Islamic Studies dalam Pandangan Outsider dan Insider

PENGERTIAN ISLAMIC STUDIES
Apa Islamic Studies itu? Islamic Studies, yang di Indonesia sering disebut “Studi atau Kajian ke-Islaman”, secara sederhana dapat dikatakan sebagai usaha untuk mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam. Dengan kata lain, Islamic Studies didefinisikan sebagai usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam tentang seluk beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, baik ajaran-ajarannya, sejarahnya maupun praktek-praktek pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang sejarahnya. (H.Djamaluddin, 1998:127).
Usaha mempelajari agama Islam dalam kenyataannya bukan hanya dilaksanakan oleh kalangan umat Islam saja, melainkan dilaksanakan juga oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Islamic Studies di kalangan umat Islam sendiri, tentunya mempunyai tujuan yang berbeda dengan tujuan Islamic Studies yang dilakukan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Di kalangan umat Islam, Islamic Studies bertujuan untuk memahami dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar mereka dapat melaksanakan dan mengamalkan secara benar, serta menjadikannya sebagai pegangan dan pedoman hidup (way of life). Sedangkan di luar kalangan umat Islam, seperti di Negara-negara Barat, Islamic Studies bertujuan untuk mempelajari seluk beluk agama dan praktek-praktek keagamaan yang berlaku di kalangan umat Islam, yang semata-mata sebagai ilmu pengetahuan. Namun, sebagaimana halnya dengan ilmu pengetahuan pada umumnya, maka ilmu pengetahuan tentang seluk beluk agama dan praktek-praktek keagamaan Islam tersebut bisa dimanfaatkan atau digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu, baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif. (H. Djamaluddin,1998:127).
Studi Islam yang dilakukan kebanyakan sarjana-sarjana Barat yang non-Muslim itu kemudian disebut Islamic Studies dalam perspektif outsider. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, Islam bukan lagi sebagai otoritas mutlak bagi pemeluknya dalam pengkajiannya, namun terbuka bagi kalangan mana saja untuk melakukan kajian Islam, baik secara selintas maupun mendalam. Akan tetapi, yang penting untuk diperhatikan dalam kajian keislaman ini adalah (1) bagaimana metodologi yang digunakan dalam pengkajiannya itu; apakah dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah atau tidak? Dan (2) perlu menerapkan sikap empati yang tulus dari para pengkajinya. (Jamali Sahrodi,2008:180-181).
Kajian keislaman oleh kalangan luar atau dalam perspektif outsider sebenarnya pada mulanya berangkat dari semangat pemahaman kajian orientalis, yakni kajian tentang masalah-masalah ketimuran [oriental], termasuk di dalamnya masalah Islam. Mereka mengkaji bahasa, kesusastraan, agama, filsafat, adat-istiadat, dan tradisi yang berkembang di dunia Timur. Di samping itu, terdapat fenomena yang menyeruak di hadapan para sarjana Barat bahwa Islam merupakan sebuah agama yang sangat cepat perkembangannya, bahkan secara kuantitas sudah mendekati jumlah komunitas Kristen di dunia ini. (Jamali Sahrodi, 2008:180).
Orientalisme berasal dari dua kata, orient dan isme yang diambil dari padanan kata latin oriri yang berarti terbit. Dalam bahasa Prancis dan Inggris orient berarti direction of rising sun (arah terbitnya matahari dari bumi belahan timur). Secara geografis kata orient berarti dunia belahan timur dan secara etnologi berarti bangsabangsa timur. Secara luas kata orient juga berarti wilayah yang membentang luas di wilayah timur dekat (Turki dan sekitarnya) hingga Timur Jauh (Jepang, Korea, Cina), dan Asia Selatan hingga negara-negara muslim bekas Uni Soviet, serta kawasan Timur Tengah hingga Afrika Utara. Lawan dari kata orient adalah occident yang berarti direction of setting sun (arah tenggelamnya matahari atau belahan bumi bagian barat). (Wahyudin Darmalaksana,2004:51-52).
Secara bahasa orientalisme adalah ilmu tentang ketimuran atau studi tentang dunia timur. Secara terminologis yaitu suatu cara atau metodologi yang memiliki kecenderungan untuk menguasai, memanipulasi bahkan mendominasi dunia timur. Sebagai kajian keilmuan, orientalisme sebagaimana dikatakan oleh Abdul Haq Ediver adalah suatu pengertian menyeluruh yang terkumpul dari sumber pengetahuan mengenai bahasa, agama, budaya, geografi, sejarah, kesusasteraan dan seni-seni bangsa timur. Sedangkan menurut Edwar W. Said, orientalisme adalah sebuah gaya Barat untuk mendominasi, membangun kembali dan mempunyai kekuasaan terhadap dunia Timur (Wahyudin, 2004:53).
Menurut Endang S. Anshari (2004:251) mengutip pendapat Ali Husni Al- Kharbuthli bahwa tujuan orientalisme mempelajari Islam adalah sebagai berikut:
  • Untuk kepentingan penyebaran agama Kristen
  • Untuk kepentingan penjajahan
  • Untuk kepentingan ilmu pengetahuan semata.
Sedangkan Dr. Mustafa as-Siba’i, ketua jurusan Fiqih Islam di Universitas Damaskus mengatakan bahwa orientalisme dan kaum orientalis memiliki motif sebagai berikut :
  • Dorongan keagamaan, misalnya para pendeta katolik Roma dan Vatikan
  • Dorongan penjajahan, misalnya C. Snouck Hurgronje di Indonesia
  • Dorongan politik seperti perwakilan-perwakilan blok Barat dan blok Timur
  • Dorongan ilmiah
Adapun mengenai sejarah lahir dan berkembangnya orientalisme dapat dibagi ke dalam tiga fase penting, yaitu (1) Masa sebelum perang salib di saat umat Islam berada dalam masa keemasan (650-1250), (2) Masa perang salib sampai pencerahan Eropa, (3) Masa pencerahan sampai masa kontemporer. Perhatian Barat sebenarnya telah ada pada saat sebelum perang salib. Hal ini dapat dilihat dari ekspedisi Alexander The Great yang menguasai daerah antara lain Asia Kecil, Libya, Mesir, Asia Tengah, hingga India dan Tiongkok. Selain melakukan ekspedisi militer, Aleksander juga banyak mengambil kepustakaan, agama, kebudayaan dan lainnya dari daerah tersebut. Dari hal ini sebenarnya telah ada kajian atau perhatian Barat terhadap dunia timur. Perhatian terhadap Islam juga muncul pada masa keemasan Islam terutama di Spanyol. Hal ini dapat terlihat misalnya dari pemakaian bahasa Arab dan adat istiadat Arab dalam kehidupannya. Anak-anak mereka kebanyakan menempati perguruanperguruan Arab. Bahkan raja Normandia, Roger 1 menjadikan istananya sebagai tempat pertemuan para filosof, dokter dan ahli-ahli Islam lainnya. (Wahyudin,2004 :58).
Pendapat senada lainnya mengatakan bahwa sejarah orientalisme dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
  1. Periode dimana dunia orientalisme memandang dunia Islam dengan pandangan jijik, permusuhan dan benci.
  2. Periode kedua adalah periode dimana dunia orientalis memandang dunia Islam dengan dengan bimbang dan confusion mengenai kebenaran-kebenaran yang terkandung didalamnya.
  3. Periode dimana dunia orientalisme memandang Islam dengan pendekatan ilmiah.
Selanjutnya menurut G.F. Pijper, seorang guru besar dalam bahasa Arab, Suriah, semietologi, dan agama Islam pada universitas Amsterdam antara lain mencatat:
  1. Pada abad pertengahan, orang-orang Eropa memandang Muhammad sebagai orang yang tak beradab.
  2. Dalam abad tujuh belas nabi Muhammad bagi orang Katolik masih merupakan nabi palsu dan seorang penipu dan musuh besar agama Kristen.
  3. Pada abad delapan belas datang pembaruan sebagai akibat dari dua aliran baru yaitu pembaruan dan romantik. Voltaire misalnya mengagumi dan menghargai al- Qur’an. Gothe tertarik pada Muhammad dan mengatakan bahwa Muhammad bukan seorang penipu.
  4. Pada abad sembilan belas, ilmu pengetahuan orientalis memberikan gambaran yang historis kritis dari Muhammad dan menempatkan Islam dalam sejarah agama yang tumbuh.
  5. Pada zaman sekarang pandangan orientalis menganggap nabi Muhammad sebagai orang baik dan Islam adalah agama yang membawa nilai kesabaran yang tinggi yang akan berguna pada zaman sekarang (Anshari,1994:254-255).
Pada masa perang saling kontak antara muslim dan Barat juga tidak dapat dihindarkan. Perhatian Barat pada saat itu dipengaruhi oleh ketakjuban mereka terhadap peradaban Islam yang hebat. Orang orang Barat pada saat itu-termasuk ilmuwan- mempelajari timur secara intensif. Pada perkembangan berikutnya orientalisme berasimilasi dengan kolonialisme. Akibat perang salib tujuan orientalisme adalah mengecam dan menyerang Islam dari berbagai kepentingan. Menurut Watt semangat orientalisme pada saat itu adalah pertama, agama Islam adalah agama palsu dan memutarbalikkan kebenaran.kedua,Islam adalah agama kekerasan yang disebarkan dengan pedang, ketiga, Islam adalah agama pemuasan dan penikmatan diri, keempat, Muhammad adalah seorang anti Kristus. (Wahyudin,2004:61).Terdapat juga pandangan orientalis bahwa masyarakat Islam adalah statis, fatalis serta fanatik. H.A.R. Gibb Menganggap rukun Islam yang lima sebagai sederhana dan eksternalis. Gustave von Grunebaum malahan mengambil ksimpulan dari rukum Islam yang lebih menyimpang bahwa orang Islam itu dangkal, tidak ada kompleksitas seperti yang terdapat di dalam suatu kebudayaan yang mempunyai misteri seperti konsep trinitas (Yusron,2007:281).
Memasuki masa pencerahan, orientalisme lebih diarahkan pada pencarian kebenaran yang didasarkan pada objektivitas kekuatan rasional. Sebagai contoh pada periode ini adalah tulisan Ricard Simon, Voltaire (1684-1778) dan Thomar Carlyle (1896-1947) (Wahyudin, 2004: 64).
Rodinson seorang sarjana Barat yang telah meneliti sejarah orientalisme dari sejak abad ke-4 Masehi hingga abad ke-20. Penelusurannya tersaji dalam dua bukunya yang berjudul: “The Legacy of Islam” (1974) dan Europe and the Mistique of Islam (1987). Menurut Rodinson, orang-orang Kristen sudah mengenal kaum Sarasen atau orang-orang Arab lama sebelum Islam tampil. Sebuah deskripsi tentang dunia abad ke-4 misalnya menyebutkan bahwa kaum Sarasen mendapatkan kebutuhan hidupnya dengan menundukkan dan menjarah orang lain. Terdapat satu kelompok yang merasa perlu mengetahui perihal kaum Sarasen adalah orang Kristen di tengah masyarakat muslim Moor di Spanyol. Merekalah yang disebut kaum Mozarab yaitu orang yang mengidentikkan diri dengan orang Arab dalam banyak hal kecuali agama.Alasannya adalah karena kekristenan mereka terancam.( Fauzy,1999:178).

ISLAMIC STUDIES DALAM PERSPEKTIF OUTSIDER
Sarjana-sarjana Barat tampaknya amat tertarik dengan dinamika umat Muslim di dunia ini. Fenomena ini telah muncul sejak lama ketika sarjana Barat merasa perlu melakukan sikap pertahanan diri atas keyakinan yang diyakininya hingga sekarang mereka memandang perlu melakukan pengkajian Islam berdasarkan bagaimana Islam dipahami oleh umatnya. Pemahaman dan langkah penelitian dengan dasar bagaimana Islam dipahami oleh umatnya ini dikenal dengan pendekatan fenomenologi. Mereka sadar bahwa selama ini banyak sarjana Barat telah melakukan pendekatan yang salah karena mereka menggunakan paradigma dan teori Mereka sendiri dalam mengkaji Islam sehingga pembahasannya menjadi bisa, tidak lagi objektif berdasarkan realitas Islam yang dipahami dan diamalkan oleh umatnya. Marshall G.S. Hodgson mengkritik Clifford Geertz, yang dianggapnya ceroboh dalam mengkaji umat Islam. Hodgson memandang Geertz kurang memahami sejarah umat Islam secara baik sehingga penelitiannya terhadap umat Islam di Indonesia dan Maroko memiliki bias historis. (Jamali Sahrodi, 2008:180).
Disamping sarjana Barat, banyak juga sarjana dari Timur yang mengkaji Islam. Sachiko Murata dan William C. Chittick (2005:viii-ix) dalam bukunya The Vision of Islam melakukan pendekatan dalam memahami Islam dengan mengungkapkan atau berawal dari yang diajarkan Islam itu sendiri. Selanjutnya mereka menulis :
Kata ‘Islam’ kami maknai sebagai teks-teks yang secara universal diakui (hingga saat ini) sebagai titik puncak tradisi. Sebagaimana semua agama besar lain, Islam memiliki karakter yang menonjol, dan dari sinilah kami berusaha memahaminya. Teks-teks tersebut disandarkan kepada al- Qur’an. Dalam pengertian yang sangat dalam Islam adalah al-Qur’an dan al- Qur’an adalah Islam. Tafsir utama al-Qur’an diberikan oleh Muhammad sendiri. Dengan mengikuti metode beliau banyak tokoh agung - guru, wali, filosof, teolog, ahli hokum- menjelaskan dan menafsirkan naturalitas visi asli sesuai kebutuhan zamannya.
Dalam kajian buku ini Murata dan Chittick mencoba mengkaji Islam secara komprehensif. Selain meneliti teks, mereka juga melakukan kajian di luar teks dan menyelidiki sudut pandang yang menjelaskannya. Dalam bukunya mereka membagi kajian Islam ke dalam empat bagian yaitu, bagian satu tentang Islam. Dalam bagian ini Murata dan Chittick membaginya menjadi dua bagian yaitu bab I tentang Lima Pilar dan Bab dua tentang Pengejewantahan Historis Islam. Bab satu berisi tentang : Pilar Pertama: Syahadah,Pilar Kedua : Shalat,Pilar Ketiga : Zakat, Pilar Keempat : Puasa, Pilar Kelima : Haji. Pada Bab dua dibahas tentang Pengejewantahan Historis Islam yang terdiri dari al- Qur’an dan Sunnah, Madzhab, hukum dan politik Islam.
Pada bagian dua dari kajian Islam Murata dan Chittick membahas tentang tawhid, kenabian, membahas tentang Kembali, membahas aliran-aliran intelektual antara lain tentang; Ekpresi Islam pada Masa Awal, Kalam, Sufisme, Filsafat, Dua Pola Pemahaman, Rasionalitas Kalam, Abstraksi Filsafat,dan Visi Sufisme.
Pada bagian ketiga mereka mengkaji Islam dalam hal Ihsan. Bagian ini dibagi dalam dua bab yaitu tentang dasar Ihsan dalam Alquran dan Manifestasi Ihsan historis. Pada bagian keempat dikaji tentang Islam dalam sejarah. Dalam bagian empat ini terdiri dari Sejarah sebagai Interpretasi dan Situasi Kontemporer. (Murata & Chittick,2005:Iiii-Ivii).
Kajian Islam kedua tokoh ini telah memberikan pujian dari beberapa tokoh antara lain Sayyid Hossain Nasr pada George Washington University, beliau mengatakan:
Ini merupakan karya pengantar Islam yang sangat bagus bagi audiens Barat. Pengarang mempresentasikan satu kajian komprehensif, yang berawal dari dalam wilayah kebenaran iman yang diwahyukan, kemudian memperlebar lingkaran sehingga mencakup seluruh visi Islam”.
Paling tidak kajian kedua tokoh dari luar tersebut telah memberikan apresiasi yang besar terhadap Islam dengan menempatkan Islam sebagai ajaran yang memiliki kontribusi signifikan bagi perkembangan kemanusiaan.
Tokoh outsider lainnya yang mengkaji Islam terutama dari aspek esoterik atau sufisme adalah Louis Massignon.Ia menulis salah seorang tokoh sufi besar Islam yaitu al- Hallaj. Dalam bukunya The Passion of al- Hallaj Louis menulis :
Hallaj adalah sosok historis, benar-benar pernah hidup dalam sejarah, yang dihukum mati pada tahun 922 M. Setelah menjalani pengadilan politis, sebuah cause célèbre,yang darinya beberapa fragmen catatan tentang kejahatannya masih dapat diselamatkan, dan dari adanya catatan tersebut menjadi saksi autentisitas historisitas Hallaj.Dia juga dikenal dan dikenang sebagai pahlawan legenda. Sekarang ini di beberapa Negara Islam orang mengingat dan memunculkann sosok Hallaj sebagai seseorang yang memiliki karamah dan keajaiban, kadang sebagai orang yang mabuk cinta kepada Allah bahkan kadang sebagai dukun gadungan. Di Iran, Turki dan Pakistan, dimana banyak karya sastra besar Persia, terdapat sebuah gaya dalam puisi yang dinisbatkan kepada orang suci ini, yaitu ekstase ilahiyah, yang mereka sebut “Mansur Hallaj”. Memang dialah yang dari atas tiang gantungan, mengucapkan teriakan apokaliptik tentang pengadilan di hari pembalasan : Ana ‘l Haqq, Aku lah Sang Kebenaran. (Massignon,2008:xix)
Dalam kajiannya Massignon memulai pembahasannya mengenai ringkasan biografi al-Hallaj. Pada bagaian ini dimulai dengan prolog dan catatan kronologis kehidupan Hallaj dan warisan yang ditinggalkannya. Pada bab dua dalam bukunya dibahas mengenai tahun-tahun magang dan menimba ilmu, termasuk guru dan sahabat-sahabat al- Hallaj.Dalam bab ini dibagi ke dalam tiga sub- bab yaitu mengenai lingkungan asal, lingkungan budaya Basyrah, Anekdot masa belajar. Pada bab tiga dibahas perjalanan dan apostolasi al- Hallaj.Didalamnya dibahas tentang model perjalanan, dua periode ceramah publik di Ahwaz, Daerah lain yang dijelajahi, Ekspresi sosial al-Hallaj, dan haji terakhir Hallaj. Pada bab empat berisi tentang dakwah yang penuh semangat dan tuduhan politis. Terdiri dari pembahasan tentang Baghdad, khutbah publik di Baghdad, Tuduhan politis. Pada bab lima dibahas tentang tuduhan, pengadilan dan para aktor yang terlibat. Dalam bab ini disebutkan tentang tuduhan dan inisiatif ibn Dawud, Definisi Zandaqa, Otoritas kekuasaan dan pendelegasiannya kepada sebuah lembaga pengadilan. Bab enam dibahas mengenai pengadilan, didalamnya berisi catatan kritis sumber-sumber historis pengadilan, kemudian dibahas pengadilan pertama, delapan tahun penantian, pengadilan kedua, dan keputusan pengutukan. Pada bab enam dibahas tentang kesyahidan.(Massignon,2008:v-xi)
Kajian Louis Massignon mendapatkan apresiasi dari tokoh Islam antara lain dari Seyyed Hossein Nasr, beliau berkata:
Karya ini bukan sekedar karya unik tentang seorang sufi besar dan kontroversial, melainkan sebuah kajian tiada banding tentang semanngat keagamaan, kehidupan sosial dan politik, serta keseluruhan peradaban Islam dimana ia hidup dan mati “.
Tokoh lainnya Huston Smith mengatakan dan memberikan komentar tentang karya ini sebagai berikut:
Sebagai salah satu karya akademis terbaik abad-20, buku ini telah menjadi model utama bagi Barat untuk memahami budaya asing. Bukan dengan cara menguasai atau mereduksinya… Massignon terobsesi oleh sosok al- Hallaj sejak usia 25 tahun dan menghabiskan waktu 47 tahun karirnya sebagai islamolog di College France untuk mengkajinya.
Kajian Massignon ini tentunya berharga sebagai salah satu kajian dari orang luas tentang salah satu aspek Islam yaitu sufisme.
Pengkaji kajian esoterik Islam yang berikutnya adalah William C. Chittick.Chittick adalah seorang guru besar bidang studi agama-agama di State University of Knowledge. Ia membuat kajian tentang Ibn al-Arabi dan yang lainnya seperti kajian tentang Jalaluddin Rumi. Ia menulis buku berjudul The Sufi Path of Knowledge : Ibn al- ‘Arabi’s Metaphisyc of Imagination. Dalam buku itu ia menulis :
“Studi (buku) ini merupakan sebuah upaya untuk mengantarkan pembaca masuk ke dalam keluasan ajaran Ibn al- Arabi melalui sebuah bahasa yang dapat dicerna secara umum. Dalam menulis buku ini, saya berusaha menghindari berbagai prakonsepsi berkaitan dengan apa yang hendak dikatakan atau ditawarkan oleh ibn Arabi. Sekalipun demikian tujuan saya adalah menterjemahkan atau mentransfer ajaran-ajarannya secara utuh terutama yang terdapat dalam Futuhat kedalam bahasa yang sesuai dengan keinginannya, bukan keinginan kami. Saya berusaha membuka pintu ‘tempat perbendaharaan’ Ibn al- Arabi dan memungkinkan pembaca untuk ‘masuk’ serta mengetahui apa yang ada didalamnya” (Chittick,2001:27).
Dalam salah satu karyanya yaitu Heurmenetika al- Qur’an ibn al- ‘Arabi menunjukkan bagaimana Ibn al- Arabi sendiri mengakui bahwa magnum opus-nya yaitu Futuhat al Makiyyah adalah uraian yang didiktekan langsung dari Tuhan. Ibnu al- Arabi ketika menafsirkan Alquran jauh melampaui makna harfiyah dari ayat-ayat tersebut.
Karya Chittick tentang Ibn al-Arabi ini paling tidak telah memberikan kenyataan bahwa Islam dalam hal ini pemikiran tasawufnya telah menarik minat para sarjana Barat untuk melakukan kajian tentang Islam. Kajian keislaman dalam perspektif outsider ini juga telah melahirkan beberapa hasil penelitian. Beberapa buku perkenalan umum tentang Islam sebagai agama dan peradaban oleh penulis tunggal menunjukkan pentingnya pendekatan multidisipliner, meskipun pencarian suatu karya yang ideal dalam kapasitas ini masih terus berlangsung dan tujuannya mungkin akan terus bergema. Di antara buku pengantar umum sedemikian, barangkali tulisan Frederick M. Denny, An Introduction to Islam (1985) dan Richard Martin, Islam: A Cultural Perspectif (1982) termasuk yang informatif dan banyak dipergunakan bagi pemula. Buku yang menilik umat Islam dari aspek sosial-historisnya tulisan Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (1988) merupakan buku pengantar yang terbaik sejauh ini dan paling komprehensif termasuk satu bab khusus tentang masyarakat Muslim Asia Tenggara dan Indonesia, suatu aspek penting kajian keislaman yang sering diabaikan oleh penulis-penulis lain. Buku ini juga dilengkapi oleh glosarium yang memberikan kemudahan bagi pembaca dalam memahami isi buku.
Bagian pertama dari buku Lapidus adalah mencermati era pembentukan peradaban Islam sejak masa turun al- Qur’an sampai abad XIII Masehi. Bagian kedua buku Lapidus adalah penekanan pembahasan pada aspek-aspek institusional. Bagian kedua dan ketiga membahas sejarah masyarakat Islam diluar semenanjung Arabia. (Lapidus, 2000:XVI)
Buku lain yang telah menjadi bacaan wajib bagi mahasiswa Islamic Studies dan sejarah (Islam dan Arab) di banyak universitas di Amerika Serikat adalah buku Hourani yang sering dipakai sebagai pengantar sejarah Islam, meskipun terfokus pada bangsa Arab, A History of The Arab Peoples (1991). (Jamali Sahrodi, 2008:181-182)
Tulisan lain dan penelitian tentang literatur keislaman juga pernah ditulis oleh seorang sarjana Jepang Kazuo Shimogaki dari Institute of Modle East Studies International University Jepang. Ia menulis sebuah buku yang berjudul “Beetween Modernity and Postmodernity the Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi’s Thought”. Meskipun tidak langsung diarahkan pada sumber asasi Islam yaitu al- Qur’an tetapi membahas pemikiran seorang pemikir Islam yaitu Hassan Hanafi, tetapi hal ini dapat dipandang sebagai kajian dari outsider terhadap pemikiran Islam.
Dalam penelitiannya, Shimogaki menelaah pemikiran Hanafi dari bagian pertama yaitu tentang Kajian Kritis Kiri Islam. Dalam bab pendahuluan, Shimogaki memaparkan pemikiran Hassan Hanafi dan kebangkitan kiri Islam terdiri dari posisi pemikiran Hassan Hanafi, kemunculan, dan relevansi kiri Islam. Pada bab satu dibahas Kerangka Metodologis Islam dan Postmodernisme. Bab dua membahas Tantangan Barat dan Jawaban Islam, Bab tiga membahas Batas-batas Kiri Islam dan diakhiri dengan kesimpulan (Shimogaki, 2000:ix-x).
Kajian Shimogaki telah melahirkan apresiasi dari kalangan media di Indonesia. Harian kompas (2 Nopember 1993) pernah menulis “…Tesisnya yang menyamakan postmodernisme dengan Tauhid menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Temuan cerdas Shimogaki ini sangat layak untuk dipertimbangkan dalam memperkaya khazanah keilmuan Islam…”.
Di samping itu, karya klasik Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam (1961) merupakan tulisan yang mendobrak pendekatan lama terhadap sejarah dan umat Islam masih terus dipergunakan. Hasil penelitian ini terdiri dari tiga jilid sesuai pembagian sejarah Islam: periode klasik, periode pertengahan, dan zaman modern. Disamping tebalnya buku ini, gaya bahasanya yang khas dan berbelit-belit sering membuat banyak mahasiswa, termasuk orang Amerika sendiri, mengalami kesulitan dalam memahaminya, hingga sering dianggap sebagai bacaan lanjutan bagi yang ingin mendalami subjek keislaman. Adapun bagi mereka yang ingin meneliti lebih lanjut tentang aspek tertentu tentang sejarah Islam dan umatnya, hasil penelitian R. Stephen Humphreys, Islamic History: A Framework for Inquiry (edisi revisi, 1991) merupakan buku panduan dan pegangan yang sangat berguna sekali. (Jamali Sahrodi,2008:182)
Orang Jepang lainnya yang mengkaji dan tertarik kepada Islam adalah Prof. Sachiko Murata. Beliau mengarang sebuah buku yang berjudul The Tao of Islam. Tentang latar belakang kajiannya, Murata menulis:
Buku ini mempunyai sejarah panjang, sama panjangnya dengan perhatian dan minat saya pada Islam. Sebagai seorang mahasiswa yang tengah mempelajari hukum keluarga di universitas Chiba dipinggiran kota Tokyo, saya sangat tertarik dengan apa yang saya dengar tentang hukum keluarga Islam yang membolehkan seorang pria memiliki empat orang istri sambilpada saat yang sama- diharapkan dapat mempertahankan kedamaian dan keharmonisan sekaligus.” (Murata,2000:25)
Murata menjelaskan bahwa tujuan utama penulisan buku The Tao of Islam adalah menyuguhkan tipe pemikiran yang telah berkembang dikalangan otoritasotoritas muslim yang sangat tertarik dengan sifat yang mendasari hubungan polar.Kajian Murata tentunya memberikan kontribusi cukup signifikan dalam memberikan pemahaman tentang Islam terutama dari perspektif outsider.
Helmut Schmidt bekas Kanselir Jerman Barat sangat tertarik oleh perkembangan Islam di Indonesia. Dan dalam suatu kesempatan menanyakan apa perbedaan Islam di Indonesia dengan Islam di Timur Tengah atau Pakistan. Salah satu dari pernyataan dari sekian pernyataan beliau, mendapat jawaban Dr. Muchtar Buchari yang menyatakan bahwa agama Islam di Indonesia mempunyai latar belakang yang lain dengan Islam di Pakistan atau Timur Tengah ini menyebabkan kaum muslimin di Indonesia tidak sama dengan pandangan nereka yang di Pakistan atau Timur Tengah. (Kompas Tanggal 5 Mei 1986).
A.W. Nieiwenhuis berpendapat bahwa Islam di Indonesia agak berbeda dengan Islam di Timur Tengah. Islam di Indonesia banyak mengandung konsep-konsep mistik dan telah benar-benar menyesuaikan diri supaya selaras dengan pola keagamaan rakyat Indonesia. Hal ini kemungkinan besar terjadi karena penyelidikan tentang Islam di Indonesia ini jelaslah bahwa awal mula paham mistik di Indonesia, baik yang ortodoks maupun yang menyimpang, keduanya menarik minat orang Islam di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh berbagai unsur, tetapi sebab utama dari kegemaran terhadap paham sufi ialah pembawaan orang Indonesia sendiri, gemar akan mistik, dan dimana saja kejayaan yang dicapai Islam tidak pernah berarti bahwa ia berhasil mengikis habis ide-ide pra Islam sampai ke akar-akarnya. Orang di Jawa menyatakan da’wah Islam pertama di negeri ini bermula pada kegiatan sejumlah para wali, semuanya pengikut aliran mistik yang amat jelas coraknya. (Sodikin, 2003:176)

ISLAMIC STUDIES DALAM PERSPEKTIF INSIDER
Pengkajian Islam dalam perspektif insider (pengkaji dari kalangan Muslim sendiri) kini mulai menunjukkan kecenderungan yang cukup kritis. Dari segi ajaran, buku Fazlur Rahman, Islam (edisi kedua 1979) yang sudah mengalami banyak cetak ulang, merupakan buku pengantar wajib untuk mata kuliah Islamic Studies di universitas di Eropa dan Amerika. Kajian kritis tentang Islam telah dilakukan oleh Nashr Hamid Abu Zayd dalam bukunya, Naqd al-Khithab al-Din (1994) merupakan buku yang mengkaji tentang wacana agama dengan perspektif wacana Islam kritis. Buku ini menjelaskan bahwa pertentangan dalam wacana agama yang terjadi sekarang ini bukanlah sekedar pertentangan di seputar teks-teks agama ataupun interpretasi terhadapnya, melainkan pertentangan menyeluruh yang meliputi semua aspek kesejarahan, sosial, politik, dan ekonomi; pertentangan yang melibatkan kekuatan-kekuatan takhayul dan mitos atas nama agama dan juga pemahaman secara letterlijk terhadap teks-teks agama. (Jamali Sahrodi, 2008:182-183).
Muhammad Abed Al-Jabiri bukanlah nama yang asing lagi di kalangan intelektual Islam. Ia sering disejajarkan dengan Hassan Hanafi, Nashr Hamid Abu Zayd, Abdullahi Ahmed An-Na’im, Ali Harb, Fatima Mernissi ataupun Muhammad Arkoun. Al-Jabiri telah mengkaji tentang teologi dalam Islam dalam bukunya, al-Kasyfu ‘an Manahij al-Adillat fi Aqa’id al-Millah: Aw Naqd ‘Ilm al-Kalam Dhiddan al-Tarsim al-Ideologi Li al-Aqidah wa Ddifa’an ‘an al-’Ilm wa Hurriyah al-Ikhtiyar fi al-Fikri al-Fi’li (1998). Dalam buku ini, Al-Jabiri ingin menyatakan bahwa tak ada yang absah mengklaim dirinya sebagai teologi Islam yang final, karena segala yang telah lalu, tradisi ataupun dogma, harus dirasionalisasikan kembali dalam konteks kekinian. Itulah satu-satunya jalan menuju kejayaan teologi Islam yang betul-betul rahmatan lil’alamin. (Jamali Sahrodi, 2008:183).
Dalam buku yang lainnya yang berjudul Takwin al- Aql al Arabi yang diterjemahkan menjadi Formasi Nalar Arab Muhammed Abed al- Jabiri. Dalam bab pendahuluan ia menulis :
Buku ini memuat kajian yang sudah barang tentu telah menjadi bahan perbincangan sejak ratusan tahun silam. Sesungguhnya kritik nalar adalah bagian mendasar, bahkan terpenting, dalam setiap proses kebangkitan.Apakah mungkin membangun proyek kebangkitan dari nalar yang tertidur, nalar yang tidak mampu melakukan evaluasi secara komprehensif terhadap mekanisme, konsep dan pemikiran-pemikirannya ?” (al-Jabiri,2003:17).
Dalam bab satu dari bukunya al-Jabiri membahas Pendekatan Awal sebagai pengantar atau Pendahuluan. Bagian kedua Menganalisa Unsur-unsur Pembentukan Budaya Arab dan Pembentukan Nalar Arab itu sendiri. Bagian kedua membahas tentang sistem epistemologis yang menjadi dasar bagi dan saling berbenturan dalam kebudayaan Arab. Adapun tujuan dari penyusuanan buku ini adalah untuk untuk membebaskan diri dari sesuatu yang telah mati atau tetap kokoh dalam dunia nalar dan membuka ruang bagi kehidupan nalar agar perannya tetap terbuka dan kembali tertanam (al-Jabiri,2003:18-21)
Sementara itu dalam bukunya yang lain yaitu al –Turats wa- L’ Hadatsah : Dirasah wa Munaqasyah, Muhammad Abed al- Jabiri mengatakan bahwa :
bagi kalangan peneliti dan sarjana epistemologi yang berminat terhadap persoalan metodologi ilmu pengetahuan bahwa pemilihan metodologi yang tepat ditentukan oleh watak objek kajian itu sendiri. Langkah pertama dalam setiap kajian ilmiah adalah penentuan objek kajian yang disertai pengetahuan akan hakikat dan karakteristik materialnya. Hal ini menjadi sangat penting tatkala berkaitan dengan objek kajian seperti turats (tradisi) khususnya dalam konteks pemikiran Islam Arab modern.” (al-Jabiri,2000:1-2)
Tulisan atau kajian al-Jabiri sangat berhubungan dengan tradisi dan problem metodologi, berhubungan dengan pembacaan kontemporer atas tradisi Islam, karakteristik hubungan bahasa dan pemikiran dalam tradisi Islam, Rasionaisme Islam serta problem Islam dan modernitas.
Buku A. Shihab, Membedah Islam di Barat: Menepis Tudingan Meluruskan Kesalahpahaman (2004) merupakan satu buku yang banyak mendapat pujian dari berbagai kalangan. K.H. Sahal Mahfudz berkata, “selama ini, dunia Barat selalu mengidentikkan Islam dengan terorisme, radikalisme, dan jauh dari humanisme. Hal ini terjadi karena minimnya pemahaman mereka akan Islam dan itu sangat dirasakan oleh Pak Alwi selama berinteraksi dengan para mahasiswa di Amerika. Saya merasa buku ini akan memberikan pencerahan yang dapat mengenalkan Islam secara benar sebagai agama yang rahmatan lil’alamin”. Komentar dari kalangan non-Muslim, misalnya Jakob Oetama, “Banyak konflik meruncing dan dipicu oleh salah persepsi dan kurangnya komunikasi. Hal yang sama pula terjadi dalam cara penghayatan keagamaan yang picik, padahal panggilan kesucian agama antara lain justru mengajak kita untuk mengatasi kepicikan itu, untuk menyelami keagungan Sang Khaliq, yang terpapar dalam ciptaan-Nya. Karena itu, Jakob Oetama menyambut gembira buku Pak Alwi Shihab ini. Inilah contoh, bahwa melalui dialog, kita lebih menjadi dewasa, bahkan dalam perkara yang menyangkut kepercayaan terdalam kita, sehingga kita bisa berkoeksistensi secara damai dengan saling memberi kontribusi positif. (Jamali Sahrodi, 2008:183-184)
Tokoh Muslim Indonesia yang mengadakan kajian tentang Islam adalah M. Amin Abdullah. Ia menulis sebuah buku berjudul Islamic studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif Interkonektif. Buku ini merupakan kumpulan dari tulisan dan perenungannya selama tujuh tahun. Paradigma interkoneksitas memberikan tawaran yang lebih modest (mampu mengukur kemampuan diri sendiri), humality (rendah hati) dan human (manusiawi). Paradigma ‘interkoneksitas’ berasumsi bahwa untuk memahami kompleksitas kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun, tidak dapat berdiri sendiri. (Amin Abdullah, 2006:viii).
Dalam bukunya, Amin Abdullah membahas dalam bagian pertamanya tentang Filsafat Ilmu-Ilmu Keislaman, bagian kedua tentang Epistemologi Ilmu-Ilmu Keislaman, bagian ketiga tentang Pendekatan Hermeneutis Dalam Studi sosial-Budaya dan Fatwa Keagamaan, dan bagian keempat tentang Arah Baru dan Pergeseran Paradigma Metode Studi Keislaman.
Kajian tentang Islam juga dilakukan oleh Hassan Hanafi dalam bukunya Islam and The Modern World; Religion, Ideologi and Development. Dalam tulisan ini Hassan Hanafi mengkaji Islam demikian luas mulai dari aspek teologi sampai teknologi. Dalam buku volume I Hanafi membahas tentang teologi, mistisisme dan etika, alam, ilmu pengetahuan dan teknologi serta filsafat. (Hanafi,2001:ix-xi).
Tulisan Bassam Tibi (et.al.), Islamic Political Ethic: Civil Society, Pluralism, and Ethics, yang diterjemahkan oleh Syafiq Hasyim dkk. Menjadi Etika Politik Islam: Civil Society, Pluralisme, dan Konflik (2005). Buku ini memang ditulis oleh sepuluh ilmuwan. Para pengarang mengkaji etika politik Islam tentang civil society, batas wilayah, pluralism, perang dan damai. Mereka membahas pertanyaan-pertanyaan tentang keragaman, yang mendiskusikan antara lain kebijakan rezim-rezim islamis terhadap wanita dan minoritas agama. Bab-bab tentang perang dan damai membahas isu-isu penting dan hangat seperti etika Islam tentang jihad, yang mengkaji baik kondisi-kondisi yang sah untuk mendeklarasikan perang dan cara perang yang layak. (Jamali Sahrodi,2008:184).
Dalam pembahasan mereka, para penulis buku ini menganalisis karya-karya penulis klasik dan sejumlah reinterpretasi modern. Akan tetapi, di luar analisis pemikir kontemporer dan klasik ini, tulisan-tulisan dalam buku ini juga menggunakan dua sumber dasar etika Islam –Alquran dan Hadits– untuk mendapatkan pencerahan segar tentang bagaimana Islam dan orang-orang memberikan sumbangan pada masyarakat di abad ke-21 ini. (Jamali Sahrodi, 2008:184-185)

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger