Pengasuhan anak Menurut Imam Al Ghazali

A. Biografi Singkat Imam al-Ghazali
Al-Ghazali adalah seorang ulama besar sekaligus seorang tokoh pendidikan. Praktek-praktek pendidikan maupun konsep pemikirannya pada saat ini banyak dimanfaatkan oleh para paedagog yang menurut Zainuddin Dkk para paedagog kadang-kadang berani mengakui bahwa itu hasil pemikirannya, padahal itu mutlak pemikiran imam Ghazali sehingga dapat dikatakan itu merupakan ketidakjujuran.[1]

Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibnu Muhammad Al Thusi A-Ghazali.[2] Itulah nama asli dari Imam Ghazali, menurut analisa Osman Bakar al Ghazali adalah seorang Fuqaha (ahli Fuqih) terkemuka, teolog dan sufi.[3] dilahirkan pada 450/1058 di Thus, kini dekat Masyhad di Khurasan, yang sebelum masa hidupnya telah menghasilkan banyak sufi terkenal sehingga Hujwiry (w.464/1071) menyebutnya tanah di mana “bayangan kemurahan Tuhan mengayomi”.[4] Kota Thus sendiri adalah tempat kelahiran banyak pribadi menonjol dan intelektual dalam Islam, termasuk penyair Firdausy (w. 416/1025) dan negarawan Nizam Al Mulk (w. 495/1092).

Al-Ghazali memulai pendidikannya di wilayah kelahiran Thus dengan mempelajari dasar-dasar pengetahuan, selanjutnya ia pergi ke Naisafur, dan Khurasan yang pada waktu itu kedua kota kota tersebut dikenal sebagai pusat Ilmu pengetahuan terpenting di dunia. Di kota naisyafur inilah Al-Ghazali berguru pada Imam Al Haramaini abi al ma’ad al Juwainy, seorang olama yang bermazhab syafi’I, di saat itu dia merupakan guru besar di Naisyafur.

Beberapa bidang study yang dipelajarinya di kota tersebut adalah Teologi, filsafat, logika, sufisme dan ilmu-ilmu alam. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya inilah yang kemudian mempengaruhi prinsipnya secara ilmiah di kemudian hari. Semua itu dapat dicuplik melalui beberapa karya tulisnya yang dibuat dalam beberapa disiplin ilmu, dalam ilmu kalam, Al-Ghazali menulis buku dengan judul Gayab al Maram fi ilmil al Kalam (tujuan Mulia dari Ilmu Kalam), disusul dengan karya tulisnya di bidang Tasauf dengan sebuah buku berjudul Ihya’ Ulumuddin (Menghidupkan Kembali Ilmu Agama), begitu juga dalam ilmu hukum ia menulis buku dengan judul Al Mustasyfa (Yang Menyembuhkan), dan dalam bidang filsafat kita tidak lupa dua karya terpentingnya yaitu Maqasid al Falasifah (Tujuan Filsafat), serta Tahafut al falasifah (Kekacauan dari Filsafat).

Jelas semua ini tidak mengherankan, jika Al-Ghazali dijuluki beberapa gelar dari kejeniusannya menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti gelar Hujjatul Islam (Pembela Islam), juga dijuluki dengan Syaikhus Sufiyyin ( Guru Besas Sufi), dan Imam al Murabbin (pakar Ilmu pendidikan).

Sejarah filsafat Islam mencatat bahwa seorang sosok Al-Ghazali ini awalnya dikenal sebagai orang yang ragu terhadap bidang ilmu, baik ilmu yang dipelajari melalui pengalaman maupun ilmu yang diperoleh melalui gurunya di bidang ilmu masing-masing. Terutama ilmu kalam yang dipelajarinya dari al Juwainy, sebab ilmu kalam mempunyai banyak aliran yang membuatnya bingung.

Demikian juga dalam filsafat, menurut dia argument-argumen yang ada dalam filsafat waktu itu banyak yang bertentangan dengan Islam, sehingga ia berinisiatif untuk menyanggah itu semua dengan menulis buku Maqasid al Falasifah, dengan tujuan untuk mengkeritik dan menghantam filsafat, begitu juga buku Tahafut al Falasifah juga mengkritik filsafat.

Secara langsung Al-Ghazali menentang ilmu yang dihasilkan oleh panca indra, begitu juga pengetahuan yang dihasilkan oleh akal pikiran, menurutnya panca indra tidak dapat dipercaya karena mengadung kedustaan, ia misalnya mengatakan bayangan rumah kelihatan tidak bergerak, padahal ia berpindah, demikian juga dengan bintang yang kelihatannya kecil, padahal ukurannya lebih besar dari bumi.

Pada akhir perjalanan intelektualnya, Al-Ghazali mengambil Tasauf sebagai sandaran dan prinsip hidupnya, memperoleh keyakinan yang dicarinya, dengan cahaya ketuhanan dia memperoleh petunjuk.

B. Pola Pengasuhan Anak menurut Al-Ghazali
1. Kecendrungan Al-Ghazali dalam Pendidikan
Dalam memaparkan konsepnya tentang pendidikan Al-Ghazali cenderung kepada konsep empirisme, artinya perkembangan anak ditentukan oleh kebiasaannya, apabila dibiasakan dengan hal-hal yang baik maka ia akan berkembang menjadi anak yang baik. Sebaliknya apabila ia dibiasakan dengan hal yang buruk akan menjadi anak yang gemar melakukan pekerjaan yang buruk pula.

Abuddin Nata, mengutip pendapat H.M Arifin tentang faham Al-Ghazali dalam pendidikan, ia mengatakan bahwa ia cendrung bila di pandang dari segi filofis, Al-Ghazali adalah penganut faham idealisme, yang konsekuen terhadap agama sebagai dasar pandangannya, dalam masalah pendidikan Al-Ghazali lebih cenderung kepada empirisme.[5]

Menurut Ghazali seorang anak tergantung pada orang tua dan anak yang mendidiknya. Hati seorang anak itu bersih, murni, lakasana permata yang amat berharga, sederhan dan bersih dari gambaran apapun.

Sesuai dengan salah satu hadits rasulullah tentang gambaran anak yang baru lahir, Al-Ghazali mengatakan jika anak menerima kebiasaan hidup yang baik maka anak itu menjadi baik, sebaliknya jika anak itu dibiasakan dengan prilaku yang buruk, ia akan berkembang menjadi anak yang berpri laku buruk. Pentingnnya pendidikan itu didasarkan pada hidup Al-Ghazali sendiri yaitu sebagai seorang yang tumbuh menjadi ulama yang besar yang mengausai ilmu pengetahuan, hal ini disebabkan Karena pendidikan.

2. Tujuan Pendidikan menurut Al-Ghazali
Setelah mngetahui kecendrungan Al-Ghazali dalam memaparkan konsep pendidikannya, kita lihat lagi bagaimana tujuan pendidikan menurut dia, sebab antara pendapat satu tokoh dengan tokoh yang lain tidak mungkin sama walaupun pada dasarnaya mempunyai sasaran yang hampir sama.

Dalam tujuan pendidikan Al-Ghazali merumuskan sebagaimana yang dikatakan oleh Mulyadi Kartanegara tujuan utama pendidikannya adalah untuk mejamin masa depan anak di akherat.[6]

Tujuan yang beliau ungkapkan sesuai dengan tuntutan ayat 6 surat al Tahrim :


Artinya: Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya manusia dan batu-batuan….

Pendidikan semata diharapkan pada penegtahuan dunia namun lebih utama lagi untu k tujuan akhir ke akherat kelak, jadi sebab dunia ini adalah tempat menunggu seperti kita memarkir kereta sekejap saja, namun tujuan kita setelah itu pergi ketempat yang dituju.

Tidak jauh dengan tujuan pendidikan yang diungkapkan oleh Abuddin Nata, setidaknya ada dua tujuan yang dia rumuskan dari konsep pendidikan Al-Ghazali, ia mengatakan:

Dari hasil study tentang pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang hendak dicapai dari kegiatan pendidikan ada dua : pertama: tercapainya kesumpurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah, dan kedua : kesumpurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akherat.[7]

Memang tidak jauh dengan analisa pemikiran Al-Ghazali yang dipaparkan oleh Mhulyadi Karta Negara di mana ia juga berpendapat sama tentang tujuan pendidikan Al-Ghazali. Perbedaan yang terlihat hanya pada redaksi dan penjabaran namun sasarannya sama.

Jadi bila kita perhatikan dari beberapa analisa di atas maka tujuan pendidikan Al-Ghazali adalah taqarrub kepada Allah, bagaimana supaya kita bias menjadi hamba yang saleh, tentunya saleh di sini dengan pengertian luas, sebab asumsi kebanyakan orang saleh diukur dengan tingkat kekhusukannya dalam shalat, atau kesopanannya berbicara, kerajinannya bersedekah, namun secara substansialnya saleh yang dimaksudkan adalah kejeniusan seseorang dalam suatu bidang ilmu namun disertai dengan nilai-nilai religius yang tinggi. Sehingga ia memahami dirinya dari pengetahuan yang dimilikinya.

Tolak ukur yang dijadikan Al-Ghazali sebagai standarnya adalah al Qur’an, mungkin inilah yang membuat jalur pemikirannya agak berbeda dengan ahli filsafat Islam mengenai tujuan pendidikan, ia menekankan tujuan pendidikan mengarah pada tujuan keagamaan yaitu akhlak, moral dan tingkah laku yang tidak pernah menyimpang dari konsep al Qur’an.

H.M Arifn juga mengatakan bahwa beliau menekankan tugas pendidikan pada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak di mana Fadhilah (keutamaan) dan taqarrub kepada Allah merupakan tujuan yang paling penting dalam pendidikan.[8]

Menurut analisa penulis mengapa Al-Ghazali begitu menekankan tujuan pada kehidupan akherat?, dapat kita tegaskan bahwa di mana pemikirannya selain didominasi oleh filsafat tetapi juga didominasi oleh pemikiran sufistiknya, dan kita tau pada akhir hayatnya pun beliau dikenal dengan tokoh salah satu tokoh sufi, kita juga tau bagaimana sufi; yang menekankan pada kehidupan akheratnya ketimbang dunianya, walaupun demikian dia punya keseimbangan terhadap filsapat dan sufi, sehingga pemikirannya begitu luas tapi tetap didasari oleh nilai sufistik.

Tidak diragukan alagi konsepnya ini sesuai dengan berita pesan dalam al Qur’an dalam surat al Qashash ayat 77 :


Artinya: carilah karunia Allah untuk akheratmu dan jangan lupa kehidupan duniamu, dan jangan berbuat kerusakan di muka bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.

Tujuan pendidikan Al-Ghazali dapat kita katakan seimbang antara tujuan yang ingin hendak dicapai di dunia dan juga di akherat. Dalam hidup di dunia kita wajib menuntut ilmu namun harus diingat ilmu itu harus kita manfaatkan sebagai jalan untuk menuju akherat, sebab itulah kehidupan yang abadi.


3. Beberapa Aspek Pendidikan anak
salah satu kelebihan dan keistimewaan al-Ghazali adalah penelitian.pembahasan dan pemikirannya sangat luas dan mendalam sehingga beliau memandang suatu masalah dari berbagai aspek sudut pandangan.[9]

Terkait dengan pernyataan Zainuddin ini, memang Al-Ghazali mementingkan beberapa aspek dalam pendidikan, setidaknya ada enam aspek yang dia kedepankan dalan pendidikan anak, yaitu:

  • Aspek pendidikan keimanan
Aspek ini mengajarkan tentang nilai-nilai keimanan yang menurut Al-Ghazali yaitu iman itu adalah diucapkan dengan lisan, mengakui kebenarannya dengan hati dan mengamalkannya dengan anggota.

Jelasnya bahwa pengertian iman di sini meliputi tiga aspek, pertama ucapan lidah atau mulut, sebab lidah juru bicara dari hati, akan tetapi bayi yang baru lahir mengakui iman dengan jiwa bukan dengan lidah.

Kedua, pembenaran iman dengan I’tiqad, keteguhan hati, sedangkan yang ketiga, amal perbuatan yang dihitung dari sebagian iman, karena ia melangkapi dan menyumpurnakan iman.

  • aspek pendidikan akhlak
Akhlak merupakan target utama Al-Ghazali dalam menegakkan nilai-nilai pendidikan, tampa akhlak semua ilmu yang diperoleh seseorang akan menjerumuskannya sendiri, kepandaian seseorang akan dipergunakan untuk hal-hal nafsiyah bukan untuk sesuatu yang ditujukan untuk kepentingan bersama.

Menurut Al-Ghazali akhlak adalah ‘alkhuluq jamaknya akhlaq ialah ibarat (sifat atau keadaan ) dari prilaku yang konstan dan meresap dalam jiwa, dari padanya tumbuh perbuatan yang wajar dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
  • Aspek pendidikan akliyah
sebagaimana yang dikutip Zainudin Dkk, Akliyah yang dimaksud Al-Ghazali yang mengatakan bahwa :

akal adalah ilmu pengetahuan, tempat terbit dan sendi-sendinya, dalam ilmu pengetahuan itu berlaku dari akal, sebagaimana berlakunya buah-buahan dari pohon, sinar dari matahari dan penglihatan dari mata”.[10]

bahwa akal adalah sumber ilmu pengetahuan, teknologi dan kebudayaan dengan akal dapat dipergunakan untuk menemukan dan menciptakan alat-alat yang berguna baginya untuk menghadapi permasalahan hidup, sebab manusia memerlukan banyak materi untuk kebutuhan hidupnya, maka dengan pengembangan akallah semua itu diperoleh.

Al-Ghazali menjelaskan empat pengertiaan akal dengan pengertian yang bertingkat :
  1. akal adalah suatu sifat yang membedakan kita dari binatang.
  2. hakikat akal adalah suatu penegtahuan yang tumbuh pada anak usia tamyiz.
  3. hakikat akal adalah ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman dengan berlangsungnya berbagai keadaan.
  4. hakikat akal adalah puncak kekuatan gharizah ( Insting) atau semangatuntuk mengetahu akibat dari segala persoalandan mencegah hawa nafsu, yang mengajak pada kesenangan seketika dan dan mengendalikan syahwad tersebut.[11]
  • Aspek pendidikan sosial
Secara sosiologis manusia adalah mahluk social, zoon politikon, homo socios; ia tidak dapat hidup seorang diri, terpisah dari orang banyak. Meskipun ia secara materi dapat memenuhi kebutuhannya, namun pada saat tertentu ia pasti memerlukan bantuan orang lain, walaupun bukan dari segi materi, minimal ketika ia ditimpa musibah, tetanggalah yang lebih dulu memberikan bantuan bukan saudaranya yang berdomosili jauh darinya.

Sebagaimana yang dikutip Zainudin bahwa dalam Ihya’Ulumuddin Al-Ghazali mengatakan bahwa :

akan tetapi manusia diciptakan Allah untuk hidup bersama,karena tidak dapat mengusahakan sendiriseluruh keperluan hidupnya baik untuk memperoleh roti dan nasi, memperoleh tempat tinggal dan pakaian serta menyiapkan alat-alat untuk itu semua,. Dengan demikian manusia memerlukan pergaulan dan saling membantu."[12]

Nilai ini benar-benar harus ditanamkan kepada anak sejak kecil,kita harus memberi pengertian betapa pentingnya bergaul sesama, sebagaimana yang dikemukakan Al-Ghazali kita tak dapat memenuhi segala kebutuhan kita walaupun secara materi kita jauh di atas mereka, namun kita tidak mampu mengadakan semua bahan kebutuhan yang kita perlukan, baik alat untuk buat rumah, atau makanan, ikan dan sebagainya.
  • Aspek pendidikan jasmaniah
Aspek pendidikan jasmani ini meliputi beberapa bagian yaitu:
  1. kesehatan dan kebersihan, yaitu memelihara kesehatan anak dengan betul-betul memperhatikan kondisi perkembangan fisiknya, tidak membiarkannya apabila kondisi badannya kurang sehat. Perhatian ini sangat penting bagi orang tua, sebab kalau ia tidak sehat maka perkembangan akalnyapun akan terhambat, begitu juga dengan kebersihannya juga perlu diperhatikan dengan baik.
  2. Membiasakan makan sesuatu yang baik,sekedar mencukupi kebutuhan badan dan meguatkannya. Makanan yang tidak baik, itu akan mengalir dalam darah dagingnya, dan boleh jadi ia akan berkembang menjadi anak yang berkelakuan kurang baik atau bahkan tidak baik.
  3. Bermain dan berolah raga, yaitu dengan melatih fungsi-fungsi jasmaniah, yaitu bertambahnya kekuatan otot, tulang, urat daging, dan lainnya, sehingga semangat dan gairahnya lebih tinggi dari pada anak yang tidak pernah diajak olah raga, di samping itu mampu menjaga kestabilan badan, tidak ada tinggi darah, atau kolekstrol dan sebagainya.

3. Beberapa Syarat Bagi Para Pengasuh dan Anak
a. Syarat bagi pengasuh

1. hendaknya ia menanamkan rasa cinta terhadap anaknya.
Kasing sayang bagi seorang anak ketika ia masih kecil sangat diidamkannya, sentuhan kelembutan akan membuatnya merasa damai dan selalu ingin diperhatikan. Saat itulah baru kita gunakan untuk membimbingnya secara lembut dan tidak perlu dengan kekerasan, sehingga apa yang kita nasehatkan akan terpatri dalam lunuk hatinya yang paling dalam.

Mencintai seorang anak, bukan berarti membiarkannya melakukan apa saja, namun mencintai anak kadang-kang ditunjukkan dengan berbagai sikap, sikap yang kita tunjukkan kepadanya sesuai dengan tingkat perbuatan yang dia lakukan, apabila memang cukup dengan memberi isyarat bahwa kita tidak setuju terhadap satu perbutan yang dilakukannya berarti tidak perlu dengan sikap yang lebih keras.

2. memberi contoh yang baik
Seorang pengasuh harus mampu memberikan panutan kepada anak asuhnya, tidak hanya mampu berorasi, tetapi lebih dahulu melakukannya, sehingga anakpun akan mengikutinya. Perkataan yang kita katakana kepadanya semantara kita tidak melakukannya boleh jadi membuatnya tidak puas, seperti melarangnya merokok, sementara kita merokok, akan bias menyebabkan dia tidak puas.

Apa yang ditegaskan dalam al Qur’an memang cukup tegas di mana Allah mengatakan mengapa manusia mengatakan apa yang tidak ia kerjakan, Allah sangat melarang siapa saja untuk tidak megatakan apa yang tidak pernah ia perbuat atau memberi nasehat kepada orang lain sementara ia sendiri melanggarnya.


3. Memiliki pengetahuan agama
Sebagaimana diketahui target pendidikan Al-Ghazali adalah tercapainya kehidupan akherat sebagai tujuan utamanya, maka seorang pengasuh dituntut untuk benar-benar meiliki ilmu agama yang cukup untuk bekalnya dalam membimbing dan mengarahkan anaknya.

Seorang pengasuh yang tidak memiliki ilmu agama yang luas akan sulit menerapkan pendidikan yang baik terhadap anaknya, sebab ia tidak menegtahui bagaimana tuntutan agama tentang mendidik anak yang baik, sehingga ia mendidik hanya berdasarkan pengalamannya di waktu kecil sebagaimana ia dididik oleh ayah dan ibunya.

4. menguasai metode-metode mendidik anak
Metode mendidik mempunyai peran penting dalam tercapainya tujuan pendidikan, semua program tidak akan berjalan dengan baik tanpa metode yang tepat dan sesuai dengan apa yang dihadapi, walaupun metode yang dituntut oleh Al-Ghazali tidak harus diperoleh dengan pendidikan formal, namun setidaknya secara umum menguasainya, dan biasanya, bila ia memahami konsep pendidikan al Qur’an tidak begitu sulit baginya menggunakan metode apa yang tepat dalam pendidikan anaknya, dan tidak begitu bingung menghadapi berbagai permasalahan pendidikan atau menyangkut masalah kenakalan anaknya.

b. Syarat bagi anak
1. seorang anak harus mensucikan dirinya dari segala sifat buruk
Ini merupakan langkah awal untuk bias memulai pendidikan bagi anak, ia harus mampu mensucikan hatinya dari segenap sifat yang buruk, sebab kalau hati belum suci sulit untuk memberikan arahan padanya, akan menemukan banyak rintangan dan kesulitan, beleh jadi dia mendengarkan tapi tidak pernah melaksanakannya.

2. Mengetahui sopan santun dan etika
Orang yang tidak mengetahui sopan santun atau et6ika biasanya sulit untuk diberi pengajaran dan pendidikan, lebih mudah memberikan pendidikan kepada anak yang mengetahui etika dan akhlak dengan baik dari pada memberi pendidikan kepada orang yang tidak pernah diajarkan akhlak.

3. Patuh kepada orang tua
Anak yang baik adalah anak yang tidak pernah menyakiti orang tuanya dan apalagi memukulnya, secara mutlak memang siapa saja yang memberi penilaian kebaikan anak bukan diukur dari kecerdasannya dalam suatu bidang ilmu pengetahuan tetapi lebih dari itu adalah anak yang selalu mematuhi apa yang dikatakan, dilarang, diperintahkan orang tuanya.

Akan tetapi tingkat kepatuhan anak juga harus diukur dengan nilai al Qur’an, apakah yang dipatuhinya suatu perintah yang bertentangan dengan al qur’an atau tidak, maka kalau bertentangan anak tidak boleh mematuhinya, dan boleh menentangnya karena tidak sesuai dengan tuntutan agama.

C. Masa Pengasuhan Anak Menurut Al-Ghazali
Dalam proses pendidikan anak Al-Ghazali mengemukakan beberapa syarat ideal bagi para pendidik yang seyogyanya dia miliki, begitu juga dengan anak, sebenarnya syarat yang dia paparkan bukan syarat bagi para pengasuh tapi pendidik, dalam hal ini dia mengajukan beberapa syarat bagi guru sebagai pendidik, tapi para penulis beranggapan bahwa syarat ini biasa juga diajukan bagi para pengasuh yang juga punya misi pendidikan.

Menurut Al-Ghazali mendidik anak dimulai sejak ia dalam kandungan. pendapat ini tidak jauh dengan apa yang diuraikan dalam kurikulum pendidikan modern di beberapa bangsa pada zaman sebelum kita. Akan tetapi persepsi ini pada zaman sebelumnya juga telah berkembang dalam arti mendidik anak dianjurkan sebelum lahir, atau masa dalam kandungan, kita sudah mulai mendidik anak.

Dalam proses ini, Al-Ghazali menganjurkan agar seorang anak ketika di asuh ia dididik oleh wanita salihah dan mampu memberi perlindungan serta mampu memberi keamanan bagi anak. Sebagaimana yang dipaparkan oleh H.M Arifin yang mengatakan bahwa:

Al-Ghazali mengharuskan agar anak diasuh dan tidak boleh disusukan pada perempuan kecuali yang memiliki sifat sama dengan perempuan yang mengasuhnya. Beliau menganjurkan agar mendidik anak secara dini. Beliau mengatakan bahwa’ sesungguhnya jika diabaikan pada priode awal pertumbuhannya maka ia akan mudah dikalahkan oleh keburukan akhlak yang penuh dengan kebohongan dan kedengkian israf, suka mengumpat, banyak menuntut sesuatu penuh dengan tipu daya dan kegila-gilaan.[13]

Menurut beliau tidak ada cara lain dalam mendidik anak kecuali harus dididik dengan baik, orang tua hendaknya mengingat bahwa pendidikan anak itu tidak hanya cukup dengan pengajaran, meskipun mengandung beberapa mata pelajaran lainnya, jangan mengurangi perhatianterhadap pengajaran anak.

Oleh karena itu, seorang pengasuh harus selalu memberi pengawasan yang ekstra ketat sejak dimulainya pendidikan dan hendaknya tidak memberi izin kepada perempuan yang menyusuinya wanita yang tidak beragama.

Dalam masa pendidikan anak, azas pertama adalah disiplin pribadi ditumbuh kembangkan dalam jiwa anak, hendaklah para pendidik mengikuti system pendidikan berdasarkan atas kaidah membiasakan anak dengan berdisiplin pada waktu makan, berpakaian dan tidurnya. Tujuannya ialah untuk menumbuhkan jasmaniah anak agar kuat dan mampu menanggung kesulitan hidupnya.

Dalam kaitan ini, sebagaimana yang dikutip oleh H.M Arifin,
Al-Ghazali mengatakan : “hendaknya anak jangan dibiarkan tidur pada siang hari, karena akan membuatnya malas, dan tidak melarang tidur di waktu malam, tapi tidak boleh memakai alas tidur yang enak. Agar anggota tubuhnya menjadi keras, dan jangan membuat badannya gemuk, jangan membiarkannya enak-enak, akan tetapi mendisiplinkannya dengan pakaian, tempat tidur dan makanan, serta membiasakan pada waktu siang berjalan-jalan, bergerak dan latihan jasmaniah.[14]

Kesan yang diberikan Al-Ghazali dalam persepsi penulis adalah bahwa seorang anak yang dididik dan dibesarkan dalam kemewahan kecil harapan akan menjadi anak yang baik dan cerdas, tapi beliau lebih cendrung pada kesederhanaan dalam pendidikan sehingga anak terbiasa dengan kesulitan, maka masalah seberat apapun yang dihadapinya akan mampu diatasi.

Konsep beliau juga menurut penulis mempunyai nilai sufistik yang mengajarkan nilai-nilai qana’ah (menerima apa adanya) kepada anak didik, dan ini wajar kita anggap karena belau adalah seorang sufi, mungkin di sinilah ketertarikan para ilmuan modern yang banyak mempelajari konsep-konsepnya di berbagai disiplin ilmu, terutama yang ada kaitan dengan filsafat dan sufi.

Adapun asas yang kedua adalah penanaman etika kepada anak atau akhlak, di mana Al-Ghazali sendiri menekankan beberapa nilai kesopanan yang perlu ditekankan kepada anak di antaranya kesopanan dalam makan, bicara, tidur, duduk dan sebagainya yang menurut beliau sangat penting bagi anak.

Pada awal pengasuhannya, setelah penulis menganalisa bahwa menurut beliau ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pengasuh yakni:
  1. Makanan yang diberikan kepadanya, menyangkut makanan yang halal atau tidak baik.
  2. Mengarahkan dan membimbingnya dengan pendidikan yang berorientasi pada pendidikan Islam.
  3. Memeliharanya dari berbagai gangguan kejahatan dari luar yang biasa mempengaruhi mentalnya.
  4. Memberikan pendidikan setelah ia tamyiz.
  5. Selalu mengawasinya dari berbagai pekerjaannya.
Ada beberapa aspek yang tidak kalah pentingnya dalam tahap awal pendidikan anak, terutama sebelum ia lahir menjadi bayi, ketika masih dalam kandungan ia juga memerlukan pendidikan, hanya saja metode dan caranya berbeda. Memang terkesan aneh, bagaimana mendidik anak dalam kandungan, kita bicara saja sebagaimana kita berbicara pada orang, mengajaknya shalat, memberinya contoh yang baik dan sebagainya.

Di samping itu menurut Al-Ghazali makanan perlu juga diperhatikan makanan yang dikonsumsi sewaktu istri mengandung, ini akan menjadi factor penentu bagi anak baik secara fisik maupun mental. Makanan yang baik kemungkinan akan menjadikannya tumbuh dan berkembang menjadi anak yang baik secara fisik dan mental.

D. Langkah-Langkah Mengasuh Anak
Sebagian pemikiran Al-Ghazali telah kita lihat pada jabaran di atas, di samping itu juga langkah-langkah dalam mendidik anak perlu dilakukan, walaupun sebenarnya secara tersurat Al-Ghazali tidak mengengahkannya dalam tulisannya, namun dapat kita simak pada beberapa sub bagian dalam pembahasan pendidikan dalam bukunya Ihya Ulumuddin Zuz III.

Langkah-langkah utama yang diketengahkan Al-Ghazali agaknya ditekankan pada langkah bagaimana menanamkan etika dan akhlak anak, hal ini sesuai dengan tujuan pendidikannya yang berorientasi pada kehidupan akherat sebagai tujuan utamanya.

Dalam proses pendidikan dan pengasuhan, sangat perlu bagi para pengasuh dan pendidik menetapkan beberapa langkah, menurut Al-Ghazali sendiri, di antara langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam mengasuh anak adalah dengan menerapkan beberapa metode.[15]

Adapun metode yang dapat digunakan dalam pendidikan jiwa anak adalah :
  1. Metode keteladanan
  2. Metode Pendidikan dengan Adat Kebiasaan.
  3. Metode Pendidikan dengan Nasehat.
  4. Metode Pendidikan dengan Perhatian.[16]

1. Metode Keteladan.
Anak usia pra sekolah sehari-hari selalu bergaul dengan orang tuanya, oleh karena itu sikap, perbuatan, cara berbicara, cara berpakaian, dan segala sesuatu yang menyangkut dengan aktivitas orang tua menjadi contoh bagi anak untuk diikutinya, apakah itu perbuatan baik atau perbuatan buruk, anak belum dapat menilainya.

Dalam hal ini dikemukakan oleh Wasty Soemanto, bahwa :
Sikap anak umumnya spontan, dan mereka lebih menirukan apa yang dilihatnya dari pada mengikti periuntah-perintah, larangan-larangan. Kadang-kadang timbul sikap menentang atau mengadu anak kepada oranng tuanya. Janganlah orang tua menyalahkan tindakan orang tua lainnya didepan anak, sehingga anak memihak kesatu pihaknya, dan mengurangi kewibawaan lainya. Anak menilai perbuatan-perbuatan orang disekitarnya melalui orang tuanya.[17]

Kutipan di atas menggambarkan bahwa setiap tindakan dan prilaku orang tua akan ditiru oleh anak-anak terutama anak-anak yang sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak. Orang tua menjadi panutan yang pertama dan utama dalam setiap prilakunya.

Oleh karena itu dalam pembentukan jiwa anak serta pendidikannya diutamakan metode dengan keteladanan. Dengan metode ini diharapkan prose internalisasi (penanaman) nilai nilai moral dan intelektual serta amal shaleh yang diharapkan dari anak dapat terealisasi dengan baik.

Adapun yang berkaitan dengan metode keteladanan ini dikemukakan oleh Abdullah Nashih Ulwan bahwa :

Dari sini metode keteladanan menjadi faktor penting dalam hal baik buruknya anak. Jika pendidik jujur, dapat dipercaya, berakhlak mulia, berani dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan agama, maka si anak akan tumbuh dalam kejujuran, terbentuk dengan akhlak mulia, kebneranian dan dalam bersikap yang menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan agama. Dan jika pendidik bohong, khianat, durhaka, kikir, penakut dan hina, maka si anak akan tumbuh dalam kebohongan, khianat, durhaka, kikir, penakut dan hina.[18]

Dari kutipan di atas dapatlah dijelaskan bahwa keteladanan dalam mendidik anak menjadi prioritas utama dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan. Segala perbuatan dan tingkah laku para pendidik akan diteladani oleh anak didik, dalam hal ini pendidik pertama anak-anak di lingkungan keluarga adalah orang tua mereka. Untuk itulah orang tua dan pendidik lainnya terlebih dahulu harus berbuat dan bertingkah laku dengan baik.

2. Metode Pendidikan dengan Adat Kebiasaan.
Adat kebiasaan merupakan tradisi yang telah dilakukan secara turun temurun di lingkungan masyarakat. Tradisi tersebut menyangkut dengan hubungan antar keluarga dan hubungan dengan masyarakat secara luas. Adat kebiasaan ini biasanya dilakukan semua masyarakat dengan tatanan dan aturan tertentu. Apabila adat kebiasaan itu dilanggar, maka ada hukuman adat yang diberikan kepada pelanggarnya.

Dalam hal metode pendidikan yang diterapkan kepada anak diperlukan upaya untuk membiasakan anak tersebut melakukan suatu kegiatan sejak dini. Misalnya membiasakan anak bangun tidur ketika azan subuh, membiasakan anak dengan berkata lembah lembut, membiasakan anak berpakaian rapi serta membiasakan anak dengan ibadah-ibadah islamiah.
Seorang anak, jika menerima pendidikan yang baik dari orang tuanya yang saleh dan pengajarnya yang tulus, di samping tersedianya lingkungan yang baik dari teman yang saleh, mu’min dan tulus, maka tidak diragukan bahwa anak tersebuut akan terdidik dalam keutamaan, iman dan takwa. Mereka juga akan terbiasa dengan akhlak luhur, etika yang mulia dan kebiasaan terpuji.


Jelaslah bahwa metode kebiasaan yang perlu dikembangkan dalam proses internalisasi (penanaman) nilai-nilai pendidika adalah menyangkut dengan kejujuran, keinkhlasan, keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Dengan kebiassaan-kebiasaan yang terlebih dahulu dilakukan oleh orang tua mereka dan lingkungan masyarakat yang juga harus membiasakan hal-hal yang perlu ditanamkan kepada anak-anak tersebut.

3. Metode Pendidikan dengan Nasehat.
Nasehat perlu diberikan kepada anak dalam rangka menanamkan nilai-nilai Islam, hal ini karena setiap nasehat yang diberikan kepada anak, terutama terhadap anak-anak, mereka paling gemar dan suka mendengarkan cerita-cerita yang dituturkan. Khususnya cerita-cerita yang berhubungan dengan anak.

Dengan demikian nasehat yang diberikan kepada anak lebih baik melalui sebuah cerita, namun cerita tersebut harus mengandung nilai-nilai pendidikan, terutama masalah akhlak. Baik akhlak terhaddap Allah, pada sesama maupun akhlak terhadap lingkungan.

Apabila anak berbuat dan bertingkah laku yang menyimpang dari nilai-nilai Islam, maka anak perlu dinasehati agar tidak mengulangi lagi perbuatan tersebut. Karena perbuatan yang melanggar nilai-nilai Islam biasanya dapat merugikan diri sendiri dan merugikan orang lain.

Oleh karena itu perlu diberikan nasehat dengan cara lembah lembut. Sehingga setiap perbuatan dan tingkah laku anak akan kembali kepada nilai-nilai kebenaran.

Menurut penulis Al-Ghazali menganggap metode lain yang penting dalam pendidikan, pembentukan keimanan, mempersiapkan moral, spritual dan sosial anak, adalah pendidikan dengan memberikan nasehat. Sebab nasehat ini dapat membukakan mata anak-anak pada hakekat sesuatu, dan mendorongnya menuju situasi luhur, dan menghiasinya dengan akhlak mulia, dan membekalinya dengan perinsip Islam.

Dapat kita katakan bahwa menurut Al-Ghazali metode nasehat sangat efektif digunakan dalam proses pendidikan jiwa anak, karena dengan nasehat anak-anak dapat mengetahi segala perbuatannya apakah baik atau dilarang oleh ketentuan-ketentuan dalam Islam maupun dalam masyarakat.

Dengan nasehat pula anak-anak akan mengikuti segala perintah-perintah serta meninggalkan segala larangan-larangan. Kemudian nasehat yang diberikan kepada anak tersebut harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi anak. Umumnya nasehat baru dapat diberikan kepada anak. Sedangkan anak dibawah lima tahun hanya dapat dilakukan metode kebiasaan dan contoh teladan.

Nasehat dari orang tua sangat diperlukan dalam segala aktivitas anak, agar anak tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hakekat kehidupan. Nasehat yang baik baru dapat diberikan apabila selaras dengan kenyataan yang dapat diamati oleh anak secara langsung. Hal ini diperlukan agar jiwa anak dapat membedakan serta membenarkan antara teori dan praktek dalam kehidupannya.

4. Metode Pendidikan dengan Perhatian.
Perhatian merupakan metode yang sangat diperlukan dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan jiwa bagi anak. Perhatian dari orang tua terhadap anak merupakan metode yang efektif, karena dengan perhatian pula orang tua dapat mengetahui tentang pertumbuhan dan perkembangan anak, dapat mengetahui kelemahan-kelemahan anak. Dengan mengetahui kelebihan dan kelemahan anak orang tua dapat membimbing dan mengarahkan anak dengan upaya-upaya tertentu yang disesuikan dengan situasi dan kondisi anak tersebut.

Perhatian juga diperlukan dalam hal menjaga keimanan, ibadah dan akhlak anak. Apabila anak tumbuh dan berkembang tanpa adanya perhatian, maka anak menjadi dewasa tanpa aturan dan leluasa mengerjakan sesuatu kegiatan baik di dalam rumah maupun di luar rumah.

Dengan demikian dapatlah dijelaskan bahwa perhatian adalah upaya penngawasan secara menyeluruh terhadap segala pertumbuhan dan perkembangan anak sejak dini. Terutama terhadap anak-anak. Hal ini karena anak-anak selalu dekat dengan orang tua, teritama ibunya. Untuk itu perhatian ibu diperlukan bukan hanya sekedar menjaga apakah anak itu sudah makan, mandi dan pakaian anak. Akan tetapi juga perhatian terhadap nilai-nilai moral dan etika anak dalam bergaul dengan teman-temannya dan dengan orang yang perlu dihormati. Dengan demikian anak akan menghormati orang yang lebih tua dan menyayangi orang yang lebih kecil.

Pendidikan dengan menggunakan metode perhatian adalah mencurahkan, memperhatikan senantiasa mengikuti perkembangan anak dalam pembinaan aqidah dan moral, persiapan spritual dan social, disamping selalu bertanya tentang situasi pendidikan jasmani dan daya hasil ilmiahnya.

Dari kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa perhatian diperlukan dari orang tua dan guru secara kontinyu, tentang aqidah, ibadah dan akhlak anak. Kemudian juga tentang kesehatan dan gizi anak juga perlu diperhatikan untuk menciptakan anak-anak yang tumbuh dan berkembang dengan baik dan penuh dengan kepribadian dan jiwa yang tangguh dan kuat dalam segala aspek kehidupan.

Dengan demikian perhatian harus diupayakan dan dicurahkan bukan hanya oleh orang tua di rumah, akan tetapi juga oleh guru di sekolah, perhatian terhadap anak dalam belajar, perlu adanya koreksi terhadap tulisan dan bacaan anak, lebih-lebih tentang tontonan yang selektif perlu diperhatikan orang tua. Di sekolah guru harus memeriksa setiap pekerjaan anak baik di dalam kelas maupun di luar kelas secara berkelompok maupun secara individu.

Apabila anak tumbuh dan berkembang tanpa perhatian, maka anak-anak cenderung mengikuti kehendaknya, berbuat onar, ceroboh dalam beraktivitas sehari-hari. Fase-fase pertumbuhan dan perkembangan anak membutuhkan perhatian tertentu dari orang tua di rumah dan dari guru di sekolah.

==================
Catatan Kaki
[1]Zainuddin Dkk Seluk-Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, Cet. I ( Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal. v
[2]Sulaiman Dunya, Maqasid Al-Falasifah, cet V ( Kairo: Al Maktabah, 1961), hal. 134
[3]Osman baker, Hierarki Ilmu, Membangun Kerangka Pikir Islamisasi ilmu,Terj. Purwanto, Cet.III,(Bandung: Mizan, 1998), hal. 179
[4]Ibid, hal 190
[5]Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam,Cet.I (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal.161
[6]Mhulyadi Kartanegara, Mozaik Hazanah Islam, (Bunga Rampai Dari Chicago),Cet.I (Jakarta Selatan : Paramadina, 2000), hal.75
[7]Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Cet.II (Jakarta : Raja Gravindo Persada, 2001), hal. 87
[8]H.M Arifin, Perbandingan Pendidikan Islam, Cet. II (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hal 134.
[9]Zainuddin Dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, cet.I (Jakarta : Bumi Akasara, 1991), hal 96
[10]Ibid, Hal. 118
[11]Ibid, hal.119
[12]Ibid. hal 120
[13]Ibid, hal. 149
[14]Ibid.hal. 149
[15]Al-Ghazali, Ihya' Ulumuddin,jilid III Terj. Ismail Jakub, Cet. II ( Medan: Faizan : 1965), hal., 45
[16]Ibid, Hal., 48
[17]Wasty Wasito, Prinsip-Prinsip Pendidikan, Cet.II (Jakarta: balai Pustaka, 1990),hal. 56
[18]Abdullah nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak Dalam Islam, Jilid II, Terj. Saifullah Kamalie, Cet. III (Semarang : Asy-Syafi'i), hal.,2

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger