Shalat Tarawih dan Shalat Witir

SHALAT TARAWIH

Arti Tarawih
Taraweh ( التراويح ) dalam bahasa Arab adalah kata jamak dari tarwiihah ( ترويحة ), artinya beristirahat atau santai sejenak. Kalimat ini pada mulanya bermakna" duduk” secara umum. Kemudian dikenal sebagai “duduk yang dilakukan setelah melakukan shalat empat rakaat di malam bulan Ramadhan”. Karena pada saat itu, mereka yang shalat beristirahat sebentar dari shalatnya, mengingat panjangnya shalat yang mereka lakukan. Akhirnya istilah tersebut dilekatkan kepada nama shalat itu sendiri.

Shalat Tarawih Zaman Rasulullah S.a.w dan Khulufaur-Rasyidin
Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahuanha, bahwa saat masuk bulan Ramadhan, Rasulullah S.a.w shalat di masjid (Nabawi), lalu diikuti oleh beberapa orang. Kemudian beliau shalat lagi pada hari keduanya, yang mengikutinya semakin banyak. Lalu pada malam ketiga atau keempat para shahabat sudah berkumpul (untuk shalat bersama Rasulullah S.a.w), namun Beliau S.a.w tak kunjung muncul. Di pagi harinya Rasulullah S.a.w bersabda kepada mereka :

رأيت الذي صنعتم , فلم يمنعني من الخروج اليكم إلا أني خشيت أن تفرض عليكم
“Saya melihat apa yang kalian lakukan (tadi malam). Tidak ada yang mencegah saya keluar (untuk shalat) bersama kalian, hanya saja saya khawatir (shalat taraweh tersebut) diwajibkan kepada kalian.” (Muttafaq alaih)

Kesimpulannya, pada awalnya shalat taraweh zaman Rasulullah S.a.w dilaksanakan secara berjamaah. Kemudian tidak dilakukan secara berjamaah, karena Rasulullah S.a.w khawatir, jika shalat tersebut dilaksanakan secara berjamaah terus menerus, akan turun ayat yang mewajibkannya kepada kaum muslimin, sehingga mereka tidak mampu melakukannya.

Begitulah seterusnya hal tersebut berlanjut; shalat taraweh dilakukan sendiri atau berkelompok hingga Rasulullah S.a.w wafat, dan seterusnya juga berlangsung di masa khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Baru kemudian pada zaman khalifah Umar bin Khattab r.a, pelaksanaannya dikembalikan seperti semula, yaitu dengan berjamaah. Abdurrahman bin Abdun Al-Qary meriwayatkan :

“Aku keluar bersama Umar bin Khattab r.a di (malam) bulan Ramadhan menuju mesjid. Di sana orang-orang melakukan shalat terpisah-pisah; Ada yang shalat seorang diri, ada yang shalat mengimami beberapa orang. Menyaksikan hal tersebut Umar berkata: “Saya berpendapat, akan lebih baik jika mereka dikumpulkan dengan satu imam,” Maka beliau segera wujudkan keinginannya dengan memerintahkan Ubai bin Ka’ab untuk menjadi imam bagi orang yang shalat Taraweh… Kemudian di malam berikutnya saya keluar (menuju mesjid) dan menyaksikan orang-orang yang shalat (taraweh) dipimpin oleh seorang imam. Maka saat itu Umar r.a:

نعم البدعة هذه
“Inilah sebaik-baik bid‟ah.” (HR. Bukhari)

Maka sejak zaman itu hingga kini, pelaksanaan shalat taraweh dilakukan secara berjamaah di masjid-masjid dan telah menjadi sunnah yang diterima dan dilaksanakan kaum muslimin di seluruh dunia.

Catatan:
Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud “bid’ah” dalam perkataan Umar di sini adalah pengertian bid’ah secara bahasa. Artinya “sesuatu yang baru”, karena shalat taraweh berjamaah secara terus menerus baru dilakukan pada zaman Umar bin Khattab r.a, di mana sebelumnya hanya dilakukan oleh Rasulullah S.a.w beberapa kali saja.

Adapun bid’ah dalam pengertian istilah yang maksudnya “Mengada-adakan ibadah yang tidak diajarkan dalam Islam”, tidaklah termasuk apa yang dilakukan oleh Umar bin Khattab ini. Karena sebenarnya perkara tersebut telah dilakukan oleh Rasulullah S.a.w sehingga tetap memiliki landasan syar’i, disamping kekhawatiran shalat Taraweh akan diwajibkan terhadap umat Islam yang menyebabkan Rasulullah S.a.w menghentikannya secara berjamaah sudah tidak ada lagi, karena terputusnya wahyu setelah Rasulullah meninggal.

Hukum Dan Keutamaannya
Shalat taraweh sangat dianjurkan (sunnah mu’akkadah). Pelaksanannya pada malam selama bulan Ramadhan, sesudah shalat Isya.

Shalat Taraweh juga digolongkan sebagai shalat malam (qiyamullail), karena itu Keutamaan shalat taraweh dapat dinilai dari keutamaan shalat malam yang banyak disebutkan dalam ayat-ayat dan hadits-hadits Rasulullah S.a.w. Di antaranya firman Allah Ta’ala:

كانوا قليلا من اليل ما يهجعون - وبالاسحار هم يستغفرون
“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (QS. Adz-Dzariat : 17-18)

Rasulullah S.a.w bersabda:

أفضل الصلاة بعد الفريضة صلاة الليل
“Shalat yang paling utama setelah shalat fardu adalah shalat malam.” (HR. Muslim)

Maka, jika shalat malam secara umum memiliki keutamaan yang besar, apalagi jika shalat tersebut dilakukan pada bulan Ramadhan; bulan yang paling utama dari bulan-bulan yang ada.

Hal tersebut semakin dikuatkan dengan kenyataan bahwa bulan Ramadhan bukan hanya dikenal sebagai syahr ash-shiyam (bulan puasa), tetapi juga dikenal sebagai syahrulqiyam (bulan ibadah shalat). Maka hadits Rasulullah S.a.w yang menerangkan tentang keutamaan puasa di bulan Ramadhan sepadan dengan keutamaan shalat malam di bulan tersebut. Rasulullah S.a.w bersabda:

من صام رمضان ايمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
“Siapa yang puasa (di bulan) Ramadhan dengan iman dan penuh harap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu” (Muttafaq alaih)

Beliau S.a.w juga bersabda:
“Siapa yang beribadah (shalat) (di bulan) Ramadhan dengan iman dan penuh harap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq alaih)

Berapa Jumlah Rakaat Shalat Taraweh?
Sering terjadi pertentangan tentang jumlah rakaat shalat taraweh. Tidak jarang hal tersebut berakibat pada perpecahan di tengah masyarakat muslim.

Sesuatu yang sangat ironis. Mengingat shalat taraweh hukumnya sunah, sedangkan ukhuwah dan persatuan di kalangan kaum muslimin tidak diragukan lagi kewajibannya. Namun sayang, demi membela yang sunnah (tanpa diringi pemahaman yang benar), yang wajib justru diabaikan .

Hal tersebut terjadi karena permasalahan ini sering dilihat dari sudut pandang golongan. Dikatakan bahwa yang shalat dua puluh rakaat adalah cara orang NU, sedang yang sebelas rakaat adalah cara orang Muhamadiyah, tanpa meneliti dalil yang ada serta petunjuk pemahaman yang benar dan menyeluruh serta perkataan para ulama tentang hal tersebut. Padahal para salafusshaleh melihat perkara ini sebagai perkara yang muwassa’ (luas dan luwes). Bukan pada tempatnya menjadikan hal ini sebagai ajang untuk membid’ahkan atau menyatakan seseorang bukan golongannya.

Karena shalat taraweh juga digolongkan sebagai shalat malam (qiyamullail), maka hukum yang terkait dengannya juga mengikuti hukum yang berlaku pada shalat malam, termasuk masalah jumlah bilangan rakaatnya.

Jumlah asal dari pelaksanaan shalat malam adalah dua rakaat-dua rakaat secara mutlak, tanpa ada pembatasan jumlah maksimal dari rakaat yang boleh dikerjakan. Sebagaimana hadits Rasulullah S.a.w:

صلاة الليل مثنى مثنى , فإذا خشي احدكم الصبح صلى ركعة واحدة توتر له ما قد صلى
“Shalat malam, dua (rakaat) dua (rakaat), jika salah seorang di antara kalian khawatir (datang) waktu shubuh, maka hendaklah dia shalat (witir) satu rakaat, mengganjilkan shalat yang telah dilakukan.” (Muttafaq alaih)

Hadits ini Rasulullah S.a.w sampaikan ketika menjawab pertanyaan seorang badui tentang pelaksanaan shalat malam. Maka dari jawaban tersebut ada dua hal yang dapat disimpulkan:
  1. Shalat malam hendaklah dilakukan dua rakaat-dua rakaat. Maksudnya adalah setiap dua rakaat melakukan salam.
  2. Shalat malam tidak ada batasan maksimalnya. Karena kalaulah hal tersebut ditentukan, mestinya Rasulullah S.a.w sampaikan masalahnya, mengingat pertanyaan orang badui bersifat umum tentang shalat malam, baik tata caranya maupun jumlah rakaatnya.
Adapun hadits Aisyah radhiallahuanha yang sering dijadikan landasan sebagai batas maksimal dari pelaksanaan shalat malam terdapat dalam riwayat Bukhari dan Muslim, Aisyah radiallahuanha berkata:

ما كان رسول الله ص.م. يزيد فى رمضان ولا فى غيره على إحدى عشرة ركعة . يصلى اربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن . ثم يصلى أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن , ثم يصلى ثلاثا
“Rasulullah S.a.w tidak menambah (rakaat shalat) di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat, beliau shalat empat rakaat, jangan tanya bagusnya dan panjangnya, kemudian beliau shalat lagi empat rakaat, jangan tanya tentang bagusnya dan panjangnya, kemudian beliau shalat tiga rakaat.” (Muttafaq alaih)



Dalam hadits ini, dengan gamblang Aisyah radhiallahuanha menjelaskan tentang jumlah rakaat shalat malam yang dilakukan Rasulullah S.a.w, baik di bulan Ramadhan ataupun di luar bulan Ramadhan, yaitu: 11 rakaat. Namun yang patut diperhatikan adalah: Bahwa hadits Aisyah radhiallahuanha di atas, tidak berarti menunjukkan bahwa shalat malam (shalat taraweh) maksimal sebelas rakaat, sehingga jika lebih dari itu dianggap menyalahi sunnah Rasul. Karena dalam riwayat tersebut, Aisyah sekedar menyampaikan bahwa demikianlah shalat malam yang Rasulullah S.a.w lakukan, sehingga para ulama berkesimpulan bahwa apa yang disampaikan Aisyah radhiallahuanha adalah merupakan kebiasaan Rasulullah S.a.w dalam bilangan rakaat shalat malam dan tidak ada petunjuk bahwa beliau melarang pelaksanaan shalat malam lebih dari itu.

Yang menguatkan pendapat tersebut adalah adanya riwayat lain yang shahih yang menunjukkan bahwa Rasulullah S.a.w melakukan shalat malam tiga belas rakaat, atau sepuluh rakaat. Bahkan Aisyah radhialluanha termasuk yang meriwayatkan Dari Aisyah radhiallahuanha, dia berkata:

“Adalah Rasulullah S.a.w shalat pada malam hari sepuluh rakaat, beliau melakukan salam pada setiap kali dua rakaat, kemudian melakukan shalat witir satu rakaat.” (HR. Abu Daud)

Dari Ibnu Abbas r.a, dia berkata:
“Adalah shalat Rasulullah S.a.w (berjumlah) tiga belas rakaat; maksudnya adalah (shalat di waktu) malam” (HR. Bukhari)

Kesimpulannya, yang utama shalat Taraweh dilakukan 11 rakaat, berdasarkan hadits Aisyah radhiallahuanha, namun jika ada yang shalat dua puluh rakaat ditambah tiga witir, maka hal tersebut tidaklah mengapa.

Bagi ma’mum, yang perlu diketahui adalah hendaklah dia melakukan shalat taraweh bersama imam hingga selesai (apakah imam melakukannya 11 atau 20 rakaat), berdasarkan hadits:

إن الرجل إذا قام مع الإمام حتى ينصرف كتب له قيام ليلة
“Seseorang, jika dia shalat bersama imam hingga selesai, maka dicatat baginya (pahala) qiyamullail.” ((HR. Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i)

Disamping hal tersebut lebih dekat kepada kesatuan dan persatuan.

Beberapa Hukum Terkait Dengan Shalat Taraweh
  • Hendaknya shalat Taraweh dilakukan dengan tenang dan khusyu’. Memperhatikan thuma’ninah, syarat dan rukunnya, serta tidak tergesa-gesa. Semakin lama shalatnya, maka semakin baik nilainya. Karena sesungguhnya nilai shalat ini terletak pada lamanya dia dilakukan. Karena itu pada zaman Rasulullah S.a.w mereka beristirahat di pertengahannya untuk menghilangkan letih. Namun penting juga dalam hal ini memperhatikan kondisi orang yang tua renta atau mereka yang lemah.
  • Betapapun besarnya kedudukan shalat Taraweh, tetap saja shalat Fardhu lebih utama kedudukannya. Karena itu, sebesar apapun perhatian seseorang untuk shalat Taraweh, tidak boleh mengalahkan perhatian dia dalam melaksanakan shalat Fardhu.
  • Tidak ada surat-surat khusus yang dibaca setelah membaca surat al-Fatihah. Bahkan para ulama menganjurkan agar imam membaca seluruh Al-Quran sejak awal hingga akhir Ramadhan, agar ma’mum mendengarkan semua isi al-Quran. Namun tidak mengapa jika dia membaca semampunya.
  • Terkait point di atas, dibolehkan bagi imam, jika dia tidak hafal Al-Quran, memegang mushaf saat shalat. Namun bagi ma’mum selayaknya hal tersebut tidak dilakukan.
  • Tidak ada dalil yang menunjukkan zikir atau shalawat khusus yang dilakukan di sela-sela shalat Taraweh atau sesudah-nya yang dibaca bersama-sama. Cukuplah masing-masing jamaah berzikir seorang diri, atau membaca al-Quran atau membaca shalawat, atau berdoa tanpa batasan-batasan tertentu. Atau, jika tidak membaca sesuatupun, tidak mengapa.
  • Jika seseorang datang ke mesjid, sedangkan pelaksanaan shalat Taraweh telah dimulai dan dia belum melaksanakan shalat Isya. Maka dia harus melakukan shalat Isya terlebih dahulu sebelum shalat Taraweh. Adapun pelaksanaannya, dia dapat bergabung dengan jama’ah shalat Taraweh dengan niat shalat Isya, kemudian jika imam melakukan salam, dia melanjutkan sisa raka’atnya.
  • Jika seseorang terhalang melakukan shalat Taraweh secara berjamaah, maka hal tersebut tidak menghalanginya untuk shalat taraweh seorang diri di tempatnya.

SHALAT WITIR

Arti dan Kedudukannya
Witir ( تولا ) berarti ganjil. Maka shalat ini dinamakan Witir karena jumlah rakaatnya bersifat ganjil. Shalat witir bukan shalat yang khusus dilaksanakan pada bulan Ramadan saja, tetapi dia adalah shalat sunnah yang sangat dianjurkan (Sunah Mu’akkadah) untuk dilakukan seorang muslim setiap malam.

Rasulullah S.a.w bersabda,

الوتر حق على كل مسلم . فمن أحب أن يوتر بثلاث فليفعل , فمن أحب أن يوتر بواحدة فليفعل
“Witir merupakan tuntutan terhadap setiap muslim. Siapa yang ingin melakukan witir sebanyak tiga rakaat, maka lakukanlah, dan siapa yang ingin melaksanakan witir satu rakaat, maka lakukanlah.” (HR. Abu Daud, an-Nasa’i dan Ibnu Majah)

Waktu Pelaksanaanya
Waktunya dilakukan setelah shalat Isya hingga masuk waktu Subuh.

Rasulullah S.a.w bersabda:

إن الله أمدكم بصلاة هي خير لكم من حمر النعم . الوتر جعله الله لكم فيما بين صلاة العشاء إلى أن يطلع الفجر
“Sesungguhnya Allah telah menambahkan untuk kalian sebuah shalat yang lebih baik bagi kalian dari onta merah. Yaitu Witir, hendaklah kalian melakukannya sejak selesai shalat Isya hingga terbit Fajar.” (HR. Ahmad)

Shalat Witir hendaknya dijadikan sebagai penutup shalat di malam hari. Berdasarkan sabda Rasulullah S.a.w:

إجعلوا أخر صلاتكم بالليل وترا
“Akhirilah shalat kalian di waktu malam dengan Witir.” (Muttafaq alaih)

Jika seseorang tidak yakin dapat bangun malam sebelum Subuh, maka sebaiknya dia melakukan Witir sebelum tidur. Adapun jika dia yakin dapat bangun malam sebelum Subuh, maka sebaiknya dia witir di akhir malam dan menutup shalat malamnya dengan witir.

Sebagaimana sabda Rasulullah S.a.w,
"Siapa yang khawatir tidak dapat bangun malam, hendaknya dia shalat Witir pada awalnya. Siapa yang semangat untuk bangun di akhir malam, maka dia shalat Witir di akhirnya." (HR. Muslim)

Namun jika dia sudah melakukan Witir sebelum tidur, kemudian dia dapat bangun lagi sebelum Subuh, dia tetap boleh melakukan shalat malam, sedangkan witirnya cukup dengan yang sudah dilakukan sebelum tidur. Tidak boleh baginya melakukan shalat witir lagi, karena Rasululah S.a.w bersabda:

لا وتران فى ليلة
“Tidak ada dua Witir dalam satu malam” (HR. Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i)

Jumlah Rakaat dan Sunahnya
  • Jumlah rakaatnya minimal satu rakaat, selebihnya dapat dilakukan tiga rakaat hingga tiga belas rakaat. Yang penting bilangannya ganjil. Jika dilakukan tiga rakaat, ada dua cara yang dapat dilakukan;
    • Dilakukan tiga rakaat langsung, lalu duduk tahiyat pada rakaat terakhir dan salam.
    • Dilakukan dua rakaat terlebih dahulu, lalu tahiyat pada rakaat kedua kemudian salam. Kemudian lakukan shalat satu rakaat lagi, lalu tahiyat, kemudian salam.
    Jika menjadi imam, hendaknya memperhatikan kebiasaan jamaah dalam melakukan shalat Witir agar tidak terjadi kebingungan, atau memberitahunya sebelum shalat. Tidak melakukan shalat Witir seperti shalat Maghrib (melakukannya sebanyak tiga rakaat dengan tasyahud awal). Sebab ada riwayat yang melarang untuk menyamakan shalat Witir dengan shalat Maghrib.
  • Disunnahkan -setelah membaca surat al-Fatihah- pada rakaat pertama membaca surat Al-A’la. Sedangkan pada rakaat kedua, membaca surat al-Kafirun dan pada rakaat ketiga membaca surat al-Ikhlas.
  • Setelah shalat witir disunnahkan membaca bacaan berikut sebanyak tiga kali, dan memanjangkan bacaan ketiganya:
    سبحان الملك القدس
    “Maha Suci (Allah) Raja Yang Maha Suci” (HR. Abu Daudi dan Nasa'i)
  • Disunnahkan melakukan qunut pada rakaat terakhir dalam shalat Witir, baik sebelum ruku ataupun sesudah ruku. Qunut ini disunahkan dalam shalat Witir, baik di bulan Ramadan atau di luar bulan Ramadan.

Sebagian ulama menyatakan bahwa qunut dilakukan dalam rakaat terakhir shalat Witir sejak pertengahan akhir di bulan Ramadan.

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger