Pendekatan Fenomenologis dalam studi Islam

Mengkaji fenomena keagamaan berarti mempelajari perilaku manusia dalam kehidupannya beragama. Ilmu pengetahuan social dengan caranya masing-masing, atau metode, teknik, dan peralatannya, dapat megamati dengan cermat perilaku manusia itu, sehingga dimungkinkan ditemukannya segala unsur yang menjadi komponen terjadinya perilaku itu, juga “makna terdalam dan substansi sejati” yang tersembunyi di balik gejala tersebut. Hal ini sudah barang tentu berlaku juga untuk semua fenomena keberagamaan (religious phenomenon) manusia.
Dalam wacana studi agama kontemporer, fenomena keberagamaan manusia dapa dilihat dari berbagai sudut pendekatan. Ia tidak lagi hanya dapat dilihat dari sudut dan semata-mata terkait dengan normativitas ajaran wahyu meskipun fenomena ini sampai kapan pun adalah cirri khas daripada agama-agama yang ada tetapi ia juga dapat dilihat dari sudut dan terkait erat denga historisitas pemahaman dan interpretasi orang-perorang atau kelompok-perkelompok terhadap norma-norma ajaran agama yang dipeluknya, serta model-model amalan dan praktek-praktek ajaran agama yang dilakukannya dalam kehidupan seharai-hari. Pada umumnya, normativitas ajaran wahyu dibangun, diramu, dibakukan, dan ditelaah lewat pendekatan doctrinal-teologis, sedang historisme keberagaman manusia ditelaah lewat berbagai sudut pendekatan keilmuan sosial-keagamaan yang bersifat multi dan interdispliner, baik lewat fenomenologis berkembang sebagai metode untuk memakai fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Fenomena itu sendiri adalah segala sesuatu yang dengan sesuatu cara tertentu tampil dalam kesadaran kita, baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan, maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun yang berupa kenyataan.
Sebagai sebuah istilah, fenomenologi pertama kali diciptakan pada tahun 1764 oleh ahli matematikan dan filosof Swiss-Jerman, Johann Heinrich Lambert. Ia menggunakan istilah ini untuk merujuk kepada hakikat ilusif dari pengalaman manusia dalam upaya untuk mengembangkan suatu teori pengetahuan yang membedakan kebenaran dari kesalahan.
Menurut George W. F. Hege, sebagaimana dikutip oleh Moreau, fenomenologi secara terminologis adalah ilmu pengetahuan dengan sarana mana kita sampai kepada suatu pengetahuan absolute dengan jalan mempelajaricara-cara pikiran kita menampakkan diri kepada kita.
Sebagai metode, fenomenologi merupakan persiapan bagi setiap penyelidikan di bidang filasafat dan di bidang ilmu pengetahuan positif. Ia menyelidiki hal-hal hakiki yang penting bagi berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Berbeda dengan yang lain, Noerhadi Magetsari untuk sampai kepada pengertian fenomenologi- memulai pernyatannya dari dua aspek telaah dalam ilmu pengetahuan, yaitu “gejala” dan “makna” yang terkandung di dalamnya.
Pendekatan fenomenologis dalam agama merupakan suatu pendekatan yang didesain sedemikian rupa yang berakar dari pendekatan filosofis sebagaimana diakui sendiri oleh Amin Abdullah, bahwa mencermati tata kerja metode fenomenologi, orang sulit menghindari kesan adanya pengaruh pendekatan filsafat terhadap metode pendekatan fenomenologi cukup berjasa dalam membuka wawasan dan cakrawala baru dalam mencari “esensi” keberagamaan manusia.3
B. Pengertian Fenomenologi dan Pendekatannya
Istilah fenomenologi telah lama digunakan, sejak Lambert yang sezaman dengan Kant, juga Hegel, sampai Peirce, dengan arti yang berbeda-beda. Pada era Lambert fenomenologi diartikan sebagai ilusi atas pengalaman.4
Kata “fenomena” dalam bahasa Inggris disebut phenomena atau phenomenon secara etimologis berarti perwujudan, kejadian, atau gejala.5 Akan teteapi, pada medio abad XIX arti fenomenologi menjadi sinonim dengan fakta.6
Pertama kali pada tahun 1764. Ia menggunakan istilah ini untuk merujuk pada hakikat ilusif pengalaman manusia dalam upaya untuk mengembangkan suatu teori pengetahuan yang membedakan kebenaran dari kesalahan.
Akan tetapi mayoritas fenomenolog lebih cenderung mengatakan bahwa tokoh yang pertama kali menganggap fenomenologi sebagai sebuah wacana yang bersumber dari filsafat ilmu adalah Edmund Husserl (1859-1938). Karyanya yang berjudul Logische Unteruschungen (1900-1901) untuk pertama kali memuat rencana fenomenologi. Karyanya yang lain adalah Ideen zu einer reinen Phanomenologie und Phanmenologischen Philosophie (1913) dan Farmale und Transendentals Logic (1929). Di dalam buku tersebut ia mengatakan bahwa seorang fenomenolog harus secara sangat cermat “menempatkan fenomemologi harus secara sangat cermat “mnenempatkan di antara tanda kurung” kenyataan berupa dunai luar. Mulai tahun 1970-an fenomenologi mulai banyak digunakan oleh berbagai disiplin ilmu sebagai pendekatan metologik, dan mengundang kegiatan menerjemahkan karya-karya Husserl. Sejak tahun 1970 hingga sekarang, baik karya-karya Husserl. Sejak tahun 1970 hingga sekarang, baik karya-karya utamanya maupun artikel-artikel yang ditulisnya banyak diterjemahkan orang, dan tetap menjadi acuan utama pendekatan fenomenologi.15
Lebih lanjut metode fenomenologi dikembangkan oleh Rudolph Otto, W. Brede Kristensen, Geradus van der Leeuw, dan Mircea Eliade, juga ditunjukkan gejala itu memberikan interprestasi terhadap gejala itu sehingga maknanya yang tadi tersembunyi dapat pula dipahami.11
Pendekatan fenomenologis mula-mula merupakan upaya membangun suatu metodologi yang koheren bagi studi agama. Lebih lanjut Erricker menyatakan bahwa filsafat Hegel dapat menjadi dasar dibangunnya pendekatan ini. Dalam karyanya yang berpengaruh sebagaimana oleh Erricker- The Phenomenology of Spirit (1806). Hegel mengembangkan tesis bahwa esensi (wesen) dipahami melalui penyelidikan atas penampakan dan manifestasi (erschinungen). Tujuan Hegel adalah menunjukkan bagaimana karya ini membawa pada pemahaman bahwa seluruh fenomena dalam berbagai keragamannya, bagaimana pun juga didasarkan pada satu esensi atau kesatuan dasar (geist atau spirit). Penekanan terhadap hubungan antara esensi dan manifestasi ini menjadi suatu dasar untuk memahami bagaimana agama dalam keragamannya pada dasarnya mesti dipahami sebagai suatu entitas yang berbeda.12

C. Tokoh dan Karya Utama
Untuk pertama sekali, untuk melacak tokoh-tokoh yang berperan penting melahirkan fenomenologi dalam pengertiannya yang generik dan fenomenologi agama sebagai “anak kandung”nya, maka seyogianya dimulai dari filosof Swiss.21
Jacques Waardenburgh, seorang pakar studi agama dari Belanda,bolehlah disebut di sini soerang fenomenolog karena prestasinya di bidang ini. Karya-karyanya yang utama adalah Religion between Reality and Ideas: A Century of Phenomenologie (1972), Research on Meaning of Religion (1973), dan The Category of Faith in Phenomenological Research (1975). Begitu pula halnya dengan Geo Widengren yang menulis buku terkemuka Religionsphenomenologie (1969).22 Bukunya yang lain adalah Some Remarks of Methods of Phenomenologie of Religions (1968). Kemudian karya-karya fenomenolog yang lain seperti Ninian Smart dengan bukunya The Phenomenon of Religion (1973), Gunter Lanzckowski dengan bukunya Einfuhrung in die Religionphenomenologie (1978), Fredrich Heiler dengan bukunya Erscheinungformen und Wesen der Religion (1961), Gustav Menshing dengan karyanya Structures and Patterns of Religion (1976).23
Karya-karya Gerardus van der Leeuw yang paling berpengaruh di bidang ini adalah Religion in Essence and Manifestation: A study in Phenomenology (1963) terjemahan J. E. Turner dari Phenomenologie der Religion. Sedangkan karya Mircea Eliade yang menonjol dalam hal ini adalah The Sacred and The Profane: The Nature of Religion (1959) dan Patterns in Comparative Religion (1963).18 Sedangkan karya W. Brede Kristensen yang terkemukan adalah The Meaning of Religions (1960).19
Douglas Alien juga sesumgguhnya telah menerbitkan sebuah buku tentang sesungguhnya telah menerbitkan sebuah buku tentang fenomenologi, tetapi itu merupakan kritik terhadap metode fenomenologi yang dikembangkan oleh Mircea Eliade. Buku tersebut adalah Structure and Creativity in Religion: Hermeneuties in Mircea Eliade’s Phenomenology and New Directions (1978). Atau pun kritik Philip C. Almond terhadap pemikiran filosofis Rudolf Otto dalam perilaku keberagaman, yang dituangkan Almond dalam bukunya Rudolph Otto: An Introduction to His Philosophical Theology (1984).20
Edmund Husserl memproklamasikan filsafat fenomenologi, yaitu oleh Chantaphus de la Saussaye, ahli studi agama dari Belanda, dalam bukunya Lehrbuch der Religionsgechichte (1887). Namun dalam perkembanganny ia memang sangat dipengaruhi metode fenomenologi filosofis Husserlian, melalui epoche dan eidetic vision. Meski sempat dianggap metode paling memadai untuk mengkaji inti atau hakikat agama, metode ini dihujani kritik yang bertubi-tubi semenjak pasca perang dunia II, karena dianggap terlalu mereduksi hakikat agama kepada struktur pengalaman keagamaan yang platonis.25
Dalam kerja penelitiannya, fenomenologi dapat mengacu pada tiga hal, yaitu: filsafat, sejarah, dan pada pengertian yang lebih luas. Dengan demikian “fenomenologi agama” dalam acuan yang petama menghubungkan dirinya sebagai slah satu disiplin ilmu. Adapun acuan yang kedua memasukkan pendapat tentang sejarah agama. Dengan sendirinya mereka mempergunakan religi sederhana sebagai data, dan meletakkan ekspresi keagamaan dalam bentuk simbol seperti bentuk-bentuk upacara keagamaan sebagai fokus perhatiannya. Acuan yang ketiga adalah penerapan metode fenomenologi secara lebih luas. Metode itu bias diterapkan dalam menelaah atau meneliti ajaran-ajaran, kegiatan-kegiatan, lembaga-lembaga, tradisi-tradisi, dan simbol-simbol keagamaan.26
Ironisnya, dari sekian banyak pendekatan tokoh dan karya dalam bidang fenomenologi agama sebagai salah satu pendekatan alternative dalam bidang religionswissenschaft ini, secara keseluruhan yang disebutkan di sini adalah fenomenolog non-muslim. Tak banyak yang bias dicatat dari peneliti kajian keagamaan dari kalangan muslim. Barangkali yang memadai untuk disebutkan di sini adalah Joachim Wach, Charles J. Adam dengan karyanya Islamic Religious Tradition (1976) dan Sayyid Hossein Nasr yang mengarang sebuah buku di bidang fenomenologi yang berjudul Knowledge and The Sacred (1988).
D. Studi Agama dengan Pendekatan Fenomenologis
Perkembangan studi agama dengan pendekatan fenomenologis dewasa ini mengalami kemajuan yang sangat signifikan. Meskipun pendekatan ini (baca: fenomenologi agama) cenderung muncul belakangan dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan yang lain, seperti sosiologi agama, antropologi agama, psikoloi agama, sejarah agama, dan lain-lain, akan tetapi ia memainkan peranan yang sangat penting dalam hal mengungkap makna perilaku keberagamaan manusia dan substansi dari agama-agama itu sendiri.
Maksudnya sebuah fenomena keagamaan cuma bias diketahui, bila ia dikaji sebagaimana ia muncul menjelma. Dalam suatu ekspresi keagamaan, hal inilah yang harus dilakukan. Berupaya mengungkap esensi (wessen) di balik fenomena atau manifestasi (erschinungen). Maka fenomenologi agama adalah metode yang tepat untuk bidang ini, karena metode yang lain niscaya mengabaikan suatu element yang unik yang tidak bias direduksi di dalamnya.
Pendekatan dan pemahaman terhadap fenomena keberagaman manusia lewat pintu masuk antropologi adalah seperti halnya kita mendekati dan memahami “object” agama dari sudut pengamatan yang berbeda. Dari situ akan muncul pemahaman sosiologis, historis, psikologis terhadap fenomena keberagamaan manusia. Namun diakui bahwa berbagai pendekatan tersebut tidak menyentuh esensi religiositas manusia itu sendiri. Para teolog khususnya kurang tertarik ketika menerima uraian atau masukan-masukan yang disumbangkan oleh pendekatan antropologis terhadap agama.
dengan demikian, kerjasama antara pendekatan antropologis, sosiologis, psikologis dan historis dengan pendekatan fenomenologis adalah saling melengkapi sehingga diharapkan dapat diperoleh gambaran yang utuh tentang keberagamaan manusia pada umumnya tanpa sedikitpun mengurangi apresiasi terhadap bentuk keimanan dan penghayatan keberagamaan manusia.
Kecenderungan beralihnya para teolog dan agamawan dari berbagai kalangan kepada fenomenologi agama tentunya tidak terlepas dari ketidakpuasan mereka terhadap hasil-hasil penelitian agama dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial. Dengan ungkapan lain bahwa pendekatan tersebut hanya melihat kulit luar keberagamaan manusia saja tanpa memasuki sisi internalitasnya.
Pusat perhatian fenomenologi agama sebenarnya hanya terfokus kepada pencarian esensi, makna dan struktur fundamental dari pengalaman keberagamaan manusia. Di dalam pengalaman keberagamaan manusia tersebut terdapat esensi yang irridecible yang merupakan struktur fundamental keberagamaan manusia.
Dalah diakui bahwa keberagamaan manusia tidak akan dapat dilepaskan dari sesuatu yang suci. Itulah di antaranya yang merupakan struktur fundamental dan dianggap penting oleh pendekatan fenomenologi ketika menatap realitas keberagamaan manusia. Dalam arti bahwa dalam setipa struktur fundamental pengalaman keberagamaan manusia terdapat hal-hal atau sifat-sifat dasar tersebut.

===================
DAFTAR PUSTAKA
Connolly, Peter (Ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam Khoiri, Cet. I,. Yogyakarta: LKIS, 2002.
Echols, John M dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cet XX. Jakarta: PT. Gramedia, 1992.
Martin, Richard C. (Ed)., Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama. Terj. Zakiyuddin Bhaidawy, Cet. II. Surakarta: Muhamadiyah University Press, 2002.
Muhadjir, Noeng, Filsafat ilmu : Telaah Sistematis Fungsional Komparatif, Cet. II,. Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998.
Permata, Ahmad Norma (Ed.dan pent), Metodelogi Studi Agama, Cet. 1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Ridwan, M. Deden (Ed), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam; Tinjauan Antar Disiplin Ilmu, Cet. I. Bandung: Penerbit Nuansa, 2001.
Soekanto, Soejono, Sosiologi; Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993.
ZTF, Pradana Boy (Ed. dan pent), Agama Empiris; Agama dalam pergumulan Realitas Sosial, Cet. I,. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Pustaka LP21F, 2002.

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger