A. RIWAYAT HIDUP IBNU THUFAIL
Nama lengkap ibnu Thufail ialah Abu Bakar Muhammad ibnu Abd Al-Malik ibn Muhammad ibnu Muhammad ibnu Thufail. Ia dilahirkan di Guadix (Arab : Wadi Asy), provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. Dalam bahasa latin ibnu Thufail populer dengan sebutan Abubacer.[1]
Selain terkenal sebagai filosof muslim yang gemar menuangkan pemikirannya dalam kisah-kisah ajaib dan penuh dengan kebenaran, ia juga seorang dokter, ahli matematika dan kesusastraan. Karier Ibnu Thufail bermula sebagai dokter praktik di Granada. Lewat ketenarannya sebagai dokter, ia diangkat menjadi sekretaris Gubernur di provinsi tersebut. Pada tahun 1154 M (549 H) Ibnu Thufail menjadi sekretaris pribadi Gubernur Cueta (Arab: Sabtah) dan Tangier (Arab : Thanjah / Latin : Tanger) Abu Yaqub Yusuf al-Mansur, Khalifah kedua dari Dinasti Muwahhidun (558 H / 1163 M – 580 H / 1184 M) selanjutnya menjadi dokter pemerintah dan sekaligus menjadi qadhi.
Pada masa khalifah Abu Yaquf Yusuf, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang besar dalam pemerintahan. Pada pihak lain, khalifah sendiri mencintai ilmu pengetahuan dan secara khusus adalah peminat filsafat serta memberi kebebasan berfilsafat. Sikapnya itu menjadikan pemerintahannya sebagai pemuka pemikiran filosofis dan membuat Spanyol, seperti dikatakan R. Briffault sebagai “tempat kelahiran kembali negeri Eropa”.[2]
Kemudian ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai dokter pemerintah pada tahun 578 H / 1182 M, dikarenakan usianya yang sudah uzur. Kedudukannya itu digantikan oleh Ibnu Rusyd atas permintaan dari Ibnu Thufail. Tapi dia tetap mendapatkan penghargaan dari Abu Yaqub dan setelah dia meninggal pada tahun 581 H / 1185 M) di Marakesh (Maroko) dan dimakamkan disana, Al-Mansur sendiri hadir dalam upacara pemakamannya.[3]
Pemikiran-pemikiran filsafat Ibnu Thufail dituangkan dalam risalah-risalah (surat-surat) yang dikirimkan kepada muridnya (Ibnu Rusyd), sehingga kita tidak dikenal orang banyak. Namun karyanya yang terpopuler dan dapat ditemukan sampai sekarang ialah risalah Hayy ibn Yaqzhan (Hidup anak Kesadaran), yang judul lengkapnya Risalah Hayy ibn Yaqzhan fi Asrar Al Hikmah Al Mashiriqiyyah. Yang ditulis pada abad ke 6 Hijriah (abad ke-12 M).
B. FILSAFAT IBNU THUFAIL
Sebagaimana umumnya para filosof yang tenggelam dalam kerja kontemplatif, Ibnu Thufail juga berfikir tentang alam dan bagaimana proses-prosesnya serta agama dan bagaimana kemunculannya. Kemudian beliau merangkum hasil-hasil pencerahannya dalam karyanya yang terkenal yang diberi nama hayy bin yaqzhan (hidup anak kesadaran, yang bermaksud bahwa intelek manusia berasal dari intelek Tuhan ) atau di kenal juga sebagai asraar al falsafah al isyraqiyah (rahasia-rahasia filsafat eluminasi).
Hasil karya Ibnu Thufail ini telah di terjemahkan ke dalam bahasa latin pada masa di mana bahasa tersebut hanya di gunakan sebagai penterjemah karya-karya besar ilmiah (magnum opus) yang menjadi referensi utama, termasuk yang telah menterjemahkannya ke dalam bahasa latin adalah Giovanni vico dolla Mirandolla (Abad 15) kemudian yang paling terkenal adalah Edward Pockoke yang memberi tajuk pada karya tersebut Philosophus Autodidaktus (al filosuf al mu’allim nafsaha/Sang filosuf Autodidak) di mana nama tersebut di tujukan sebagai apresiasinya terhadap Ibnu Thufail. Pada masa selanjutnya, karya ini juga telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia.
Secara ringkas karya ini berkisah tentang seorang anak yang tumbuh tanpa ayah dan ibu di sebuah pulau tak berpenghuni, anak tersebut di sebut oleh Ibnu Thufail sebagai hay bin yaqzhan yang kemudian hari diambil anak oleh seekor kijang dan dibesarkan dengan air susunya hingga akhirnya menjadi dewasa dan mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya sendiri. Ketika umurnya telah mencapai usia tujuh tahun hay bin yaqzhan menemukan bahwa dirinya ternyata berbeda dengan hewan-hewan lain yang berada di pulau tersebut. Ia melihat bahwa hewan-hewan tersebut ternyata memiliki ekor, dan bulu-bulu di bagian-bagian tubuhnya. Hal tersebut membuat hay bin yaqzhan mulai berfikir dan menggunakan potensi akalnya yang kemudian ia menjadikan daun-daunan untuk menutupi badannya untuk beberapa saat sampai akhirnya menggantinya dengan kulit binatang yang telah mati.
Sampai pada suatu saat, matilah kijang yang mengasuhnya. Hal tersebut mendorongnya untuk memeriksa tubuh dari kijang tersebut. Tetapi secara kasat mata dia tak menemukan sesuatu yang berbeda dari ketika kijang itu masih hidup. Kemudian ia mulai membedahnya hingga menemukan pada rongga tubuh kijang tersebut gumpalan yang diseliputi oleh perkakas tubuh yang mana darah di dalamnya menjadi beku. Maka hayy bin yaqzhan mulai tahu bahwa jantung jika berhenti maka bersamaan itu pula kehidupan suatu makhluk hidup akan berakhir.
Selain dari pada itu, pada suatu hari hayy bin yaqzhan menyalakan api di pulau tersebut, maka ia mulai merasakan bahwa api ternyata dapat memberikan penerangan dan membangkitkan panas. Tidak cukup dengan itu, ia juga menemukan bahwa daging burung dan ikan yang di bakar api terasa lebih enak dan sedap. Maka mulailah ia selalu menggunakan api untuk memasak makanan dan seterusnya mulailah ia memperkuat penggunaan indranya dan menggunakan apa yang ada di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Hayy bin yaqzhan juga menyaksikan bahwa alam ini tunduk dalam suatu aturan kosmos dan akan berakhir pada titik ketiadaan, dan yang di maksud dengan alam adalah segala eksistensi yang immanent dan bisa kita rasakan dan semuanya itu mempunyai karakter “Baru” (haadist) yang berarti didahului oleh ketiadaan (yang dalam teori penciptaan di sebut sebagai creatio ex nihilo). Karena setiap peristiwa baru mengharuskan adanya yang mengadakan dan hipotesa ini akhirnya membawa hayy bin yaqzhan pada suatu kesimpulan tentang “Sang Pencipta” (The creator) dan ia juga menyaksikan bahwa segala eksistensi di alam ini bagaimanapun berbedanya ternyata mempunyai titik-titik kesamaan baik dari segi asal maupun pembentukan maka ini mengarahkannya pada pemikiran bahwa segala yang ada ini bersumber dari subyek yang satu (causa prima) maka iapun mengimani Tuhan yang satu.
Kemudian hayy bin yaqzhan mulai mengarahkan pandangannya ke langit dan melihat matahari yang terbit dan terbenam setiap harinya secara berulang-ulang maka seperti itulah dalam pandangannya aturan kosmos yang berkesinambungan sebagaimana yang terdapat pada planet dan bintang-bintang. Tidak cukup dengan itu, hayy bin yaqzhan berkesimpulan bahwa termasuk sifat tuhan adalah apa-apa yang bisa kita lihat melalui jejak-jejak ciptaan-Nya, maka tampaklah karakter Tuhan sebagai Eksistensi yang Maha sempurna ( The perfect one ) lagi kekal dan yang selainnya akan rusak dan berakhir pada ketiadaan.
Seiring dengan berjalannya waktu sampailah Hayy bin yaqzhan pada umurnya yang ke-35, dan mulailah ia mencari indra apa dalam dirinya yang membawanya pada hipotesa-hipotesa dan menunjukinya pada kesimpulan-kesimpulannya yang telah lampau. Maka ia menemukan apa itu akal (reason), ruh (spirit) dan jiwa (nafs/soul). Dan ia tetap hidup di pulaunya sampai beberapa saat dengan kecondongan rohani dan kesenangan melakukan ekstasi (semedi) sambil berkontemplasi tentang segala ciptaan sebagai teofani (tajalliyaat) sang wajibul wujud (The necessary being).
Sampai pada suatu saat singgahlah di pulau tersebut untuk pertama kalinya seorang manusia bernama Absal, seorang ahli ibadah yang hidup secara asketis (zuhd) yang datang dari negeri yang jauh untuk beribadah, bertapa dan berkontemplasi, maka bertemulah Absal dengan Hayy bin yaqzhan. Dan Hayy bin yaqzhan pun mengambil pelajaran darinya tentang segala nama-nama (Al asmaa’ kulluhaa) dan kebenaran-kebenaran wahyu (syariat). Dan setelah masa yang panjang Hayy pun akhirnya mampu berbicara dengan bahasa Absal.
Kedua orang tersebut membandingkan pikirannya masing-masing, di mana yang satu murid dari alam, sedang yang lain adalah seorang filosof dan pemeluk agama, maka tahulah keduanya bahwa dirinya telah mencapai kesimpulan yang sama.[4]
Dan melalui interaksinya dengan Hayy bin Yaqzhan, maka Absal pun tahu bahwa apa yang telah dicapai Hayy dengan akalnya secara mandiri tanpa bantuan yang lain itu ternyata mempunyai kesinambungan dengan apa yang telah di bawa oleh nabi-nabi.
Dan kemudian Absal pun membawa Hayy bin yaqzhan kepada kaumnya, dan mulai berorasi dan memperingatkan kaumnya (sebagaimana para nabi) dengan apa-apa yang telah ia lihat dan dapatkan dari pengalamannya tentang kesejatian hidup, keremehan harta benda dan pentingnya merenungi tanda-tanda kekuasaan Sang pencipta. Tetapi ia terlalu vulgar dalam penyampainnya, sehingga kaumnya pun menghindarinya karena menganggapnya menyimpang dari pemahaman literar matan-matan kudus wahyu. Akhirnya Hayy bin yaqzhan berpaling kepada Absal dan berkata bahwa nabi-nabi lebih tahu tentang jiwa-jiwa manusia dari pada dirinya dan pelajaran-pelajaran dan pengalaman yang ia capai ketika masih hidup di pulau bersama hewan-hewan itu lebih tinggi dan adi luhung dari fase manusia yang ia hadapi sekarang. Dan akhirnya Absal pun menemani Hayy bin yaqzhan hidup bersama-sama dengannya beribadah dan merenung sampai maut menjemput mereka.
Jika dilihat, maka akan didapati tiga hal dalam kisah tersebut yang masing-masing menjadi lambang tiga hidup yang berlainan:
Di roman filsafatnya Ibnu Thufail juga ingin menyampaikan bahwa kebenaran ternyata memiliki dua wajah internal dan eksternal yang sebenarnya sama saja. Dan kedua wajah tersebut berkaitan dengan dikhotomi dua kalangan manusia yaitu kalangan khowash yang mampu mencapai taraf kecerdasan tertinggi baik melalui diskursus filosofis maupun pencerahan mistik (kasyaf) dan kalangan awam yang tak mampu mencapainya dan hanya mampu mengerti bahasa literal dari matan-matan kudus wahyu keagamaan.
Ibn Thufail membagi perkembangan alam pikiran manusia menuju hakikat kebenaran ke dalam enam bagian:
============
Footnote:
[1]Sirajuddin. Zar, Filsafat Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2007. hal. 205
[2]Ibid, hal. 206
[3]Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997, hal. 272
[4]Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 163
Nama lengkap ibnu Thufail ialah Abu Bakar Muhammad ibnu Abd Al-Malik ibn Muhammad ibnu Muhammad ibnu Thufail. Ia dilahirkan di Guadix (Arab : Wadi Asy), provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. Dalam bahasa latin ibnu Thufail populer dengan sebutan Abubacer.[1]
Selain terkenal sebagai filosof muslim yang gemar menuangkan pemikirannya dalam kisah-kisah ajaib dan penuh dengan kebenaran, ia juga seorang dokter, ahli matematika dan kesusastraan. Karier Ibnu Thufail bermula sebagai dokter praktik di Granada. Lewat ketenarannya sebagai dokter, ia diangkat menjadi sekretaris Gubernur di provinsi tersebut. Pada tahun 1154 M (549 H) Ibnu Thufail menjadi sekretaris pribadi Gubernur Cueta (Arab: Sabtah) dan Tangier (Arab : Thanjah / Latin : Tanger) Abu Yaqub Yusuf al-Mansur, Khalifah kedua dari Dinasti Muwahhidun (558 H / 1163 M – 580 H / 1184 M) selanjutnya menjadi dokter pemerintah dan sekaligus menjadi qadhi.
Pada masa khalifah Abu Yaquf Yusuf, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang besar dalam pemerintahan. Pada pihak lain, khalifah sendiri mencintai ilmu pengetahuan dan secara khusus adalah peminat filsafat serta memberi kebebasan berfilsafat. Sikapnya itu menjadikan pemerintahannya sebagai pemuka pemikiran filosofis dan membuat Spanyol, seperti dikatakan R. Briffault sebagai “tempat kelahiran kembali negeri Eropa”.[2]
Kemudian ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai dokter pemerintah pada tahun 578 H / 1182 M, dikarenakan usianya yang sudah uzur. Kedudukannya itu digantikan oleh Ibnu Rusyd atas permintaan dari Ibnu Thufail. Tapi dia tetap mendapatkan penghargaan dari Abu Yaqub dan setelah dia meninggal pada tahun 581 H / 1185 M) di Marakesh (Maroko) dan dimakamkan disana, Al-Mansur sendiri hadir dalam upacara pemakamannya.[3]
Pemikiran-pemikiran filsafat Ibnu Thufail dituangkan dalam risalah-risalah (surat-surat) yang dikirimkan kepada muridnya (Ibnu Rusyd), sehingga kita tidak dikenal orang banyak. Namun karyanya yang terpopuler dan dapat ditemukan sampai sekarang ialah risalah Hayy ibn Yaqzhan (Hidup anak Kesadaran), yang judul lengkapnya Risalah Hayy ibn Yaqzhan fi Asrar Al Hikmah Al Mashiriqiyyah. Yang ditulis pada abad ke 6 Hijriah (abad ke-12 M).
B. FILSAFAT IBNU THUFAIL
Sebagaimana umumnya para filosof yang tenggelam dalam kerja kontemplatif, Ibnu Thufail juga berfikir tentang alam dan bagaimana proses-prosesnya serta agama dan bagaimana kemunculannya. Kemudian beliau merangkum hasil-hasil pencerahannya dalam karyanya yang terkenal yang diberi nama hayy bin yaqzhan (hidup anak kesadaran, yang bermaksud bahwa intelek manusia berasal dari intelek Tuhan ) atau di kenal juga sebagai asraar al falsafah al isyraqiyah (rahasia-rahasia filsafat eluminasi).
Hasil karya Ibnu Thufail ini telah di terjemahkan ke dalam bahasa latin pada masa di mana bahasa tersebut hanya di gunakan sebagai penterjemah karya-karya besar ilmiah (magnum opus) yang menjadi referensi utama, termasuk yang telah menterjemahkannya ke dalam bahasa latin adalah Giovanni vico dolla Mirandolla (Abad 15) kemudian yang paling terkenal adalah Edward Pockoke yang memberi tajuk pada karya tersebut Philosophus Autodidaktus (al filosuf al mu’allim nafsaha/Sang filosuf Autodidak) di mana nama tersebut di tujukan sebagai apresiasinya terhadap Ibnu Thufail. Pada masa selanjutnya, karya ini juga telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia.
Sampai pada suatu saat, matilah kijang yang mengasuhnya. Hal tersebut mendorongnya untuk memeriksa tubuh dari kijang tersebut. Tetapi secara kasat mata dia tak menemukan sesuatu yang berbeda dari ketika kijang itu masih hidup. Kemudian ia mulai membedahnya hingga menemukan pada rongga tubuh kijang tersebut gumpalan yang diseliputi oleh perkakas tubuh yang mana darah di dalamnya menjadi beku. Maka hayy bin yaqzhan mulai tahu bahwa jantung jika berhenti maka bersamaan itu pula kehidupan suatu makhluk hidup akan berakhir.
Selain dari pada itu, pada suatu hari hayy bin yaqzhan menyalakan api di pulau tersebut, maka ia mulai merasakan bahwa api ternyata dapat memberikan penerangan dan membangkitkan panas. Tidak cukup dengan itu, ia juga menemukan bahwa daging burung dan ikan yang di bakar api terasa lebih enak dan sedap. Maka mulailah ia selalu menggunakan api untuk memasak makanan dan seterusnya mulailah ia memperkuat penggunaan indranya dan menggunakan apa yang ada di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Hayy bin yaqzhan juga menyaksikan bahwa alam ini tunduk dalam suatu aturan kosmos dan akan berakhir pada titik ketiadaan, dan yang di maksud dengan alam adalah segala eksistensi yang immanent dan bisa kita rasakan dan semuanya itu mempunyai karakter “Baru” (haadist) yang berarti didahului oleh ketiadaan (yang dalam teori penciptaan di sebut sebagai creatio ex nihilo). Karena setiap peristiwa baru mengharuskan adanya yang mengadakan dan hipotesa ini akhirnya membawa hayy bin yaqzhan pada suatu kesimpulan tentang “Sang Pencipta” (The creator) dan ia juga menyaksikan bahwa segala eksistensi di alam ini bagaimanapun berbedanya ternyata mempunyai titik-titik kesamaan baik dari segi asal maupun pembentukan maka ini mengarahkannya pada pemikiran bahwa segala yang ada ini bersumber dari subyek yang satu (causa prima) maka iapun mengimani Tuhan yang satu.
Kemudian hayy bin yaqzhan mulai mengarahkan pandangannya ke langit dan melihat matahari yang terbit dan terbenam setiap harinya secara berulang-ulang maka seperti itulah dalam pandangannya aturan kosmos yang berkesinambungan sebagaimana yang terdapat pada planet dan bintang-bintang. Tidak cukup dengan itu, hayy bin yaqzhan berkesimpulan bahwa termasuk sifat tuhan adalah apa-apa yang bisa kita lihat melalui jejak-jejak ciptaan-Nya, maka tampaklah karakter Tuhan sebagai Eksistensi yang Maha sempurna ( The perfect one ) lagi kekal dan yang selainnya akan rusak dan berakhir pada ketiadaan.
Seiring dengan berjalannya waktu sampailah Hayy bin yaqzhan pada umurnya yang ke-35, dan mulailah ia mencari indra apa dalam dirinya yang membawanya pada hipotesa-hipotesa dan menunjukinya pada kesimpulan-kesimpulannya yang telah lampau. Maka ia menemukan apa itu akal (reason), ruh (spirit) dan jiwa (nafs/soul). Dan ia tetap hidup di pulaunya sampai beberapa saat dengan kecondongan rohani dan kesenangan melakukan ekstasi (semedi) sambil berkontemplasi tentang segala ciptaan sebagai teofani (tajalliyaat) sang wajibul wujud (The necessary being).
Sampai pada suatu saat singgahlah di pulau tersebut untuk pertama kalinya seorang manusia bernama Absal, seorang ahli ibadah yang hidup secara asketis (zuhd) yang datang dari negeri yang jauh untuk beribadah, bertapa dan berkontemplasi, maka bertemulah Absal dengan Hayy bin yaqzhan. Dan Hayy bin yaqzhan pun mengambil pelajaran darinya tentang segala nama-nama (Al asmaa’ kulluhaa) dan kebenaran-kebenaran wahyu (syariat). Dan setelah masa yang panjang Hayy pun akhirnya mampu berbicara dengan bahasa Absal.
Kedua orang tersebut membandingkan pikirannya masing-masing, di mana yang satu murid dari alam, sedang yang lain adalah seorang filosof dan pemeluk agama, maka tahulah keduanya bahwa dirinya telah mencapai kesimpulan yang sama.[4]
Dan melalui interaksinya dengan Hayy bin Yaqzhan, maka Absal pun tahu bahwa apa yang telah dicapai Hayy dengan akalnya secara mandiri tanpa bantuan yang lain itu ternyata mempunyai kesinambungan dengan apa yang telah di bawa oleh nabi-nabi.
Dan kemudian Absal pun membawa Hayy bin yaqzhan kepada kaumnya, dan mulai berorasi dan memperingatkan kaumnya (sebagaimana para nabi) dengan apa-apa yang telah ia lihat dan dapatkan dari pengalamannya tentang kesejatian hidup, keremehan harta benda dan pentingnya merenungi tanda-tanda kekuasaan Sang pencipta. Tetapi ia terlalu vulgar dalam penyampainnya, sehingga kaumnya pun menghindarinya karena menganggapnya menyimpang dari pemahaman literar matan-matan kudus wahyu. Akhirnya Hayy bin yaqzhan berpaling kepada Absal dan berkata bahwa nabi-nabi lebih tahu tentang jiwa-jiwa manusia dari pada dirinya dan pelajaran-pelajaran dan pengalaman yang ia capai ketika masih hidup di pulau bersama hewan-hewan itu lebih tinggi dan adi luhung dari fase manusia yang ia hadapi sekarang. Dan akhirnya Absal pun menemani Hayy bin yaqzhan hidup bersama-sama dengannya beribadah dan merenung sampai maut menjemput mereka.
Jika dilihat, maka akan didapati tiga hal dalam kisah tersebut yang masing-masing menjadi lambang tiga hidup yang berlainan:
- Hayy bin Yaqzhan, sebagai lambang kekuatan akal dalam mencapai suatu kesimpulan atas keyakinan kepada Tuhan. Dengan memikirkan alam dengan isinya serta dirinya sendiri, lambat laun sampai pada keyakinan kepada Tuhan.
- Tokoh Absal, sebagai lambang hidup tokoh agama, yang dengan memikirkan wahyu sebagai kebenaran, lambat laun sampai kepada keyakinan kepada Tuhan. Dari sini terlihat kesesuaian antara agama dan filsafat.
- Keadaan di sekitar, sebagai lambang fakta-fakta kehidupan.
Di roman filsafatnya Ibnu Thufail juga ingin menyampaikan bahwa kebenaran ternyata memiliki dua wajah internal dan eksternal yang sebenarnya sama saja. Dan kedua wajah tersebut berkaitan dengan dikhotomi dua kalangan manusia yaitu kalangan khowash yang mampu mencapai taraf kecerdasan tertinggi baik melalui diskursus filosofis maupun pencerahan mistik (kasyaf) dan kalangan awam yang tak mampu mencapainya dan hanya mampu mengerti bahasa literal dari matan-matan kudus wahyu keagamaan.
Ibn Thufail membagi perkembangan alam pikiran manusia menuju hakikat kebenaran ke dalam enam bagian:
- Dengan cara ilmu Hayy Bin Yaqzhan, yaitu denagn kekuatan akalnya sendiri, memperhatikan alam makhluk ini bahwa tiap-tiap kejadian ada yang menyebabkannya.
- Dengan cara pemikiran Hayy Bin Yaqhdan terhadap teraturnya peredaran benda-benda besar di langit seperti matahari, bulan, dan bintang-bintang.
- Dengan memikirkan bahwa puncak kebahagiaan seseorang itu ialah mempersaksikan adanya wajibal-wujud Yang Maha Esa.
- Dengan memikirkan bahwa manusia ini adalah sebagian saja dari makhluk hewani tetapi dijadikan Tuhan untuk kepentingan-kepentingan yang lebih tinggi dan utama daripada hewan.
- Dengan memikirkan bahwa kebahagiaan manusia dan keselamatannya dari kebinasaan hanyalah terdapat pada pengekalan penyaksian terhadap Tuhan wajibal-wujud.
- Mengakui bahwa manusia dan alam makhluk ini fana dan semua kembali kepada tuhan.
============
Footnote:
[1]Sirajuddin. Zar, Filsafat Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2007. hal. 205
[2]Ibid, hal. 206
[3]Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997, hal. 272
[4]Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 163
0 comments:
Post a Comment