Dinasti Umayyah di Damaskus

A. Proses Peralihan Khalifah ke Tangan Mu`awiyah
Peralihan jabatan Khalifah dari `Ali bin Abi Thalib (603 M/40 H) ke tangan Mu`awiyah bin Abi Sufyan (41-61 H/661-680 M), bukanlah melalui musyawarah langsung sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah-khalifah sebelumnya, akan tetapi melalui rentetan peristiwa yang terjadi pada saat itu. Di mana peristiwa itu di mulai pada akhir pemerintahan `Usman bin `Affan (576-656 M) yang dinilai oleh banyak pihak telah menyimpang dari garis yang telah ditentukan oleh pendahulunya. Yaitu dengan mengutamakan mengangkat kaum kerabatnya dalam urusan pemerintahan. Pada hal di antara pejabat yang diangkatnya adalah kaum "Thulaqa".

Kebijakan `Usman seperti ini, menimbulkan rasa tidak senang di kalangan masyarakat luas, yang selanjutnya memicu timbulnya kerusuhan dan kekacauan. Kerusuhan bertambah meluas dan berubah menjadi pemberontakan yang akhinya Khalifah `Usman bin `Affan terbunuh.

Pada saat kekacauan berlangsung, `Ali bin Abi Thalib dibaiat menjadi khalifah menggantikan `Usman. Tetapi Ali tidak mampu mengatasi situasi itu, karena munculnya pemberontakan-pemberontakan baru dengan berbagai tuntutan. Di antaranya adalah Mu`awiyah yang menuntut bela atas kematian `Usman, ia menuntut agar `Ali menyerahkan pembunuhnya agar ia membunuh mereka dengan tangannya .

Pada awalnya Mu`awiyah hanya menuntut kematian `Usman, namun `Ali beranggapan bahwa Mu`awiyah menentang dan bermaksud menggulingkan kekuasaannya, sehingga `Ali memecatnya dari jabatan Gubernur Syam yang telah di dudukinya sejak Khalifah `Umar dan `Usman .

Menyadari posisinya terancam, Mu`awiyah berusaha mencari dukungan dari kalangan penduduk Syam. la tidak lagi mentaati `Ali sebagai Khalifah, bahkan ia hendak menggunakan pasukan tentara wilayahnya untuk memerangi pemerintahan pusat, bersama `Amr bin `Ash, ia memutuskan untuk memerangi `Ali dan meletakkan tanggung jawab untuk menuntut pembunuhan `Usman di atas pundaknya.

Setelah perdamaian gagal, maka terjadilah pertempuran antara pasukan `Ali dan Mu`awiyah yang terjadi di dekat sungai Furat. Pasukan `Ali berhasil memukul mundur pasukan Mu`awiyah, namun dengan kelicikan `Amr bin `Ash, ia mengangkat al-Quran di ujung lembing pedangnya dan meneriakkan ”inilah yang akan menjadi hakim antara kami dan kalian”. Dan akhirnya terjadilah tahkim antara mereka dengan mengangkat hakim, `Amr bin `Ash dari pihak Mu`awiyah dan Abu Musa al-Asy`ari dari pihak Ali. Sekali lagi dengan kelicikannya, `Amr bin `Ash dapat mengalahkan Abu Musa. Abu Musa diminta pertama kali bicara dan mengumumkan pengunduran dan pemecatan `Ali, namun tidak dengan `Amr bin `Ash. Ia mengangkat Mu`awiyah dengan ucapannya: "Aku menetapkan kawanku (yakni Mu`awiyah) sebagai Khalifah, sebab ia memang kerabat yang berhak menuntut bela atas `Usman bin `Affan dan yang paling berhak menggantikan kedudukannya". Setelah itu, kembalilah Mu`awiyah bersama pasukannya ke Syam untuk mengokohkan kedudukannya dan `Ali pulang kembali ke kota Kufah dan bersiap-siap untuk menyerbu daerah Syam, namun pada akhirnya `Ali bin Abi Thalib terbunuh di tangan ibn Muljim.

Kemudian Hasan mengemban amanah dari pendukungnya. Yaitu sebagian penduduk Iraq. Tetapi Hasan tidak sanggup melaksanakan tanggung jawab itu, maka ia menyerahkan jabatannya kepada Mu`awiyah dengan syarat jaminan keamanan dan hak-hak atas seluruh tentara dan pengikut `Ali. Ketidakmampuan Hasan melaksanakan tanggungjawab itu, karena banyak persoalan yang di hadapinya.

Setelah penyerahan itu, Hasan dan Husein dan seluruh rakyat Kufah membai`at Mu`awiyah, sehingga dinamakan tahun tersebut dengan `Amu al-jama`ah (tahun persatuan). Karena rakyat bersatu di bawah pimpinan seorang Khalifah.

Dengan demikian mutlaklah pemerintahan itu seluruhnya di awah kekuasaan Mu`awiyah bin Abi Sufyan dan ditetapkannya Damaskus sebagai ibukota kerajaannya. Beralihlah sistem pemerintahan dari sistem Khilafah kepada sistem Daulah (Kerajaan).


B. Daulah Umayyah di Damaskus
Nama Daulah Umayyah berasal dari nama Umayyah yaitu kakek kedua dari Mu`awiyah bin Abi Sufyan. la adalah salah seorang pemimpin dari pemimpin¬pemimpin Kabilah pada masa Jahiliyah. Ia dan pamannya, Hasyim selalu bersaing untuk mendapatkan kekuasaan dan kehormatan di dalam masyarakat. Di zaman Jahiliyah, apabila seseorang mempunyai tiga unsur di dalam masyarakat, yaitu: berasal dari keluarga bangsawan, mempunyai kekayaan, dan putra-putra yang terhormat, berarti telah mempunyai jaminan untuk memperoleh kehormatan dan kekuasaan. Tatkala datang Islam berobalah persaingan untuk mendapatkan kekuasaan itu kepada permusuhan yang nyata, Bani umayyah dengan tegas menentang Rasul dan dakwahnya. Sebaliknya Bani Hasyim menjadi penolong Rasul dan dakwahnya, baik mereka yang telah masuk Islam atau pun yang belum.

Pendiri dan sekaligus sebagai Khalifah pertama Daulah Umayyah adalah Mu`awiyah bin Abi Sufyan. la dilahirkan di Makkah lima tahun sebelum Nabi diangkat menjadi Rasul. Dr. A. Syalabi mengatakan bahwa Mu`awiyah lahir 15 tahun sebelum hijrah, atau sekitar tahun 607 Masehi. Silsilahnya bertemu dengan Nabi Muhammad Saw pada kakeknya yang kelima, yakni Abdi Manaf. Silsilah lengkapnya adalah Mu`awiyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah bin `Abdi Syams bin `Abdi Manaf. Ibunya Hindun binti `Uthbah bin Rabi`ah bin `Abdi Syams bin `Abdi Manaf.

Pada masa nabi dia diangkat sebagai salah seorang tim penulis wahyu. Kemudian pada masa Abu Bakar menjadi pimpinan pasukan bantuan untuk Panglima Yazid bin Abi Sufyan di Syiria. Lalu pada masa `Umar menjadi Gubernur Ardan (Yordania) dan menjadi Gubernur seluruh Syam pada masa `Usman, dimana pada akhirnya ia berhasil tampil menjadi Khalifah selama 20 tahun.

Setelah dibai`at menjadi Khalifah,., ia memindahkan pusat pemerintahannya ke Damaskus-Syiria. Dengan berdirinya pusat pemerintahan Islam yang baru tersebut berarti bergeserlah pusat pemerintahan Islam dari Madinah ke Damaskus. Perpindahan ibukota tersebut terjadi melalui proses yang panjang dengan didukung oleh strategi politik yang dibangun oleh Mu`awiyah. Dan dia merobah sistem Khilafah menjadi sistem kerajaan. Ada beberapa faktor objektif yang mendukung untuk dirubahnya sistem musyawarah itu.
  1. Mu`awiyah berhasil meyakinkan ulama, seperti ibn `Abbas, ibn `Umar, Sa`ad bin Abi Waqash dan sahabat lainnya dengan menampakkan hasil dari perubahan itu.
  2. Kalau sistem musyawarah dipertahankan, akan membuat peluang untuk perang semakin banyak.
  3. Faktor persaingan Bani Hasyim dan Bani Umayyah.
  4. Setiap orang tanpa terkecuali tentu menginginkan kejayaan dan hidup layak bagi keluarganya. Sikap nepotisme tidak bisa dihilangkan dari diri seseorang. Tentunya apa yang telah dilakukan oleh Mu`awiyah terhadap keluarganya memang sudah sewajarnya. Ia mengangkat kaum keluarganya untuk menjabat di daerah-daerah kekuasaannya. Dengan pemerintahan yang didominasi oleh keluarga, akan menjadikan pemerintahan itu cukup kuat dan membuka peluang untuk berkuasa lebih lama.
  5. Sistem pemerintahan yang monarchi tidak lebih baik dari demokrasi (musyawarah).
  6. Semakin luasnya daerah kekuasaan, maka semakin banyaklah orang masuk ke dalam agama Islam dari berbagai daerah, baik daerah yang berdekatan dengan ibukota kerajaan, maupun yang jauh. Maka sangat sulit bagi staf pemerintahan untuk mendatangi mereka dan mengajak mereka bermusyawarah. Di samping itu umat Islam bukan orang Arab saja, tetapi juga non Arab dan tentunya mereka ingin memilih pemimpin dari mereka sendiri. Dan kalau kita perhatikan, bahwa semua negara pada waktu itu berbentuk kerajaan. Seperti Bizantium, Persia, dan Cina, kalau sistem musyawarah dipertahankan, maka umat Islam akan ketinggalan peradabannya.

I. Dinamika Keagamaan
Keistimewaan Bagi Bani Umayyah pada masanya walaupun masanya itu begitu singkat, namun kita melihat adanya gerakan-gerakan dalam bidang pemikiran yang tidak mendapat peluang dan kesempatan yang cukup untuk lahir pada masa¬-masa sebelumnya atau masa yang paling subur bagi revolusi-revolusi yang terjadi pada alam fikiran. Kita mulai dari pemikiran Syiah. Dalam sejarah dan peradaban Islam pembicaraan mengenai Syiah mencakup dua macam: pertama, tentang kepercayaan dan pemahaman mereka; kedua, tentang gerakan Syiah untuk merebut kekuasaan. Namun yang akan dibicarakan terlebih dahulu adalah tentang kepercayaan Syiah dan tentang pergerakan dalam merebut kekuasaan akan dibahas nantinya pada bagian pembicaraan politik.Kaum Syiah adalah pendukung Ali bin Abi Thalib. Ali telah mempunyai pendukung sejak masa-masa permulaan setelah wafatnya Rasulullah. Di antaranya Abu Dzar al-Ghifari, Salman al-Farisi, Jabir bin Abdillah dan Huzaifah bin al-Yaman. Setelah Abu Bakar terpilih menjadi Khalifah
dan Ali mengetahui bahwa kekalahan golongan Anshar disebabkan karena golongan Muhajirin berpegang kepada hadis Rasulullah: al-Aimmatu min al-Quraisy ( Pemimpin-pemimpin itu adalah dari kaum Quraisy).

Ali berfaham bahwa yang dimaksud dengan hadis ini adalah pertalian kerabat, sehingga Ali pernah mengatakan: "Mereka berpegang kepada pohon dan melupakan buahnya". Akan tetapi bukanlah itu yang dimaksudkan oleh Abu Bakar dan Umar. Yang mereka maksudkan adalah kedudukan serta kekuatan kaum Quraisy. Di samping itu juga perilaku Abu Bakar dan Umar sangat mulia, mereka tidak memberikan kesempatan sedikitpun kepada pendapat-pendapat yang menentangnya untuk tumbuh dan meluas. Kemudian datang masa pemerintahan `Usman. Ia telah melakukan tindakan-tidakan keliru yang belum pernah dilakukan oleh khalifah¬khalifah sebelumnya, ditambah lagi isu propokasi yang dilakukan oleh `Abdullah bin Saba', seorang Yahudi yang mengaku masuk Islam, bukan karena kecintaannya tetapi untuk menyerang Islam dari dalam. Itu lebih mudah baginya dari pada menyerang Islam secara terang-terangan.

Dengan keuletannya, `Abdullah bin Saba' dapat menguasai kaum Syiah dan berhasil membentuk kesatuan yang kompak, lalu ia memompakan bermacam-macam pendapat dan falsafah ke dalam alam fikiran Syiah, sehingga masalahnya bukan hanya "pohon dan buah" saja, tetapi ia menambahnya dengan pemikiran yang berbelit-belit dan menimbulkan keraguan serta menciptakan riwayat dan hadis palsu. Ditaburkannya benih-benih fikiran yang sesat.

Di samping itu di Negeri Persia sebelum datangnya Islam berlaku teori-teori yang berasal dari Eropa tentang "Hak suci Raja-raja" atau disebut juga "al-Haq al-Ilahi" (Divine Right) bahwa keluarga raja mengalir padanya darah ketuhanan, hanya keluarga itulah yang berhak memerintah. Bangsa persia kemudian masuk Islam, sedangkan teori tersebut tetap melekat dalam fikiran mereka. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa keluarga Rasul-lah yang paling berhak untuk memegang pemerintahan. Di antara pemahaman-pemahaman Syi’ah yang khas adalah :
  1. Imamah, istilah yang mereka gunakan sebagai pengganti istilah Khilafah. Menurut mereka Imamah merupakan salah satu rukun di antara rukun-rukun agama dan sudut amat penting dalam Islam.
  2. Seorang Imam haruslah seorang ma'sum, yakni seorang yang suci, terjaga dan terpelihara dari melakukan perbuatan dosa yang besar maupun yang kecil dan ia tidak boleh melakukan kesalahan. Semua yang bersumber dari dirinya, baik yang berupa ucapan atau tindakan, maka itu adalah haq d;4n benar.
  3. Kelompok-kelompok Syiah bersepakat bahwa Imamah adalah hak milik anak-cucu Ali saja.
Sekarang marilah kita melihat bagaimana kepercayaan dan pemahaman kaum Khawarij setelah kita telah melihat bagaimana pemahaman dan kepercayaan kaum Syiah terhadap Ali dan keturunannya. Khawarij sama sekali berlawanan dengan kaum Syiah. Kelompok ini muncul pada waktu perang Shiffin ketika Ali dan Mu'awiyah menyetujui penunjukan dua orang hakim penengah guna menyelesaikan pertikaian yang terjadi antara keduanya.

Sebenarnya, sampai saat itu mereka pendukung-pendukung Sayyidina Ali, tapi kemudian, secara tiba-tiba, mereka berbalik ketika berlangsungnya tahkim, dan berkata kepada kedua keompok tersebut: "Kalian semuanya telah menjadi kafir dengan memperhakimkan manusia sebagai ganti memperhakimkan Allah di antara kalian." Beberapa waktu kemudian pendapat mereka sangat ekstrim dan sangat kelewat batas, hingga mereka membunuh dan memerangi siapa saja yang tidak sependapat dengan mereka.

Oleh sebab itu, untuk waktu yang sangat lama sekali mereka telah membangkitkan keonaran di mana-mana dan lebih cenderung membunuh dan menumpahkan darah sampai saat mereka dapat dimusnahkan di zaman kekuasaan Bani Abbas. Dr. Hasan Ibrahim Hasan menjelaskan di dalam kitabnya Tarikh al-Islami, bahwa Khawarij adalah musuh dari Mu'awiyah dan Ali beserta keturunannya. Mereka menghalalkan darah Mu'awiyah dan Ali dan berpendapat bahwa keduanya telah keluar dari ajaran agama. Khawarij memperlihatkan Islam yang demokrasi dan mengatakan bahwa Khalifah milik setiap umat Islam selagi ia mampu untuk memikulnya. Tidak ada perbedaan antara orang Quraisy dan bukan Quraisy. Kelompok Khawarij yang sangat ekstrim pendapatnya adalah Azariqah, yaitu kelompok Nafi' bin al-Azariq yang telah mengkafirkan Ali dan seluruh kaum muslimin. Nafi' berkata : "Tidak.boleh memakan sembelihan mereka, tidak boleh kawin dengan mereka, Ali dan kaum muslimin selain mereka dengan kafir Arab dan penyembah berhala adalah sama, Negeri Mu'awiyah dan Ali beserta keturunannya adalah Dar al-Harb (Negeri yang wajib diperangi) dan mereka juga membunuh anak-anak dan istri-istri Bani Umayyah dan Ali serta keturunannya yang tidak sepaham dengan mereka, karena mereka berkeyakinan bahwa anak-anak mereka itu Musyrik dan kekal di Neraka, orang yang berdosa besar sama dengan His, hukum potong tangan bagi orang yang mencuri baik sedikit maupun banyak.

Orang-orang Khawarij menafsirkan Q.S Nuh, ayat 26-¬27 secara lahiriyah saja. Ayat inilah yang digunakan oleh Nafi' ibnu al-Zariq untuk mensahkan perbuatanya membunuh anak-anak dan para wanita, dengan berdalih pembunuhan itu adalah halal. Inti dari pendapat mereka adalah :
  1. Mereka mengakui keabsahan kekhalifahan Abu Bakar dan Umar. Adapun Usman, menurut pendapat mereka pada akhir-akhir kekhalifahannya telah menyimpang dari kebenaran dan keadilan, karena itu ia selayaknya dibunuh atau dimakzulkan. Dan bahwasanya Sayyidina Ali, Mu'awiyah, `Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy'ari serta pengikut Ali dan Mu'awiyah telah melakukan dosa besar dengan mentahkim selain Allah dan juga semua orang yang ikut dalam peperangan Jamal, termasuk Talhah, Zubair, Aisyah Ummu al Mukminin, telah melakukan dosa yang amat besar.
  2. Dosa, dalam pandangan mereka, sama dengan kekufuran. Mereka mengkafirkan setiap pelaku dosa besar apabila ia tidak bertobat; dan atas dasar inilah mereka secara terang-terangan mengkafirkan semua sahabat Nabi saw. yang disebutkan namanya di atas.
  3. Khilafah tidak kecuali dengan adanya pemilihan bebas antara kaum mustimin dan tidak menyetujui pendapat yang menyatakan bahwa khalifah haruslah dari suku Quraisy.
  4. Ketaatan kepada khalifah adalah sesuatu yang wajib hukumnya selama ia masih berada di jalan keadilan dan kebaikan. Apabila ia menyimpang, maka wajib memeranginya, memakzulkannya atau membunuhnya.
Pada masa Daulah Umayyah juga berkembang paham Murjiah, dan Jabariyah Mu'tazilah. Murji'ah berpaham segala sesuatu itu ditunda, hanya Allah yang tahu dan Allah yang akan membalasnya pada hari kiamat. Jabariyah berpaham bahwa pelaku dosa besar tetap mukmin. Sedangkan Mu'tazilah berpaham bahwa orang-orang yang melakukan dosa besar tidak mukmin dan tidak kafir tetapi fasik dan tempatnya antara Syurga dan Neraka.

II. Sosial-Politik
Dalam bidang sosial pada masa kekhalifahan Umayyah adalah bersifat kemewahan sebagai akibat kejayaan dalam bidang politik. Sementara itu nilai-nilai keislaman tenggelam oleh nilai-nilai keduniawian, meski semua penampilan secara formal menggunakan simbol-simbol Islam. Di samping itu perbudakan merupakan gejala sosial yang umum dikala itu, terutama dikalangan para Ningrat.

Pada masa pemerintahan Umayyah ini, banyak terjadi perobahan yang bersifat drastis. Ironisnya perobahan ini banyak merusak tatanan sosial politik dan kebudayaan masyarakat terutama dalam tatanan sistem pemerintahan. Arabisasi menjadi dasar dan dalil sebagian para khalifah Umayyah dalam mengatur dan melaksanakan jalannya sistem pemerintahan. Sistem startegi Arabisasi ini diterapkan secara diskriminatif. Hal ini tidak sesuai dengan syari’at Islam dan semangat persaudaraan. Penerapan Arabisasi ini merupakan akibat adanya percampuran penduduk daerah-daerah yang ditaklukkan. Mereka datang ke daerah-daerah taklukannya merasa lebih tinggi derajatnya dengan penduduk jajahan yang berasal dari non Arab 35. Arabisasi sangat terkait sekali dengan Mawali. Mawali adalah orang-orang muslim yang menurut garis keturunan tidak termasuk dalam suku Arab. Seperti orang Persia, Turki, Irak, dan Mesir. Mereka inilah yang dianggap rendah oleh suku Arab dan sering diperlakukan dengan keras dan kejam.

Dalam bidang perluasan daerah pada masa Daulah ini terus berkembang. Walaupun daerah Islam pada masa Khulafa' al-Rasyidin sudah begitu luas. Namun perluasan itu belum sampai pada batas yang tetap, maka senantiasalah disana terjadi pertikaian dan peperangan. Dalam keadaan semacam itu tak dapat tidak terjadilah pertempuran-pertempuran antara Bani Umayyah dan Negara-negara tetangga yang telah ditaklukkan pada masa Khulafa' al-Rasyidin. Dan pertempuran ini terus berlanjut sampai ada batas yang memisahkan antara kedua pasukan yang bermusuhan itu. Inilah salah satu penyebab utama perluasan itu, di samping jihad dan untuk menyiarkan agama Islam.

Masa-masa yang cocok untuk melakukan penaklukan dan perluasan adalah masa Khalifah Mu'awiyah, dan tahun-tahun terakhir dari masa Khalifah AM. al-Malik, kemudian pada masa putranya AI-Walid. Selain masa-masa itu usaha-usaha penaklukan mengalami kemacetan, karena dibebani dengan bermacam-macam pemberontakan ditambah lagi kurangnya kecakapan khalifah¬khalifahnya atau khalifahnya menunjukan cita-cita untuk mendapatkan keridhaan Allah semata.

Perluasan daerah pada masa Daulah ini dibagi kepada tiga Medan Pertempuran.
Medan pertama; pertempuran melawan bangsa Romawi di Asia Kecil. Dipertempuran ini telah meluas sampai meliputi pengepungan terhadap kota Konstantinopel dan penyerangan terhadap beberapa pulau di Laut Tengah. ak dapat dibantah lagi bahwa pertempuran ini adalah pertempuran yang terpenting. Sebab Daulah Umayyah telah menjadikan damaskus sebagai ibukota Kerajaan Islam dan jadilah ibukota itu dekat letaknya daengan kerajaan Byzantium. Maka tidaklah heran kalau Bani Umayyah berusaha keras untuk menjaga perbatasan Syiria dan menghalau musuh-musuhnya itu.

Ketika terjadi kekacauan-kekacauan di dalam Negeri, pasukan¬pasukan Rumawi berhasil merebut kembali bebera daerah di Armenia, yang tadinya telah ditaklukkan oleh kaum muslimin. Pada masa Khalifah Mu'awiyah bin Abi Sufyan perluasan daerah diteruskan. Ekspansi yang terhenti pada masa Khalifah Usman dan Ali dilanjutkan kembali oleh daulah ini.

Di zaman Mu'awiyah, Tunisia dapat ditaklukkan. Di sebelah Timur, Mu'awiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai ke Sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke ibukota Byzantium, Konstantinopel. Ekspansi ke Timur yang dilakukan Mu'awiyah kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Abd.al-Malik. Dia mengirim tentara menyeberangi Sungai Oxus dan dapat berhasil meduduki Balkh, Bukhara, Khawarizm, Fergana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai di India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai Maltan.

Setelah Mu'awiyah berhasil mengatasi situasi keadaan negara, lalu ia bersiap-slap untuk menghadapi kekuatan dengan kekuatan. Dan dia memperbesar tentaranya sehingga berjumlah 1700 kapal lengkap dengan makanan dan pedang. Kemudian ia perangi Laut Tengah dan berhasil menguasai Rodes tahun 53, Iqrithus (Kreta) tahun 54, sebagaimana ia perangi juga pulau Shigliyah(Sicilia) dan pulau kecil yang bernama Arwad dekat dengan Konstantinopel dan pulau Qibrus (Cyprus) yang sudah dikuasainya pada masa Usman.

Kemudian Mu'awiyah mempersiapkan tentara untuk memerangi Konstantinopel baik darat maupun laut dengan dipimpin oleh Sufyan bin Auf dan ikut bersamanya Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Zubair dan Abu Ayyub al-Anshari. Mereka berangkat ke Konstantinopel, maka terjadilah peperangan, namun tentara Sufyan bin Auf mengalami kekalahan, disebabkan kapal mereka terbakar dengan lontaran api mereka sendiri yang terjatuh dan pada pertempuran itu Abu Ayyub meninggal dunia. Dan dikuburkan didekat pagar Konstantinopel. Setelah Mu'awiyah meninggal dunia, penyerangan ke Konstantinopel terhenti, yang kemudian penyerangannya dilanjutkan oleh Khalifah Abd. al-Malik dan Khalifah A1¬Walid. Seterusnya dilanjutkan oleh Sulaiman bin Abd. al-Malik dan jatuhlah ibukota Byzantium itu ketangan kaum muslimin pada tahun 1453 M di bawah pimpinan Sulthan Muhammad Al-Fatih.

Medan kedua; pertempuran Afrika Utara sampai ke pantai Atlantik, kemudian menyeberangi Selat Jabal Tarik dan sampai ke Spanyol. Namun dalam makalah ini tidak dibahas dan akan dibahas nantinya oleh pemakalah berikutnya.

Medan Ketiga; pertempuran Timur. Ini meluas dan terbagi kepada dua cabang yang satu menuju ke Utara, kedaerah-daerah Sungai Jihun (Amu Darya). Dan cabang kedua menuju ke Selatan, meliputi daerah Sind. Perluasan daerah Islam itu telah menjalar sampai ke daerah pegunungan di sebelah selatan Laut Kaspi dan selanjutnva kaum muslimin menyeberangi sungai Jihun (Amu Darya), dan berhasil menguasai negeri-negeri diseberang sungai itu yaitu, Balk, Harah, Kabul, Ghaznah di Turkistan.

Setelah Mu'awiyah meninggal, penaklukan itu diteruskan oleh Al-Walid dan barulah sempurna pada masa Khalifah Sulaiman bin Abd. AI-Malik, di bawah pimpinan panglimanya: Yazid bin Muhallab dan sampailah penaklukan itu ke negeri Sind.

Sekarang marilah kita melihat pemberontakan yang terjadi di dalam negeri. Pemberontakan itu terjadi disebabkan Mu'awiyah tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan bin Ali ketika ia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian pemimpin setelah Mu'awiyah, diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid sebagai Putra Mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi dikalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan.

Ketika Yazid naik tahta, maka semua orang membai'atnya baik dalam keadaan.terpaksa ataupun tidak.Namun Husein bin Ali dan Abdullah bin Zubair tidak mau membaiahnya, mereka melarikan diri ke Makkah. Di Makkah Husein menerima beberapa surat dari penduduk Kufah yang intinya membela dan menjanjikan bai'at terhadap Husein. Lalu Husein mengutus saudara sepupunya, Muslim bin ‘Aqil bin Abi Thalib, untuk mengetahui apakah benar pernyataan mereka itu. Ternyata apa yang mereka ucapkan di dalam surat itu tidak benar. Mereka biarkan Muslim terbunuh di Negeri mereka itu. Kemudian Husien berangkat ke Kufah, namun belum tahu keberadaan saudara sepupunya. Di tengah jalan disuatu tempat di Karbela Husein bertemu dengan ilmar bin Sa'ad bin Abi Waqash dan terjadilah pertempuran antara mereka sehingga mengakibatkan terbunuhnya Husein bin Ali. Setelah terbunuh lalu tubuhnya diinjak¬injak dengan Kuda dan kepalanya dipotong, lalu dikirimlah kepalanya kepada Yazid di Damaskus. Setelah meninggal Husein terjadi lagi pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok "Al-Tawwabun ", yaitu "orang-orang yang bertaubat". Mereka adalah dari kelompok Syi'ah di Kufah yang telah mengakui kesalahan, bahwa mereka telah mengundang Husein untuk datang kenegeri mereka dan kemudian mereka menjauhkan diri daripadanya dan akhirnya mereka membunuhnya. Oleh karena itu mereka bertaubat dan berjuang untuk menuntut bela atas kematian Husein. Pemberontakan Al-Tawwabun barulah dapat dikalahkan pada masa Khalifah Marwan bin Hakam. Pemberontakan yang dilakukan oknum negeri Thaif, yaitu al-Mukhtar bin Abi Ubaid.

Selanjutnya pemberontakan yang dilakukan oleh Abdullah bin Zubair. Setelah Husein terbunuh, ia memproklamirkan dirinya menjadi Khalifah dan melakukan pemberontakan terhadap Daulah Umayyah. SetelahYazid meninggal dunia dan Bani Umayyah terpecah belah, datanglah kesempatan bagi dirinya untuk jadi Khalifah di Makkah. la mulai membangun mahligai kejayaannya di bawah tumpukan bangkai dari pada korban yang telah gugur. la sama sekali tidak pernah keluar memimpin suatu pasukan dan hanya tetap saja di Makkah menunggu datangnya bai'ah. Pada masa Khalifah Abd.al-Malik, Abdullah bin mengalami kekalahan dan ia tewas terbunuh, lalu kepalanya dikirim ke Abd. al-Malik dan tubuhnya disalib.

Disisi lain penyebab pemberontakan itu terjadi karena kebijakan setiap khalifah selalu dilaksanakan dengan tangan besi dan akibat ketidakpuasan dengan kebijakan Khalifah yang menggunakan kekerasan, maka beberapa daerah keamiran telah menyatakan memisahkan diri dan bersikap oposisi. Salah satu gerakan oposisi yang dilakukan oleh Abbas, salah seorang paman Nabi Muhammad Saw. Dengan dalih ingin mengembalikan keturunan Ali ke atas singgasana kekhalifahan, Abbas berhasil menarik dukungan kaum Syi'ah dalam mengorbankan perlawanan terhadap kekhalifahan Umayyah. Abbas kemudian memulai makar dengan melakukan pembunuhan sampai tuntas semua keluarga Khalifah, yang waktu itu dipegang oleh Khalifah Marwan II bin Muhammad. Begitu dahsyatnya pembunuhan itu, sampai menyebut dirinya sang pengalir darah atau as-Saffar. Dalam peristiwa itu salah seorang pewaris tahta kekhalifahan Umayyah yaitu Abdurrahman yang baru berumur 20 tahun, berhasil melarikan diri kedaratan Spanyol. Tokoh inilah yang kemudian berhasil menyusun kembali kekuatan bani Umayyah di seberang lautan, yaitu Keamiran Cordova. Disana dia berhasil mengembalikan kejayaan kekhalifahan Umayyah dengan nama Kekhalifahan Andalusia.

III. Kemajuan Intelektual
Banyak sekali kemajuan Intelektual yang terjadi pada masa Dinasti ini. Di antaranya pada masa Khalifah Mu'awiyah telah menciptakan hal-hal yang baru yang belum ada pada masa-masa sebelumnya. la mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap deangan peralatannya di sepanjang jalan, menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang, Mengembangkan ilmu pengetahuan yang diwariskan dari bangsa-bangsa sebelum munculnya Islam. `Umar bin `Abd al-`Aziz (Madinah, 63 H/682 M-101 H/720 M), pada masa kekhalifahannya membuat kebijaksanaan dalam berbagai bidang. Dalam bidang agama, ia menghidupkan ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasul seperti masa `Umar bin al-Khattab. Kemudian menerapkan hokum syari’at secara serius dan sistematis. Jasanya yang penting di bidang agama dan pengetahuan, yang buahnya dapat diwarisi umat Islam sampai kini, adalah inisiatifnya untuk mengadakan kodifikasi hadis yang sebelumnya belum ada. Pada masa Khalifah `Abd. Al-Malik, ia mengubah mata uang Bizantium dan Persia dan mencetak uang tersendiri dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab, pada tahun 659 M. Dan pada masa Al-Walid, ia membangun panti-panti untuk orang cacat. Semua personil yang terlibat dalam kegiatan ini digaji oleh negara secara tetap. Dan dia juga membangun jalan jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, membangun gedung-gedung pemerintahan dan mesjid-mesjid yang megah. Mu'awiyah juga merobah sistem pengangkatan Khalifah yang demokrasi kepada `Ashabiyah dan Taurits. Hal ini dapat dilihat ketika Mu'awiyah melakukan suksesi kepemimpinan kepada anaknya Yazid.Dibidang administrasi membentuk biro administrasi negara yang dinamakan dengan Diwan al-Hattam, jawatan kepolisian Mu'awiyah juga men,gadakan perubahan seperti, bernama al-Syurthah, memisahkan tata administrasi kepidanaan dan non pidana, mengangkat sejumlah pegawai pada tingkat propinsi dan menanggungjawabi pendapatan negara bernama Shahib al-Kharaj, meningkatkan pendapatan negara melalui pemasukan sektor pajak, lalu mengambil sebagian dana tersebut untuk santunan fakir miskin, menciptakan armada laut, serta pengawal Khalifah dan singgasana, memasukkan Mihrab ke dalam mesjid. Dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahanIslam.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, K.A., A Study of Islamic History. Delhi India: Idarah-i Adab iyat-i, t.t.
Atsir, Ibn, Al-Kamil fi al-Tarikh. Beirut: Dar al-Ashwar, 1965.
Bek, Khudhari, Itmam al-Wafa' fi Sirah al-Khulafa'’. Surabaya: Syirkah Bungkul Indah, t.t .
Hasan, Hasan Ibrahim, Tarikh al-Islami al-Siyasi wa al-Dini wa al-Tsaqdfi wa al-Ijtima'i. Mesir: Maktabah al-Nahdhah, 1979.
Isy, Yusuf, Al-Daulah al-Umayyah. Damaskus: Dar al-Fikr, 1994.
Maududi, Abul `Ala, Al-Khilafah wa al-Mulk, (terj.) Muhammad al-Baqir, Khilafah dan Kerajaan. Bandung: Mizan, 1996.
Qarmani, Ahmad bin Yusuf, Akhbar al-Duali wa Atsar al-Awwal fi al-Tdrikh, jil. II. Beirut: Alam al-Kutub, 1610.
Saban, M.A., Islamic History, (terj.) Machnun Husin, Sejarah Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993.
Syalabi, A., Mausu'ah al-Tdrikh al-Islami wa al-Hadharah al-Islamiyah. Mesir: Maktabah al-Nahdhah, 1978.
Suyuthi, Jalal al-Din, Tarikh al-Khulafa'. Bairut: Dar al-Fikr, 1974.
Su'ud, Abu, Islamologi " Sejarah,Ajaran dan peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, Cet. Pertama. Jakarta :PT. Rineka Cipta, 2003.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.
Zaidan, Jurji, History of Islamic Civilization. New Delhi: Kitab Bhavan, 1981.
Zuhaili, Muhammad, Maria' Ulum al-Islamiyah. Mesir : Dar al-Ma'arif, 1997.

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger