuruh atau menganjurkan hal-hal yang ia sendiri tidak melakukannya. Prinsip hidup sederhana seperti itulah yang menonjol dalam kehidupan Nabi dan prinsip ini pula yang sangat dipegang teguh dan diajurkan oleh Nabi. Ajaran tersebut dipraktekkan oleh para sahabatnya.
Demikian gambaran kehidupan sufi pada zaman Nabi yang dipraktekkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW sendiri dan diikuti oleh para sahabatnya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tampak dalam kehidupan para sahabat beliau seperti Abu Hurairah, Abu Darda, Salman al-Farisi. Abu Bakar Umar, Ustman, Ali, Thalha, Abdullah bin Umar dan lain sebagainya.
Sedangkan diantara sahabat Nabi yang pertama mempraktekkan ibadah dalam bentuk thariqat adalah sahabat Hudzaifah al Yamani.
Kemudian perkembangan sufi dilanjutkan oleh generasi selanjutnya dari kalangan tabi’in diantaranya adalah Imam Hasan al Bashri seorang ulama besar tabi’in murid dari Huzaifah al Yamani. Beliaulah yang pertama mendirikan pengajian tasawwuf dikota Basrah. Diantara murid-muridnya dalam Madrasah tersebut adalah : Malik bin Dinar, Tsabit al Banay, Ayub al Saktiyani dan Muhhamad bin Wasi’.
Setelah berdirinya Madrasah tasawwub pertama di Basrah, lalu disusul pula dengan berdirinya madrasah-madrasah ditempat lain seperti di Iraq yang dipimpin oleh seorang ulama dari kalangan Tabi’in lain yang cukup terkenal yaitu Said bin Musayyab dan di Khurasan terdiri pula madrasah-madrasah ini, pelajaran ilmu tasawwuf telah mendapatkan kedudukan yang tetap dan tidak akan terlepas dari masyarakat Islam sepanjang masa.
Pada abad-abad berikut ilmu tasawwuf semakin berkembang sejalan dengan perkembangan agama islam diberbagai belahan bumi. Bahkan menurut sejarah , perkembangan agama islam ke Afrika, segenap pelosok Asia luas, Asia Kecil, Asia Timur, Asia Tegah, sampai negara-negara yang berada ditepi laut Hindi hingga ke negeri kita Indonesia, semua dibawah oleh propagandis-propagandis Islam dari kaum tasawwuf. Sifat-sifat dan cara hidup mereka sederhana, kata-kata mereka yang mudah dipahami, ketekunan dalam beribadah, semua itu lebih menarik daripada ribuan kata-kata yang hanya teori belaka. Karena para penyebar agama Islam itu pada umumnya terdiri dari kalangan utama Sufi, maka dengan sendirinya ajaran mereka bahwa jelas dipengaruhi oleh ilmu tasawwuf. Dengan demikian, para propagandis Islam tersubut juga secara langsung mengembangkan pula ajaran thariqatnya diberbagai daerah yang menjadi sasaran dakwahnya. Diantara para tokoh terkenal tersebut adalah seperti Syaikh Abul Kadir al Jailani yang mendirikan Tharekat Qadiriyah, dan Syaikh Abul Hasan Syahzili yang mendirikan Tharekat Syadziliyah. Pada akhirnya ajaran tasawuf tersebar dan berkembang dengan cepat sejalan dengan perkembangan agama Islam itu sendiri.
===================
Daftar Pustaka
Basuni, Ibrahim, Nas’ah al-Tasawuf al- Islam. Makkah: Dar al-Ma’rifat, tth.
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1983.
-------------------, Islam Ditinjau Dari Beberapa Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1986.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam., Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Nasrullah, M.S., Kunci Memasuki Dunia Tasawuf,. Bandung, Mizan, 1996.
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.
Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.
Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2000.
Mahyuddin, Kuliah Akhlah Tasawuf, Kalam Mulia, Jakarta, 2001.
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1993.
M. Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Sri Gunting, Jakarta, 1996.
Labib Mz, Kisah Perjalanan Tokoh Sufi Terkemuka, Tiga Dua, Surabaya, 2000.
M. Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 2001.
Bila kita mengkaji tentang asal kata “tasawuf”, baik melalui buku-buku atau kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama terdahulu maupun saat ini belum ada kesepakatan dari para ahli tentang masalah ini. Para ahli tasawuf sendiri masih berbeda pendapat mengenai asal mula kata tersebut. Secara etimologi, sebagian dari mereka berpendapat bahwa kata “tasawuf” merupakan bentuk masdar dari kata kerja “tasawwafa” yang berarti “labitsa al shuf” atau memakai pakaian dari wol, yaitu pakaian yang biasa dipakai oleh orang-orang miskin di timur tengah pada zaman dahulu yang pakaian kemewahan saat itu adalah sutra. Karena orang sufi ingin hidup sederhana dan ingin menjauhi hidup keduniawian dan kesenangan jasmani, maka mereka hidup sebagai orang-orang miskin dengan memakai wol kasar.
Juga berasal dari kata “al-shafa” yang berarti bersih (murni). Ada juga yang mengambil dari perkataan “shuffah” yang dinisabkan kepada ahlu al-shuffah, yaitu sahabat-sahabat Nabi yang dengan keyakinan dan keimanan datang kepada Nabi dan turut berjuang menegakkan agama Islam. Mereka meninggalkan kampung halaman dan harta benda untuk hidup bermandi cahaya wahyu di dekat Nabi SAW. Karena jumlah mereka banyak, maka Rasulullah membangun asrama di samping masjid bagi mereka.
Ada lagi yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata”al-shaf” yang berarti barisan dalam shalat. Hal ini dinisbatkan kepada orang-orang yang melaksanakan shalat pada barisan pertama. Yang lain lagi mengatakan bahwa kata tasawuf berasal dari kata “shuffah”, yaitu suatu kabilah Arab badui yang memisahkan diri dari dunia dan menghambakan diri sebagai pelayan di sekitar ka’bah, suku ini hidup di kalangan bani Muzar.
Sedangkan menurut Abu Hafish Umar bin Abdul Azis : “sebagian yang lain berpendapat bahwa kata tasawuf bisa berasal dari seluruh kata-kata tersebut karena pada setiap kata terdapat makna yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya.”
Maka mereka yang menisbatkannya kepada kata “shuf”, karena melihat hal tersebut dari segi pakaian yang dikanakan oleh para sufi yang terbuat dari wol atau bulu dumba. Lalu mereka yang menisbatkannya kepada kata”suffah” karena melihat dari sisi usaha orang-orang sufi untuk menyerupai “ahli suffah” r.a. Sedangkan mereka yang menisbatkannya kepada kata “shafa” karena melihat sisi kebersihan hati dan jiwa para sufi. Dan mereka yang menisbatkannya kepada kata “shaf”, karena melihat kecendrungan orang-orang sufi untuk shalat di barisan terdepan (pertama).
Jirji zaidan berkeyakinan bahwa kata tasawuf berhubungan dengan kata Yunani “shopia” yang berarti kebijaksanaan. Dengan demikian makaal-shuffiyah artinya adalah kebijaksanan. Karena menurutnya ilmu tasawuf belum muncul dan belum dikenal sebagai ilmu seperti sekarang ini kecuali setelah masa penerjemahan kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab serta masuknya kata filsafat kedalam bahasa Arab.
Adapun secara terminologi, kata tasawuf juga memiliki berbagai defenisi. Para ulama yang menulis tentang tasawuf telah sama-sama mengetahui bahwa pendefenisian tasawuf dalam satu defenisi yang universal dan memiliki batasan (jami’ dan mani’), adalah suatu masalah yang sangat rumit. Hal ini disebabkan banyaknya defenisi yang muncul dari para tokoh-tokoh sufi. Bahkan terkadang terdapat banyak defenisi yang berasal dari satu orang. Menurut Qusyairi hal ini dikarenakan setiap orang berbicara sesuai dengan waktu dan keadaan yang dialaminya.
Hal ini juga dapat terjadi karena umumnya pengertian yang dikemukakan oleh para sufi sangat erat kaitannya dengan Tuhan. Muhammad al Jariri misalnya, ketika ditanya tentang pengertian tasawuf, maka beliau berkata “masuk ke dalam setiap moral yang luhur dan keluar dari setiap moral yang rendah”.8 Abu Husainan-Nuri mendefenisikan tasawuf dengan kemerdekaan, kemurahan, tidak membebani diri dan dermawan”.
Secara umum, Ibrahim Hilal mengemukakan bahwa “tasawuf adalah memilih jalan hidup secara zuhud yaitu menjauhkan diri dari perhiasan hidup dalam segala bentuknya. Tasawuf itu adalah bermacam-macan ibadah, wirid dan lapar, berjaga di waktu malam dengan memperbanyak shalat dan wirid sehingga lemahlah unsur jasmaniah dalam diri seseorang hingga semakin kuatlah unsur rohaniahnya. Tasawuf itu adalah menundukkan jasmani dan rohani dengan jalan yang disebut sebagai usaha mencapai hakikat kesempurnaan rohani dan mengenal zat Tuhan dengan segala kesempurnaan-Nya. Inilah yang mereka gambarkan dengan hakikat”.
B. Tujuan dan Kandungan Tasawuf
Telah disebutkan sebelumnya bahwa ilmu tasawuf adalah tuntunan yang dapat menyampaikan manusia kepada mengenal Tuhan atau ma’rifat billah, dan melalui tasawuf ini pula ia dapat melangkah sesuai dengan tuntunan yang paling baik dan benar dengan akhlak yang indah serta akidah yang kuat. Oleh sebab itu maka mutasawwif tidak mempunyai tujuan lain selain mencapai ma’rifat billah (mengenal Allah) dengan sebenar-benarnya, dan tersingkapnya dinding (hijab) yang membatasinya dengan Allah. Bagi mereka mendekatkan diri kepada Allah selalu dilandasi semangat beribadah dengan tujuan untuk mencapai kesempurnaan hidup dan ma’rifahtullah.
Adapun yang dimaksud dengan ma’rifatullah ialah melihat tuhan dengan hati secara jelas dan nyata dengan segala kenikmatan dan kebesarannya, tapi tidak dengan kaifiyat. Artinya, Tuhan tidak digambarkan seperti benda atau manusia ataupun bentuk tertentu sebagai jawaban dari bagaimana zat Tuhan tersebut.
Sedangkan yang dimaksud dengan kesempurnaan hidup adalah tercapainya martabat dan derajat kesempurnaan atau insan kamil. Insan kamil dalam pandangan para mutasawwifin artinya bermacam-macam. Diantaranya adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Arabi, seorang ahli tasawuf yang berpaham pantheisme atau wihdatul wujud yang menyebabkan beliau dituduh oleh ulama sunni sebagai orang yang telah keluar dari Islam, mulhid, zindiq. Beliau berkata seperti yang dikutip oleh Saifullah al-Aziz : “insan kamil adalah manusia yang sempurna karena adanya realisasi wahda asasi dengan Tuhan yang mengakibatkan adanya sifat dan keutamaan Tuhan padanya.
Dengan demikian maka ilmu tasawuf yang pada intinya adalah sebagai usaha untuk menyingkap hijab yang membatasi antara manusia dengan Allah SWT dengan sistem yang tersusun mrlalui latihan ruhaniyah dan riyadhat al-nafs yang mengandung empat unsur pokok yaitu :
- Metaphisika, yaitu hal-hal yang diluar alam dunia atau bisa juga dikatakan sebagai ilmu ghaib. Hal ini sangat tepat karena dalam ilmu tasawuf banyak dibicarakan masalah-masalah yang berkenaan dengan keimanan terhadap ilmu-ilmu yang ghaib.
- Ethica, yaitu ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan melihat pada amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal fikiran. Dalam ilmu tasawuf banyak sekali unsur-unsur etika, ajaran-ajaran akhlaq karimah, baik kepada sesama manusia atau kepada Allah.
- Psikologia, yaitu masalah yang berhubungan dengan jiwa. Psikologi dalam pandangan tasawuf sangat berbeda dengan psikologi modern. Psikologi modern bertujuan menyelidiki manusia bagi orang lain, yakni menyelidiki terhadap jiwa orang lain. Sedangkan dalam tasawuf yang menjadi fokus penyelidikan adalah diri sendiri.
- Aesthetica, yaitu ilmu keindahan yang menimbulkan seni. Untuk meresapkan seni itu dalam diri, haruslah ada keindahan dalam diri. Adapun puncak keindahan tersebut adalah cinta. Dalam pandangan tasawuf, orang akan dapat merasakan keindahan dalam jiwanya jika jiwa tersebut bersih dari sifat-sifat tercela. Adapun jalan yang ditempuh untuk mencapai keindahan menurut ajaran tasawuf adalah tafakkur dan merenungkan hikmah-hikmah ciptaan Allah. Karena dengan kedua cara tersebutlah akan tergores dalam hati akan kebesaran Tuhan.
C. Asal - Usul Tasawuf
Meskipun kata sufi tidak terdapat dalam Al-qur’an maupun Al-hadist, namun apabila kita mencari dan menyelidiki secara seksama pada ayat-ayat Al-qur’an dan hadist-hadist Rasulullah SAW, maka banyak sekali didapati ayat-ayat atau hadist yang berfungsi sebagai sumber tasawuf, meskipun ada sebagian ahli yang mengatakan bahwa tasawuf timbul karena adanya pengaruh dari luar Islam. Untuk memperjelas dan memperkuat bahwa tasawuf dalam Islam tumbuh dan berkembang dari sumber pokok ajaran Islam itu sendiri, maka terlebih dahulu perlu dikemukakan teori-teori tentang asal - usul timbulnya tasawuf dalam Islam antara lain :
- Adanya pengaruh dari agama Kristen dengan faham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara-biara. Dalam literatur Arab, memang terdapat tulisan-tulisan tentang rahib-rahib yang mengasingkan diri di padang pasir Arabia. Lampu yang mereka pasang di malam hari menjadi petunjuk jaln bagi kafilah yang lewat. Kemah mereka yang sederhana menjadi tempat berlindung bagi orang yang kemalaman, dan kemurahan hatimereka menjadi tempat untuk memperoleh makanan bagi musafir yang kelaparan. Jadi dikatakan bahwa zahid dan sufi Islam meninggalkan kehidupan dunia dan memilih hidup sederhana serta mengasingkan diri, adalah atas pengaruh cara hidup rahib-rahib Kristen ini.
- Filsafat mistik Phytagoras yang berpendapat bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing, dan jasmani adalah penjara bagi roh. Adapun kesenangan roh yang sebenarnya adalah di alam samawi. Untuk memperoleh hidup senang di alam samawi, manusia harus membersihkan roh dengan meninggalkan hidup materi untuk selanjutnya berkontemplasi. Ajaran inilah menurut sebagian orang yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam.
- Filsafat Emanasi Plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini memancar dari zat Tuhan Yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Tetapi dengan masuknya ke alam materi, roh menjadi kotor dan untuk kembali ketempat asalnya, roh harus terlebih dahulu dibersihkan. Penyucian roh ialah dengan meninggalkan dunia dan menghendaki Tuhan sedekat mungkin, bahkan kalau bisa bersatu dengan Tuhan. Dikatakan pula bahwa filsafat ini mempunyai pengaruh terhadap munculnya kaum zahid dan kaum sufi dalam Islam.
- Ajaran Budha dengan paham nirwananya yang mengatakan bahwa untuk mencapai nirwana, orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Paham fana yang terdapat dalam sufisme hampir serupa dengan paham nirwana.
- Ajatan-ajaran Hinduisme yang juga mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan atman dan Brahman. Tuhan atman dan Brahma itu adalah pencipta segala yang ada tetapi terikat menjadi satu dan berdiam di segala tempat.
D. Sumber Tasawuf
Bila memperhatikan permulaan tumbuhnya tasawuf dan perjalanan perkembangannya, maka dapat diketahui bahwa tumbuhnya tasawuf adalah akibat pengaruh ajaran Al-qur’an dan sunnah Nabi serelah mereka membaca ayat-ayat dan hadist Nabi, mencontoh perilaku Nabi bersama para sahabatnya, serta pengaruh tuntunan agama Islam pada umumnya. Diantara ayat tersbut adalah :
- Firman Allah : “katakanlah : “jika kamu (benar-benar) mencintai Allah ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q. S AL-Imran : 31)
- Firman Allah : “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang”. (Q.S Al-Ahzab : 41-42)
- Firman Allah : “dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka (jawablah), bahwasannya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendo’a apabila ia berdo’a kepada-Ku. Maka hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka selalu dalam kebenaran”. (Q.S Al-Baqarah : 185)
- Firman Allah : “bukanlah kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar”. (Q.S Al-Anfal :17). Maksudnya gerak-gerik tidaklah ada pada kita melainkan dari Allah semata. Kira bergerak dalam kehidupan ini hanyalah secara zahir belaka. Karena tiadak ada yang terjadi tanpa seizin Allah SWT. Seorang hamba dengan Tuhannya laksana pena dalam tangan seorang penulis.Pena dapat menulis karena digerakkan, sedangkan yang ditulis adalah apa yang dikehendaki oleh si penulis.
- Firman Allah: “Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi”. (Q.S an- Nur :35). Harun Nasution mengatakan: “bagi kaum sufi ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja Tuhan ada. Diman saja Tuhan dapat di jumpai”.
- Hadist Nabi : “Barang siapa yang mengetahui dirinya, maka sungguh ia telah mengetahui Tuhannya”. Dengan kata lain : carilah Tuhan dalam dirimu sendiri.
- Hadist qudsi yang sangat dipegang oleh kaum sufi yaitu : “Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi kemudian Aku ingin dikenal, maka kuciptakanlah makhluk dan melalui Aku mereka mengenalKu”. Menurut hadist ini Tuhan dapat dikenal melalui makhluknya tetapi pengetahuan yang lebih tinggi ialah mengetahui Tuhan melalui dirinya.
- Hadist qudsi : “Aku adalah menurut prasangka hamba-Ku kepada diri-Ku dan Aku besertanya dikala ia menyebut nama-nama-Ku. Apabila ia menyebut-Ku pada dirinya secara sirri, maka Akupun akan menyebutnya dengan pahala dan rahmat secara rahasia. Andaikata ia menyabut-Ku pada suatu perkumpulan, maka Aku pun akan menyebutnya pada suatu perkumpulan yang lebih baik. Dan andaikata ia dekat kepada-ku sejengkal, maka Aku akan menyebutnya satu hasta. Selanjutnya jika ia mendekat kepada-Ku satu hasta, maka Aku akan mendekatinya sedepa. Dan jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari.” (H.R Muslim)
Demikianlah sebagian ayat-ayat dan hadis-hadis yang menguatkan keterangan bahwa tasawuf Islam tumbuh dan berkembang dari pengaruh dan pancaran agama Islam sendiri.
E. Aliran Tasawuf
Untuk lebih memperjelas tentang tasawuf sebagai ilmu kerohanian maupun sebagai mistisisme dalam Islam, nampaknya masih perlu dilihat dari tipe-tipenya. Apabila merujuk pada literatur tasawuf yang berasal dari timur tengah, ternyata masih ditemui keragaman pola yang ditempuh untuk menentukan aliran-aliran tasawuf. Adapun sebab terjadinya keragaman itu bermula dari perbedaan dasar pengklasifikasiannya.
Salah satu cara yang telah dilakukan adalah berdasarkan objek dan sasaran tasawuf itu. Berdasarkan hampiran itu, tasawuf dikelompokkan kepada tiga aliran induk, yaitu : pertama, tasawuf akhlaki yang lebih berorientasi etis, kedua, tasawuf amali yang lebih mengutamakan intensitas dan ekstensitas ibadah agar diperoleh penghayatan spritual dalam ibadah, dan yang ketiga adalah tasawuf falsafi yang bermakna mistik metafisis.
Apabila tasawuf diartikan sebagai upaya agar berada sedekat mungkin dengan Tuhan, maka tasawuf dapat dibedakan berdasarkan “kedekatan” atau “jarak” antara manusia dengan Tuhan. Berdasarkan hampiran itu, maka munculah apa yang disebut tasawuf transendentalisme – yang masih memberikan garis pemisah atau membeda antara manusia dan Tuhan – dan tasawuf union – mistisme – berpendapat bahwa garis pemisah itu dapat dihilangkan sehingga manusia dapat menunggal dengan Tuhan karena ada kesamaan esensi antara keduanya.
Tipe tasawuf ini kemudian disebut tasawuf sya’i dan tipe pertama disebut tasawuf sunni. Penggolongan ini didasarkan kepada sumber atau landasan ajaran tasawuf itu. Apabila konsepnya dipandang telah menyimpang dari prinsip-prinsip Islam, maka ia dikelompokkan kepada tasawuf sya’i, sebaikya apabila ajaran tasawuf tersebut masih berada dalam garis-garis Islam, itulah yang disebut tasawuf sunni.
Dilihat dari daerah asal munculnya, tasawuf dapat dicirikan kepada aliran Khurasan atau Persia yang didominasi konsep al-fana ajaran Abu Yazid al-Busthami dan tasawuf aliran Mesopotamia atau Irak yang bermula dari ajaran al-Junaidi dan kemudian diperluas olrh al-Ghazali.
F. Pertumbuhan dan Perkembangan Tasawuf
Sebenarnya pertumbuhan dan perkembangan tasawuf sama saja dengan pertumbuhan dan perkembangan Islam itu sendiri. Hal ini melihat keberadaan tasawuf adalah sama dengan keberadaan Islam itu sendiri. Karena pada hakekatnya agama Islam itu ajarannya hampir bisa dikatakan bercorak tasawuf. Karena itu tidak heran bila kehidupan tasawuf tumbuh dan berkembang bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya agama Islam mulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Bahkan sebelum beliau diangkat secara resmi oleh Alllah SWT sebagai Rasul-Nya, kehidupan beliau telah mencerminkan ciri-ciri dan perilaku kehidupan sufi jika dilihat dari kehidupan beliau sehari-hari yang sangat sederhana di samping menghabiskan waktunya dalam beribadat dan bertaqarrub kepada Tuhannya.
Seperti yang sudah sama-sama kita maklumi, sebelum beliau menerima wahyu yang pertama, beliau sudah sering melakukan kegiatan sufi dengan melakukan uzlah di gua Hira selama berbulan-bulan lamanya sampai beliau menerima wahyu pertama pada tanggal 17 Ramadhan tahun pertama kenabian. Setelah resmi diangkat sebagai utusan Allah, keadaan dan tata cara hidup beliau masih ditandai oleh jiwa dan suasana kerakyatan, meskipun beliau berada dalam lingkaran hidup yang serba dapat terpenuhi karena kedudukannya sebagai Nabi yang dapat langsung meminta segalanya kepada Allah SWT.
Di waktu malam hanya sedikit waktu yang digunakan beliau untuk tidur, sebagian besar waktunya banyak dihabiskan untuk berdzikir kepada Allah SWT. Tempat tidur beliau terdiri dari balai kayu biasa dengan alas tikar daun kurma. Singkatnya beliau lebih cinta suasana hidup sederhana meskipun jabatannya sebagai Nabi dapat meminta apa saja, dari pada hidup bermewah-mewah.
Demikian contoh yang diberikan oleh manusia termulia dari pimpinan manusia tertinggi ini. Didikan yang beliau bawa tidak hanya sekedar pengajar semata. Beliau beri contoh dengan perbuatan dan tingkah lakunya, bukan hanya menyuruh atau menganjurkan hal-hal yang ia sendiri tidak melakukannya. Prinsip hidup sederhana seperti itulah yang menonjol dalam kehidupan Nabi dan prinsip ini pula yang sangat dipegang teguh dan diajurkan oleh Nabi. Ajaran tersebut dipraktekkan oleh para sahabatnya.
Demikian gambaran kehidupan sufi pada zaman Nabi yang dipraktekkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW sendiri dan diikuti oleh para sahabatnya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tampak dalam kehidupan para sahabat beliau seperti Abu Hurairah, Abu Darda, Salman al-Farisi. Abu Bakar Umar, Ustman, Ali, Thalha, Abdullah bin Umar dan lain sebagainya.
Sedangkan diantara sahabat Nabi yang pertama mempraktekkan ibadah dalam bentuk thariqat adalah sahabat Hudzaifah al Yamani.
Kemudian perkembangan sufi dilanjutkan oleh generasi selanjutnya dari kalangan tabi’in diantaranya adalah Imam Hasan al Bashri seorang ulama besar tabi’in murid dari Huzaifah al Yamani. Beliaulah yang pertama mendirikan pengajian tasawwuf dikota Basrah. Diantara murid-muridnya dalam Madrasah tersebut adalah : Malik bin Dinar, Tsabit al Banay, Ayub al Saktiyani dan Muhhamad bin Wasi’.
Setelah berdirinya Madrasah tasawwub pertama di Basrah, lalu disusul pula dengan berdirinya madrasah-madrasah ditempat lain seperti di Iraq yang dipimpin oleh seorang ulama dari kalangan Tabi’in lain yang cukup terkenal yaitu Said bin Musayyab dan di Khurasan terdiri pula madrasah-madrasah ini, pelajaran ilmu tasawwuf telah mendapatkan kedudukan yang tetap dan tidak akan terlepas dari masyarakat Islam sepanjang masa.
Pada abad-abad berikut ilmu tasawwuf semakin berkembang sejalan dengan perkembangan agama islam diberbagai belahan bumi. Bahkan menurut sejarah , perkembangan agama islam ke Afrika, segenap pelosok Asia luas, Asia Kecil, Asia Timur, Asia Tegah, sampai negara-negara yang berada ditepi laut Hindi hingga ke negeri kita Indonesia, semua dibawah oleh propagandis-propagandis Islam dari kaum tasawwuf. Sifat-sifat dan cara hidup mereka sederhana, kata-kata mereka yang mudah dipahami, ketekunan dalam beribadah, semua itu lebih menarik daripada ribuan kata-kata yang hanya teori belaka. Karena para penyebar agama Islam itu pada umumnya terdiri dari kalangan utama Sufi, maka dengan sendirinya ajaran mereka bahwa jelas dipengaruhi oleh ilmu tasawwuf. Dengan demikian, para propagandis Islam tersubut juga secara langsung mengembangkan pula ajaran thariqatnya diberbagai daerah yang menjadi sasaran dakwahnya. Diantara para tokoh terkenal tersebut adalah seperti Syaikh Abul Kadir al Jailani yang mendirikan Tharekat Qadiriyah, dan Syaikh Abul Hasan Syahzili yang mendirikan Tharekat Syadziliyah. Pada akhirnya ajaran tasawuf tersebar dan berkembang dengan cepat sejalan dengan perkembangan agama Islam itu sendiri.
===================
Daftar Pustaka
Basuni, Ibrahim, Nas’ah al-Tasawuf al- Islam. Makkah: Dar al-Ma’rifat, tth.
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1983.
-------------------, Islam Ditinjau Dari Beberapa Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1986.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam., Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Nasrullah, M.S., Kunci Memasuki Dunia Tasawuf,. Bandung, Mizan, 1996.
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.
Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.
Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2000.
Mahyuddin, Kuliah Akhlah Tasawuf, Kalam Mulia, Jakarta, 2001.
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1993.
M. Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Sri Gunting, Jakarta, 1996.
Labib Mz, Kisah Perjalanan Tokoh Sufi Terkemuka, Tiga Dua, Surabaya, 2000.
M. Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 2001.
0 comments:
Post a Comment