Pendekatan Antropologi Dalam Studi Agama


1. Pengertian Antropologi

Antropologi adalah salah satu disiplin ilmu dari cabang ilmu pengetahuan sosial yang memfokuskan kajiannya pada manusia. Antropologi adalah studi tentang manusia dalam semua aspek meskipun sebagian besar antropologi telah menulis seolah-olah mereka mampu. Secara keseluruhan antropologi sosial telah mengkonsentrasikan dirinya mempelajari manusia dalam aspek sosialnya, yakni berhubungan dengan orang lain dengan masyarakat yang hidup. Antropologi mengkonsentrasikan penelitian utamanya terhadap hal-hal yang bersifat kebiasaan dan secara relatif mempertahankan ciri-ciri masyarakat dimana mereka terjadi.

Kajian antropologi ini setidaknya dapat ditelusuri pada zaman kolonialisme di era penjajahan yang dilakukan bangsa Barat terhadap bangsa-bangsa Asia, Afrika dan Amerika Latin serta suku Indian. Selain menjajah, mereka juga menyebarkan agama Nasrani. Setiap daerah jajahan, ditugaskan pegawai kolonial dan missionaris, selain melaksanakan tugasnya, mereka juga membuat laporan mengenai bahasa, ras, adat istiadat, upacara-upacara, sistem kekerabatan dan lainnya yang dimanfaatkan untuk kepentingan jajahan. Motto mereka biasa di sebut dengan “Golden, Glory, Gospel”.

2. Mengenai Sejarah Antropologi

Perhatian serius terhadap antropologi dimulai pada abad 19. Pada abad ini, antropologi sudah digunakan sebagai pendekatan penelitian yang difokuskan pada kajian asal usul manusia. Penelitian antropologi ini mencakup pencarian fosil yang masih ada, dan mengkaji keluarga binatang yang terdekat dengan manusia (primate) serta meneliti masyarakat manusia, apakah yang paling tua dan tetap bertahan (survive). Pada waktu itu, semua dilakukan dengan ide kunci, ide tentang evolusi.

Antropolog pada masa itu beranggapan bahwa seluruh masyarakat manusia tertata dalam keteraturan seolah sebagai eskalator historis raksasa dan mereka (bangsa Barat) menganggap bahwa mereka sudah menempati posisi puncak, sedangkan bangsa Eropa dan Asia masih berada pada posisi tengah, dan sekelompok lainnya yang masih primitif terdapat pada posisi bawah. Pandangan antropolog ini mendapat dukungan dari karya Darwin tentang evolusi biologis, namun pada akhirnya teori tersebut ditolak oleh para fundamentalis populis di USA.
Selain perdebatan seputar masyarakat, antropolog juga tertarik mengkaji tentang agama. Adapun tema yang menjadi fokus perdebatan di kalangan mereka, seperti pertanyaan tentang: Apakah bentuk agama yang paling kuno itu magic? Apakah penyembahan terhadap kekuatan alam? Apakah agama ini meyakini jiwa seperti tertangkap dalam mimpi atau bayangan, suatu bentuk agama yang disebut animisme? Pertanyaan dan pembahasan seputar agama primitif itu sangat digemari pembaca-nya pada abad ke 19. Sebagai contoh, terdapat dua karya besar yang masing-masing ditulis Sir James Frazer tentang “The Golden Bough” dan Emil Durkheim tentang “The Element Forms of Religious Life”.

Dalam karyanya tersebut, Frazer menampilkan contoh-contoh magic dan ritual dari teks klasik. Frazer berkesimpulan bahwa seluruh agama itu sebagai bentuk sihir (magic) fertilitas. Dalam karyanya yang lain, Frazer mengemukakan skema evolusi sederhana yaitu suatu ekspresi dari keyakinan rasionalismenya bahwa sejarah manusia melewati tiga fase yang secara berurutan didominasi oleh magic (sihir), agama dan ilmu.

Berbeda dengan Durkheim, dia kurang sependapat jika mengambil contoh dari semua agama di dunia dengan kurang memperhatikan konteks aslinya seperti yang dilakukan oleh Frazer, karena itu adalah metode antropologi yang keliru. Menurutnya, eksperimen yang dilakukan dengan baik dapat membuktikan adanya aturan tunggal, dan mengatakan perlunya menguji sebuah contoh secara mendalam, seperti agama Aborigin di Arunto Australia Tengah. Terlepas dari kontroversi terhadap penelitiannya, yang jelas Durkheim telah memberikan inspirasi kepada para antropolog untuk menggunakan studi kasus dalam mengungkap sebuah kebenaran.

Setelah Frazer dan Durkheim, kajian antropologi agama terus mengalami perkembangan dengan beragam pendekatan penelitiannya. Beberapa antropolog ada yang mengorientasikan kajian agamanya pada psikologi kognitif, sebagian lain pada feminisme, dan sebagian lainnya pada secara sejarah sosiologis.

3. Pendekatan Antropologi

Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini, agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan serta memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama.

Antropologi dalam kaitan ini lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisifatif yaitu bersifat induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana sosiologis. Penelitian antropologis yang induktif dan grounded (berlandasan), yaitu turun ke lapangan dengan upaya membebaskan diri dari kekangan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak. Maka dalam berbagai penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Golongan masyarakat yang kurang mampu dan golongan miskin pada umumnya, lebih tertarik kepada gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan golongan orang kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya.

Sebagai contoh, Max Weber (1964 – 1920). Dia melihat adanya korelasi positif antara ajaran Protestan dengan munculnya semangat kapitalisme modern. Etika Protestan dilihatnya sebagai cikal bakal etos kerja masyarakat industri modern yang kapitalistik. Cara pandang Weber ini kemudian diteruskan oleh Robert N. Bellah dalam karyanya The Religion of Tokugawa. Dia juga melihat adanya korelasi positif antara ajaran agama Tokugawa, yakni semacam percampuran antara ajaran agama Budha dan Sinto pada era pemerintahan Meiji. Tidak ketinggalan, seorang Yahudi kelahiran Oaris, Maxim Rodinson, dalam bukunya Islam and Capitalism menganggap bahwa ekonomi Islam itu lebih dekat kepada sistem kapitalisme, atau sekurang-kurangnya tidak mengharamkan prinsip-prinsip dasar kapitalisme.

Melalui pendekatan antropologis ini, kita melihat bahwa agama ternyata berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Dalam hubungan ini, jika kita ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja seseorang, maka dapat dilakukan dengan cara mengubah pandangan keagamaannya.

Selanjutnya adalah melalui pendekatan antropologis fenomenologis, dengan metode ini kita dapat melihat hubungan antara agama dan negara. Seperti Vatikan dalam bandingannya dengan negara-negara sekuler di sekelilingnya di Eropa Barat. Juga melihat kenyataan negara Turki modern yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi konstitusi negaranya menyebut sekularisme sebagai prinsip dasar kenegaraan yang tidak dapat ditawar-tawar.

Melalui pendekatan antropologis sebagaimana yang telah di sebutkan, terlihat jelas hubungan agama dengan berbagai masalah kehidupan manusia, dan dengan itu pula agama terlihat akrab dan fungsional dengan berbagai fenomena kehidupan manusia. Dengan demikian, pendekatan antropologi sangat dibutuhkan dalam memahami ajaran agama, karena dalam ajaran agama tersebut terdapa uraian dan informasi yang dapa dijelaskan lewat bantuan ilmu antropologi dengan cabang-cabangnya.

4. Pendekatan Antropologi Dalam Kajian Islam

Perdebatan dan perselisihan dalam masyarakat Islam sesungguhnya adalah perbedaan dalam masalah interpretasi, dan merupakan gambaran dari pencarian bentuk pengalaman agama yang sesuai dengan konteks budaya sosial. Misalnya dalam menilai persoalan-persoalan tentang hubungan politik dan agama yang dikaitkan dengan persoalan kekuasaan dan suksesi kepemimpinan, adalah persoalan keseharian manusia-dalam hal ini masalah interpretasi agama dan penggunaan simbol-simbol agama untuk kepentingan kehidupan manusia. Tentu saja peran dan makna agama akan beragam sesuai dengan keragaman masalah sosialnya.

Posisi penting manusia (sebagai khalifah) dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Para antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan membedakan apa yang mereka sebut sebagai common sense dan religious atau mistical event. Dalam satu sisi common sense mencerminkan kegiatan sehari-hari yang bisa diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan teknologi, sementara itu religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi diluar jangkauan kemampuan nalar maupun teknologi.

Dengan demikian memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagaman adalah terletak pada interpretasi dan pengalaman agama. Oleh karena itu, antropologi sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan-Islam that is practised-yang menjadi gambaran sesungguhnya dari keberadaan manusia.

Di Indonesia usaha para antropolog untuk memahami hubungan agama dan sosial telah banyak dilakukan. Barangkali karya Clifford Geertz The Religion of Java yang ditulis pada awal 1960an menjadi karya yang populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia khususnya di Jawa.

Pandangan trikotonomi Geertz tentang pengelompokan masyrakat Jawa berdasar religio-kulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan politik. Penjelasan Geertz tentang adanya pengelompokan masyarakat Jawa ke dalam kelompok sosial politik didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Walaupun Geertz mengelompokan masyrakat Jawa ke dalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada realitas politik, yang jelas-jelas menunjukan oposisinya adalah kelompok abangan dan santri. Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian dan santri yang berbasis pada perdagangan dan priyayi yang dominan dalam birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat dengan partai politik dengan isu-isu kerakyatan, priyayi dengan partai nasionalis, dan kaum santri memilih partai-partai yang memberikan perhatian besar terhadap masalah keagamaan.

Jika kembali pada persolan kajian antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi sangat berguna untuk membantu mempelajari agama secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat diarahkan kedalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama diciptakan untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna.

Kemudian sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan prilaku manusia, adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia. Mengutip Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jaring-jaring (Web) kepentingan yag mereka buat sendiri, maka budaya adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengelaborasi pengertian kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara historis dan tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi, berprilaku dan memandang kehidupan. Oleh karena itu analisis tentang kebudayaan dan manusia dalam tradisi antropologi tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam, melainkan kajian interpretatif untuk mencari makna (meaning).

Dipandang dari makna kebudayaan yang demikian, maka agama sebagai sebuah sistem makna yang tersimpan dalam simbol-simbol suci sesungguhnya adalah pola makna yang diwarisi manusia sebagai etos dan juga worldview-nya.


Social and Cultural Anthropology: A Very Short Introduction (Very Short Introductions)

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger